Indeks Kapasitas Adaptif Penilaian Kerentanan

Variabel perlindungan habitat PH berkaitan dengan penetapan status kawasan konservasi. Tahun 2005 penetapan kawasan pesisir laut Jamursba Medi diusulkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun. Pengusulan luasan KKLD Abun mencakup kawasan pesisir Jamursba Medi tanpa Wermon. Luasan ini dirasakan kurang mampu melindungi penyu belimbing mengingat Wermon merupakan pantai dengan jumlah populasi yang besar. Berdasarkan hal tersebut, maka adanya pengusulan baru yang meliputi pesisir Jamursba Medi sampai Wermon dengan luasan 169.515,783 ha. Dari uraian ini, nilai proporsi perlindungan habitat sebesar terlihat di Jamursba Medi rendah sekitar 7,25 dibandingkan perlindungan habitat di Wermon yaitu 14,19. Nilai proporsi ini menjelaskan bahwa perlindungan habitat di Wermon harus menjadi prioritas dalam kaitannya perlindungan habitat dalam waktu mendatang mengingat keterancaman populasi penyu belimbing lebih tinggi dibandingkan populasi di pantai Jamursba Medi. Variabel pengetahuan masyarakat PM menjadi variabel penting sebagai dasar keberlanjutan konservasi penyu belimbing di KKLD Abun. Pengetahuan masyarakat menunjukkan persepsi yang bervariasi. Nilai proporsi pantai Wermon mencapai 5,16 dibandingkan Jamursba Medi yang tidak bernilai 0. Nilai ini menjelaskan bahwa pengetahuan masyarakat di kampung yang berdampingan dengan Wermon masih terbilang rendah. Hal ini disebabkan tingkatan pendidikan yang rendah dan sosialisasi pemerintah maupun pihak konservasi yang cenderung belum optimal. Variabel potensi konflik PK dan peranan pemerintah PP memberikan kontribusi terkecil dalam indeks kapasitas adaptif. Potensi konflik memberikan kontribusi nilai proporsi sebesar 5,16 untuk pengelolaan di Wermon. Konflik yang teridentifikasi adalah konflik antara masyarakat, masyarakat dengan pemerintah. Adanya konflik ini menjadi kendala bagi kegiatan konservasi di pantai tersebut. Variabel peranan pemeritah terhadap kegiatan konservasi dirasakan masih kurang karena nilai proporsi hanya 1, untuk pengelolaan Jamursba Medi. Pemeritah daerah belum melakukan tugas dan fungsi dengan program-program prioritas. Indikasinya adalah lambatnya respon pemeritah dan mengelola KKLD Abun yang telah ditetapkan selama 7 tahun ini. Lambatnya respon pemerintah daerah juga terlihat dari rendahnya frekuensi sosialisasi tentang konservasi dan perlindungan lingkungan. Secara keseluruhan komposit nilai indek penyusun kerentanan populasi di kedua pantai terlihat pada Gambar 56 dan 57. Nilai indeks kerentanan yang tersusun dalam kerentanan populasi penyu belimbing di Jamursba Medi dan Wermon menunjukkan perbedaan ditiap indeksnya. Keterpaparan populasi penyu belimbing terhadap perubahan lingkungan dan aktivitas manusia termasuk dalam kategori sedang medium vurnerable dengan nilai 0.48 dan 0.51 untuk populasi Jamursba Medi dan Wermon Gambar 56. Indeks kepekaan menunjukkan kerentanan populasi termasuk dalam level tinggi high vurnerable = 0.77 di pantai Wermon, sedangkan di Jamursba Medi berada pada level sedang medium vurnerable = 0.52 Gambar 56. Perbedaan nilai indeks kepekaan antara kedua pantai ini menunjukkan populasi Wermon sangat sensitivif terhadap ancaman faktor lingkungan maupun sosial antropogenik. Ancaman lingkungan berkaitan dengan degradasi habitat peneluran yang berdampak pada penurunan jumlah sarang Gambar 55. Proporsi nilai indeks kapasitas adaptif Adaptif capasity index dipantai dan jumlah tukik yang dihasilkan. Ancaman sosial antropogenik terhadap populasi penyu belimbing di Wermon berdasarkan pengambilan telur oleh masyarakat lokal, pemanfaatan atau perburuan langsung oleh masyarakat diluar pantai Wermon seperti di pesisir Utara Manokwari dan masyarakat diperairan Kei. Indeks kapasitas adaptif pada kedua pantai ini berada pada level kerentanan yang sama yaitu kerentanan sedang medium vurnerable meskipun Wermon memiliki nilai lebih tinggi 0.52 dibandingkan Jamursba Medi 0.43 Gambar 56. Adanya level yang sama dikedua pantai ini dikarenakan variabel lingkungan seperti sarang relokasi