139
melibatkan instansi lain dalam pengambilan keputusan secara utuh. Keterpaduan memerlukan kombinasi yang harmonis antara wawasan dan aksi koordinasi,
menekan konflik, membatasi ketidakefektifan, dan yang terpenting membatasi jumlah produk hukum. Keterpaduan tidak mengurangi kewenangan suatu instansi,
melainkan sekadar mengurangi sifat keotonomiannya. Keterpaduan menghasilkan pemerintah yang lebih efisien.
5.16 Dasar kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil
Akurasi llmiah dan pertimbangan sosial-ekonomi, dimana setiap peraturan yang berhubungan dengan tata kelola wilayah pesisir hendaknya sarat dengan
keilmuan di dalamnya. Akan tetapi, pertimbangan sosial dan ekonomi akan memperkaya nuansa dan muatan peraturan tersebut dalam upaya pengelolaan
wilayah pesisir. Suatu peraturan tidak bersifat normatif semata, melainkan juga harus mencerminkan isu dan permasalahan sebenarnya, berikut strategi
pemecahan yang dibutuhkan masyarakat. Untuk dapat memastikan kebutuhan yang sebenarnya dari para pemangku kepentingan, suatu kajian akademis terhadap
peraturan yang tengah dirancang atau ditetapkan perlu dilakukan, dengan menekankan pertimbangan ilmiah, sosial, dan ekonomi di dalamnya.
Pendanaan berkelanjutan mengacu pada pendanaan yang cukup untuk mengimplementasikan suatu peraturan. Pada sebagian besar wilayah, pendanaan
digunakan untuk keperluan administrasi dan operasional, dan hanya sedikit yang digunakan untuk pelaksanaan program dan pembangunan, kecuali apabila ada
alokasi khusus. Keterbatasan kemampuan dalam mendukung pendanaan merupakan salah satu alasan utama lemahnya penegakan hukum di Indonesia.
Kejelasan peraturan dapat diterima untuk kemudian dilaksanakan dengan baik hanya apabila memiliki kejelasan dan dapat dicerna oleh masyarakat
Seidman, et al., 2001; Botchway, 2001. Kejelasan mengacu pada bagaimana suatu peraturan dirumuskan dan masyarakat mengerti akan kandungan yang
terdapat di dalamnya.
Akuntabilitas merupakan landasan dalam melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik Bennett, 2001, yang dapat mendorong perilaku
pemerintah, baik secara individu dan kelembagaan, untuk melaksanakan tanggung
140
jawab kepada publik dan menegakkan hukum Turner and Hulme, 1997. Akuntabilitas penting dilakukan untuk mengatasi inefi siensi dan mendorong
pengambilan keputusan secara lebih dewasa. Kepastian Hukum. Kepastian hukum adalah jantung dari aturan hukum
dan tata kelola pemerintahan yang baik. Kepastian hukum sangat penting untuk sistem pemerintahan yang baik dan efisien. Kepastian hukum juga akan
memberikan jaminan keamanan terhadap investasi. Kepastian hukum akan memberikan persamaan secara sosial dan mencegah timbulnya konfl ik dalam
masyarakat. Dengan demikian, kepastian hukum tidak saja penting bagi pemerintah, melainkan juga dunia usaha dan masyarakat.
Keleluasaan administratif telah lama digunakan dalam penyusunan perundangan. Tak satupun peraturan yang dapat secara efektif memprediksi
semua kegiatan, fakta, dan situasi yang dibutuhkan Botchway, 2001. Keleluasaan dapat dituangkan secara eksplisit dan implisit dalam suatu peraturan.
Pemenuhan tingkat keadilan seringkali dipandang semu, sulit diukur, dan berbeda antara satu kepentingan dengan kepentingan lainnya. Namun demikian,
setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum dan berhak mendapatkan keadilan. Prinsip keadilan sesungguhnya memiliki keterkait erat
dengan supremasi hukum. Supremasi hukum akan menentukan arah dan menjamin kepastian hukum, keadilan, dan pembelaan hak asasi manusia.
