Indeks Kepekaan Penilaian Kerentanan

persentase paling rendah 9,2, disebabkan ukuran dan tekstur pasir yang memicu peningkatan suhu pasir, berpotensi melebihi suhu termal perkembangan embrio sehingga menyebabkan kematian. Selanjutnya variabel kedalaman sarang KS menunjukkan nilai proporsi tinggi terhadap indeks kepekaan terutama di pantai Wermon sebesar 44,24 dibandingkan Jamursba Medi 21,89. Jamursba Medi dan Wermon memiliki rata-rata kedalaman yang berbeda dimana kedalaman sarang di Jamursba Medi lebih dalam dibandingkan dengan Wermon. Kedalaman sarang berhubungan dengan topografi dan kemiringan pantai. Apabila pantai terklasifikasi datar maka mendukung proses penggalian sarang dan meminimalkan laju abrasi oleh gelombang pasang surut. Kondisi berbeda, jika pantai terklasifikasi landai dan curam maka sarang yang tergali cenderung tidak pada posisi ideal sehingga berpotensi terabrasi oleh gelombang. Faktor sosial antropogenik memiliki variabel penyusun indeks kepekaan yaitu variabel konsumsi telur dan konsumsi daging oleh masyarakat. Variabel konsumsi telur KT memiliki nilai proporsi 28,84 dan sensitif terhadap populasi di pantai Wermon. Sementara di Jamursba Medi memiliki nilai proporsi 21,89 terhadap populasi telur. Perbedaan nilai proporsi ini berhubungan dengan jumlah total sarang dikedua pantai. Jamursba Medi memiliki jumlah total sarang yang lebih banyak daripada Wermon dikarenakan panjang pantai yang mencapai 18 km, dibandingkan Wermon yang hanya 6 km. Panjang pantai mempengaruhi jumlah individu yang naik bertelur sehingga pantai Wermon dengan populasi sarang yang terbatas memberikan kontribusi terhadap nilai proposi pengambilan dan konsumsi telur yang bersifat negatif terhadap populasi sarang di Wermon. Konsumsi daging KD terhadap populasi di Jamursba Medi dan Wermon tidak memiliki nilai 0.0 terhadap populasi. Konsumsi daging oleh masyarakat pesisir Abun tergolong rendah dengan frekuensi 1 - 3 kg dikarenakan hanya untuk konsumsi keluarga. Kondisi ini memungkinkan karena masyarakat hanya mengkonsumsi ketika musim peneluran selebihnya masyarakat bergantung terhadap hasil meramu di hutan. Variabel tangkapan sampingan menjadi variabel penyusun indeks kepekaan yang tidak memiliki nilai proporsi 0. Tangkapan sampingan merupakan bagian dari aktivitas perikanan yang menghasilkan spesies bukan target. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas perikanan di perairan utara Abun tergolong berskala kecil. Ini terlihat dari kapal penangkapan yang berukuran 4 - 5 GT dengan jumlah kapal 2 - 4 buah. Rendahnya aktivitas perikanan di pesisir utara Abun disebabkan kondisi perairan yang selalu bergelombang karena berhadapan dengan Samudra Pasifik. Oleh sebab itu, diperoleh informasi bahwa selama penangkapan ikan jarang terlihat penyu yang terjaring atau tertangkap. Kondisi berbeda terlihat di laut lepas dengan jarak yang jauh dari pesisir Abun 2 mil dari pantai dimana beroperasinya kapal perikanan tuna. Fakta ini diperkuat dari beberapa penelitian yang menyatakan bahwa Utara Kepala Burung Papua menjadi daerah penangkapan beberapa kapal rawai tuna yang berpusat di Bitung Zainuddin et al. 2006. Selain kapal rawai tuna, beberapa kapal udang diketahui melakukan penangkapan di perairan laut utara Kepala Burung Papua. Tangkapan sampingan terbanyak diketahui berasal dari perikanan rawai tuna dan kapal penangkap udang dengan alat tangkap trawl. Hasil survey LIPI dan WWF 2005, menunjukkan rawai tuna merupakan alat tangkap yang berpotensi dan efektif dalam menyebabkan tertangkapnya penyu laut secara tidak sengaja bycatch. Bilahmar 2005, press com dari Asosiasi Tuna Indonesia menyatakan diduga terdapat 1600 buah kapal rawai tuna berbendera Indonesia, jika satu kapal rata- rata beroperasi dalam 4 trip dalam setahun,dan dalam satu trip minimal satu penyu tertangkap, maka estimasi jumlah penyu yang tertangkap sebanyak 6400 ekor dalam setahun LIPI dan WWF 2005. Lewison 2004 memperoleh hasil tangkapan sampingan dari rawai untuk ikan tuna dan swordfish berkisar antara 0- 14 ekor untuk penyu tempayan dan 0- 2.4 ekor untuk penyu belimbing dari 1000 mata pancing yang digunakan. Alat tangkap lain selain rawai tuna seperti gillnetdrifnet, purse seine, set net atau sero, trawl pukat harimau dan alat lainnya berpotensi menyebabkan penyu tertangkap atau terjaring. Pierpoint 2000 menunjukkan bahwa gillnet dan driftnet yang dipakai untuk menangkap ikan tuna dapat menjerat penyu belimbing dengan laju tangkapan sebesar 0,33 - 8 penyu per 10.000 rawai tuna di perairan Inggris dan Irlandia. Meskipun jenis alat tangkap ini memiliki persentase yang jauh dari rawai, namun 45 dari nelayan yang diwawancari pernah menangkap penyu dengan alat tangkap selain rawai. Selanjutnya LIPI dan WWF 2005 melakukan analisa terkait aktivitas perikanan dan jumlah armada untuk memperkirakan laju tangkapan sampingan berdasarkan daerah menangkap. Hasil menunjukkan bahwa perbandingan pengoperasian armada di samudra Pasifik dan samudra Hindia adalah 16 berbanding 84. Sejumlah armada penangkapan terkonsentrasi di Samudra Pasifik dikarena produktivitas perairan yang tinggi karena proses upwelling dan proses oseanografi lainnya. Selanjutnya estimasi perbandingan tangkapan sampingan antara penyu belimbing dan penyu tempayan dari kapal rawai tuna adalah 28 berbanding 86. Hasil pendugaan menunjukkan bahwa peluang tertangkapnya penyu belimbing oleh kapal rawai tuna Indonesia di samudra Pasifik adalah 768 – 2.304 ekor per tahun. Hasil berbeda ditunjukan oleh Lewison et al . 2004 melalui peta sebaran pendugaan penyu belimbing dan penyu tempayan untuk tahun 2000 diperairan dunia Lampiran 13. Dari peta tersebut terlihat kisaran tangkapan sampingan di Pasifik untuk Penyu Belimbing adalah 20000-40000 ekor sedangkan disamudra Hindia adalah 4000 ekor. Jika dibandingkan dengan perkiraan tangkapan sampingan dari kapal perikanan rawai Tuna Indonesia yang beroperasi di samudra Hindia menunjukkan perbedaan nilai tangkapan sampingan estimasi Lewison et al. 2006 dimana perikanan rawai tuna Indonesia memiliki interaksi kuat dan tinggi terhadap tangkapan sampingan kedua jenis penyu samudra Hindia dan relatif rendah di samudra Pasifik.

