Kuesioner kepada pemerintahan daerah Kabupaten Tambrauw

 Seberapa besar peran masyarakat dalam keikutsertaan tersebut.  Apakah ada keluhan dari masyarakat terkait dengan implementasi program konservasi yang dilakukan.  Apa pendapat bapak tentang pengusulan KKLD Abun di Kabupaten Tambraw sebagai upaya dalam perlindungan penyu?  Apakah pemerintah kabupaten mendukung pengusulan KKLD Abun tersebut. Jika ya, sejauh mana dukungan pemerintah kabupaten dalam pengusulan KKLD Abun tersebut.  Bagaimana kolaborasi program antara pemerintah daerah, lembaga swasta dan lembaga akademisi dalam implementasi program konservasi.  Implementasi program konservasi seperti apa yang sudah berjalan selama ini, dan apakah masing-masing stakeholder melakukan tupoksinya.  Dalam menjalankan program konservasi penyu belimbing, apa tantangan yang dihadapi dalam implementasi program-program.  Hambatan utama dalam implementasi program konservasi di Tambraw.  Apa rekomendasi kedepan untuk mewujudkan tujuan otonomi khusus dalam penerapan konservasi yang berkelanjutan. Isu-isu lingkungan  Bagaimana tanggapan anda terkait dengan pembangunan Jalan Trans Papua Barat yang nantinya melewati Kawasan Suaka Margasatwa Jamursba Medi dan Warmon yang notabene sebagai habitat peneluran utama Penyu Belimbing?  Terkait dengan kabupaten konservasi, tetapi tingginya aktivitas manusia di pesisir tambraw seperti aktivitas HPH, tambang dan perikanan dalam skala besar, apa pendapat bapak?  Konservasi dan industri selalu bertolakbelakang dalam pelaksanaannya, pendapat bapak, prioritas apa yang harus didahulukan.  Seberapa besar peran pemerintah Tambrauw dalam menata prioritas pembangunan sehingga kondisi sumberdaya alam tetap terjaga terutama penyu, mengingat ICON kabupaten ini adalah Penyu Belimbing. Terima kasih atas partisipasi BapakIbuSaudaraSaudari responden Hormat saya, Ferawati Runtuboi Lampiran 3. Instrumen preferensi stakehoder dalam pengambilan keputusan untuk pengelolaan penyu belimbing di KKLD Abun PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 Kepada Yth. BapakIbuSaudaraSaudari Responden Untuk keperluan penyusunan tesis, maka saya : Nama : Ferawati Runtuboi – Perguruan Tinggi : Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor IPB Saat ini sedang menyusun tesis dengan topik : Analisis Kerentanan Populasi Penyu Belimbing D.coricea Vrandelli 1761 di Pantai Jamursba Medi dan Wermon sebagai Indikator Keberlanjutan KKLD ABUN Tambrauw Papua Barat. Pengantar Pengambilan Keputusan untuk pengelolaan Penyu Belimbing di KKLD Abun : Dalam ranah pengelolaan sumberdaya dan ekosistem tidak selalu mengacu pada pendekatan ekologi dan ekonomi tetapi sosial kelembagaan menjadi satu aspek yang perlu dipertimbangkan. Sosial kelembagaan merupakan suatu pendekatan yang mengedepankan tatanan kelembagaan dengan melihat kontribusi stakeholder yang berujung pada penetapan kebijakan. Kelembagaan berhubungan dengan peran dan pengaruh stakeholder dalam implementasi pengelolaan. Pengaruh dan peran stakeholder diperoleh dengan melihat preferensi dari tiap pemangku kepentingan yang merujuk pada satu keputusasn untuk keberlanjutan pengelolaan. Dalam penelitian ini, dibutuhkan skenario yang menjadi indikator keberlanjutan pengelolaan KKLD Abun sehingga perlu dilakukan preferesi dari tiap stakehoder yang memiliki peran dan pengaruh dalam pengelolaan Penyu Belimbing. Berdasarkan analisis stakeholders, maka yang terpilih dalam preferensi ini sebanyak tujuh stakeholders diantaranya BBKSD Papua Barat, WWF Indonesia Region Sahul Sorong, Yayasan Alam Lestari, Bidang Perikanan dan Kelautan Tambrauw, Badan Lingkungan Hidup Tambrauw, Universitas Negeri Papua, Masyarakat Lokal Abun. Stakehoder akan melakukan penilaian terhadap dua dimensi yang diyakini berpengaruh dalam pengelolaan Penyu Belimbing di Abun. Dua dimensi tersebut adalah dimensi lingkungan yang terdiri dari delapan 8 sub kriteria, dan dimensi sosial antropogenik yang terdiri dari empat 4 sub skenario. Penilaian preferensi dilakukan dengan memberikan nilai ranking terhadap masing- masing sub kriteria dari dimensi lingkungan dan dimensi sosial antropogenik. Nilai ranking yang ditetapkan terbagi berdasarkan Saaty 1991 yang terbagi dalam empat ranking. Nilai ranking diberikan kepada sub kriteria dengan pertimbangan apakah kriteria tersebut penting dalam pengelolaan Penyu Belimbing di KKLD Abun. Keterangan dari tiap ranking yaitu 1 : tidak penting, 2: agak peting, 3 : penting dan 4 : sangat penting. Demikian pengantar dan atas partisipasinya disampaikan terimakasih. Petunjuk : Berilah nilai ranking 1 – 4 pada sub kriteria yang dianggap penting dalam keberlanjutan pengelolaan Penyu Belimbing di KKLD Abun. Nama : Instansi : Project Leader WWF Region Sahul Sorong Tabel. Pengisian preferensi dimensi lingkungan dan social antropogenik dari tiap stakeholders No Dimensi Sub criteria Ranking 1 Lingkungan Variasi