4,33 dan 4,17. Posisi Indonesia berada pada posisi empat dengan skor 3,33 yang termasuk kedalam kelompok dengan inovasi yang cukup baik bersama Brunei
Darussalam dengan skor 3,17, sedangkan negara yang memiliki inovasi yang kurang baik hanya ditempati oleh Filipina dengan skor 2,17.
Posisi Thailand dan Malaysia sangat kuat dalam daya saing dan inovasi produk halal. Hal tersebut sejalan dengan kuatnya posisi kedua negara tersebut
yang memiliki kekuatan sangat baik dalam dukungan riset dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan agroindustri halal,
sehingga memungkinkan banyak terciptanya inovasi-inovasi baru yang memiliki tingkat daya saing yang tinggi yang dapat dipertahankan secara
berkesinambungan.
8.4.5. Kemampuan Lembaga Sertifikasi
Pada faktor kekuatan lembaga sertifikasi atau lembaga audit halal, Indonesia mendapatkan nilai 5,0 yang merupakan skor tertinggi dalam penilaian
kekuatan faktor ekstrinsik kelembagaan sehingga kekuatan pada faktor tersebut sudah sangat baik. Dalam faktor kemampuan lembaga sertifikasi, kriteria yang
dijadikan parameter adalah pemenuhan akan kriteria yang terdiri dari besarnya pengaruh internasional, jejaring kerjasama lembaga sertifikasi, dan kekuatan
keilmuan dan riset yang melatarbelakangi keputusan-keputusan lembaga sertifikasi.
Lembaga sertifikasi di Indonesia adalah lembaga non pemerintah yang bernama Lembaga di bawah lembaga ulama bernama Majelis Ulama Indonesia
MUI. LPPOM-MUI memiliki kemampuan sertifikasi yang dinilai terbaik di seluruh dunia. Standar sertifikasinya dijadikan acuan bagi lembaga sertifikasi
halal dunia yang lain. Thailand menempati posisi ke dua dengan nilai 4,50 yang berati juga memiliki kemampuan yang sangat baik. Hal tersebut didasari
kemampuan Thailand dalam membuat sistem sertifikasi halal yang terintegrasi dengan konsep mutu yang berlaku secara internasional yang lebih dikenal dengan
Hal-Q yang telah dikenal secara luas hingga negara-negara Eropa Saifah, 2009. Pada posisi ke tiga, Malaysia mendapatkan nilai 4,17 kemudian Brunei
Darussalam, Singapura dan Filipina dengan skor masing-masing adalah 2,83, 2,67 dan 1,33.
8.4.6. Riset dan Penguasaan Teknologi
Faktor ekstrinsik kelembagaan riset dan penguasaan teknologi pada pengembangan agroindustri halal menjadi faktor multlak bagi pengembangan
yang berkelanjutan untuk menciptakan berbagai inovasi baru sehingga mampu berdaya saing tinggi dengan produk-produk negara lain. Parameter yang
digunakan dalam penilaian kekuatan riset dan penguasaan teknologi adalah jumlah penelitian dan pengembangan yang dilakukan, jumlah inovasi dan
penemuan keilmuan yang berkaitan dengan halal serta penggunaan teknologi
pada industri.
Dari kriteria di atas, urutan kekuatan pada bidang riset dan penguasaan teknologi yang berkaitan dengan agroindustri halal adalah sebagai berikut;
kelompok negara yang kondisinya sangat baik meliputi Malaysia 4,67 dan Thailand 4,50, sedangkan yang cukup baik meliputi Singapura 2,83,
Indonesia 2,83. Untuk negara yang kurang baik tingkat penguasaan riset dan
penguasaan teknologinya adalah Brunei Darussalam 2,33 dan Filipina 2,00.
Lebih jauh, Malaysia dan Thailand memiliki komitmen yang kuat dalam penguasaan teknologi dan penciptaan-penciptaan paten yang berkaitan dengan
halal yang kemudian digunakan secara baik oleh pihak industri dalam negarinya. Untuk negara-negara lain diluar ke dua negara tersebut belum memprioritaskan
riset dan penguasaan teknologi yang ditujukan bagi pengembangan agroindustri
halal.
8.4.7. Ketersediaan Bahan Baku
Penilaian atas faktor ekstrinsik kelembagaan ketersediaan bahan baku didasarkan atas parameter pemenuhan tiga kriteria penilaian yakni, besarnya
variasi bahan baku, tingkat keberlanjutan bahan baku produksi dan tingkat ketersediaan bahan baku. Dari penilaian atas kriteria tersebut, Indonesia berada
pada posisi pertama dengan skor 4,83. Di posisi ke dua Thailand mendapatkan skor 4,33, sedangkan pada posisi ke tiga adalah Filipina dengan skor 4,17,