Responden Konsumen Telur Keadaan Sosial Antropogenik .1 Analisis Responden

Masyarakat pesisir KKLD Abun menjadikan telur sebagai alah satu makanan alternatif pengganti ikan dan daging. Kebiasaan konsumsi telur telah dilakukan sejak lama dan sudah menjadi kebiasaan secara turun temurun. Laju konsumsi telur oleh masyarakat terklasifikasi berdasarkan tingkat pendidikan dan usia responden. Berdasarkan tingkat pendidikan diketahui 22 responden berpendidikan SD, SMP 9 responden, 12 responden berpendidikan SMA dan 10 responden setingkat perguruan tinggi. Berdasarkan usia terlihat bawa 25 responden berusia 20 - 35 tahun, 13 responden berusia 36 - 50 tahun, 7 responden berusia 51-65 tahun dan 1 responden berusia 65 tahun. Survei pada Gambar 27 menyatakan laju konsumsi telur berdasarkan tingkat pendidikan yaitu tingkatan SD mendominasi sebanyak 8 responden untuk frekuensi 110 - 200 butir, 6 responden untuk frekuensi 1 - 20 butir dan 2 responden untuk frekuensi 25 - 50 butir. Kelompok responden setingkat SMA sebanyak 5 responden untuk frekuensi 55 - 100 telur, 4 responden mengkonsumsi 1 - 20 butir dan 3 responden mengkonsumsi 25 - 100 butir. Kelompok responden setingkat SMP sebanyak 4 responden untuk konsumsi 1 - 20 telur, 3 responden untuk konsumsi 50 - 100 butir dan 1 responden masing-masing untuk 25 -50 butir dan 110 - 200 butir. Selanjutnya kelompok usia didominasi oleh usia muda 20 - 35 tahun pada frekuensi 50 - 100 butir sebanyak 9 responden, frekuensi 1 - 20 butir sebanyak 7 responden, frekuensi 110 - 200 butir sebanyak 6 responden dan frekuensi 25 - 50 butir sebanyak 3 responden. Pada usia 36 - 50 tahun dengan frekuensi 51 - 100 butir sebanyak 6 responden, frekuensi 110 - 200 sebanyak 4 responden, frekuensi 1 - 20 sebanyak 3 responden. Usia 51 - 65 tahun pada frekuensi 25 - 50 butir sebanyak 5 responden dan usia 65 tahun pada frekuensi 55 - 100 sebanyak 1 responden. Secara rinci laju konsumsi telur berdasarkan tingkat pendidikan dan usia terdeskripsikan pada Gambar 27. Gambar 27 menunjukkan trend atau kecenderungan yang sama terhadap kelompok pendidikan maupun kelompok usia. Trend pada kelompok pendidikan menunjukkan setiap tingkatan pendidikan memiliki peluang dan dominasi yang sama dalam mengkonsumsi telur pada frekuensi 11 - 20 butir sampai frekuensi 4110 - 200 butir. Rendahnya hubungan antara tingkat pendidikan dan usia terhadap perilaku konsumsi telur disebabkan karena konsumsi telur merupakan salah satu kebiasaan untuk memenuhi kebutuhan protein tubuh tetapi juga telur merupakan salah satu makanan alternatif pengganti daging dan ikan sebagaimana dijelaskan pada variabel sebelumnya. Selain itu pola masyarakat pesisir Papua yang bersifat subsitem yang memiliki nilai memanfaatkan semua sumberdaya yang disediakan alam, karena tidak memiliki kemampuan memproduski makanan. Tidak adanya kemampuan memproduksi makanan menyebabkan laju pemanfaatan akan semakin tinggi seiring dengan peningkatan kebutuhan sehingga berdampak pada penurunan sumberdaya. Hasil analisis simultan uji F adalah sebesar 0.14 menjelaskan bahwa variabel pendidikan dan usia konsumsi telur oleh masyarakat pesisir Tambrauw tidak mempengaruhi perilaku konsumsi telur dengan signifikansi atau selang kepercayaan 0.869. Model pendidikan dan usia hanya mempengaruhi perilaku konsumsi dengan variasi sebesar 0.6. Berdasarkan uji T terlihat bahwa model pendidikan dan usia tidak mempengaruhi perilaku konsumsi telur. Model pendidikan dengan selang kepercayaan 0.668 menunjukkan bahwa perilaku konsumsi telur oleh masyarakat tidak dipengaruhi oleh model pendidikan. Variabel usia pada selang kepercayaan 0.727 juga menjelaskan bahwa perilaku konsumsi tidak dipengaruhi oleh usia. Kedua variabel ini menegaskan bahwa Gambar 27. Laju konsumsi telur berdasarkan tingkat pendidikan. Kelompok pendidikan 1SD, 2SMP, 3SMA, 4PT. Kelompok usia 120-35, 236-50,351-65, 465. Frekuensi 10-20butir, 225-50butir, 355- 100butir, 4110-200butir. setinggi tingkatan pendidikan ataupun usia, perilaku konsumsi telur tetap dilakukan karena aktivitas ini sudah merupakan kebiasaan masyarakat setempat. Lampiran 8 pada plot uji normalitas menjelaskan tentang respon dari konsumsi telur yang menunjukkan adanya kenormalan data terlihat pada score -50 pada sumbu X dan 50 pada sumbu Y untuk membetuk garis linear sehingga perlu dilakukan normalitas data karena beberapa data tidak terbentuk linear. Lampiran 8 pada plot residual dengan pendugaan Y menggambarkan adanya hubungan konsumsi telur terhadap pendidikan dan usia dimana terbentuknya pola acak yang terdistribusi diatas maupun dibawah angka 0 sumbu Y. Hal ini mengindikasikan bahwa model ini tepat atau dapat digunakan untuk mengestimasi hubungan perilaku konsumsi telur berdasarkan masukan dari pendidikan maupun usia.

