Memberdayakan Masyarakat Model Aksi Sosial Social Action Model
TENAGA AHLI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi | 187
yang menyatukan sekaligus melindungi banyak pelaku ekonomi kecil menjadi bisnis yang lebih besar, tanpa harus mencaplok usaha bisnis yang sudah berkembang.
Ketiga , keterlibatan desa dalam bagi saham dan bagi hasil shareholding dalam
investasi pembangunan kawasan perdesaan. NAWACITA maupun RPJMN sudah mengamanatkan hal ini. Selama ini investasi pembangunan kawasan perdesaan
menempatkan desa sebagai pemangku kepentingan stakeholder yang sebenarnya hanya menempatkan desa sebagai “teman diskusi”. Sedangkan investor dari luar yang
bertindak sebagai shareholder utama. Tetapi karena teori stakeholding itu merugikan desa, maka sekarang berubah menjadi shareholding. Desa, maupun orang desa, tidak
hanya sebagai lokasi, buruh, dan penerima manfaat tetapi juga sebagai pemilik atas investasi melalui bagi saham dan bagi hasil. Tanah desa maupun tanah warga tidak
dibeli habis oleh investor, melainkan disertakan sebagai modalsaham dalam investasi. Sebagai contoh, Desa Panggungharjo Bantul membangun shareholding dengan swasta
dalam bisnis SPBU. Desa menyertakan tanah desa seluas 3000 meter untuk sahammodal yang dinilai sebesar 20 dari total saham. Hasil ini dari investasi ini
mendatangkan Pendapatan Asli Desa yang digunakan untuk membiayai pemerintahan, pelayanan publik, sekaligus juga pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat
desa.
Pola shareholding berbasis desa itu memang tidak memberikan keuntungan langsung kepada rakyat. Rakyat hanya memperoleh manfaat tidak langsung karena
pelayanan yang diberikan oleh desa. Karena itu perlu juga shareholding berbasis warga yang bisa dikonsolidasikan oleh desa. Tanah warga merupakan saham yang disertakan
untuk modal bisnis yang berkongsi dengan perusahaan. Pola serupa ini sudah lama terjadi dalam perkebunan inti-plasma. Perusahaan sebagai inti dan petani menjadi
plasma. Tetapi skema inti-plasma ini mengandung dua masalah. Pertama, inti-plasma bukan model bisnis shareholding yang sempurna, sebab perusahaan inti memperoleh
konsesi dari pemerintah untuk menanam kebun di tanah negara, tanah adat dan tanah desa. Orang desa bukan sebagai shareholder yang menyertakan tanahnya secara
mandiri dan kuat. Pemerintah mengatur perusahaan inti itu untuk berbagai sebagian lahan kebun kepada petani plasma. Dengan demikian petani plasma
– yang sering mereklaim sebagai pemilik atas tanah adat
– hanya memperoleh residu dari bisnis itu. Kedua, dalam praktik pembagian lahan-hasil dan proses bisnis tidak adil, yang
merugikan para petani plasma. Ketiga, konsesi perkebunan itu telah menciptakan aneksasi wilayah yurisdiksi desa menjadi yurisdiksi perkebunan.