dan Suhu pasir Kenaikan muka laut Kemiringan pantai Kedalaman sarang Tekstur pasir Laju predasi Relokasi sarang Perlindungan habitat 2 Sosial antropogenik Pengambilan telur Konsumsi telur Tangkapan masyarakat Konsumsi daging Tangkapan sampingan Lampiran 4. Hasil kuesioner responden a. Responden pemanfaatan sumberdaya Penyu Belimbing di KKLD Abun No Nama Umur tahun Pendidikan Terakhir Pekerjaan Asal suku 1. Ruben Jokson 47 SMA TNI Abun 2. PI Bahrus 55 SMP PN Buton Sulteng 3. Pieter Mambrasar 30 SMK PN BiakAbun 4. Yakonias Wabia 32 D3 PNS Saukorem 5. Yance Bonepai 35 D3 PNS Saukorem 6. Agustinus Asrow 60 SD PN Abun 7. Thomas Korwa 41 SMA PN Biak 8. Edwin Mirino 29 D3 PNS Biak 9. Yakonias Duith 65 D3 Pensiunan Sorong 10. Yakonias Warsa 37 SMP Swasta Minahasa Sulut 11. Isak Werimon 50 SMA PN Serui 12. Christopher Werimon 35 SD PN Serui 13. Piter L Rumbarar 30 SMA PNS Biak 14. Jefry Loupaty 28 D3 PNS Ambon 15. Anto Sundoi 28 SMP PN Abun 17. Sem Yeblo 70 SD PN Abun 18. Marinus Yeblo 45 SD PN Abun 19. Yosep Sundoi 27 SD Swasta Abun 20. Silas Yeblo 25 SD Swasta Abun 21. Martinus Mambrasar 40 SMA PN Biak 22. Yakomina Yesnat 45 SD Petani Abun 23. La-Ode 35 SMA Pedagang Buton Sulteng 24. Lukas Padwa 56 SMA PT Biak 25. Melkias Yewen 30 SMA PN Kebar 26. Michael Mambrasar 30 SMA PN Biak 27. Robert 30 SMP PN Biak 28. Dominggus Yessa 38 SD PN Abun 29. Kahar 35 SMP Pedagang Makasar 30. S. Aronggear 47 SPG PNS Serui 31. Benyamitus Yessa 45 SD PN Abun 32. David Titit 35 SMA Swasta Abun 33. Ayub Yeblo 35 SD PN Abun 34. Piter Yeblo 30 SD Swasta Abun 35. Yohanis 36 SMP PN Abun 36. Bernadus 38 SMA PN Abun 37. Sugeng 39 SD Swasta Jawa 39. Yulius Mosyoi 25 SMA NP MeyakhKebar 40. Ester Mekambak 26 Paket A P MeyakhKebar 41. Yan Kasi 28 SMA NP MeyakhKebar 42. Isak Kasi 46 SMA NP MeyakhKebar 43. Septinus Kasi 70 SMA NP MeyakhKebar 44. Robeka Kasi 46 SD P MeyakhKebar 45. Antomina Moktis 30 SMP P MeyakhKebar 46. Ester Katebu 60 SD P MeyakhKebar 47. Marinus Katobu 55 SD PN MeyakhKebar 48 Yakobus Isai 46 SD PN Serui 49. Alfonsius Merani 57 SD PN Serui 50. Demianus Rumbruren 47 SD PN Biak 51. Paulus Yasan 44 SD PN MeyakhKebar 52. Debora Mandacan 45 SD P Mandacan 53. Yesaya Mandacan 25 SMP PN Mandacan 54. W. Mandacan 55 SMP PN Mandacan 55. Yesaya Paririe 30 SMA PN Serui 56. Jogel Paririe 30 SD PN Serui 57. Heros Heipon 48 SMA PN Serui 58. Yudas Heipon 30 D3 PNS Serui b. Responden tangkapan sampingan dari kapal perikanan di pelabuhan Sorong No Nama Umur tahun Pendidikan Terakhir Pekerjaan Asal suku 1. Lolong 30 SMA ABK Buton 2. Julian Santo 34 SPUM Mualim Jawa 3. Saiful 31 SMA ABK Buton 4. Tahir 39 SMA ABK Buton 5. Amiruddin 39 SMA ABK Buton 6. Gunawan 31 SMA ABK Jawa c. Responden pengambil kebijakan pemeritah Kabupaten Tambrauw No Nama Umur tahun Pendidikan Terakhir Jabatan Asal suku 1. Pieter Mambrasar 45 Praja Ka. Distrik Sausapor Biak 2. Abraham Mayor S.Hut 45 S.Hut Ka. Badan Lingkungan Hidup Tambrauw Biak 3. P.Usior 47 Magister Perikanan Ka.Bid Perikanan dan Kelautan Tambrauw Biak 4. Max Binur 37 SH Lembaga Swadaya Lokal Biak 5. Ronny Tethool 38 S.P Leader Project WWF Indonesia Region Sahul Sorong Kei Lampiran 5. Komponen penilaian non detrimental finding penyu belimbing PROGRAM STUDI PENGELOLAAN PESISIR DAN LAUTAN SEKOLAH PASCASARJANA – INSTITUT PERTANIAN BOGOR Biologi dan karakteristik spesies Siklus hidup : Bagaimana siklus hidup dari penyu belimbing Tingkat reproduksi tinggi, kematian tinggi dan masa hidup panjang Tingkat reproduksi tinggi, kematian rendah dan masa hidup pendek Tingkat reproduksi rendah, kematian tinggi dan masa hidup panjang Tingkat reproduksi rendah, kematian rendah dan masa hidup pendek Tidak menentu Distribusi : Bagaimana distribusi penyu belimbing di dunia Terdistribusi di perairan samudra Hindia, Atlantik dan Pasifik Terdistribusi di perairan samudra Pasifik Terdistribusi pada daerah tertentu Tidak menentu Migrasi : Bagaimana pola migrasi dari penyu belimbing Keutara amerika : Monterebay California Ke timur asia : jepang Ke barat : vanuatu PNG Di perairan indonesia Tidak diketahui Adaptasi ekologi : Bagaimana adaptasi terhadap habitat dan toleransi lingkungan adaptasi tinggi adaptasi sedang adaptasi rendah Tidak dapat beradaptasi Tidak menentu Interaksi dengan manusia : Apakah penyu belimbing memiliki toleransi terhadap aktivitas yang bersumber dari manusia Tidak berinteraksi Toleransi Sensitif Tidak toleransi Tidak menentu Efisiensi penyebaran : Bagaimana mekanisme efisiesnsi penyebaran penyu belimbing ketika melakukan spawning, feeding dan breeding. Sangat baik Baik Medium Buruk Tidak menentu Resiko kematian dari penyu belimbing : Sangat tinggi Sedang Rendah Tidak Tidak menentu Status biologi pada level nasional Distribusi : Bagaimana distribusi penyu belimbing dalam level nasional yaitu di Indonesia Tersebar luas, pada semua daerah Tersebar luas, di beberapa daerah Menyebar terbatas pada