Ancaman Kepunahan Populasi Penilaian Non Detrimental Finding Penyu Belimbing

Tabel 21. Kriteria keterancaman terhadap penyu belimbing Konvensi Status Uraian IUCN Keterancaman ekologi Critical Endangred Spesies yang berpeluang tinggi untuk punah dalam waktu dekat CITES keterancaman perdagangan Apendix I jenis yang terancam punah, peredaran komersil dilarang. CMS atau Bonn Convention Keterancaman berdasarkan sifat migrasi Apendix I dan II Jenis terancam punah I Jenis belum terancam punah namun status konservasinya kurang baik sehingga membutuhkan perjanjian internasional bagi konservasi dan pengelolaannya, serta jenis lain dengan status konservasinya dapat terbantu secara signifikan apabila dilakukan kerjasama internasional melalui suatu perjanjian II Wilson 1980 menyatakan bahwa peningkatan kepunahan spesies pada abad ini telah diketahui dan sebagian besar penyebabnya karena aktivitas manusia, kerusakan habitat dan pengenalan spesies baru kedalam suatu kawasan. Ancaman kepunahan penyu belimbing sama seperti yang dialami spesies penyu laut lainnya dimana manusia adalah ancaman utama yang memberi tekanan sepanjang hidup penyu dari telur hingga penyu dewasa. Ancaman lain terhadap kehidupan populasi penyu adalah perubahan lingkungan dan iklim yang berlangsung secara global dan berdampak pada penurunan habitat dan ekosistem. Ancaman terhadap penurunan populasi penyu belimbing baik populasi dewasa maupun juvenil di Jamursba Medi dan Wermon disebabkan oleh beberapa faktor seperti perubahan suhu pasir, penurunan habitat persarangan, predasi telur, perburuan individu dewasa, pengambilan telur dan perikanan komersil Hitipeuw et al . 2007. Faktor predasi terhadap telur oleh predator seperti babi hutan, anjing, biawak dan kepiting menjadi penyebab gagalnya sukses penetasan pada sarang- sarang alami selain faktor suhu pasir yang ekstrim dan pengambilan telur oleh masyarakat. Stark 1993 menyatakan predasi sarang penyu belimbing di pantai Jamursba Medi yang dilakukan anjing sebanyak 181 sarang dari 1300 sarang atau sekitar 14 pada bulan Juli sampai september 1993. Selanjutnya Tapilatu et al. 2007 menyatakan laju predasi sarang mencapai 29.3 dalam periode waktu satu bulan juni-juli dengan jumlah sarang terpredasi sebanyak 29 sarang di pantai Wembrak Jamursba Medi. Observasi lain menunjukkan adanya aktivitas predasi yang ekstensif oleh babi hutan dan anjing dari bulan september sampai oktober di pantai Warmamedi. Abrasi pantai peneluran teridentifikasi menjadi salah satu ancaman penurunan habitat persarangan di pantai peneluran. Pantai Jamursba Medi dan Wermon mengalami abrasi dan akresi musiman setiap musim monsun barat laut. Monsun barat laut ditandai dengan gelombang tinggi menyebabkan sarang-sarang dirusak ombak sampai terlihat telur di pantai. Kondisi ini biasanya ditemukan pada bulan Agustus sampai Oktober Tapilatu et al. 2007. Pola pantai akan berbeda ketika musim teduh. Kondisi ini terlihat sekitar bulan April dimana terjadi penambahan pasir dari laut yang ditandai dengan peningkatan induk yang bertelur dipantai. Indikator lain penyebab terjadi abrasi dan akresi pada pantai peneluran adalah aktivitas penebangan dan pembuatan jalan penghubung antar kota dan kampung. Aktivitas penebangan untuk tujuan pembangunan basecamp menyebabkan adanya pembukaan lahan di hulu