sudah dilakukan secara intesif di kedua pantai tersebut. Selain relokasi sarang, variabel kapasitas adaptif lainnya juga harus dioptimalkan dalam mendukung keberlanjutan pengelolaan populasi penyu belimbing. Gambar 57 menjelaskan tentang indeks komulatif kerentanan populasi dikedua pantai menunjukkan level yang berbeda. Pantai Jamursba Medi memiliki indeks kerentanan populasi pada level sedang medium vurnerable = 0.486 dan Wermon berada pada level tinggi high vurnerable = 0.616. Indikasi keterancaman populasi Wermon didasarkan penurunan populasi secara drastis Gambar 19 daan 20 mencapai 10 per tahun dan penurunan populasi Jamursba Medi mencapai 5.8 Gambar 57. Apabila dikomposit berdasarkan faktor Gambar 56. Fungsi indeks kerentanan populasi penyu belimbing di Jamursba Medi dan Wermon penyusun yaitu faktor lingkungan dan sosial antropogenik maka populasi Jamursba Medi berada pada level kerentan sedang medium level dengan nilai 0.525. Berdasarkan nilai ini maka dapat disimpulkan bahwa populasi di kedua pantai ini rentan terhadap ancaman faktor lingkungan dan sosial antropogenik serta faktor lain sehingga perlu dilindungi secara intensif dan menyeluruh. Hasil indeks kerentanan menunjukkan bahwa populasi Wermon termasuk dalam level kerentanan tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian estimasi populasi yang dilakukan oleh Hitipeuw et al. 2007, Dutton et al. 2007 dan Sarti et al. 1996 menunjukkan bahwa populasi Wermon terancam punah apabila jumlah sarang per musim terus mengalami penurunan. Penurunan populasi sarang di pantai peneluran secara drastis mengindikasikan berkurangnya individu dewasa yang naik bertelur di pantai. Penurunan populasi individu dewasa tidak hanya terjadi di Wermon tetapi pada populasi Pasifik Barat. Hasil penelitian genetik menyatakan bahwa populasi Jamursba Medi dan Wermon merupakan satu populasi Pasifik Barat. Adanya perbedaan pola migrasi secara temporal menyebabkan populasi penyu belimbing Pasifik Barat memiliki habitat peneluran yang berbeda. Adanya perbedaan peneluran secara spasial dan temporal dari populasi ini membentuk metapopulasi di wilayah Pasifik Barat. Gambar 57. Indeks kerentanan populasi penyu belimbing di Jamursba Medi dan Wermon Populasi di Jamursba Medi dan Wermon memiliki perbedaan waktu peneluran. Jamursba Medi memiliki musim peneluran yang dikenal dengan musim summer boreal bertepatan dengan musim panas di belahan bumi utara dimana populasi Penyu Belimbing terdistribusi dengan satu musim puncak unimodal pada bulan April-September Gambar 59. Wermon memiliki musim peneluran austral summer bertepatan musim panas di Australian dan musim dingin di belahan bumi utara. Populasi Wermon terdistribusi kedalam dua puncak musim yang dikenal dengan Bimodal dengan musim puncak pada Desember- Februari dan Juni-Juli dengan jumlah sarang yang tidak signifikan Gambar 59. Gambar 58. Trend penurunan jumlah sarang penyu belimbing di Pantai Jamursba Medi dan Wermon Tapilatu et al. in prep Gambar 59. Distribusi musim peneluran di Jamurba Medi Unimodal atau plot berwarna biru dan Wermon Bimodal atau plot berwarna merah Tapilatu et al. in prep Gambar 59 menjelaskan tentang musim puncak dari populasi Jamursba Medi dan Wermon. Jamursba Medi memiliki satu musim puncak tetapi signifikan dan cenderung tinggi. Wermon memiliki dua musim puncak tetapi jumlah sarang tidak signifikan seperti Jamusrba Medi. Kondisi ini diperkuat dengan jumlah individu betina yang melakukan peneluran pada musim Jamursba Medi lebih banyak dibanding musim Wermon Tapilatu et al. in prep. Terjadi trend penurunan populasi pada dua musim peneluran tetapi musim austral summer lebih rendah dibandingkan musim boreal summer yaitu 10.5 dan 6.4 selama 2005 - 2011 Tapilatu et al.in prep Gambar 60. Penjelasan ini memperkuat indeks kerentanan dimana populasi Wermon sangat rentan apabila mengacu pada jumlah sarang, jumlah individu betina dan musim peneluran. Gambar 60. Jumlah penyu belimbing yang bertelur pada musim boreal summer dan austral summer di pantai Jamursba Medi dan Wermon Tapilatu et al. in prep.