daerah tertentu Tersebar terbatas pada satu daerah Tidak diketahui Kelimpahan : Bagaimana kelimpahan spesies penyu belimbing di indonesia Sangat melimpah Umum Tidak umum Langka Tidak menentu Trenkecendurungan populasi penyu belimbing : Meningkat Stabil Menurun tetapi stabil Menurun drastis Tidak diketahui Kualitas informasidan data : Apa jenis informasi yang tersedia untuk menggambarkan jumlah dan trend dalam populasi penyu belimbing dalam skala nasional? Data kuantitatif terakhir Pengetahuan lokal Data kuantitatif lama Data visualisasi Tidak menentu Ancaman populasi penyu belimbing : Tidak ada Terbatastidak terbatas Besar Berat dan tidak berat Tidak menentu Pengawasan dan pengelolaa penangkapan Penangkapan dan perdagangan ilegal : Bagaimana signifikan perburuan dan penangkapan penyu belimbing pada level nasional Tidak Kecil Sedang Besar Tidak menentu Rencana pengelolaan : Apakah perlu rencana pengeloaan kaitannya dengan penangkapan atau pengambilan penyu belimbing Disetujui dengan mengkoordinasikan rencana pengelolaan lokal dan nasional Disetujui mengkoordinasikan rencana pengelolaan pada level provinsi, nasional dan negara terkait Disetujui rencana pengelolaan lokal Tidak ada rencana yang di setujui, dimana managemen informal tidak di rencanakan Tidak menentu Daerah perlindungan terhadap spesies : Berapa persentase penangkapan spesies pada negara-negara yang melindungi penyu belimbing Tinggi Sedang Rendah Tidak ada Tidak menentu Tujuan pengelolaan penangkapan: Apa tujuan dari rencana pengelolaan penangkapan Manfaat bagi konservasi Pengawasan populasi Memaksimalkan nilai ekonomi Oportunis dan penangkapan tidak selektif Tidak menentu Proporsi populasi yang masih tersedia: berapa kisaran alami spesies populasi yang masihada dengan pengecualian penangkapan 15 5 – 15 5 Tidak Tidak menentu Metode pemantauan penangkapan : Apa metode utama yang digunakan untuk memantau dampak dari kegiatan penangkapan Estimasi populasi secara langsung Data kuantitatif Data kualitatif Data penjualan ekspor Tidak ada monitorningtidak menentu Tujuan dari keberlanjutan populasi dalam perencanaan pengelolaan: Untuk meningkatkan populasi penyu belimbing, pendekatan pengelolaan apa yang harus di lakukan. Konservasi spesies dan habitat Konservasi spesies Konservasi habitat Pelarangan konsumsi daging dan telur penyu belimbing Tidak diketahui Perlindungan spesies penyu belimbing : Berapa besar pelarangan terhadap pengambilan telur dan penyu belimbing di kawasan konservasi Tinggi Sedang Rendah Tidak ada Tidak diketahui Sistem kepemilikan dalam memanfaatkan sumberdaya : Apakah daerah konservasi dimana hak kepemilikan lahan signifikan terhadap pengelolaan konservasi penyu Ada dan berpengaruh besar Ada dan berpengaruh sedang Ada dan berpengaruh kurang Tidak ada Tidak diketahui Insentif dan manfaat dari penangkapan Efek penangkapan terhadap populasi : Apakah efek dari penangkapan menjadi ancaman besar yang teridentifikasi terhadap populasi Bermanfaat Netral Berbahaya Sangat negatif Tidak menentu Insentif perlindungan spesies dari aktivitas penangkapan : Dalam level nasional berapa insentif dari kegiatan penangkapan bagi konservasi spesies penyu belimbing Tinggi Sedang Rendah Tidak ada Tidak menentu Insentif perlindungan habitat : Dalam level nasional berapa insentif dari kegiatan penangkapan bagi konservasi habitat penyu belimbing Tinggi Sedang Rendah Tidak ada Tidak menentu Manfaat terhadap konservasi lokal Tinggi Sedang Rendah Tidak ada Tidak menentu Proporsi perlindungan spesies terhadap penangkapanperdagangan : 75 50-75 25-50 25 Tidak menentu Lembaga pengelola; Lembaga apa yang bekerja pada kawasan konservasi Lembaga nasional dan internasinal Lembaga nasional Lembaga lokal Tidak ada lembaga Tidak diketahui Program pengelolaan konservasi; Apakah ada kesamaan program yang di lakukan oleh lembaga konservasi baik lokal, nasional dan internasional. Program sama Program berbeda Program kolaboratif Program mandiri Tidak diketahui Kolaborasi program : Ada kolaborasi Apakah ada kolaborasi program konservasi yang di lakukan oleh lembaga di kawasan konservasi Tidak ada kolaborasi Ada kolaborasi tetapi tidak optimal Tidak diketahui Apakah masyarakat dilibatkan dalam program dan kegiatan konservasi penyu di kawasan konservasi Ada Ada, tetapi sebagian masyarakat Tidak ada Tidak diketahui Lampiran 6. Rekapitulasi nilai non detrimental finding penyu belimbing Unsur Penilaian Non Detrimental Finding NDF Ranking 1- 5 Unsur Penilaian Nilai 1-5 Biologi Siklus Hidup penyu belimbing 5 Distribusi penyu belimbing di dunia 4 Migrasi penyu belimbing 4 Adaptasi Ekologi 3 Interaksi dengan manusia 5 Resiko Kematian penyu belimbing 5 Status Distribusi penyu belimbing di Indonesia 3 Trend populasi penyu belimbing 4 Ancaman penyu belimbing 5 Pemanfaatan Penangkapan dan perdagangan ilegal 3 Perburuan skala lokal 3 Konsumsi telur oleh masyarakat 3 Konsumsi