Pengawasan dan Regulasi Penilaian Non Detrimental Finding Penyu Belimbing

Berdasarkan PP No.7 tahun 1990 tentang pengawetan tumbuhan dan satwa dimana semua jenis penyu di Indonesia termasuk bagian-bagiannya ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi Dahuri 2003. Penetapan semua perangkat hukum ini dikarenakan tingginya eksploitasi telur dan daging yang berdampak pada penurunan populasi induk dewasa dan juvenil yang tersedia di alam. Pendekatan habitat bertujuan melindungi habitat baik habitat peneluran, habitat makan dan habitat migrasi. Perlindungan habitat peneluran diarahkan pada penetapan status kawasan sehingga memudahkan dalam pengelolaan dan pengawasan. Perlindungan habitat yang telah dilakukan adalah penetapan suakamargasatwa Jamursba Medi dan sekitarnya serta Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun Tambrauw Papua Barat. Berbagai peraturan untuk melindungi penyu laut telah disepakati dan sampai saat ini tercatat sembilan peraturan untuk konservasi penyu laut. Beberapa regulasi tentang perlindungan penyu ditampilkan pada Tabel 22. Tabel 22. Regulasi konservasi penyu laut di Indonesia RegulasiKebijakan Tahun Keterangan Keputusan Presiden No.43 1997 Ratifikasi konvesi internasional Trade In Endangared Of Wild Flora dan Fauna CITES Kepmen Pertanian No.327 1978 Penentuan berbagai jenis satwa liar yang dilindungi paus, lumba-lumba, penyu Kepmen Pertanian No.716 1980 Penentuan berbagai jenis satwa liar yang dilindungi paus, lumba-lumba, penyu hijau, penyu tempayan, penyu belimbing UU No.4 1992 Peraturan dasar pengelolaan lingkungan hidup Keputusan Presiden No.26 1986 Ratifikasi perjanjian ASEAN tentang konservasi sumberdaya alam Keputusan Presiden No.32 1990 Konservasi Sumberdaya hayati dan ekosistemnya UU No.5 1994 Ratifikasi konvensi biodiversitas Peraturan Pemerintah No.7 1999 Perlindungan semua jenis penyu Pengawasan internasional menetapkan bahwa semua jenis Penyu telah dikategorikan sebagai satwa langka dan dilindungi dalam Red Data Book IUCN, Apendix I CITES Tabel 21 dimana penyu merupakan jenis satwa terancam punah sehingga dilarang diperjualbelikan dan pengaturan perdagangannya harus berdasarkan prosedur CITES. Berdasarkan sifat migrasi, Penyu Belimbing juga termasuk dalam Apendix I dan II daftar CMS karena status populasi yang terancam.

5.2.9 Penilaian Non Detrimental Finding Penyu Belimbing

Perdagangan internasional jenis flora dan fauna diatur melalui suatu konveksi internasional yang disebut dengan Convention on Internasional Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora menjamin keberlanjutan populasi flora dan fauna di habitat alam. Indonesia meratifikasi CITES melalui Keputusan Presiden Kepres Nomor 14 tahun 1978 artinya Indonesia mengikuti aturan dalam konveksi tersebut secara efektif. Salah satu isi dari konveksi terkait dengan perdagangan satwa yang masuk dalam daftar Appendix I yaitu artikel IV yang menyatakan bahwa pengambilan dan perdagangan internasional terhadap suatu spesies tidak akan merusak populasi di alam atau dengan istilah non detrimental finding . Panduan pelaksanaan non detrimental finding dikompilasi oleh Rosser and Haywood 2002 in Oktoviani et al. 2008 . Pelaksanaan non detrimental finding di Indonesia dilakukan oleh Lembaga Pengetahuan Indonesia LIPI sebagai otoritas keilmuan Scientific authority CITES. Komponen utama non detrimental finding dalam menelaah suatu spesies yang ditangkap dari alam berdasarkan sifat biologis, status nasional, pengelolaan penangkapan, kontrol penangkapan, pemantauan penangkapan, insentif dan keuntungan penangkapan serta perlindungan dari penangkapan Prijono 2005 in Oktoviani et al. 2008. Baik buruk pelaksanaan non detrimental finding untuk suatu spesies digambarkan dalam radar yang menghubungkan nilai nilai dari unsur non detrimental finding. Radar plot yang semakin menjauhi titik pusat menggambarkan pelaksanaan non detrimental finding yang buruk. Penerapan non detrimental finding pada penyu belimbing dilakukan dengan menganalisis 25 unsur dimana hasil penilaian penyu belimbing dijelaskan seperti pada Gambar 24. Pertimbangan sebagai landasan dalam penilaian untuk 25 unsur non detrimental finding mengacu pada hasil penelitian terdahulu sampai dengan saat ini. Penilaian NDF dijabarkan secara detail berdasarkan sistem ranking dengan mengacu pada lima penilaian utama yaitu aspek biologi penyu belimbing, aspek status populasi, aspek perdagangan dan pemanfaatan, aspek pengawasan dan peraturan. Aspek biologis dan karakteristik terlihat bahwa siklus hidup penyu belimbing memiliki rentang waktu yang panjang dengan reproduksi tinggi sebanding dengan laju mortalitas tinggi. Waktu yang dibutuhkan penyu mencapai usia muda sampai pada matang kelamin adalah 20 tahun. Penyu belimbing memiliki kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan seperti kemampuan renang dan menyelam untuk menjangkau perairan dalam dan perairan dangkal. Distribusi selama bertelur di Jamursba Medi dan Wermon diketahui meliputi pesisir Utara Papua dengan distribusi habitat di pantai Utara Papua, Taman Nasional Teluk Cendrawasih Wasior, Kepulauan Rajampat dan Kepulauan Kei Maluku Tenggara. Populasi di Jamursba Medi dan Wermon memiliki areal migrasi yang relatif luas sampai mencapai perairan Monterbay California. Interaksi antara penyu belimbing dengan manusia bukanlah hubungan mutualisme melainkan hubungan komensalisme karena manusia berperan sebagai predator. Aspek status populasi menunjukkan bahwa ancaman penurunan populasi adalah degradasi habitat peneluran, perubahan iklim yang mempengaruhi persentasi sukses penetasan, ekploitasi telur dan daging, perikanan komersil yang menyebabkan banyaknya tangkapan sampingan. Tingginya tangkapan sampingan disebabkan penggunaan alat tangkap dari perikanan skala besar yang biasanya tidak selektif sehingga beresiko tertangkapnya penyu belimbing. Dampak dari tangkapan dan pemanfaatan tradisional adalah penurunan populasi spesies dewasa yang mengarah pada kepunahan. Rencana pengelolaan yang sudah dilakukan adalah perlindungan habitat dengan penetapan status kawasan Suaka Margasatwa Jamursba Medi dan penetapan KKLD Abun. Adanya penetapan status kawasan mengakomodir penelitian tentang populasi penyu belimbing oleh pemerintah BBKSDA dan DKP bahkan lembaga konservasi internasional seperti WWF Indonesia, Universitas Negeri Papua, NOAA Fisheries dan Yayasan Alam Lestari Indonesia. Tujuan pengelolaan mengarah pada perlindungan spesies dan perlindungan habitat. Hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan peningkatan proporsi populasi penyu belimbing dialam yang saat ini mengalami penurunan. Untuk meningkatkan proporsi populasi maka diperlukan metode pemantauan terhadap ancaman utama seperti penangkapan baik penangkapan langsung maupun penangkapan tidak langsung. Pengaruh internal dari masyarakat