Gambar 29 menjelaskan trend kelompok pendidikan menunjukkan responden setingkat SD sampai SMA mendominasi konsumsi daging dan
cenderung menurun pada responden dengan pendidikan setingkat perguruan tinggi. Kelompok usia memperlihatkan trend peningkatan pada usia tua dimana
konsumsi meningkat seiring dengan pertambahan usia. Kondisi ini disebabkan kebiasaan konsumsi yang terbawa sampai saat ini menyebabkan responden yang
berusia tua lebih menyukai daging penyu dibandingkan responden yang berusia muda yang lebih selektif dalam memilih makanan untuk dikonsumsi.
Uji varian Uji F sebesar 2,73 menjelaskan bahwa variabel pendidikan dan usia mempengaruhi perilaku tangkapan penyu oleh masyarakat dengan
signifikansi mencapai 0,075. Variasi sebesar 9,9 dari perilaku konsumsi daging dipengaruhi oleh model pendidikan dan usia. Selebihnya atau 0,62 dipengaruhi
oleh variasi variabel lain. Analisis parsial model pendidikan dan usia mempengaruhi perilaku konsumsi daging. Model pendidikan mempengaruhi
perilaku tangkapan penyu pada signifikasi 0,030 dan memberi nilai negatif yang artinya adanya peningkatan tingkatan pendidikan menurunkan frekuensi konsumsi
sebesar 0.6263 kg, begitupun sebaliknya. Model usia pada signifikansi 0,117 tidak mempengaruhi perilaku konsumsi dan bernilai positif yang artinya semakin
Gambar 29. Laju konsumsi daging penyu belimbing berdasarkan tingkat pendidikan dan usia. Kelompok pendidikan
1SD, 2SMP, 3SMA, 4PT.
Kelompok usia
120-35, 236-50,351-65,465. Frekuensi konsumsi daging 11-3 kg, 24-6 kg,37-8 kg,49-11 kg
meningkat tinggi tingkatan usia maka semakin tinggi perilaku konsumsi daging sebesar 0,0105 kg.
Plot uji normalitas Lampiran 8 pada perilaku tangkapan penyu menunjukkan ketidaknormalitas data terlihat pada skore -2 pada sumbu X dan 20 pada
sumbu Y selebihnya data terbentuk linear. Lampiran 8 plot residual terisitribusi secara acak diatas maupun dibawah angka 0 sumbu Y dan membetuk tidak
membentuk pola.
5.4 Indeks Kerentanan Populasi Penyu Belimbing
Indeks kerentanan yang dikonstruksikan dalam penelitian ini terdiri dari model statis untuk indeks kerentanan populasi Penyu Belimbing. Model statis
adalah indeks untuk menghitung kerentanan saat ini.
5.4.1 Penentuan Bobot Variabel Kerentanan
Variabel kerentanan untuk tiap dimensi kerentanan memiliki peranan atau signifikansi yang berbeda terhadap besar kecilnya nilai indek kerentanan populasi.
Kaitannya dengan signifikansi suatu variabel, Rao et al. 2008 dan Daukakis 2005 memberikan bobot yang lebih tinggi dibandingkan variabel lainnya. Ada
beberapa pendekatan yang digunakan untuk memberikan besaran bobot pada tiap variabel seperti pemberian nilai signifikansi secara langsung, menggunakan
persamaan linier dan menggunakan matriks perbandingan seperti yang dikemukakan oleh Villa and Mcleod 2002 in Tahir 2010. Dalam penelitian ini,
pendekatan yang dipakai adalah pendekatan matriks karena dianggap paling sesuai dalam menggambarkan peran atau signifikansi dari setiap variabel dari
kerentanan populasi. Metode matriks perbandingan pada prinsipnya adalah melakukan penilaian
kepentingan relatif dua elemen dengan aksioma reciprocal, artinya jika elemen i dinilai 3 kali lebih penting dibanding elemen j, maka elemen j harus sama dengan
13 kali pentingnya dibanding elemen i. Selain itu, perbandingan dua elemen yang sama akan menghasilkan angka 1, yang berarti peran atau signifikansinya sama
pentingnya. Jika terdapat m elemen, akan diperoleh matriks pairwise comparison berukuran m x n. Banyaknya penilaian yang diperlukan dalam menyusun matriks
yaitu nn-12 karena matriks reciprocal dan elemen diagonalnya sama dengan 1.
Setiap matriks pairwise comparison kemudian dicari nilai eigen vectornya untuk mendapatkan local priority. Oleh karena matriks pairwise comparison terdapat
pada setiap tingkat, untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesis antara local priority. Urutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui
prosedur sintesis dinamakan priority setting. Berdasakan pendekatan ini, bobot setiap parameter dimensi keterpaparan, kepekaan dan kapasitas adaptif
ditampilkan pada Tabel 27 Tabel 27. Bobot variabel kerentanan populasi
Variabel Bobot
Dimensi keterpaparan Variasi suhu pasir
VSP 0,35
Kenaikan muka laut x kemiringan pantai SLR x KP
0,18 Monsun
M 0,18
Laju Predasi LP
0,12 Pengambilan Telur
PT 0,09
Tangkapan Masyarakat TM
0,09 Dimensi kepekaan
Suhu pasir SP
0,34 Teksture pasir
TP 0,17
Kedalaman sarang KS
0,17 Konsumsi telur
KT 0,11
Konsumsi daging KD
0,09 Tangkapan sampingan
BC 0,09
Dimensi kapasitas adaptif Sarang relokasi
SR 0,41
Perlindungan habitat PH
0,21 Pengetahuan masyarakat
PM 0,14
Potensi konflik PK
0,14 Peranan Pemerintah
PP 0,10
5.4.2 Sistem Lingkungan 5.4.2.1 Suhu dan Variasi Suhu Pasir
Suhu pasir menjadi salah satu indikator penting dalam menentukan keberhasilan penetasan telur selama masa inkubasi. Tabel 28 menunjukkan rata
rata suhu pasir di Pantai Jamursba Medi dan Wermon berfluktuasi dengan kisaran 27.31
C sampai 30.83 C tahun 2009. Berbeda dengan suhu pasir tahun 2010
yang cenderung konstan dengan kisaran 28.42 C sampai 29.78
C. Adanya perbedaan suhu pasir pada kedua pantai peneluran dan tahun yang berbeda
disebabkan frekuensi curah hujan dan kemarau yang tidak menentu sepanjang