daging oleh masyarakat 3 By Catch 4 Selektivitas alat tangkap 4 Pengelolaan Rencana pengelolaan 3 Tujuan Pengelolaan 3 Proporsi populasi yang tersedia 4 Metode pemantauan penangkapan 1 Tujuan keberlanjutan populasi 3 Perlindungan spesies penyu belimbing 2 Potensi Konflik 3 Efek penangkapan terhadap populasi Penyu Belimbing 3 Manfaat konservasi terhadap masyarakat lokal 4 Lembaga pengelola Lembaga pengelola 1 Kolaborasi program 1 Keterlibatan masyarakat dalam program 2 lampiran 7. Faktor Lingkungan a. Suhu Pasir Analisis deskriptif Suhu C pasir per pantai peneluran 2009-2010 Pantai Rata Stdv N Min Max Q1 Q3 Baturumah 29.943 1.844 752 26.075 32.888 27.799 31.418 Warmamedi 28.424 1.701 941 26.061 32.997 27.010 29.926 Wembrak 29.776 2.085 1125 26.051 33.752 28.112 31.938 Wermon 29.561 0.845 151 27.604 31.472 29.053 30.025 Analisis Varians Sumber DF SS MS F P Faktor 3 1279.17 6.39 3.15 .000 Error 2965 10265.53 3.46 Total 2968 11544.70 S = 1.861 R-Sq = 11.08 R-Sqadj = 10.99 Analisis deskriptis suhu C per bulan pada tiap pantai peneluran Pantai Baturumah Pantai Rata Stdv N Min Max Q1 Q3 April 27.617 1.537 51 25.238 31.596 26.434 31.596 Mei 31.405 0.667 93 29.882 32.594 31.039 32.594 Juni 31.048 0.518 90 29.896 32.063 30.591 32.063 Juli 30.748 0.573 93 30.708 31.825 30.312 31.825 Agustus 31.993 0.666 93 30.708 33.337 31.454 33.337 September 31.869 0.714 90 30.526 33.240 31.309 33.240 Oktober 29.666 2.586 67 24.470 33.562 27.316 33.562 Pantai Warmamedi Pantai Rata Stdv N Min Max Q1 Q3 April 27.551 1.480 68 25.194 30.536 26.425 29.200 Mei 29.803 2.133 124 26.622 33.371 27.620 31.449 Juni 29.668 2.005 120 26.668 32.975 27.454 31.384 Juli 29.212 1.928 124 26.414 32.224 27.096 30.831 Agustus 30.289 2.313 124 26.814 33.821 27.677 32.400 September 29.620 2.161 120 26.680 33.361 27.338 31.415 Oktober 28.513 116 24.427 33.455 27.243 29.681 Pantai Wembrak Pantai Rata Stdv N Min Max Q1 Q3 April 27.574 1.486 68 25.134 30.597 26.432 29.131 Mei 30.938 2.057 124 27.900 33.832 28.993 29.131 Juni 31.069 1.772 120 28.322 33.584 29.256 32.835 Juli 30.606 1.674 124 28.315 32.929 28.989 32.266 Agustus 31.519 2.161 124 28.785 34.575 29.367 33.675 September 30.951 2.331 120 27.919 34.186 28.808 33.317 Oktober 29.068 2.458 116 24.539 34.244 27.294 29.535 Pantai Wermon Pantai Rata Stdv N Min Max Q1 Q3 November 27.605 0.610 120 26.358 29.480 27.207 27.905 Desember 29.290 1.971 124 27.010 32.648 27.560 31.708 Januari 30.744 1.592 124 27.887 33.339 29.328 31.916 Februari 30.450 1.608 112 27.727 32.657 28.662 31.816 Maret 30.830 1.671 124 27.879 33.270 29.193 32.315 b. Kenaikan muka laut dan kemiringan pantai Pantai Lebar Pan jang m Luas m Slope SLR m Area renda man m D1 Ket Wembrak 48.5 7500 363750 1.28 0.0076 1.089 0.0059 Datar Brumah 51.8 4000 207200 1.08 1.840 0.0070 Datar Warmamedi 60.5 5400 326700 0.926 1.365 0.0082 Datar Wermon 21.71 6000 130260 13.64 6.494 0.0006 Landai Skenario rendaman pantai peneluran Jamursba Medi dan Wermon berdasarkan IPCC 2000 Skenario 0.18 m 0.35 m 0.59 m 0.79 m Wembrak 0.004 0.008 0.013 0.018 Brumah 0.006 0.012 0.021 0.028 Warmamedi 0.003 0.008 0.013 0.018 Wermon 0.054 0.105 0.176 0.236 c. Tekstur Pasir Persentasi ukuran pasir berdasarkan Tsieve di pantai Jamursba Medi dan Wermon Ukuran pasir 4 mm 3.35 mm 2 mm 1 mm 500 nm 500 nm Total Wembrak 0.26 0.163 2.21 16.703 42.065 38.568 100 9.46 Baturumah 0.354 0.26 2.27 17.885 39.397 39.835 100 10.08 Warmamedi 0.775 0.874 5.062 18.079 41.059 34.152 100 11.57 Wermon 0.167 0.16 0.925 11.758 13 73.989 100 6.34 Proporsi tekstur pasir di pantai Jamursba Medi dan Wermon Tekstur pasir Kasar Sedang Halus Wembrak 0.80 21.20 78.00 Baturumah 1.65 23.14 75.21 Warmamedi 1.77 20.10 78.13 Wermon 0.33 12.68 86.99 d. Monsun Populasi Jamursba terhadap Monsun Asia, Australia The regression equation is JM = 9.7 - 31.2 Asia - 67.7 Australia Analysis of Variance Predictor DF SS MS F P Regresi 2 90129 95065 30.32 0.001 Residual error 6 18815 3136 Australi 8 208944 S = 55.9985 R-Sq = 91.0 R-Sqadj = 88.0 Predictor Coef SE Coef T P Constant 9.70 26.97 0.36 0.731 Asia -31.236 7.264 -4.30 0.005 Australia -67.72 10.51 -6.44 0.001 Populasi Wermon terhadap Monsun Asia dan Australia The regression equation is Wermon = 82.3 - 12.9 Asia - 9.62 Australia Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regresi 2 21249 10625 10.03 0.012 Residual error 6 6325 1060 Australia 8 27608 S = 32.5549 R-Sq = 77.0 R-Sqadj = 69.3 Predictor Coef SE Coef T P Constant 82.34 15.68 5.25 0.002 Asia -12.872 4.223 -3.05 0.023 Australia -9.620 6.111 -1.57 0.166 Lampiran 8. Faktor Sosial Antropogenik a. Pengambil telur The regression equation is Pengambil telur = 1.81 + 0.415 Pendidikan - 0.300 Usia Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regresi 2 11.0597 5.5299 6.40 0.004 Residual error 38 32.8305 0.8640 Total 40 43.8902 S = 0.929495 R-Sq = 25.2 R-Sqadj = 21.3 Predictor Coef SE Coef T