Hukum ditegakkan bukan atas dasar kepentingan kekuasaan ataupun golongan kepentingan tertentu, melainkan demi nama keadilan. Keadilan tidak
semata ditegakkan hanya demi mewujudkan aturan hukum secara adil. Keadilan harus didukung oleh keberadaan institusi hukum dan aparat penegak hukum yang
jujur, profesional dan tidak terpengaruh oleh golongan manapun. Selain kedelapan prinsip good governance terdapat juga prinsip yang
menjadi dasar dalam menyusun peraturan perundang-undangan, seperti yang diamanatkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, ―Dalam membentuk peraturan
perUndang-Undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan perUndang-Undangan yang baik yang meliputi: kejelasan tujuan; kelembagaan
atau organ pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
141
dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan.‖
Kejelasan tujuan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perUndang- Undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Kelembagaan
atau organ pembentuk yang tepat. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis peraturan perUndang-Undangan harus dibuat oleh
lembagapejabat pembentuk peraturan perUndang-Undangan yang berwenang. Peraturan perUndang-Undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum,
apabila dibuat oleh lembagapejabat yang tidak berwenang. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Kesesuaian antara jenis dan
materi muatan adalah bahwa dalam pembentakan peraturan perUndang-Undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis
peraturan perUndang-Undangannya. Dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan
perUndang-Undangan harus memperhitungkan efektifi tas Peraturan Perundang- undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun
sosiologis. Kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap peraturan
Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perUndang-Undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perUndang-Undangan,
sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi
dalam pelaksanaannya. Keterbukaan adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturan
perUndang-Undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perUndang-Undangan.
Selanjutnya dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dijabarkan juga bahwa materi
142
muatan peraturan perundangan harus memenuhi asas sebagai berikut, yaitu pengayoman; kemanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan; bhineka
tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; ketertiban dan kapastian hukum; dan atau keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan. 1 Pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndang-
Undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
2 Kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndang- Undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak
asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
3 Kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndang- Undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang
pluralistik kebhinekaan dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
4 A sas kekeluargaan‖ adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perUndang-Undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
5 Kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndang- Undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia
dan materi muatan peraturan perUndang-Undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
6 Bhinneka tunggal ika adalah bahwa materi muatan peraturan perUndang- Undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. 7 Keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndang-Undangan
harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
143
8 Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndang-Undangan tidak boleh berisi hal-hal
yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
9 Ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndang-Undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. 10 Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat
dengan kepentingan bangsa dan negara.
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 5 ayat 2 disebutkan bahwa: Selain asas
sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat, berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perUndang-
Undangan yang bersangkutan. Penjelasan, y ang dimaksud dengan ―asas lain
sesuai dengan
bidang hukum
peraturan perUndang-Undangan
yang bersangkutan‖, antara lain: a dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas
tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapi dana, dan asas praduga tak bersalah; b dalam Hukum Peraturan Daerah, misalnya, dalam hukum perjanjian,
antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan iktikad baik. Secara formal, rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari DPRD atau
Kepala Pemerintah Daerah. Penyusunan sebuah Peraturan Daerah hanya dapat diinisiasi apabila terdapat permasalahan yang pencegahan atau pemecahannya
memerlukan sebuah Peraturan Daerah baru. Inisiasi awal penyusunan Peraturan Daerah baru dapat diprakarsai oleh pemangku kepentingan yang terkait dengan
sumber daya wilayah pesisir, baik itu lembagainstansi pemerintah, badan legislatif, dunia usaha, perguruan tinggi, organisasi nonpemerintah, maupun
kelompok masyarakat. Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa ―penyelenggara pemerintahan daerah
144
dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan tanggung jawabnya serta atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan
kebijakan daerah yang dirumuskan antara lain dalam Peraturan Daerah ….‖ Lebih
lanjut ditegaskan bawha kebijakan daerah dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan perUndang-Undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum
serta Peraturan Daerah lain. Terlepas dari pihak mana yang mengambil prakarsa awal penyusunan
sebuah Peraturan Daerah baru, hendaknya diingat bahwa saat ini terdapat dua jalur penyusunan Peraturan Daerah, yaitu jalur eksekutif dan jalur legislatif.