5.4.4.3 Indeks Kapasitas Adaptif

Indeks kapasitas adapatif adalah fungsi ketiga dari kerentanan selain indeks keterpaparan dan indeks kepekaan. Indeks kapasitas adaptif terdiri dari lima variabel penyusun yaitu variabel sarang relokasi SR, perlindungan habitat PH, pengetahuan masyarakat PM tentang konservasi, potensi konflik PK dan peranan pemerintah dalam konservasi PP. Dari kelima varibel tersebut relokasi sarang memiliki proporsi tertinggi dalam menyusun indek kapasitas adaptif. Relokasi sarang di Jamursba Medi memiliki proporsi nilai terbesar yaitu 85,25 dibandingkan 66,45 untuk relokasi di pantai Wermon. Tingginya proporsi relokasi sarang di Jamursba Medi disebabkan jumlah sarang yang direlokasi lebih banyak dibandingkan Wermon yaitu sekitar 50 sarang per pantai. Jika dibandingkan di Wermon yang direlokasi hanya 25 sarang permusim. Variabel perlindungan habitat PH berkaitan dengan penetapan status kawasan konservasi. Tahun 2005 penetapan kawasan pesisir laut Jamursba Medi diusulkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun. Pengusulan luasan KKLD Abun mencakup kawasan pesisir Jamursba Medi tanpa Wermon. Luasan ini dirasakan kurang mampu melindungi penyu belimbing mengingat Wermon merupakan pantai dengan jumlah populasi yang besar. Berdasarkan hal tersebut, maka adanya pengusulan baru yang meliputi pesisir Jamursba Medi sampai Wermon dengan luasan 169.515,783 ha. Dari uraian ini, nilai proporsi perlindungan habitat sebesar terlihat di Jamursba Medi rendah sekitar 7,25 dibandingkan perlindungan habitat di Wermon yaitu 14,19. Nilai proporsi ini menjelaskan bahwa perlindungan habitat di Wermon harus menjadi prioritas dalam kaitannya perlindungan habitat dalam waktu mendatang mengingat keterancaman populasi penyu belimbing lebih tinggi dibandingkan populasi di pantai Jamursba Medi. Variabel pengetahuan masyarakat PM menjadi variabel penting sebagai dasar keberlanjutan konservasi penyu belimbing di KKLD Abun. Pengetahuan masyarakat menunjukkan persepsi yang bervariasi. Nilai proporsi pantai Wermon mencapai 5,16 dibandingkan Jamursba Medi yang tidak bernilai 0. Nilai ini menjelaskan bahwa pengetahuan masyarakat di kampung yang berdampingan dengan Wermon masih terbilang rendah. Hal ini disebabkan tingkatan pendidikan yang rendah dan sosialisasi pemerintah maupun pihak konservasi yang cenderung belum optimal. Variabel potensi konflik PK dan peranan pemerintah PP memberikan kontribusi terkecil dalam indeks kapasitas adaptif. Potensi konflik memberikan kontribusi nilai proporsi sebesar 5,16 untuk pengelolaan di Wermon. Konflik yang teridentifikasi adalah konflik antara masyarakat, masyarakat dengan pemerintah. Adanya konflik ini menjadi kendala bagi kegiatan konservasi di pantai tersebut.