P Constant 1.8111 0.4370 4.14 0.000 Pendidikan 0.4155 0.1352 -3.05 0.004 Usia 0.920495 0.1460 -2.05 0.047 b. Konsumsi telur The regression equation is Konsumsi telur = 53.6 + 3.37 Pendidikan + 2.86 Usia Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regresi 2 946 473 0.14 0.869 Residual error 50 168159 3363 Total 52 168159 S = 57.9929 R-Sq = 0.6 R-Sqadj = 0.0 Plot Uji Normalitas Plot Standarisasi residual dengan pendugaan Y 3 2 1 -1 -2 99 95 90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 Skor Normal Pe rs en 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 Fitted Value R es id ua l Predictor Coef SE Coef T P Constant 53.59 24.78 2.16 0.035 Pendidikan 3.374 7.813 0.727 0.668 Usia 2.857 8.139 0.35 0.727 c. Tangkapan penyu The regression equation is Plot Uji Normalitas Plot Standarisasi residual dengan pendugaan Y 150 100 50 -50 -100 99 95 90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 Score Normal Pe rs en K on su m si T el ur 76 74 72 70 68 66 64 62 60 150 100 50 -50 Fifted Value R e s id u a l Laju Tangkapan = 3.19 - 0.219 Pendidikan - 0.010 Usia Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regresi 2 1.599 0.800 0.35 0.710 Residual error 35 80.769 2.308 Total 37 82.368 S = 1.51911 R-Sq = 1.9 R-Sqadj = 0.0 Predictor Coef SE Coef T P Constant 3.1923 0.6615 4.83 0.000 Pendidikan -0.2191 0.2782 -0.79 0.436 Usia -0.0105 0.2652 -0.04 0.969 d. Konsumsi daging Plot Uji Normalitas Plot Standarisasi residual dengan pendugaan Y 6 4 2 -2 -4 99 95 90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 Score Normal Pe rs en 3.0 2.9 2.8 2.7 2.6 2.5 2.4 2.3 2.2 6 5 4 3 2 1 -1 -2 Fifted Value R es id ua l The regression equation is Konsumsi daging = 3.99 - 0.614 Pendidikan + 0.526 Usia Analysis Varians Source DF SS MS F P Regresi 2 20.336 10.168 2.73 0.075 Residual error 50 186.032 3.721 Total 53 206.368 S = 1.92890 R-Sq = 9.9 R-Sqadj = 6.2 Predictor Coef SE Coef T P Constant 3.9917 0.6724 5.94 0.000 Pendidikan -0.6138 0.2749 -2.23 0.030 Usia 0.5263 0.3296 1.60 0.117 Plot Uji Normalitas Plot Standarisasi residual dengan pendugaan Y 5 4 3 2 1 -1 -2 -3 -4 99 95 90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 Residual Pe rs en 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 5 4 3 2 1 -1 -2 -3 Fitted Value R es id ua l Lampiran 9. Sistem pembobotan variabel kerentanan Indeks keterpaparan VSP SLRxKP M LP PT TM VSP 1.00 2.00 2.00 3.00 4.00 4.00 SLRxKP 0.50 1.00 1.00 1.50 2.00 2.00 M 0.50 1.00 1.00 1.50 2.00 2.00 LP 0.33 0.67 0.67 1.00 1.33 1.33 PT 0.25 0.50 0.50 0.75 1.00 1.00 TM 0.25 0.50 0.50 0.75 1.00 1.00 Jumlah 2.83 5.67 5.67 8.50 11.33 11.33 VSP SLRx KP M LP PT TM Jum baris Bobot wi Eigen lamda VSP 0.35 0.35 0.35 0.35 0.35 0.35 2.12 0.35 1.01 SLRxKP 0.18 0.18 0.18 0.18 0.18 0.18 1.06 0.18 1.00 M 0.18 0.18 0.18 0.18 0.18 0.18 1.06 0.18 1.00 LP 0.12 0.12 0.12 0.12 0.12 0.12 0.71 0.12 1.00 PT 0.09 0.09 0.09 0.09 0.09 0.09 0.53 0.09 1.00 TM 0.09 0.09 0.09 0.09 0.09 0.09 0.53 0.09 1.00 Wj 1.01 0.17 0.17 0.17 0.17 0.17 1.84 1.00 1.01 6.00 n = 36 Lamda Max 0.17 CI -1.17 RC 1.24 CR -0.94 Jika CR0.1 maka nilai perbandingan berpasangan pada matriks kriteria yang diberikan konsisten. Indeks Kepekaan SP TP KS KT KD Bycatch SP 1.00 2.00 2.00 3.00 4.00 4.00 TP 0.50 1.00 1.00 1.50 2.00 2.00 KS 0.50 1.00 1.00 1.50 2.00 2.00 KT 0.33 0.67 0.67 1.00 1.33 1.33 KD 0.25 0.50 0.50 0.75 1.00 1.00 By Catch 0.25 0.50 0.50 0.75 1.00 1.00 Jumlah 2.83 5.67 5.67 8.50 11.33 11.33 SP TP KS KT KD By catch Jumlah baris bobot wi Nilai eigen SP 0.35 0.35 0.35 0.35 0.35 0.35 2.12 0.35 1.00 TP 0.18 0.18 0.18 0.18 0.18 0.18 1.06 0.18 1.00 KS 0.18 0.18 0.18 0.18 0.18 0.18 1.06 0.18 1.00 KT 0.12 0.12 0.12 0.12 0.12 0.12 0.71 0.12 1.00 KD 0.09 0.09 0.09 0.09 0.09 0.09 0.53 0.09 1.00 By Catch 0.09 0.09 0.09 0.09 0.09 0.09 0.53 0.09 1.00 Wj 0.17 0.17 0.17 0.17 0.17 0.17 1.00 1.00 6.00 6.0000 n=6 Lamda 1.00 CI -1.00 RC 1.24 CR -0.81 Jika CR0.1 maka nilai perbandingan berpasangan pada matriks kriteria yang diberikan konsisten. Indeks Kapasitas Adaptif SR PH PM PK PP SR 1.00 2.00 2.00 3.00 4.00 PH 0.50 1.00 1.00 1.50 2.00 PM 0.50 1.00 1.00 1.50 2.00 PK 0.33 0.67 0.67 1.00 1.33 PP 0.25 0.50 0.5 0.75 1.00 2.58 5.17 5.17 7.75 10.33 SR PH PM PK PP Jum baris Bobot wi Eigen lamda SR 0.39 0.39 0.39 0.39 0.39 1.94 0.39 1.00 PH 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.97 0.19 1.00 PM 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.97 0.19 1.00 PK 0.13 0.13 0.13 0.13 0.13 0.65 0.13 1.00 PP 0.10 0.10 0.10 0.10 0.10 0.48 0.10 1.00 Wj 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 1.00 1.00 5.00 N=16 2.00 RC 1.24 Lamda 0.83 CI -1.04 CR -0.84 Jika CR0.1 maka nilai perbandingan berpasangan pada matriks kriteria yang diberikan konsisten. Lampiran 10. Fungsi indeks kerentanan populasi Jamursba Medi Indeks Jamursba Medi Variabel Bobot Rank Rank BBT STD BBT NIK Proporsi Variasi Suhu Pasir 0.35 