Oleh karena itu, pejabat berwenang dari lembagainstansi eksekutif dan badan legislatif hendaknya dilibatkan sejak awal. Dengan kata lain, sebelum
melangkah terlalu jauh, inisiasi awal yang bisa saja datang dari kelompok masyarakat atau pemangku kepentingan lainnya tersebut haruslah diadopsi
menjadi inisiasi lembagainstansi eksekutif atau badan legislatif. Setelah instansibadan yang menginisiasi memahami prinsip-prinsip
penyusunan Peraturan Daerah, maka instansi tersebut telah siap untuk membuat kerangka konseptual dan memulai proses pembuatan Peraturan Daerah. Pada
intinya, pembuatan Peraturan Daerah sebenarnya merupakan satu bentuk pemecahan masalah secara rasional. Layaknya sebagai proses pemecahan
masalah, langkah pertama yang perlu diambil adalah menjabarkan masalah yang akan diatasi, dan menjelaskan bagaimana Peraturan Daerah yang diusulkan akan
dapat memecahkan masalah tersebut. Konsep atau draft rancangan Peraturan Daerah harus merupakan usulan pemecahan masalah-masalah spesifik yang telah
diidentifikasi dan dirumuskan. Seperti layaknya usulan pemencahan masalah yang memerlukan kajian empiris, draft Peraturan Daerah juga hendaknya dikaji secara
empiris melalui konsultasi publik dan pembahasan antar-instansi. Lebih jauh, rancangan Peraturan Daerah yang sudah disahkan hanyalah merupakan
pemecahan masalah secara teoristis. Sebagai pemecahan masalah, Peraturan Daerah yang baru hendaknya dicek secara silang crosscheck. Peraturan Daerah
perlu diimplementasikan untuk mengetahui secara pasti tingkat keefektifan yang sebenarnya.
145
Secara umum, terdapat 6 enam langkah yang perlu dilalui dalam menyusun suatu Peraturan Daerah baru. Uraian dari masing-masing langkah dapat
bervariasi, namun secara umum seluruh langkah ini perlu dilalui. 1 Langkah 1: Identifi kasi isu dan masalah;
2 Langkah 2: Identifi kasi legal baseline atau landasan hukum, dan bagaimana Peraturan Daerah Peraturan Daerah baru dapat memecahkan
masalah; 3 Langkah 3: Penyusunan Naskah Akademik;
4 Langkah 4: Penulisan Rancangan Peraturan Daerah; 5 Langkah 5: Penyelenggaraan Konsultasi Publik;
• Revisi Rancangan Peraturan Daerah; • Apabila diperlukan, melakukan konsultasi publik tambahan;
6 Langkah 6: Pembahasan di DPRD 7 Langkah 7: Pengesahan Peraturan Daerah.
Gambar 17 Alur proses penyusunan peraturan daerah
Proses legislative drafting sebenarnya sudah dimulai dalam penyusunan naskah akademik. Isu dan masalah ditelaah dan dianalisis, dan pemikiran-
pemikiran serta tema-tema disajikan secara tertulis di dalam naskah akademik. Hal ini akan membentuk struktur atau sistematika penulisan Peraturan Daerah
yang baru. Idealnya, proses penyusunan naskah akademik berlanjut secara alami menuju proses penyusunan legislative drafting atau rancangan Peraturan Daerah.
