135
Pemakaian prinsip sama jarak equidistance principle sebagaimana disebutkan diatas yang ditetapkan menurut garis sama jarak dari titik-titik yang
paling dekat dari pantai negara-negara sebagaimana yang ditetapkan Komisi Hukum Internasional selama tahun 1950-an merupakan solusi yang mempunyai
keuntungan-keuntungan mengenai kesederhanaan dan kepastian. Hal ini dibandingkan dengan penetapan batas berdasarkan kondisi suatu pulau pulau
utama di lepas pantai yang ternyata menciptakan penyimpangan besar-besaran terhadap garis sama jarak. Salah satu contoh konfigurasi dari pulau utama yang
menciptakan prinsip sama jarak yang tidak adil dan merupakan salah satu sumber sengketa adalah peradilan dalam kasus Landas Kontinen Laut Utara pada tahun
1969, yang ditetapkan berdasarkan prinsip sama jarak dari kecekungan atau kelekukan garis pantai Republik Federal Jerman dan negara-negara yang
berdekatan, yaitu Denmark dan Belanda. Pembenaran penetapan batas berdasarkan prinsip sama jarak juga mencontohi praktek dari sejumlah negara.
Berdasarkan sejumlah ketentuan konvensi dan yurisprudensi maka Churchill Lowe, menyimpulkan bahwa paling sedikit ada empat prinsip yang
dapat diterima dengan jelas mengenai penetapan batas, yaitu : 1 Hak-hak atas landas kontinen adalah melekat dan ini harus diakui dalam
penetapan-penetapan batas; ada dalam teori, tidak ada unsur distribusi keadilan yang dilibatkan.
2 Penetapan batas melalui perjanjian tetap merupakan aturan yang utama dari hukum internasional.
3 Setiap penetapan batas, apakah disetujui atau ditentukan oleh pihak ketiga, harus menghasilkan prinsip solusi yang adil.
4 Tidak ada pembatasan bagi faktor-faktor yang berhubungan dengan penetapan-penetapan batas berdasarkan keadilan.
5.13 Kendala-Kendala Dalam Penetapan Batas ZEE Indonesia-Filipina
Penetapan batas wilayah ZEE antara Indonesia dan Filipina dinilai akan lebih mudah dibandingkan dengan penetapan batas wilayah ZEE antara Indonesia
dan Australia. Hal ini disebabkan bahwa tidak adanya keadaan-keadan khusus
136
special circumstances diantara pulau-pulau Indonesia dan Filipina. Sebagai contoh, diantara pulau Marore suatu pulau yang berada di wilayah Sangihe
Indonesia dengan Pulau Balut yang berada di Mindanao Selatan-Filipina yang jaraknya hanya 35 mil laut, tidak ada satupun pulau yang berada pada posisi
diantara kedua pulau tersebut. Hal yang sama juga antara Pulau Kawio yang ada di wilayah Sangihe Indonesia dengan Pulau Balut di bagian selatan Filipina,
yang hanya berjarak 37 mil laut. Demikian juga dengan kondisi geografis antara Pulau Miangas di Indonesia bagian utara Kabupaten Kepulauan Talaud
Indonesia yang berhadapan dengan pulau San Agustin Filipina yang berjarak 50 mil laut.
Dengan kata lain, diantara ketiga posisi ketiga pulau-pulau yang berdampingan atau berdekatan tersebut, tidak ada satu pun pulau atau karang yang
diklaim sebagai milik, baik dari Indonesia maupun dari Filipina, untuk dapat dijadikan dasar pengukuran sekaligus penetapan batas wilayah ZEE, berdasarkan
keadaan-keadaan tertentu.
5.14 Peran daerah dalam pengelolaan pulau-pulau kecil
Tata kelola sumberdaya pulau-pulau kecil merupakan bagian tak terpisahkan dari tata kelola sumberdaya wilayah pesisir dari program pemerintah
secara umum. Oleh karena itu, tata kelola sumber daya pulau-pulau kecil harus mengikuti prinsip-prinsip tata-kelola pemerintahan yang baik good governance,
juga mengadopsi prinsip-prinsip tata kelola sumber daya pulau-pulau kecil yang saat ini telah banyak dikembangkan oleh para ilmuwan dan praktisi tata kelola
sumber daya pulau-pulau kecil. Aturan hukum dibuat merupakan bagian tata kelola pemerintah untuk
membentuk perilaku individu dan lembaga dalam suatu tatanan kehidupan masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan aturan hukum sangat tergantung pada
legitimasi dari masyarakat dan pemberian sanksi. Setiap upaya pembuatan peraturan perundang-undangan harus mengacu pada kerangka hukum yang sudah
ada. Keseluruhan kerangka hukum inilah yang memberi identitas bagi sistem hukum di Indonesia, seperti dapat dilihat pada Tabel 12 di bawah ini :
137
Tabel 12 Tata Urutan Hukum yang dipergunakan di Indonesia
Hukum dan proses penyusunannya dapat digambarkan sebagai perangkat utama dalam melaksanakan tata kelola pemerintahan. Hukum akan menentukan
baik dan buruknya suatu tata kelola pemerintahan. Hukum yang berbasiskan pada tata kelola pemerintahan yang baik good governance seringkali disebut sebagai
faktor penentu keberhasilan pengelolaan yang berkelanjutan Martin and Smith, 2000. Upaya menciptakan suatu sistem hukum yang bertalian dengan masyarakat
yang diaturnya haruslah didasarkan kepada kepentingan, kebutuhan, aspirasi, dan kemampuan masyarakatnya. Oleh karena itu, penyusunan suatu hukum harus
memperhatikan ketentuan sebagai berikut: 1 menghindari pemberian kewenangan yang berlebihan; 2 menghindari pengaturan dan persyaratan yang
tidak perlu, berlebihan, dan sulit diterapkan; 3 mengakomodasi ketetapan yang bersifat transparan, akuntabel, dan melewati proses pengambilan keputusan yang
benar; 4 melibatkan tokoh masyarakat setempat; 5 menyelenggarakan proses pelibatan publik yang luas; dan 6 meningkatkan efektivitas mekanisme
penegakan hukum Lindsay, 2000. Seluruh ketentuan ini dirangkai dengan delapan prinsip tata kelola
pemerintahan, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian dasar yaitu proses, substansi, dan keberpihakan. Proses pembuatan peraturan peraturan perundang-
138
undangan hendaknya
mengikuti prinsip-prinsip
transparansiketerbukaan, partisipasi, koordinasi, dan keterpaduan. Substansi peraturan perundangundangan
hendaknya menguraikan materi muatan dengan mengikuti prinsip-prinsip kepastian hukum, fleksibilitas administrasi, akurasi secara ilmiah, sosial-ekonomi,
kegunaan, kejelasan, dan pendanaan berkelanjutan. Penerapan menguraikan penyelenggaraan dan penegakan hukum, yang dituangkan lewat prinsip-prinsip
akuntabilitas, pelaksanaan, keputusan yang adil, keutuhan proses, dan kesempatan dengar pendapat yang sama Patlis, 2003.
5.15 Kebijakan pengambilan keputusan masyarakat