3 1.05 1.00 0.35 0.480 52.73 Sea Level Rise x KP 0.18 2 0.36 0.21 0.18 10.91 Munsoon 0.18 2 0.36 0.21 0.18 10.91 Predasi 0.12 5 0.6 0.48 0.12 25.45 Pengambilan telur 0.09 2 0.18 0.00 0.09 0.00 Tangkapan Masyarakat 0.09 2 0.18 0.00 0.09 0.00 1.90 1.00 100.00 Variabel Bobot Skor Rank BBT STD BBT NIK Proporsi Suhu Pasir 0.35 3 1.05 1.00 0.35 0.499 51.48 Teksture Pasir 0.18 3 0.54 0.41 0.18 21.30 Kedalaman Sarang 0.18 2 0.36 0.21 0.18 10.65 Konsumsi telur 0.11 5 0.55 0.43 0.11 21.89 Konsumsi daging 0.09 1 0.09 -0.10 0.09 -5.33 By catch 0.09 2 0.18 0.00 0.09 0.00 1 1.94 1 100.00 Variabel Bobot Skor RankBBT STD BBT NKA Proporsi Sarang Relokasi 0.39 5 1.94 1.00 0.39 0.434 85.25 Perlindungan Habitat 0.19 2 0.39 0.08 0.19 6.56 Persepsi Masyarakat 0.19 2 0.39 0.08 0.19 6.56 Potensi Konflik 0.13 2 0.26 0.00 0.13 0.00 Peran pemerintah 0.10 3 0.29 0.02 0.10 1.64 1.17 1 100.00 Lampiran 11. Fungsi indeks kerentanan populasi Wermon Indeks Wermon Variabel Bobot Rank Rank BBT STD BBT NIK Proporsi Variasi Suhu Pasir 0.35 2 0.70 1.00 0.35 0.51 44.66 Sea Level Rise X KP 0.18 2 0.36 0.26 0.18 11.65 Munsoon 0.18 2 0.36 0.26 0.18 11.65 Predasi 0.12 2 0.24 0.00 0.12 0.00 Pengambilan telur 0.09 5 0.45 0.46 0.09 20.39 Tangkapan Masyarakat 0.09 4 0.36 0.26 0.09 11.65 2.24 1.00 0.51 100.00 Variabel Bobot Skor RankBBT STD BBT NIK Proporsi Suhu Pasir 0.35 3 1.05 1.00 0.35 0.77 26.94 Teksture Pasir 0.18 2 0.36 0.02 0.18 0.62 Kedalaman Sarang 0.18 3 0.54 1.67 0.18 44.90 Konsumsi telur 0.11 5 0.55 1.02 0.11 27.54 Konsumsi daging 0.09 1 0.09 0.00 0.09 0.00 By catch 0.09 1 0.09 0.00 0.09 0.00 3.71 1.00 0.77 100.00 Variabel Bobot Skor RankBBT STD BBT NKA Proporsi Sarang Relokasi 0.41 3 1.23 1.00 0.39 0.52 66.45 Perlindungan Habitat 0.21 2 0.42 0.21 0.19 14.19 Persepsi Masyarakat 0.14 3 0.42 0.21 0.19 14.19 Potensi Konflik 0.14 2 0.28 0.08 0.13 5.16 Peran pemerintah 0.10 2 0.20 0.00 0.10 0.00 1.50 1.00 100.00 Lampiran 12 . Indeks kerentanan populasi Index Kerentanan Jamursba Medi Level Wermon Level Indeks keterpaparan 0.48 Medium vurnerable 0.51 Medium vurnerable Indeks kepekaan 0.51 Medium vurnerable 0.77 High vurnerable Indeks kapasitas adaptif 0.43 Medium vurnerable 0.52 Medium vurnerable Indeks Kerentanan Populasi 0.48 Medium vurnerable 0.62 High vurnerable Lampiran 13. Peta estimasi tangkapan penyu belimbing pada perairan dunia Lewison et al. 2006 Lampiran 14. Alat tangkap dan jenis kapal perikanan 4-5 GT di Pelabuhan Perikanan Sorong Lampiran 15. Kapal perikanan udang di Kabupaten Sorong Kapal penangkap ikan 4-5 GT di pelabuhan Sorong Salah satu kapal penangkapan udang yang berbasis di Sorong Lampiran 16. Jenis alat tangkap Lampiran 17. Pemanfaatan sumberdaya penyu belimbing b Jaring Dasar a Jaring Benang Telur penyu byang akan dijual seharga Rp.10.000,- Pemanfaatan telur dan daging penyu belimbing oleh masyarakat Kei sumber : Jan Manuputty Lampiran 18. Laju predasi sarang oleh predator dan gelombang pantai Predasi sarang oleh babi hutan Beac Sarang yang terabrasi ABSTRACT FERAWATI RUNTUBOI, Vurnerability of Leatherback Population Analysis Dermochelys coriacea Vrandelli 1761 in Jamusrba Medi and Wermon Beach as Indicator of Sustainability of Abun Marine Protected Area Tambrauw Regency, West Papua. Supervised by M. MUKHLIS KAMAL and LUKY ADRIANTO. Decline of leatherback population in Jamursba Medi and Wermon beach in the last 10 years, has impact stock leatherback populations in the Western Pacific. Environmental and social antropogenic factors were be fathomed on population decline, especially the number of individuals and the number of new individual adults. This study aims to determine the status utilization of leatherback populations, vulnerability index, and recommendations in the implementation of best management scenarios sustainability Abun marine protected area as protection of the leatherback habitats and these population. Result explicates that currently these status has categorized in endangered and be beased non determental finding reveals that utilization of leatherback does not lead to sustainability. Composite performance of these vurnerable index framing in Jamursba Medi is at the level of medium vurnerable 0.486 and Wermon is at the level of high vurnerable 0.616. Social influences of anthropogenic be one of the greatest threats to the environment in addition to population decline. The threat is indicated by the high activity of egg collection, hunting the adults of the community within and outside marine protected area, as the north sea islands, Manokwari and Southeast Maluku. In addition to direct use of bycatch from commercial fisheries are also factors leatherback population decline. Furthermore, directly use through co-catching from comersial fishery operations was also be a decreasing factor of leatherback population. Based the results it is recommended several scenarios through tradeoff analysis