5.5 Analisis Skenario KKLD Abun dengan Analisis

Tradeoff TOA Groves 2003 menyatakan untuk menyelamatkan spesies menuju kepunahan digunakan pendekatan konservasi keanekaragaman hayati. Spesies yang dimaksud menjadi target species target, sedangkan komunitas biotik dimana spesies itu berada dijadikan target konservasi conservation target. Jika pemikiran tersebut diterapkan pada kasus kawasan konservasi laut daerah Abun maka dengan melindungi Penyu Belimbing diperlukan kawasan konservasi cukup luas dengan keanekaragaman hayati dan beberapa tipe ekosistem didalamnya. Penyu berperan sebagai spesies payung umbrella species bagi upaya konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem di pesisir utara Kepala Burung Papua dengan desain skenario yang mengakomodir semua kepentingan. Analisis tradeoff menjadi pilihan dalam menganalisis skenario keberlanjutan KKLD Abun dengan pendekatan sistem skor dan pembobotan. Ada empat tahapan dalam tradeoff yaitu identifikasi stakeholder, analisis multikriteria, analisis skenario dan identifikas rentang bobot serta pemilihan skenario terbaik.

5.5.1 Identifikasi Stakeholder

Analisis stakeholder adalah sistem untuk mengumpulkan informasi mengenai kelompok atau individu yang mempengaruhi keputusan, mengkategorikan informasi dan menjelaskan konflik yang mungkin ada di antara kelompok penting, dan di daerah mana kemungkinan adanya trade-off. Untuk menjalankan analisis stakeholder, maka diperlukan langkah langkah. Pertama, mengidentifikasi stakeholder, metode untuk mengidentifikasi stakeholder adalah dengan menggunakan sebuah kontinum stakeholder dari makro ketingkat mikro. Identifikasi stakeholder dilokasi penelitian diketahui 10 stakeholder yang berperan dan relatif berpengaruh terhadap pengelolaan populasi Penyu Belimbing di KKLD Abun. Pengaruh dan peran dari tiap stakeholder dalam pengelolaan terklasifikasi berdasarkan skala oleh Marimin 2004 dan Saaty 1991. Untuk mengetahui pengaruh stakeholder terhadap populasi Penyu Belimbing dikelompokan kedalam 4 bagian yaitu 1: tidak berpengaruh, 2: sedikit berpengaruh, 3: berpengaruh dan 4: sangat berpengaruh Marimin 2004. Selanjutnya untuk mengetahui kepentingan dari stakeholder juga dikelompokkan dalam empat skala yaitu 1: kurang berkepentingan, 2: sedikit berkepentingan, 3: berkepentingan dan 4: sangat berkepentingan. Hasil analisis stakehoder yang dipilih adalah stakehoder diatas garis linear. Pemilihan stakehoder ini mengacu pada Kusdiantoro et al. 2006 yang menyatakan bahwa pemilihan stakeholder berdasarkan kelompok yang berada diatas garis linear secara diagonal karena memiliki nilai pengaruh dan peran yang besar terhadap pengelolaan populasi penyu belimbing. Stakeholder yang terpilih Gambar 59 adalah X4 Badan Lingkungan Hidup, X5 Dinas Perikanan Kelautan, X6 BKSAD II Papua, X7 masyarakat lokal, X8 WWF Indonesia, X9 Universitas Negeri Papua, X10 Yayasan Penyu Indonesia. Stakehoder yang berada diatas garis linear menentukan indikator keberlanjutan skenario, dimensi pengelolaan dan diharapkan menentukan kebijakan yang diambil terkait pengelolaan KKLD Abun. Gambar 61 : Kepentingan dan pengaruh stakeholder terhadap pengelolaan populasi penyu belimbing dan KKLD Abun X1 : Nelayan X2 : Peneliti X3 : Distrik Abun X4 : Badan Lingkungan Hidup X5 : Dinas Perikanan Kelautan X6 : BBKSDA X7 : Masyarakat lokal X8 : WWF Indonesia X9 : Universitas Negeri Papua X10 : Yayasan Penyu Indonesia