sungai dan berdampak adanya banjir dan erosi. Aliran runoff menyebabkan banyaknya kayu terdampar di pantai peneluran dan menghalagi induk penyu yang akan melakukan peneluran. Putrawijaya 2000 in Hitipeuw et al. 2007 menyatakan bahwa aktivitas penebangan kayu dan transportasi pengangkutan di sungai menyebabkan erosi pada habitat peneluran di Jamursba Medi yang hanya berjarak 5 km dari lokasi penebangan. Aktivitas pembukaan lahan sebagai penghubung jalan antar kampung menyebabkan adanya fragmentasi habitat dan penurunan ekosistem daratan yang juga mempengaruhi ekosistem pantai dan laut. Ancaman lainnya adalah pengambilan telur penyu oleh masyarakat. Pengambilan telur secara luas dilakukan oleh masyarakat yang bermukim pada daerah yang berdekatan dengan pantai peneluran Kinch et al. 2009. Pengambilan telur termasuk salah satu ancaman penurunan populasi juvenil penyu tukik. Kebiasaan ini dilakukan dalam kurun waktu yang lama sebelum penyu dilindungi sehingga menurun sampai saat ini dan berdampak kepada penurunan jumlah individu baru penyu recruitmen. Perburuan individu dewasa oleh masyarakat terklasifikasi sebagai pemanfaatan langsung sumberdaya penyu yang beresiko signifikan mempengaruhi populasi. Aktivitas ini terjadi hampir disemua negara Thorbjarnarson et al. 2000 in Champbell 1996 seperti Amerika Serikat meliputi Florida, Georgia, Lousiana, Mississippi, North California, Texas dan Virginia, Pesisir Atlantik, Ecuador, Peru, Madagaskar, Seychelles, Indis, Srilanka, Jepang, dan Indonesia. Perburuan di Indonesia dalam skala besar terjadi di kepulauan Kei Maluku Suarez dan Starbird 1996 karena keterkaitan adat istiadat terhadap perburuan menyebabkan tidak adanya larangan. Lawalata et al 2006 menyatakan bahwa tingkat perburuan masyarakat Kei terbilang tinggi mencapai 78 dengan jumlah penyu belimbing yang tertangkap berkisar antara 1-10 ekor dalam periode Juni-Oktober 2006. Lebih lanjut, terlihat adanya peningkatan jumlah tangkapan Penyu Belimbing periode tahun 2007-2009 yaitu sekitar 82 ekor pada musim 20062007, jumlah tangkapan menurun menjadi 16 ekor pada musim 20072008, dan pada musim 20082009 sekitar 48 ekor yang tertangkap oleh masyarakat Kei WWF 2008. Kondisi ini menunjukkan bahwa ancaman perburuan sangat signifikan mempengaruhi penurunan populasi Penyu Belimbing dewasa. Ancaman lain terhadap penurunan populasi penyu belimbing yaitu tangkapan sampingan dari aktivitas perikanan yang terklasifikasi sebagai pemanfaatan tidak langsung. Perikanan komersil dalam skala besar seperti tuna dan udang telah menjadi ancaman terbesar bagi penyu karena tingginya tangkapan sampingan. Fakta ini menunjukkan bahwa kegiatan penangkapan tuna dan udang berpotensi menyebabkan penurunan populasi penyu belimbing terutama pada fase bermigrasi baik di peraiaran samudra maupun di perairan Indonesia. Meskipun sejauh ini, belum ada data dan informasi yang akurat tentang tertangkapnya penyu akibat perikanan di Indonesia, akan tetapi data tentang tertangkapnya penyu sebagai tangkap sampingan dari kegiatan rawai tuna telah dilaporkan dibeberapa perairan di kawasan lain seperti di laut Mediterania sekitar 20.000 ekor penyu tertangkap tuna rawai tuna setiap tahunnya, di Vietnam sekitar 4.000 ekor penyu per tahun dan di Australia sekitar 400 ekor penyu per tahun Zainudin et al. 2006