146
Secara umum, legislative drafting hendaknya dimulai dengan penulisan secara garis besar, lalu dilanjutkan ke penulisan yang lebih detil atau rinci. Tim
dapat memulainya dengan membuat satu kerangka tulisan outline, atau dengan merumuskan tujuan dari Peraturan Daerah yang dibuat, yang mengidentifi kasi
tema-tema utama dan ruang lingkup dari Peraturan Daerah yang baru. Telaah naratif berdasarkan naskah akademik dapat dimasukkan di sini.
Tim penyusun hendaknya menyempurnakan ruang lingkup Peraturan Daerah yang baru, melalui serangkaian pertemuan dengan para pemangku kepentingan, serta
didukung dengan hasil kerja anggota tim secara individu yang dikerjakan di antara pertemuan-pertemuan tersebut. Naskah akademik hendaknya dipakai sebagai
dasar dalam melakukan pengecekan silang cross-checking dari usulan-usulan yang disampaikan dalam pertemuan-pertemuan ini.
Dalam tahap-tahap awal, konsep rancangan Peraturan Daerah sebaiknya tidak ditulis menyerupai suatu Peraturan Daerah. Draft awal hendaknya tidak
ditulis dalam bentuk bab, pasal, dan ayat. Tim dapat memulai dengan sebuah matriks yang mengidentifi kasi masalah, mengusulkan pemecahan masalah, dan
tulisan hukum secara singkat yang berkaitan dengan dua hal tersebut. Materi muatan Peraturan Daerah tentang pulau kecil, tentunya tidak dapat
diseragamkan untuk seluruh provinsi dan kabupatenkota. Dalam penyusunan Peraturan Daerah pengelolaan pulau kecil di daerah perbatasan, materi muatannya
hendaknya disesuaikan dengan potensi, permasalahan, dan kebutuhan masing- masing daerah. Adapun materi muatan yang disajikan di bawah ini dimaksudkan
sebatas sebagai bahan acuan, yang penggunaannya harus mengikuti kebutuhan masing-masing provinsi dan kabupatenkota.
Pada intinya, pengelolaan pulau kecil bertujuan untuk pengelolaan berkelanjutan atas seluruh sumber daya yang berada di pulau kecil termasuk
wilayah pesisirnya dengan mengakomodasi kepentingan seluruh pemangku kepentingan yang ada. Pengelolaan pulau kecil mengkoordinasikan dan
memadukan seluruh aktivitas di pulau kecil untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya pesisir yang ada untuk tujuan ekonomi dan lainnya, dengan tetap
menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungannya. Konsep pengelolaan pulau kecil memberi keleluasaan kepada seluruh pemangku kepentingan untuk
147
tetap melakukan program dan aktivitasnya masing-masing di pulau kecil termasuk wilayah pesisir. Seluruh sektor seperti kehutanan, pertambangan, perikanan dan
sebagainya masih tetap memiliki kewenangan masing-masing dalam mengelola program dan aktivitas mereka di pulau kecil dalam wilayah pesisir. Program yang
dikehendaki adalah bahwa perencanaan dan pengelolaan seluruh program harus dilakukan secara terpadu, agar semua program dan aktivitas yang dilakukan saling
memperkuat satu sama lain, tidak saling bertabrakan dan merugikan satu sama yang lain.
