Kondisi SDM Penduduk Perbatasan

1. Kondisi SDM Penduduk Perbatasan

Sumberdaya manusia sebagai bagian terpenting dalam pembangunan wilayah merupakan persoalan serius yang terjadi di wilayah perbatasan. Berdasarkan data BPS dari setiap Kecamatan Perbatasan tahun 2007 diketahui, bahwa tingkat pendidikan masyarakat perbatasan tergolong rendah, dan tidak merata di setiap daerah. Dalam data BPS kecamatan perbatasan tersebut disebutkan, bahwa dari total jumlah penduduk perbatasan yang mencapai 241.541 jiwa, yang berpendidikan sarjana (S1) hanya sebanyak 384 orang, S2 sebanyak 9 orang, yaitu di Ketungau Tengah larang, Kedamin Kabupaten Kapuas Hulu sebanyak 5 orang, Badau larang dan Batang Lupar 2 orang, masing‐masing di Kabupaten Sintang.

Sementara yang berpendidikan Diploma sebanyak 778 orang, dan jumlahya amsing‐ masing kecamatan perbatasan cukup merata, kecuali di Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang sebanyak larang dan di Kecamatan perbatasan Emp anang , Kabupaten Kapuas Hulu, sebanyak 3 orang. Selebihnya dari itu rata‐rata di atas 10 orang. Data tersebut, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel!.

Di samping rendahnya SDM wilayah perbatasan, sarana dan prasarana pendidikan juga terlihat minim. Namun demikian, fasilitas sekolah pendidikan dasar, secara umum di setiap kecamatan perbatasan sudah tersedia. Persoalan terjadi pada sarana pendidikan di jenjang SMP dan SMA. Sarana pendidikan untuk kedua jenjang tersebut masih belum banyak tersedia. Misalnya, berdasarkan data Bappeda Kalbar (2007) diketahui, bahwa jumlah gedung SMP di seluruh perbatasan hnaya mencapai 37 unit, dan untuk SMA mencapai 20 unit ditambah Madras Aliyah (dua) 2 unit.

Minimnya sarana dan prasarana pedidikan tersebut berimplikasi senus terhadap kesempatan bagi para siswa untuk mendapatkan hak pendidikan yang disediakan pemerintah. Sebab, dengan kondisi minimnya sarana dan prasarana pendidikan yang tidak mereta tersedia di setiap kecamatan perbatasan, kecuali gedung SD, maka bagi penduduk usia sekolah yang berbeda kecamatan yang akan melanjutkan pendidikan di jenjang SMP atau SMA, mereka harus menempuh jalan rata‐rata 23 km dengan akses jalan yang sangat sulit. Bahkan di daerah tertentu, seperti yang terjadi di Desa Sebubus, Kecamatan Paloh, Desa Tirta Karya dan Desa Kertasari, Kecamatan Ketungau Tengah, anak‐anak yang ingin melanjutkan pendidikan menuju jenjang SMP di tempat lainnya, harus menempuh jarak sejauh 100 km. Kondisi ini baru dilihat dari jarak geografis, belum lagi dilihat dari segi sarana dan prasarana jalan yang belum baik. Hal ini berimplikasi pada rendahnya kualitas SDM perbatasan.

Jumlah Tam atan No. Kabupaten

DIPL S1 S2

1 Sambas

Sai ingan Besar 483

Jagoi Babang

3 Sanggau

Sekavam Entikong

Tengah Ketungau Hulu

5 Kapuas Hulu Empananz

Kencana Badau

Batang Lupar 1.796 611

Emba10h Hulu 721

9 Sumber : BPS Masing‐Masing Kecamatan Perbatasan, 2007

Selain faktor sarana pendidikan yang mmim, persoalan lainnya yang dihadapi dunia pendidikan di wilayah perbatasan adalah menyangkut minimnya tenaga pendidik yang mengabdi di daerah perbatasan tersebut. Hal ini terlihata dari data yang dihimpun oleh

Bappeda Kalimantan (2007) yang menyebutkan, bahwa jumlah pendidik di seluruh wilayah perbatasan untuk tingkat TK sebanyak 37 orang, tingkat SD relatif banyak yaitu mencapai 1.239 orang, Ibtidaiyah sebanyak 51 orang, tingkat SMP sebanyak 291 orang, tingkat MTS sebanyak 27 orang dan tingkat SMA sebanyak 216 orang, serta tingkat Madrasah Aliyah sebanyak 9 orang. Bagi daerah perbatasan yang relatif dekat dengan wilayah Malaysia seperti: Desa Jagoibabang, Pala Pasang dan Desa Bengkarum, sebagian warganya ada yang menyekolahkan anak‐anak mereka ke Malaysia, melalui jalur kekerabatan dengan saudara mereka di Sarawak. Hal ini dikarenakan adanya akses jalan yang lebih mudah, serta sarana dan pra sarana pendidikan yang jauh lebih memadai dibandingkan dengan di dalam negeri.

Kondisi tersebut di atas mencerminkan, bahwa pembangunan sumberdaya manusia di wilayah perbatasan masih sangat minim, sehingga hal ini menjadi persoalan tersendiri bagi pembangunan perbatasan, terutama j ika menggunakan pendekatan‐pedekatan pembangunan modem dengan parameter pendidikan formal yang tinggi. Persoalan lainnya adalah, bahwa dengan adanya beberapa daerah yang kedekatannya dengan Malaysia berada pada level I (dekat), ditunjang oleh faktor kekerabatan dan kemampuan ekonomi yang memadai, sebagian masyarakat menyekolahkan anaknya ke Malaysia. Kondisi ini tentu berpengaruh terhadap pembentukan karakter nasionalisme anak didik yang sej ak usia pendidikan dasar telah dididik di negeri tetangga. Hal ini tentu berimplikasi pada semakin jauhnya rasa nasionalisme penduduk di wilayah erbatasan. p

Kekhawatiran tersebut sebagaimana disampaikan oleh Dingga dan Silvanus (Wawancara, 23/3/2008), tokoh adat yang ada di Aruk, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas. Menurut Dingga, generasi muda di wilayah perbatasan, saat ini lebih suka gaya hidupnya meniru kehidupan kota yang ada di Sarawak. Kondisi ini dipengaruhi oleh derasnya informasi mengenai Malaysia yang diterima oleh penduduk perbatasan, sementara sarana dan prasarana informasi di wilayah Aruk masih sangat minim. Di beberapa kecamatan perbatasan lainnya, seperti di Desa Suruh Tembawang, Entikong, banyak anakanak usia sekolah SMP dan SMA yang lebih memilih bekerja di Malaysia dibandingkan dengan bersekolah, karena tidak adanya biaya dan juga sekolah terdekat (Wawan cara dengan Yoh nes Pran, 13/5/2009). a

Kondisi tersebut di atas, jika tidak ditangani dengan serius maka akan berdampak pada tergerusnya nilai‐nilai nasionalisme warga perbatasan. Dalam konteks yang lebih jauh, maka hal itu dapat berdampak negatif terhadap pertahanan dan keamanan negara di wilayah perbatasan. Sebab, warga secara sosial ekonomi dan juga emosi akan jauh lebih merasa ekat dengan negara tetangga di bandingkan dengan dalam negeri. d