130
5.11 Prinsip Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia-Filipina
Melalui Perjanjian hukum dan praktek penetapan batas wilayah termasuk ZEE tersebar dalam berbagai konvensi Internasional, putusan mahkamah
internasional maupun ketentuan hukum nasional negara-negara yang menyatakan bahwa penetapan batas wilayah ZEE antara dua negara yang berdampingan atau
berhadapan, dapat ditempuh melalui persetujuan atau perjanjian antara kedua negara. Dengan kata lain, praktek penetapan batas wilayah ZEE antara negara-
negara sudah menjadi aturan kebiasaan internasional, sehingga Indonesia dan Filipina dapat mencontohnya.
Churchill dan Lowe, membenarkan praktek tersebut dengan menyatakan bahwa selama ini sejumlah 70 atau lebih negara yang telah menetapkan ketentuan
tentang ZEE, dan lebih dari sepertiganya memasukkan dalam perUndang- Undangannya yang merujuk pada prinsip sama jarak seperti suatu solusi
sementara sambil menunggu penyelesaian penetapan batas melalui persetujuan. Ketentuan hukum nasional Indonesia, juga mengatur mengenai
kemungkinan adanya penetapan batas antara Indonesia dengan negara lain, rnelalui perjanjian. Dalam Pengumuman Pemarintah Republik Indonesia
mengenai ZEE Indonesia tanggal 21 Maret tahun 1980 menyebutkan bahwa dalam hal garis batas ZEE Indonesia menimbulkan masalah penentuan batas
dengan negara lain yang letaknya berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, Pemerintah Indonesia bersedia pada waktu yang tepat mengadakan
perundingan-perundingan dengan negara yang bersangkutan guna mencapai persetujuan.
Ketentuan yang sama juga dikodifisir dalam Pasal 3 ayat 1 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1983 yang menyebutkan bahwa apabila wilayah ZEE
Indonesia tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif neaara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas Zona
Ekonomi Eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dengan negara yang bersangkutan.
131
Penetapan batas ZEE berdasarkan persetujuan juga diatur dalam Perjanjian antara Indonesia dan Australia tentang Penetapan Batas ZEE dan Batas-batas Laut
Tertentu. Di dalam konsiderans perjanjian tersebut dikemukakan bahwa Republik Indonesia dan Australia terikat oleh Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982,
khususnya berdasarkan ketentuan Pasal 74 dan Pasal 83 yang menentukan bahwa batas ZEE dan landas kontinen antara kedua negara yang pantainya berhadapan
harus diatur dengan persetujuan berdasarkan hukum internasional untuk mencapai suatu penyelesaian yang adil the delimitation of the economic exclusive zone and
continental shelf between States with opposite coasts shall be effected by agreement on the basis of international law in order to achieve an equitable
solution. Ketentuan hukum nasional Filipina, khususnya yang berkaitan dengan
penetapan batas ZEE, juga mencantumkan penetapan wilayah berdasarkan persetujuan. Dalam Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 1599 Tahun 1978
menyebutkan bahwa ZEE Filipina adalah suatu wilayah yang membentang sampai sejauh 200 mil laut yang berada diluar garis dasar darimana laut teritorial diukur.
Jika batas-batas luar outer limit wilayah ZEE Filipina dalam posisi tumpang tindih dengan ZEE dari negara yang berdekatan atau bertetangga, maka batas-
batas umum common boundaries akan ditentukan dengan perjanjian dengan negara yang bersangkutan dan sesuai dengan azas-azas hukum internasional
tentang perbatasan yang umumnya diakui. Penetapan batas wilayah ZEE antara Indonesia dan Filipina, harus sejalan
dengan ketentuan hukum internasional, dan bukan menurut ketentuan hukum nasional semata-mata dari suatu negara. Dengan kata lain, ketentuan hukum dan
metode penatapan batas antara Indonesia dan Filipina, tidak boleh dilakukan dengan menggunakan hukum nasional Indonesia atau Filipina, melainkan
didasarkan pada ketentuan-ketentuan internasional tentang penetapan batas, sebagaimana diatur dalam berbagai konvensi dan yurisprudensi internasional yang
ada. Penetapan batas wilayah ZEE secara permanen persetujuan akhir antara
kedua negara termasuk Indonesia dan Filipina juga dapat ditempuh melalui
132
pengaturan sementara yang bersifat praktis berdasarkan semangat saling pengertian dan kerjasama antara kedua negara, mendahului persetujuan akhir. Hal
ini diatur dalam Pasal 74 ayat 3 Konvensi Hukum Laut yang menyatakan bahwa sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam ayat 1 dari
Pasal ini, negara negara yang bersangkutan dengan semangat saling pengertian dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk mengadakan pengaturan
sementara yang bersifat praktis dan selama masa peralihan ini tidak membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu persetujuan akhir. Menurut
Churchill dan Lowe, sambil memutuskan penyelesaian sengketa, negara-negara yang berbatasan tersebut dapat mengadakan usaha-usaha awal dalam bentuk
memberlakukan perjanjian sementara yang bersifat praktis berdasarkan ketentuan Pasal 74 ayat 3 dan Pasai 83 ayat 3 Konvensi Hukum Laut. Contoh-contoh
perjanjian tersebut antara lain persetujuan Perancis-Tuvalu berdasarkan garis sama jarak yang digunakan sebagai persetujuan perbatasan sementara atas suatu
perbatasan yang permanen, persetujuan Denmark-Swedia yang menetapkan bahwa selama perbatasan disetujui sebagai ditanda tangani pada tahun 1984
zona perikanan eksklusif dalam wilayah Kattegat terletak diluar 12 mil dari pantai akan ditempatkan berdasarkan yurisdiksi perikanan bersama Denmark-Swedia,
dan persetujuan Jepang Korea Selatan tahun 1974 berdasarkan Konvensi yang mengeksploitir sumber daya alam dalam suatu wilayah yang disengketakan
didasar laut untuk kepentingan kedua negara.
5.12 Prinsip Sama Jarak Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Filipina