Potensi Konflik Pengelolaan Sumberdaya Penyu Belimbing

tidak adanya perhatian dari pengelola seperti yang diberikan kepada masyarakat pemilik hak ulayat. Kondisi ini menimbulkan kecemburuan dan berakibat pada tindakan merugikan dan memberi dampak terhadap pengelolaan Penyu Belimbing. Tindakan negatif yang diperlihatkan adalah adanya pengambilan telur penyu, melakukan tangkapan terhadap penyu dan beberapa kegiatan lain yang memberikan dampak terhadap penurunan degradasi habitat peneluran. Potensi konflik ini kemudian disederhanakan dalam matriks konflik untuk melihat peluang konflik yang terjadi dalam pengelolaan Penyu Belimbing KKLD Abun. WWF Unipa BBKSD A YPI PEMDA Msy Biasa Msy Hak ulayat WWF Unipa BBKSDA YPI PEMDA Msy Biasa Msy hak ulayat Keterangan : Arsiran abu : potensi konflik eksternal, Arsiran biru: potensi konflik internal antara Universitas Negeri Papua, BBKSDA Papua Barat, Pemerintah Kabupaten Tambrauw, WWF Indonesia Region Sorong, Yayasan Penyu Indonesia, Masyarakat pemilik hak ulayat, dan Masyarakat biasa. Gambar 51. Pemetaan potensi konflik pengelolaan SD penyu belimbing di Jamursba Medi dan Wermon Universitas Negeri Papua BBKSDA Papua Barat Yayasan Penyu Indonesia Pemerintah Daerah Kabupaten Tambrauw Masyarakat Biasa Masyarakat Pemilik Hak Ulayat WWF Indonesia Sahul Sorong Pengelolaan Penyu Belimbing di KKLD Abun x = x x x x = = = = = = x x Potensi konflik eksternal antara pemerintah daerah dengan BBKSDA Papua Barat, WWF Indonesia berhubungan dengan kepentingan sektoral dalam pengelolaan. Konflik kepentingan sektoral antara lembaga lembaga tersebut disebabkan ketidakadaan komunikasi dan pembagian peran sehingga adanya tumpang tindih program yang mengindikasikan ketidakefisien program dan hasil yang diharapkan. Solusi yang dibutuhkan untuk meminimalkan konflik ekternal ini adalah pengelolaan secara adaptif dengan pendekatan kolaborasi antara semua stakehoders yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya penyu belimbing. Secara horizontal, masyarakat juga berkonflik dengan WWF, BBKSDA, Yayasan Penyu Indonesia dan terkait dengan transparansi hasil kegiatan konservasi dan dianggap informasi ini menjadi konsumsi lembaga tersebut tanpa sosialisasi kepada masyarakat. Konflik lainnya yang juga tergambar dari Gambar 51 adalah konflik antara pemeritah daerah dengan masyarakat. Konflik tersebut merujuk pada kurangnya perhatian pemerintah terhadap pengembangan ekonomi masyarakat yang mendiami pesisir KKLD Abun. Rendahnya pendapatan ekonomi masyarakat memicu tingginya pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya Penyu Belimbing. Kondisi ini memicu adanya peningkatan ekploitasi sumberdaya penyu untuk meningkatkan kebutuhan dan pendapatan ekonomi masyarakat.

5.4.3.6 Peran Pemerintah Daerah Kabupaten Tambrauw

Pemerintah merupakan organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang undang di wilayah tertentu. Pemerintah daerah adalah organisasi yang memiliki kekuasaan dan bertanggung jawab terhadap keberlanjutan pemeritahan di daerah tersebut. Pemerintah daerah berperan dalam semua kepentingan dan proses pembangunan baik secara ekonomi, ekologi dan sosial kelembagaan. Peranan yang diberikan pemerintah terkait dengan sarana dan prasarana, bimbingan teknis dan non teknis, serta program lainnya yang memberikan manfaat bagi semua lapisan masyarakat. Peran pemeritah dari pengelolaan penyu belimbing dan keberlanjutan kawasan konservasi perairan dinilai belum maksimal disebabkan pemerintah Tambrauw merupakan kabupaten definitif tahun 2009 sehingga masih dalam proses pembenahan. Tetapi dalam waktu mendatang pemerintah Tambrauw memiliki peran krusial dalam pengelolaan sumberdaya Penyu Belimbing dan keberlanjutan kawasan konservasi perairan Abun mengingat penyu belimbing sebagai ikon Kabupaten Tambrauw, dan juga pesisir Tambrauw yang memiliki potensi keanekaragaman yang tinggi. Mengacu pada kondisi tersebut maka upaya terarah pada optimalisasi peran stakeholder yang berpartisipasi dalam pengelolaan tersebut. Model pendekatan yang perlu dipertimbangan dalam pengelolaan penyu belimbing adalah pendekatan adaptif dan pendekatan co-managemet. Pendekatan adaptif menekankan kepada pengelolaan yang disusun berdasarkan proses pembelajaran sistematis dari pengalaman sukses dan gagal sehingga merujuk pada kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan. Pendekataan co-management mengarah pada pembagian kewenangan dan tanggung jawab antara pemerintah dan masyarakat sebagai pengguna sumberdaya dalam pengelolaan konservasi penyu belimbing Pikerton 1989 in Adrianto dan Kusumastanto 2004. Manfaat yang diperoleh dari pendekatan ini adalah pendekatan pembangunan yang lebih berbasis pada masyarakat, meminimalkan konflik horizontal antara pemerintah dan masyarakat, adanya desentralisasi pengelolaan sumberdaya, dan keikutsertaan dalam pengambilan keputusan. Sementara manfaat bagi pemerintah adalah berkurangnya wewenang yang berdampak pada meningkatnya efektivitas kewenangan dalam pengelolaan tersebut Adrianto dan Kusumastanto 2004.

5.4.4 Penilaian Kerentanan

Jumlah parameter pada kajian kerentanan populasi pada pantai Jamursba Medi dan Wermon terdiri dari 17 variabel dimana 6 variabel merupakan dimensi keterpaparan, 6 variabel termasuk dalam dimensi kepekaan dan 5 variabel termasuk dalam dimensi kapasitas adaptif seperti pada Tabel 36.