approach. Both of sub model environmental integration and social antropogenic scenarios are selected and considered as the best with the quality value of 66.03. It are which in turn encouraged in sustainable implementation of Abun MPA. Keywords : Leatherback, non detrimental finding, vulnerability of population, indicator of sustainability, abun mpa. RINGKASAN FERAWATI RUNTUBOI, Analisis Kerentanan Populasi Penyu Belimbing D.coriacea Vrandelli 1761 di Pantai Jamusrba Medi dan Wermon sebagai Indikator Keberlanjutan Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun Kabupaten Tambrauw Papua Barat. Dibimbing oleh M. MUKHLIS KAMAL dan LUKY ADRIANTO. Pantai Jamursba Medi dan Wermon merupakan pantai peneluran terbesar yang berperan sebagai penyuplai populasi penyu belimbing terbesar di Pasifik Barat. Dalam 10 tahun terakhir, terjadi penurunan populasi penyu belimbing secara drastis yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti faktor lingkungan dan sosial antropogenik. Faktor lingkungan berkaitan dengan perubahan iklim global yang mempengaruhi proses ekologi seperti proses peneluran dan penetasan. Faktor sosial antropogenik berkaitan dengan pemanfaatan langsung sumberdaya penyu seperti pengambilan telur dan daging serta pemanfaatan tidak langsung seperti tangkapan sampingan dari perikanan skala besar. Solusi dalam meminimalkan dampak tersebut adalah melakukan pengelolaan secara terpadu salah satunya adalah penetapan kawasan konservasi laut daerah KKLD yang berfungsi melindungi keanekaragaman hayati sumberdaya seperti penyu belimbing. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk 1 mengetahui status pemanfaatan populasi penyu belimbing melalui penilaian non detrimental finding 2 mengestimasi indeks kerentanan populasi penyu belimbing 3 merekomendasikan skenario pengelolaan dalam implementasi keberlanjutan KKLD Abun. Penelitian ini dilakukan di pesisir Utara Kepala Burung Papua tepatnya di pantai Jamursba Medi dan Wermon dan beberapa kampung yang berada didalam KKLD Abun. Pendekatan yang digunakan adalah non detrimental finding NDF dan indeks kerentanan. Pengambilan data dilakukan secara eksporasi terbagi dua bagian yaitu pengambilan data lingkungan dipantai peneluran dan pengambilan data sosial antropogenik di kampung berada dekat dengan pantai peneluran. Dua kampung lainnya adalah kampung di Utara Manokwari. Metode non detrimental finding adalah metode penilaian status pemanfaatan populasi berdasarkan perankingan dari 5 variabel penyusun yang kemudian dijabarkan kedalam 25 unsur. NDF terdiri dari lima variabel utama yaitu 1 biologi, distribusi, migrasi dan karakteristik, 2 Trend populasi dan status konservasi, 3 ancaman populasi, 4 perdagangan dan pemanfaatan serta 5 pengawasan dan regulasi. Metode indeks kerentanan disusun oleh faktor utama yaitu faktor lingkungan dan sosial antropogenik. Kedua faktor ini kemudian dikategorikan kedalam tiga indeks kerentanan yaitu indeks keterpaparan, indeks kepekaan dan indeks kapasitas adaptif. Analisis penentuan tingkat kerentanan populasi penyu belimbing dilakukan dengan menggunakan composite vulnerable index. Selanjutnya untuk merekomendasikan skenario keberlajutan KKLD Abun, maka dilakukan dengan pendekatan Tradeoff analisis dimana hasil dari skenario ini berupa pilihan skenario terbaik berdasarkan nilai pembobotan . Hasil skenario ini akan digunakan sebagai dasar pengelolaan KKLD Abun. Hasil menunjukkan bahwa status populasi penyu belimbing termasuk dalam endangared dan berdasarkan penilaian non detrimental finding NDF bahwa pemanfaatan sumberdaya penyu belimbing tidak mengarah pada kelestarian. Selanjutnya hasil komposit indek kerentanan populasi penyu belimbing di Pantai Jamursba Medi diketahui bahwa populasi berada dilevel medium vurnerable 0.49 dibandingkan pantai Wermon yang berada pada level high vurnerable 0.62. Rentannya populasi dikedua pantai ini dipengaruhi faktor lingkungan dan sosial antropogenik. Faktor sosial antropogenik terindikasi menjadi salah satu ancaman terbesar yang mengakibatkan penurunan populasi. Ancaman tersebut terindikasi dengan tingginya aktivitas pengambilan telur, perburuan terhadap penyu dewasa oleh masyarakat didalam KKLD Abun maupun masyarakat diluar KKLD Abun seperti di perairan Kei Maluku Tenggara. Selain pemanfaatan langsung masyarakat, tangkapan sampingan dari perikanan berskala besar seperti perikanan tuna dan udang menjadi faktor penurunan populasi penyu belimbing. Kondisi ini mendasari perlu dilakukan upaya perlindungan terhadap populasi penyu belimbing diKKLD Abun. Pengelolaan yang dihasilkan haruslah pengelolaan yang berkelanjutan. Berdasarkan tujuan tersebut dengan pendekatan tradeoff dimunculkan empat skenario pengelolaan yaitu skenario tanpa pengelolaan, pengelolaan sub model lingkungan, pengelolaan sub model sosial antropogenik, sub model keterpaduan antara lingkungan dan sosial antropogenik. Dari empat skenario yang dianalisis, skenario keterpaduan sub model lingkungan dan sosial antropogenik merupakan skenario terbaik dengan nilai skenario terbesar yaitu 66.03 yang harus diaplikasikan dalam keberlanjutan KKLD Abun. Kata kunci: Penyu belimbing, non detrimental finding, kerentanan populasi, analisis tradeoff, indikator keberlanjutan, KKLD Abun. 