TENAGA AHLI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi | 185
menjadi penonton. Oleh karena itu pembangunan kawasan perdesaan tidak hanya berbicara tentang lokasi, ruang, lokus, perencanaan, produk dan komoditas unggulan,
tetapi juga berbicara tentang eksistensi dan partisipasi desa, pembangunan partisipatif dan pemberdayaan masyarakat.
B. Memeratakan Pembangunan
Pembangunan kawasan perdesaan bukan hanya berbentuk kegiatan tetapi juga sebagai pendekatan untuk mengimbangi pembangunan perkotaan. Mengapa
demikian? Selama ini ada ketimpangan antara perkotaan dan perdesaan, karena pembangunan yang bias perkotaan urban bias. Kota merupakan pusat pemerintahan,
pelayanan publik, industri, jasa, perdagangan, keuangan dan pusat pertumbuhan. Sebaliknya desa merupakan ranah pertanian dan perkampungan yang selalu identik
dengan keterbelakangan, ketertinggalan dan kemiskinan. Desa menghadapi kekurangan input dan output pertumbuhan sehingga merupakan sumber dan hulu
kemiskinan. Desa menghadapi keterbatasan dalam hal infrastruktur, transportasi, komunikasi, dan lain sebagainya yang membuat desa terisolasi dari kemajuan dan
pertumbuhan. Karena ketimpangan itu kota menjadi “daya tarik” dan desa menjadi
“daya dorong” urbanisasi orang desa ke kota. Secara demografis, urbanisasi terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yang membuat pengurangan penduduk
desa dan penambahan penduduk kota. Pada tahun 1995, penduduk desa masih sebesar 64, kemudian turun menjadi 58 pada tahun 2000, 52 pada tahun 2005
dan menurun lagi menjadi 46 pada tahun 2010. Sebaliknya penduduk kota mengalami peningkatan dari 36 pada tahun 1995 menjadi 54 pada tahun 2010. Saat
ini ada prediksi bahwa penduduk kota akan mencapai 68 pada tahun 2025. Fakta ketimpangan pembangunan dan urbanisasi itu selalu menjadi pembicaraan
publik, kajian akademik dan perhatian pemerintah. Kini pemerintahan Jokowi-JK menaruh perhatian terhadap isu ketimpangan pembangunan dan urbanisasi, yang
mengedepankan resolusi membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat desa dan daerah. Pembangunan desa desa membangun melalui dana desa dan
pembangunan kawasan perdesaan membangun desa.
Pembangunan kawasan perdesaan dalam konteks ini berarti menghadirkan negara ke ranah perdesaan, melakukan pemerataan pembangunan, untuk mengurangi
ketimpangan dan urbanisasi. Pusat-pusat pertumbuhan agroindustri, agrobisnis, agropolitian, agrowisata, industrialisasi, minapolitan, dan sebagainya yang berkala
menangah dan besar merupakan bentuk nyata pemerataan pembangunan. Arena ini akan mendatangkan dua keuntungan langsung bagi masyarakat desa, yaitu lapangan
pekerjaan dan kesempatan bisnis bagi pelaku wirausaha ekonomi loka setempat yang berasal dari desa.
C. Memperkuat Desa
Memperkuat desa merupakan jantung membangun desa. Dalam formasi pembangunan partisipatif, pembangunan kawasan perdesaan bukan hanya menempatkan desa
TENAGA AHLI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
186
| Modul Pelatihan Pratugas Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat
sebagai lokasi dan obyek penerima manfaat, tetapi juga memperkuat posisi desa sebagai subyek yang terlibat mengakses dalam arena dan kegiatan pembangunan
kawasan perdesaan.
Ada dua ranah yang menjadi arena partisipasi desa dalam pembangunan kawasan perdesaan. Pertama, sumberdaya milik bersama common pool resources
yang secara alamiah by nature merupakan kawasan perdesaan dan dalam kehidupan sehari-hari menjadi sumber kehidupan-penghidupan masyarakat setempat. Sumber-
daya kategori ini antara lain meliputi sungai, mata air, mineral nonlogam atuan galian tambang C, pesisir dan lain-lain. Kedua, kawasan yang sengaja disiapkan by design
oleh pemerintah sebagai arena investasi pembangunan kawasan perdesaan baik oleh pemerintah maupun pihak swasta seperti agropolitan, minapolitan, agroindustri,
pertambangan dan sebagainya.