5.2.7 Perdagangan dan Pemanfaatan

ProFauna 2005 in Wibowo 2007 melaporkan bahwa eksploitasi penyu belimbing di Indonesia masih berlangsung hingga kini. Dalam laporannya ProFauna menyatakan bahwa perdagangan penyu dan bagian bagian tubuhnya dijumpai di Pulau Jawa. Selama bulan Januari sampai April 2005, ProFauna mencatat tentang jenis, jumlah, harga dan asal penyu yang diperdagangkan dienam lokasi pantai Selatan P. Jawa, antara lain: Pantai Teluk Penyu Cilacap Jawa Tengah, Pantai Puger Banyuwangi Jawa Timur, Pantai Pangandaran Jawa Barat, Pantai Pelabuhan Ratu Jawa Barat, Pantai Pangumbahan Sukabumi Jawa Barat, dan Pantai Samas Yogyakarta. Konsumsi terhadap penyu belimbing terjadi di Kepulauan Kei Maluku terjadi dalam skala besar yang ditandai tingginya jumlah tangkapan individu dewasa permusim WWF 2007. Tujuan perburuan masyarakat Kei bervariasi mulai dari konsumsi keluarga sampai perayaan hari besar keagamaan dan adat. Lawalata et al. 2004 mengestimasi bahwa dalam 1 tahun musim 20032004 masyarakat menangkap sebanyak 29 ekor penyu belimbing dengan jumlah jantan 9 ekor dan 20 ekor betina untuk dikonsumsi oleh masyarakat dari 7 kampung di Kepulauan Kei seperti ditampilkan pada Gambar 21. Ekploitasi oleh masyarakat terhadap induk dan daging di perairan Kei disebabkan kondisi ekonomi keluarga, keterbatasan pengetahuan masyarakat, rendahnya Gambar 23. Estimasi penangkapan penyu belimbing di perairan Kepulaun Kei Maluku Tenggara Lawalata et al. 2004 Somlain Ohoiderto m Madwaar Ohoidetut u UR Warnal Ohoira D.coriacea 4 6 4 12 1 1 1 2 4 6 8 10 12 14 Ju m la h P e n y u B e li m b in g e k or ta h u n kontrol dan pengawasan yang diberikan oleh pemerintah dan lembaga konsevasi pada daerah tersebut. Alasan lainnya adalah adanya kepercayaan dari tetua adat bahwa Penyu Belimbing adalah  Hewan suci dari leluhur masyarakat Kei  Pengikat kekeluargaan masyarakat Kei  Karapas menggambarkan tujuh bagian menunjukan tujuh suku inti masyarakat Kei  Distribusi Penyu Belimbing diperairan Kei menjadi hak untuk pemanfaatan secara tradisional Eksplotasi terhadap telur dan daging juga terjadi di perairan utara Papua mulai dari pesisir Sausapor sampai Manokwari dengan frekuensi yang relatif kecil jika dibandingkan dengan masyarakat Kei. Ini disebabkan daging penyu belimbing memiliki rasa yang tidak lezat, dibandingkan dengan Penyu Hijau. Ukuran body yang relatif besar menjadi kendala dalam menangkap, tetapi tidak menutup kemungkinan penyu belimbing tetap ditangkap apabila tidak ada hasil laut lainnya untuk dikonsumsi. Daging penyu belimbing tidak hanya dikonsumsi tetapi juga diperjualbelikan untuk peningkatan pendapatan ekonomi keluarga. Survei dipasar tradisional Manokwari ditemukan daging penyu belimbing dijual dengan harga bervariasi mulai dari Rp. 25.000,- sampai Rp. 40.000,- per tumpukan daging atau sekitar 1 kg. Selain daging, telur juga bernilai ekonomis dan banyak dibeli untuk dikonsumsi. Di pasar Sausapor telur penyu belimbing diperjualbelikan dengan harga Rp. 10.000,- per 10 butir.

5.2.8 Pengawasan dan Regulasi

Program konservasi penyu di Indonesia mengacu pada dua pendekatan yaitu konservasi spesies dan konservasi habitat. Konservasi spesies bertujuan menghindari kepunahan ekologi. Pendekatan spesies mengarah pada perlindungan semua jenis penyu, melarang pemanfaatan yang tidak berkelanjutan dan bersifat komersil, meningkatkan pengelolaan populasi baik secara insitu melalui recovery seperti penangkaran dan relokasi. Indonesia menetapkan penyu belimbing menjadi salah satu satwa yang dilindungi baik secara nasional maupun global. UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya telah mengatur pengelolaan dan perlindungan terhadap jenis satwa dan sanksinya.