Keterpaduan mutlak diperlukan dalam seluruh proses perencanaan dan pengelolaan sumber daya pesisir yang bersifat multisektoral. Namun demikian,
mencapai keterpaduan perencanaan dan pengelolaan tersebut bukanlah hal yang mudah. Apalagi, pengelolaan wilayah dan sumber daya pesisir sangat erat
kaitannya dengan tata kelola kepemerintahan yang kompleks, dan menghadapi permasalahan-permasalahan sulit seperti kerancuan yurisdiksi, ketidakjelasan
kewenangan, serta status milik bersama common property dan akses terbuka open access sumber daya pesisir pada umumnya. Untuk itulah, pengelolaan
sumber daya pesisir perlu melibatkan seluruh tingkatan, dari nasional hingga pemerintahan desa, dan seluruh pemangku kepentingan pada setiap tingkatan
pemerintahan. Manfaat-manfaat yang diperoleh dengan melakukan pengelolaan pulau
kecil dapat dikelompokkan dalam 4 empat kategori. Kategori inilah yang sedapat mungkin diikutsertakan dalam proses pengelolaan pulau kecil. Keempat
kategori tersebut ialah: 1 Manfaat dari sumber daya laut dan darat terrestrial yang berkelanjutan,
termasuk ikan, karang, pantai, mangrove, estuari, laguna, dan sebagainya; 2 Manfaaat pencegahan terjadinya pencemaranpolusi, baik yang berasal dari
darat maupun laut, dan perlindungan kesehatan dan keamanan masyarakat pesisir;
3 Peningkatan manfaat ekonomi dari industri pariwisata dan maritim; 4 Pengembangan beberapa manfaat baru seperti energi dan ekowisata.
148
Bagaimanapun juga, perlu dipahami bahwa tiada cara yang lebih baik untuk merencanakan dan menyelenggarakan pengelolaan pulau kecil selain
dengan menyesuaikannya kepada keberadaan kelembagaan dan lingkungan dalam suatu wilayah terkait. Termasuk pula di dalamnya pertimbangan mengenai
struktur politik dan administrasi, kondisi ekonomi, kebudayaan, dan tradisi sosial Clark, 1996.
Di Indonesia, upaya penyusunan peraturan perundang-undangan formal tentang pengelolaan wilayah pesisir terpadu sudah berjalan selama beberapa
tahun. Di Sulawesi Utara, misalnya, warga di Desa Bentenan, Tumbak, Blongko, dan Talise menyusun peraturan desa Perdes mengenai pengelolaan daerah
perlindungan laut dan wilayah pesisir berbasis masyarakat pada tahun 2000-2002, yang bertujuan menyediakan kerangka hukum di tingkat desa. Berikutnya, tahun
2002-2003, 24 desa di satu kecamatan Likupang, Minahasa Utara menetapkan Perdes tentang pengelolaan daerah perlindungan laut dan wilayah pesisir. Upaya
penyusunan Perdes di desa-desa lainnya di Sulawesi Utara kemudian dilakukan oleh pihak-pihak terkait. Perdes di tingkat desa ini kemudian diikuti dengan
penyusunan dan pengesahan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi jenjangnya, yaitu Peraturan Daerah mengenai pengelolaan wilayah berbasis
masyarakat tingkat kabupaten dan provinsi. Di samping itu, upaya penyelesaian rancangan undang-undang pengelolaan wilayah pesisir terpadu di tingkat nasional
saat ini sedang berlangsung. Selain upaya-upaya yang telah di Sulawesi Utara, upaya serupa tengah
berlangsung di sejumlah kabupatenkota dan provinsi, yang difasilitasi oleh Departemen Kelautan dan Perikanan DKP melalui proyek Marine and Coastal
Resources Management Project MCRMP. MCRMP diikuti oleh 15 lima belas provinsi dan 43 empat puluh tiga kabupatenkota di Indonesia, yang sebagian
besar berupaya menyusun Peraturan Daerah mengenai pengelolaan wilayah pesisir terpadu.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menjelaskan sejumlah pertanyaan, keraguan, dan inkonsistensi yang
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Banyak kerangka dasar
149
yang diboyong ke Undang-Undang baru. Pasal 2 dan 10 10 pada Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 mencantumkan wewenang yang luas bagi
pemerintahan daerah untuk mengelola wilayah mereka sendiri. Jangkauanlingkup kewenangan ini dicantumkan dalam Pasal 13 untuk provinsi dan Pasal 14 untuk
kabupaten dan kota, dan memasukkan masalah tata ruang, urusan kemasyarakatan, monitoring lingkungan, dan beberapa urusan lain. Hak-hak
untuk Pemerintah
Derah provinsi
dan kabupatenkota,
termasuk mengembangkan sumber-sumber pendapatan dari pengelolaan sumber daya alam,
diatur dimuat dalam Pasal 21, dan pertanggungjawaban termasuk melindungi dan melestarikan lingkungan dicantumkan dalam Pasal 22.
