Perolehan skor yang rendah didapatkan dari faktor variasi produk halal. Hal tersebut disebabkan karena Brunei Darussalam saat ini lebih fokus dalam
memenuhi permintaan produk halal berbasis daging sapi untuk memenuhi pasar Timur Tengah dan Eropa. Secara keseluruhan, faktor intrinsik produk halal Brunei
Darussalam termasuk ke dalam kategori baik dan menempati peringkat ke-tiga dibandingkan dengan enam negara ASEAN lainnya.
7.3.4. Singapura
Halal tidak dijadikan acuan pengembangan industri di Singapura, namun pemerintah dan industrinya memiliki kesadaran yang tinggi akan potensi bisnis
halal. Unuk hal tersebut, Singapura mengupayakan kebijakan yang mengarah pada penyelenggaraan bisnis dan industri yang mampu memenuhi peryaratan halal.
Saat ini, walaupun tidak berbasiskan pada agroindustri halal, namun kriteria- kriteria dari faktor-faktor intrisnik pengembangan agroindustri halal dicapai
dengan baik oleh Singapura. Gambar 47 berikut menggambarkan kematangan dan skor faktor-faktor intrisik yang dicapai oleh Singapura.
Gambar 47. Tingkat Kematangan Faktor Intrinsik Produk Halal Di Singapura
7.3.5. Indonesia
Faktor intrisnik agroindustri halal Indonesia berada pada kategori baik dan tingkat kematangan yang merata dengan skor rata-rata 3,26. Faktor-faktor yang
baik tingkat kekuatannya antara lain faktor harga, tingkat keyakinan ke-halalan produk, rasa dan variasi produk, sedangkan yang masuk kedalam kategori cukup
baik adalah faktor penampilan dan mutu produk. Faktor lain yakni apresiasi konsumen dan cara penyajian mendapatkan skor yang relatif rendah dan berada di
bawah negara-negara lain. Gambar 48 berikut menjelaskan pencapaian kematangan dan skor yang dicapai Indonesia dalam penguasaan faktor-faktor
intrinsik produk agroindustri halalnya.
Gambar 48. Tingkat Kematangan Faktor Intrinsik Produk Halal Di Indonesia
Indonesia berpeluang mengembangkan produk-produk halalnya di pasar global dengan tingkat level of trust produk halal yang tinggi. Namun saat ini,
Indonesia masih memiliki visi perlindungan konsumen dalam negeri dan belum memiliki rencana ekspansi produk halal secara global kecuali dilakukan beberapa
industri secara mandiri. Visi yang ada selama ini bukan dimiliki oleh pemerintah sebagai
pemegang kebijakan, tetapi dmiliki oleh LPPOM-MUI sebagai lembaga audit halal yang tidak memiliki kewenangan dalam menentukan arah dan kebijakan
industri. Jika pun ada dalam rancangan undang-undang jaminan produk halal yang sedang dibuat, tidak mencantumkan halal sebagai tujuan, pondasi ataupun arah
kebijakan dalam pembangunan agroindustri. Di lain pihak Indonesia merupakan sasaran produk-produk halal global dengan tingkat kematangan faktor intrinsik
produk Indonesia masih dalam tahap menengah, dimana dalam tingkatan kematangan kemampuan agroindustri halal Indonesia belum mencapai titik-titik
terluar, sehingga masih memiliki peluang pengembangan yang lebih lanjut.