UU Desa mengharuskan ruang partisipasi desa pemerintah desa dan masyarakat dalam dua ranah kawasan perdesaan itu. Dilihat dari perspektif desa, ada tiga platform
penting memperkuat desa dalam pembangunan kawasan perdesaan. Pertama
, kerjasama kolaborasi desa. Perspektif dan formasi “desa membangun” sangat penting tetapi tidak cukup. Pola ini bisa menjebak desa tersilosasi dengan
dunianya sendiri atau seperti katak dalam tempurung. Karena itu kerjasama desa harus dibangun, yang didasarkan pada kesamaan kepentingan dan tujuan. Kerjasama desa
bisa berbentuk kerjasama antara satu desa dengan desa lain maupun kerjasama desa dengan pihak ketiga. Kerjasama antardesa, baik yang diwadahi dengan Badan
Kerjasama Antar Desa maupun yang non-BKAD, membentang dari kegiatan pembangunan desa hingga kegiatan bisnis untuk ekonomi produktif dengan skala
yang lebih besar-luas. Ada sejumlah desa bekerjasama membangun jalan poros desa dengan dana desa, sejumlah desa menangkap air sungai untuk keperluan irigasi dan
budidaya perikanan darat, sejumlah desa membangun minapolitan secara bersama, sejumlah desa bersama warga petani menanam sawit secara mandiri, sejumlah desa
bersama perajin membangun pasar dan distribusi, dan sebagainya. Kerjasama antardesa juga penting untuk keperluan proteksi, negosiasi dan advokasi dalam dunia
bisnis. Kolaborasi antara organisasi asosiasi pelaku ekonomi desa berskala kecil-lokal dengan asosiasi desa menjadi jalan baik untuk proteksi, negosiasi dan advokasi.
Kedua , Badan Usaha Milik Desa BUMDesa Bersama sebagai lembaga ekonomi
desa yang berbasis pada kerjasama antardesa. Kenapa BUMDesa Bersama? Bukankah sudah ada koperasi dan UMKM? Antara BUMDesa Bersama dengan koperasi dan
UMKM mempunyai watak, konteks, relevansi dan keterbatasan yang berbeda. Koperasi merupakan institusi ekonomi yang secara swadaya mandiri berbasis dan digerakkan
oleh anggota untuk kepentingan privat dan kolektif anggota itu. UMKM berupakan bisnis privat, baik oleh seorang individu, keluarga maupun kongsi beberapa orang,
yang memberikan keuntungan privat dan lapangan pekerjaan bagi orang lain. Berbeda dengan koperasi dan UMKM, BUMDesa Bersama merupakan representasi desa yang
mempunyai otoritas langsung untuk memiliki dan mengelola sumberdaya publik tanah desa, dana desa, dana bergulir, hibah pemerintah, sumberdaya alam bersama sebagai
modal untuk menjalankan bisnis. BUMDesa Bersama dapat menjadi wadah dan patron
TENAGA AHLI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi | 187
yang menyatukan sekaligus melindungi banyak pelaku ekonomi kecil menjadi bisnis yang lebih besar, tanpa harus mencaplok usaha bisnis yang sudah berkembang.
Ketiga , keterlibatan desa dalam bagi saham dan bagi hasil shareholding dalam
investasi pembangunan kawasan perdesaan. NAWACITA maupun RPJMN sudah mengamanatkan hal ini. Selama ini investasi pembangunan kawasan perdesaan
menempatkan desa sebagai pemangku kepentingan stakeholder yang sebenarnya hanya menempatkan desa sebagai “teman diskusi”. Sedangkan investor dari luar yang
bertindak sebagai shareholder utama. Tetapi karena teori stakeholding itu merugikan desa, maka sekarang berubah menjadi shareholding. Desa, maupun orang desa, tidak
hanya sebagai lokasi, buruh, dan penerima manfaat tetapi juga sebagai pemilik atas investasi melalui bagi saham dan bagi hasil. Tanah desa maupun tanah warga tidak
dibeli habis oleh investor, melainkan disertakan sebagai modalsaham dalam investasi. Sebagai contoh, Desa Panggungharjo Bantul membangun shareholding dengan swasta
dalam bisnis SPBU. Desa menyertakan tanah desa seluas 3000 meter untuk sahammodal yang dinilai sebesar 20 dari total saham. Hasil ini dari investasi ini
mendatangkan Pendapatan Asli Desa yang digunakan untuk membiayai pemerintahan, pelayanan publik, sekaligus juga pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat
desa.
Pola shareholding berbasis desa itu memang tidak memberikan keuntungan langsung kepada rakyat. Rakyat hanya memperoleh manfaat tidak langsung karena
pelayanan yang diberikan oleh desa. Karena itu perlu juga shareholding berbasis warga yang bisa dikonsolidasikan oleh desa. Tanah warga merupakan saham yang disertakan
untuk modal bisnis yang berkongsi dengan perusahaan. Pola serupa ini sudah lama terjadi dalam perkebunan inti-plasma. Perusahaan sebagai inti dan petani menjadi
plasma. Tetapi skema inti-plasma ini mengandung dua masalah. Pertama, inti-plasma bukan model bisnis shareholding yang sempurna, sebab perusahaan inti memperoleh
konsesi dari pemerintah untuk menanam kebun di tanah negara, tanah adat dan tanah desa. Orang desa bukan sebagai shareholder yang menyertakan tanahnya secara
mandiri dan kuat. Pemerintah mengatur perusahaan inti itu untuk berbagai sebagian lahan kebun kepada petani plasma. Dengan demikian petani plasma
– yang sering mereklaim sebagai pemilik atas tanah adat
– hanya memperoleh residu dari bisnis itu. Kedua, dalam praktik pembagian lahan-hasil dan proses bisnis tidak adil, yang
merugikan para petani plasma. Ketiga, konsesi perkebunan itu telah menciptakan aneksasi wilayah yurisdiksi desa menjadi yurisdiksi perkebunan.
D. Memberdayakan Masyarakat