5.3.4 Responden Penangkap

Responden penangkap penyu belimbing merupakan masyarakat yang mendiami pesisir utara Papua. Seluruh responden yang melakukan aktivitas penangkapan adalah lelaki dewasa sebanyak 38 responden. Hasil menunjukkan bahwa persentase pengambilan terbanyak sebesar 57.89 pada frekuensi 1 - 2 ekorKKkampungmusim, diikuti 31.58 pada frekuensi 3 - 4 ekor, sebesar 7.89 pada frekuensi 7 - 8 ekor. Secara jelas persentase penangkapan ditampilkan pada Tabel 25. Tabel 25. Jumlah responden penangkap Penyu Belimbing berdasakan jumlah individu per satu periode musim. No Jumlah penyu musim Jumlah responden Persentase 1 1-2 22 57.89 2 3.4 12 31.58 3 5-6 3 7.89 4 7-8 1 2.63 Jumlah 38 100.00 Sumber : Data Primer 2012 Responden penangkap penyu belimbing terklasifikasi berdasarkan tingkat pendidikan dan usia. Berdasarkan tingkat pendidikan diketahui 19 responden setingkat SD, 8 responden adalah SMP, 10 responden adalah SMA dan 1 responden setingkat PT. Berdasarkan usia diketahui usia 20 - 35 tahun sebanyak 22 responden, usia 36 - 50 tahun sebanyak 14 responden, usia 51 - 65 tahun sebanyak 5 responden dan 5 responden berusia 65 tahun. Gambar 28 menunjukkan bahwa kegiatan pemanfaatan penyu belimbing tertinggi dilakukan oleh responden berpendidikan SD untuk frekuensi tangkapan 1 - 2 ekor sebanyak 10 responden, 5 responden untuk frekuensi tangkapan 3 - 4 ekor, 3 responden untuk frekuensi tangkapan 5 - 6 ekor dan 1 responden untuk frekuensi tangkapan 7ekor. Responden yang berpendidikan SMP untuk frekuensi tangkapan 1 - 2 ekor dan 3 - 4 ekor sebanyak 4 responden, selanjutnya responden yang setingkat SMA untuk frekuensi tangkapan 1 - 2 ekor sebanyak 7 responden, 3 responden untuk frekuensi tangkapa 3 - 4 ekor. Untuk tingkat PT terlihat hanya 1 responden pada frekuensi tangkapan 1 - 2 ekor. Kelompok usia terlihat bahwa usia muda mendominasi dalam aktivitas tangkapan pada semua frekuensi tangkapan. Hasil menunjukkan bahwa usia 20-35 pada frekuensi tangkapan 1 - 3 ekor sebanyak 15 responden, frekuensi tangkapan 4 - 6 ekor sebanyak 6 responden, frekuensi tangkapan 7-8 ekor sebanyak 1 responden. Pada usia 36 - 50 tahun pada frekuensi tangkapan 1 - 3 ekor sebanyak 10 responden, frekuensi tangkapan 4 - 6 ekor sebanyak 3 responden, dan frekuensi tangkapan 7 - 8 ekor sebanyak 1 responden. Pada usia yang lebih tua yaitu 51 - 65 tahun terlihat mengalami penurunan dimana pada frekuensi 1 - 3 ekor hanya 4 responden, 1 responden pada frekuensi tangkapan 4 - 6 ekor. Hal sama juga ditunjukkan pada usia 65 tahun pada frekuensi tangkapan 1 - 3 ekor sebanyak 3 responden, dan frekuensi tangkapan 7 - 8 ekor sebanyak 2 responden. Gambar 28. Laju tangkapan penyu belimbing berdasarkan tingkat pendidikan dan usia. Kelompok pendidikan 1SD, 2SMP, 3SMA, 4PT. Kelompok usia 120-35, 236-50,351-65, 465. Frekuensi 11-2 ekor, 23-4 ekor,35-6 sarang,47-8 ekor y = -0.1987x + 1.9463 R² = 0.0741 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 1 2 3 4 5 F r e k ue ns i T a ng k a pa n e k or Kelompok Pendidikan KP Linear KP