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki enam dari tujuh jenis penyu yang ada di dunia. Dari enam jenis penyu, lima jenis diantaranya yaitu penyu belimbing Dermochelys coriacea , penyu hijau Chelonia mydas, penyu sisik Eremochelys imbricate, penyu tempayan Caretta caretta dan penyu lekang Lepidochelys olivacea telah diketahui berbiak di Indonesia, sementara jenis yang lain Salm Halim 1984; Kitchener 1996 in Hitipeuw et al. 2007. Jenis keenam, penyu pipih Natator epresus diketahui hanya berbiak di Australia, tetapi telah teramati mencari makan di perairan Indonesia Kitchener 1996 in Hitipeuw et al. 2007. Dari kelima jenis penyu tersebut yang mengarah pada kepunahan adalah penyu belimbing. Penyu belimbing memiliki peran penting dalam sistem ekologi rantai makanan, karena berfungsi sebagai predator utama ubur ubur dari kelas shyphozoa terutama ordo rhizostomae. Ubur ubur merupakan organisme lunak, bertentakel dan merupakan predator dari juvenil ikan. Apabila populasi ubur ubur meningkat maka semakin banyak juvenil ikan yang dimangsa, sehingga mempengaruhi produksi perikanan. Pada kondisi ini peran dari penyu belimbing dibutuhkan sebagai penyeimbang populasi ubur ubur. Fakta ini menegaskan bahwa penyu belimbing merupakan spesies kunci ataupun spesies indikator. Selain sebagai spesies indikator, penyu belimbing juga merupakan penciri kealamian habitat. Hal ini disebabkan karena penyu belimbing menyukai habitat alamiah untuk melakukan proses persarangan, perkawinan dan makan. Apabila terjadi degradasi habitat maka penyu belimbing tidak lagi dijumpai di habitat tersebut. Populasi penyu belimbing secara global mengalami penurunan mencapai 97 dalam periode 22 tahun terakhir. Laporan Conservation International CI pada simposium tahunan ke 24 di Costa Rica menyatakan penurunan populasi dari 115.000 ekor betina dewasa menjadi 2.300 ekor sejak tahun 1982. Lima spesies penyu lainnya juga beresiko punah, walaupun dengan rentang waktu relatif lama dibandingkan dengan penyu belimbing sebagaimana dalam CITES Convention on International Trade of Endangered Species dengan status Appendix 1 yang artinya melarang untuk diperdagangkan Hitipeuw et al. 2007 Penyu belimbing diperkirakan hanya terdapat 2.300 ekor penyu betina dewasa yang tersisa di kawasan Pasifik Utara dan kawasan Pasifik Barat. Kawasan Pasifik Utara meliputi pantai Meksiko, Nikaragua, Costa Rica dan Kawasan Pasifik Barat meliputi pantai di Kepulauan Solomon,Vanuatu, Malaysia, Papua NNG dan Papua Hitipeuw et al 2007. Di Indonesia tepatnya di pesisir utara Kepala Burung Papua diketahui menjadi tempat peneluran dengan stok populasi terbesar yang memberikan kontribusi terhadap populasi di Pasifik Barat Dutton et al. 2007. Mengacu pada fakta ini, maka pantai peneluran Jamursba Medi dan Wermon Papua perlu dipertahankan sehingga keberlangsungan populasi tetap ada Hitipeuw et al. 2007. Pantai Jamursba Medi dan Wermon adalah lokasi peneluran yang terletak di Kepala Burung Papua dan menjadi lokasi peneluran yang selalu dikunjungi oleh penyu belimbing. Saat ini kedua pantai ini merupakan penyumbang stok populasi terbanyak untuk populasi penyu belimbing di Pasifik Barat selain PNG dan Kepulauan Salomon. Uniknya kedua pantai ini memiliki musim peneluran yang berbeda, Tapilatu et al. 2002 menyatakan bahwa pantai Jamursba Medi memiliki musim peneluran pada bulan April sampai Agustus ditandai dengan musim monsun timur atau musim teduh, sementara Pantai Wermon biasanya musim dari bulan Desember sampai Februari ditandai dengan musim ombak atau monsun barat. Perbedaan musim peneluran ini tidak menyebabkan perbedaan spesies penyu yang bertelur tetapi spesies penyu belimbing yang sama berpeluang bertelur di kedua pantai tersebut. Kondisi kedua pantai dengan ciri karakterik habitat bertelur yang cenderung sama menjadi alasan adanya spesies yang sama bertelur dipantai berbeda dengan musim berbeda. Kondisi lingkungan laut dan pantai adalah faktor penentu keberlanjutan hidup dan populasi penyu. Ackerman 1997; Wallace et al. 2004 menyatakan faktor biologi dan fisik lingkungan pantai, pesisir dan laut memberikan pengaruh terhadap keberlanjutan dan proses ekologi penyu belimbing yaitu proses peneluran dan proses penetasan. Selain faktor lingkungan, indikasi lainnya adalah faktor sosial antropogenik yaitu pemanfaatan langsung dan pemanfaatan tak langsung. Pemanfaatan langsung seperti perburuan penyu dan pengambilan telur, sedangkan pemanfaatan tak langsung seperti tangkapan sampingan dari perikanan