skala besar Hitipeuw et al. 2007.Semua indikasi faktor lingkungan dan sosial antropogenik secara langsung dan tidak langsung memberi tekanan kematian
individu dewasa dan penurunan populasi penyu belimbing. Solusi dalam meminimalkan dampak faktor lingkungan dan sosial
antropogenik adalah pengelolaan secara efektif dan terpadu. Pengelolaan secara terpadu meliputi tiga pilar utama yaitu ekologi, ekonomi dan sosial kelembagaan.
Pengelolaan dari aspek ekologi mengacu pada pendekatan spesies dan habitat. Pendekatan habitat meliputi perlindungan habitat peneluran, habitat makan dan
habitat migrasi. Sementara pendekatan spesies adalah perlindungan penyu agar tidak dimanfaatkan baik telur maupun induk dewasa. Pengelolaan dari aspek
ekonomi merujuk pada penyadaran masyarakat dari kebiasaan memanfaatkan sumberdaya penyu secara berlebihan dengan memberikan alternatif pemanfaatan
sumberdaya lain. Pendekatan sosial kelembagaan diarahkan untuk mengefektifkan peranan semua stakehoder untuk berpatisipasi dalam pengelolaan.
Pendekatan pengelolaan yang telah dilakukan adalah penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah KKLD Abun untuk mengefektifkan perlindungan
terhadap penyu belimbing tidak hanya di pantai peneluran tetapi juga di pesisir laut. Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun ditetapkan berdasarkan SK Bupati
Kabupaten Sorong No.142 tahun 2005 dengan luasan 26.795,53 Ha. Penetapan KKLD Abun bertujuan untuk melindungi keanekaragaman hayati di kawasan
Bentang Laut Kepala Burung Papua dengan melindungi penyu belimbing yang melakukan peneluran dipantai Jamursba Medi dan Warmon.
1.2 Perumusan Masalah
Tiwari et al. 2005 menyatakan bahwa kemungkinan penurunan populasi penyu belimbing disebabkan oleh faktor lingkungan dan faktor sosial
antropogenik. Lebih lanjut, Wallace et al. 2009 menyatakan bahwa faktor lingkungan dan antropogenik mempengaruhi keberadaan penyu belimbing di
alam, tetapi sampai saat ini belum dapat dijelaskan faktor perbedaan dan interaksi secara geografi yang berimplikasi adanya variasi siklus hidup dan dinamika
populasi yang terdistribusi dalam skala global. Faktor lingkungan berpengaruh secara langsung dan tak langsung terhadap
individu dewasa, juvenil dan telur penyu dalam sarang. Pengaruh faktor
lingkungan terhadap individu dewasa dan juvenil terkait pola migrasi dan ketersediaan pakan. Pengaruh faktor lingkungan terhadap telur penyu belimbing
adalah adanya perubahan suhu pasir sebagai akibat dari perubahan suhu global, kelembaban udara pasir, intensitas curah hujan, kenaikan muka air laut dan
perubahan monsun. Adanya pengaruh lingkungan ini ditandai dengan penurunan sukses penetasan pada sarang alami di Pantai Jamusba Medi dan Wermon. Pada
tahun 2006 sukses penetasan di Jamursba Medi untuk tiga pantai adalah Wembrak 44,7, Batu Rumah 31,4 dan Warmamedi 41,6 dimana keseluruhan dari
sukses penetasan di Jamursba Medi 35,2. Nilai ini kemudian mengalami penurunan mencapai 25 dan 47 Tapilatu et al. 2007 Tiwari et al. 2005.
Kondisi ini semakin diperparah dengan dampak perubahan iklim global sebagaimana dijelaskan Ackerman 1997, bahwa perubahan suhu global akan
mempengaruhi seksualitas tukik penyu belimbing. Ini mengindikasikan bahwa ketika terjadi perubahan suhu maka produksi seks tukik penyu belimbing betina
dan jantan tidak seimbang karena toleransi suhu sarang penyu belimbing berkisar antara 28 - 29 ºC dimana suhu diatas 29
C akan menghasilkan banyak tukik penyu betina dan suhu dibawah 28
C akan menghasilkan banyak tukik penyu jantan.
Pengaruh faktor sosial antropogenik terhadap populasi penyu belimbing ditandai dengan jumlah populasi induk betina yang bertelur semakin berkurang
akibat perburuan penyu belimbing oleh masyarakat Kei. Lawalata et al. 2004 menyatakan rata-rata tangkapan penyu belimbing sekitar 29 ekor pada musim
20042005. Kasus lainnya adalah tingginya tingkat pemburuan terhadap induk penyu dan pengambilan telur penyu di Taman Nasional Meru Betini Sukamadu
Jember. Industri perikanan juga menjadi salah satu ancaman penurunan populasi akibat tingginya tangkapan sampingan. Sebagai contoh perikanan rawai tuna
dalam satu trip mendapatkan by catch khususnya penyu belimbing sebanyak 3 ekor Zainudin et al. 2007.
Berbeda dengan aktivitas perikanan, penurunan habitat peneluran juga berdampak pada penurunan populasi. Salah satu contoh pada populasi penyu
belimbing di Terengganu Malaysia, dimana penurunan populasi disebabkan faktor sosial antropogenik sebagai akibat tingginya aktivitas perikanan mengakibatkan
kematian 500 ekor penyu belimbing karena terjaring dalam pukat harimau trawl dan jaring lingkar drifnet oleh kapal perikanan Jepang Chan and Liew 1996.