Pemerintah Provinsi perlu memiliki kemampuan dalam menangani permasalahan-permasalahan antar-kabupatenkota Pasal 13, dan Pemerintah
Pusat dapat menolak peraturan-Peraturan Daerah yang tidak sejalan dengan undang-undang Pasal 136, 145. Bupati kepala daerah dipilih langsung, dan desa
diberi tanggung jawab lebih besar dalam menangani masalah-masalahnya, meskipun tetap harus merujuk ke kabupaten Pasal 200.
Undang-undang yang baru memberikan arahan lebih baik dibandingkan dengan Undang-Unang Nomor 22 Tahun 1999 dalam mendorong tata kelola
pemerintahan yang baik. Masyarakat adat diakui dan diperhatikan, sesuai dengan prinsip negara Pasal 2. Prinsip-prinsip manajemen, akuntabilitas, dan efisiensi
menjadi pijakan bagi Pemerintah untuk bekerja Pasal 11. Pengelolaan sumber daya alam dilaksanakan dalam cara yang jujur dan harmonis Pasal 26.
Masyarakat memiliki hak untuk terlibat dalam penyusunan Peraturan Daerah Pasal 139 ayat 1. Di sini dijelaskan juga bahwa Peraturan Daerah harus
mengikuti kerangka hukum yang telah ada sebelumnya Pasal 139 ayat 2 dan Pasal 145.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dalam Pasal 4, menyatakan secara umum
bahwa ketentuan
tersebut bertujuan
untuk mengatur
dan mengorganisasikan masyarakat setempat berdasarkan keputusan yang mereka
ambil dan aspirasi mereka sendiri. Pasal 7 ayat 1 menyatakan bahwa wewenang ini mencakup setiap urusan pemerintahan, kecuali urusan politik luar negeri,
pertahanan dan keamanan, hukumkeadilan, keuangan, dan agama. Pemerintah
150
Pusat tetap memegang kewenangan untuk membuat kebijakan tentang banyak hal, termasuk pemanfaatan dan konsevasi sumber daya alam.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, memuat ketentuan-ketentuan khusus sehubungan dengan pengelolaan perairan pesisir dan laut coastal waters,
yang merupakan perubahan nyata tata kelola pemerintahan sehubungan dengan pengelolaan perairan pesisir dan laut. Perairan laut provinsi ditentukan sejauh 12
mil laut, terhitung dari garis pantai. Provinsi memiliki kewenangan untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan pada kawasan
tersebut. Kabupatenkota memiliki kewenangan mengelola sampai dengan sepertiga dari perairan laut provinsi, terhitung dari garis pantai ke arah laut.
Terdapat dua pengecualian mengenai kewenangan daerah ini. Pertama, dasar laut yang berada di bawah teritorial suatu samudera, tidak secara jelas
tercakup dalam wilayah laut ini, sehingga kewenangan dalam mengelola wilayah dasar laut tetap berada di tangan Pemerintah . Hal ini termasuk dalam hak-hak
pelaksanaan kegiatan di bawah laut, seperti minyak, gas, dan mineral. Kedua, hak- hak penangkapan ikan secara tradisional tidak dibatasi oleh teritorial laut suatu
daerah. Sehubungan dengan perairan laut yang berada dalam yurisdiksi
Pemerintah, terutama Zona Ekonomi Eksklusif ZEE yang berada di luar batas 12 mil, Pemerintah tetap memegang tanggung jawab langsung untuk melakukan
kegiatan-kegiatan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000, Pasal 2 3 2 a, Pemerintah memiliki hak untuk mengeksplorasi, mengkonservasi,
memproses, dan mengeksploitasi semua sumber daya alam yang berada di perairan itu.