Penyebab lain adalah pengambilan telur penyu belimbing dalam jumlah banyak dengan frekuensi pengambilan telur oleh masyarakat lokal, adanya degradasi
habitat sebagai akibat pengalihan fungsi kawasan peneluran penyu belimbing menjadi tempat wisata dan tingginya polusi dan sampah sebagai akibat dari
aktivitas wisata Chan and Liew 1996. Kondisi serupa dinyatakan oleh Mast el al.
2006 in Hitipeuw et al. 2007 bahwa penurunan populasi penyu belimbing di kawasan Pasifik seperti Malaysia, Meksiko, Costa Rica dan Indonesia
disebabkan faktor kompleks tetapi perikanan skala besar dan perburuan masyarakat menjadi faktor utama penurunan populasi penyu belimbing Chan and
Liew 1996. Kondisi lingkungan dan kegiatan manusia diprediksi memberi tekanan
tinggi terhadap rentannya suatu populasi untuk tetap bertahan di alam. Faktor dan kondisi ini berpeluang terjadi di Jamursba Medi dan Warmon apabila setiap
aktivitas antropogenik tidak bisa dikontrol secara efektif. Sebagaimana diketahui bahwa pantai Jamursba Medi dan Warmon termasuk dalam Kawasan Konservasi
Laut Daeran Abun yang seharusnya dilindungi dan dikontrol oleh pihak teknis dan pemerintah, tetapi kondisi yang terjadi adalah tidak adanya pengawasan dan
kontrol menyebabkan penurunan kondisi ekologi. Hal ini menggambarkan betapa lemahnya pengawasan dari pemerintah dan pihak swasta menyebabkan banyak
permasalahan tidak terselesaikan. Beberapa permasalahan antropogenik yang sudah teridentifikasi didalam KKLD Abun adalah
Adanya perijinan perusahaan PT. HPH Multi Wijaya dan PT. Akram dalam yang beroperasi di pesisir KKLD Abun. PT HPH Wijaya adalah perusahaan
kayu yang menjadi produsen kayu logging yang diekspor kebeberapa negara Eropa. Resiko yang ditimbulkan dari aktivitas ini adalah sampah dari
potongan kayu yang terdampar di pantai peneluran dan menjadi penghalang bagi penyu yang bertelur. Aktivitas kapal dengan frekuensi yang tinggi di
daerah ini menimbulkan kebisingan yang perkirakan mempengaruhi insting dari penyu belimbing yang diketahui sangat sensitif terhadap bunyi dan
cahaya.
Izin lainnya adalah PT Akram yang merupakan perusahaan emas yang masih proses tahap eksplorasi, tetapi beresiko menyebabkan penurunan habitat
peneluran. Jarak Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun yang relatif dekat dengan
kabupaten Sorong sebagai pusat perikanan beresiko terhadap tingginya tangkapan sampingan bycatch dari perikanan tradisional maupun perikanan
dalam skala besar. Pemekaran wilayah dan daerah administrasi kabupaten Tambrauw memicu
pertumbuhan jumlah penduduk dan pembukaan lahan yang nantinya berpotensi menyebabkan penurunan sistem ekologis di daerah pesisir.
Pembangunan jalan trans Papua Barat yang memanfaatkan pesisir KKLD Abun menyebabkan adanya fragmentasi habitat yang diprediksi
mempengaruhi kealamian dan fisik pantai peneluran. Pemanfaatan masyarakat terhadap sumberdaya penyu seperti konsumsi
daging dan telur penyu belimbing di pesisir KKLD Abun. Isu dan fakta ini tentunya memberikan resiko dan kerentanan yang cukup
berat terhadap populasi penyu belimbing. Dengan semakin banyaknya aktivitas manusia yang merugikan lingkungan pesisir maka akan berdampak pada
penurunan dan kerentanan populasi penyu belimbing apalagi habitat peneluran berada didalam KKLD Abun. Potensi dampak yang timbul oleh ancaman ini
sangat tergantung pada tingkat bahaya serta tingkat kerentanan pada wilayah tersebut dan sangat terkait dengan kondisi pemanfaatan wilayah pesisir, fisiografi,
morfologi, demografi dan sosial ekonomi, termasuk kemampuan manusia untuk beradaptasi terhadap bahaya tersebut. Berkaitan dengan pengaruh faktor
lingkungan dan faktor sosial antropogenik dalam kawasan, terdapat sejumlah pertanyaan yang menjadi perumusan masalah kajian ini, yaitu:
1. Seberapa besar faktor lingkungan dan sosial antropogenik akan memberikan dampak yang mengancam populasi penyu belimbing?
2. Seberapa besar bahaya yang ditimbulkan, bagaimana kerentanan dan risiko yang dihadapi penyu belimbing?
3. Strategi adaptasi seperti apa yang dibutuhkan guna meminimalkan dampak terhadap populasi penyu belimbing dalam KKLD Abun.
Penelitian ini menjadi penting dilakukan seiring dengan meningkatnya efektivitas lingkungan dalam merespon kerentanan populasi penyu belimbing
sebagai indikasi KKLD Abun. Diharapkan kajian ini dapat memberikan informasi ilmiah tentang kerentanan populasi sehingga menjadi rekomendasi dalam
perencanaan pengelolaan pesisir dan laut dengan mengedepankan konservasi baik spesies penyu belimbing dan habitat peneluran.
1.3 Tujuan Penelitian