Hak pemerintah di wilayah laut berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diatur dalam Pasal 18 yaitu:
1 Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut.
2 Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumberdaya alam di bawah dasar danatau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3 Kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi:
151
1 eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; 2 pengaturan administratif;
3 pengaturan tata ruang; 4 penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh
daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; 5 ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan
6 ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. 4 Kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana
dimaksud pada ayat 3 paling jauh 12 dua belas mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas danatau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi
dan 13 sepertiga dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupatenkota. 5 Apabila wilayah laut antara 2 dua provinsi kurang dari 24 dua puluh
empat mil, kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 dua
provinsi tersebut, dan untuk kabupatenkota memperoleh 13 sepertiga dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud.
6 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 4 dan ayat 5 tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil.
7 Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 3, ayat 4, dan ayat 5 diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Indonesia telah memiliki pengalaman dalam menyusun peraturan perundang-undangan, dari tingkat desa sampai ke tingkat Pemerintah Pusat, yang
secara khusus mengatur pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Sampai saat ini di Provinsi Sulawesi Utara, setidaknya terdapat beberapa peraturan desa dan
peraturan daerah kabupatenkota dan provinsi yang telah dibuat dan disahkan yaitu di tingkat Kabupaten yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa No. 2
Tahun 2002 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat; sedangkan satu Peraturan Daerah provinsi yang telah diberlakukan adalah Peraturan Daerah
Provinsi Sulawesi Utara Nomor 38 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat, yang dibuat belum dilandasi dengan Undang-
Undang khusus mengenai pengelolaan wilayah pesisir, karena Undang-Undang
152
yang mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil nanti di tetapkan pada tahun 2007. Selain peraturan yang belum dilandasi dengan undang-
Undang pengelolaan pesisir, namun di Kota Bitung telah ditetapkan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat yang mengacu
pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Selama lebih dari sepuluh tahun terakhir ini di tingkat provinsi dan kabupatenkota, telah dilakukan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir, sebagai kebijakan dan hukum nasional dalam pengelolaan wilayah pesisir. Namun khusus untuk pengelolaan pulau kecil hingga
saat ini belum ada peratuiran daerah yang di proses. Demikian pula di kabupaten yang menjadi obyek penelitian belum ada peraturan daerah yang khusu mengatur
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil, walapun telah diamanatkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Nomor 38 Tahun 2003 agar kabupaten dan kota wajib
melakukan penyusunan dan menetapkan peraturan daerah pengelolaan wilayah pesisir. Seluruh peraturan daerah disebut di atas disebut telah dilakukan melalui
proses penyusunan yang bersifat terbuka, transparan dan partisipatif atau dengan cara bottom up. Seluruh pengalaman ini menunjukkan bahwa telah terjadi
pembelajaran yang cukup banyak dalam penyusunan peraturan perundang- undangan tentang pengelolaan wilayah pesisir.
Oleh karena sebuah peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya,
maka idealnya rancangan peraturan daerah tentang pengelolaan wilayah pesisir disusun di Provinsi Sulawesi Utara sudah seharusnya direvisi menyesuaikan
dengan peraturan perUndang-Undangan yang baru ditetapkan. Proses pembelajaran yang telah dilakukan di Provinsi Sulawesi Utara
didasarkan pada paham atau kaidah-kaidah yang tidak bertentangan dengan peraturan perUndang-Undangan baik menurut prinsip yang dianutnya maupun
mekanisme dalam menggulirkan prosesnya. Sehingga, diharapkan akan memberikan sumbangsih pemikiran untuk mendorong terciptanya suatu proses
penyusunan Peraturan Daerah yang baik, khususnya mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil di Provinsi Sulawesi Utara.
153
5.17 Analisis Hierahi Proses Rancangbangun Hukum Pengelolaan Pulau-