Peningkatan Akses dan Kualitas PAUD

162 | Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 meningkatkan koordinasi antarsektor dan pemberdayaan peran swasta dalam penyelenggaraan PAUD holistik-integratif.

2.1.19 Peningkatan Keterampilan

Kerja dan Penguatan Pendidikan Orang Dewasa Struktur penduduk Indonesia terus mengalami perubahan dan saat ini sudah mengalami masa dimana proporsi penduduk usia produktif 15-64 sudah lebih besar dibandingkan penduduk usia non- produktif 0-14 tahun dan 65 tahun keatas. Fenomena yang disebut bonus demografi ini diperkirakan akan terus berlangsung sampai dengan tahun 2031. Bila dimanfaatkan dengan baik keadaan ini akan memberikan keuntungan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Salah satu yang harus dipastikan adalah tersedianya tenaga kerja terampil yang juga mampu bersaing dengan tenaga kerja dari negara-negara lain utamanya dalam kerangka ASEAN sejalan dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Pada awal tahun 2013, jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai 121,2 juta orang dengan tingkat partisipasi angkatan kerja sebesar 69,2 persen dan tingkat pengangguran terbuka sebesar 5,9 persen. Jika dilihat dari lapangan pekerjaan, dari 114 juta orang yang bekerja, 39,96 juta 35,0 persen bekerja di sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan dan hanya 14,8 juta 13,0 persen bekerja di sektor industri. Jika dilihat dari status pekerjaan, 35,7 juta bekerja tidak penuh, dengan rincian 22,2 juta bekerja paruh waktu dan 13,6 setengah menganggur. Dari data ini, mayoritas tenaga kerja terserap di sektor-sektor yang tidak menuntut persyaratan keterampilan tinggi, dan hanya sedikit saja yang bekerja di sektor industri yang menuntut keahlian menurut bidang ilmu tertentu yang ditekuni di lembaga pendidikan. Rendahnya kualitas tenaga kerja, yang antara lain diukur dengan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan, juga masih mengemuka. Dari sekitar 114 juta penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja data 2013, sekitar 54,7 juta orang 47,9 persen hanya berpendidikan SDMI atau kurang, dan hanya 34,3 persen yang lulus sekolah menengah atau perguruan tinggi. Dengan pendidikan yang masih rendah dan keahlianketerampilan yang tidak memadai, para lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi sekalipun hanya bisa masuk ke lapangan pekerjaan yang tidak menuntut keahlianketerampilan tinggi seperti pertanian dan pabrik. Sebagai contoh, pada tahun 2010, masih lebih dari 50 persen lulusan SMAMASMK bekerja di unskilled jobs dan lebih dari 30 persen di semi-skilled jobs. Untuk lulusan pendidikan Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 | 163 tinggi, masih ada sekitar 10 persen dan 40 persen, secara berturut- turut, yang bekerja di unskilled dan semi-skilled jobs. Dengan keterampilan vokasi yang diperoleh dari bangku sekolah, lulusan SMK diharapkan mempunyai kemampuan yang lebih dibanding lulusan SMA. Harapan tersebut ternyata tidak terlihat di lapangan sebagaimana yang disampaikan oleh pelaku usaha. Sekitar 26 persen pelaku usaha menilai lulusan SMASMK berkualitas rendah dan tidak ada perbedaan kualitas secara signifikan antara lulusan SMA dan SMK. 9 Kurang dari 10 persen pelaku usaha yang menilai lulusan SMASMA berkualitas sangat baik. 10 Isu rendahnya kualitas angkatan kerja masih akan tetap mengemuka dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya potensi tenaga kerja usia muda yang berpendidikan rendah. Pada tahun 2012, dari sekitar 62 juta penduduk usia 15-29 tahun yang sudah tidak bersekolah, ada sekitar 30 persennya yang hanya lulus SDMI atau kurang. Selain itu, sampai saat ini masih banyak anak-anak yang putus sekolah dan tidak menyelesaikan pendidikan sembilan tahun dan juga banyak lulusan SMPMTssederajat yang tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Sebagai gambaran, pada tahun 2012 terdapat 1,36 juta anak usia 13-15 tahun yang tidak bersekolah dan pada tahun 2015 mereka akan menjadi bagian dari angkatan kerja berpendidikan rendah. Keadaan tersebut tentu saja tidak cukup kondusif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang sangat membutuhkan tenaga kerja yang berkualitas dan bekerja sesuai dengan tingkat kompetensinya. Peningkatan kualitas tenaga kerja sangat dibutuhkan terutama karena tuntutan standar kualitas produksi yang semakin tinggi, lingkungan kerja yang semakin kompetitif, dan cepatnya perkembangan teknologi baik yang berasal dari luar negeri 9 World Bank, 2011, Skills for the Labor Force in Indonesia 10 Chen, Dandan. 2009. Vocational Schooling, Labor Market Outcomes, and College Entry. Policy Working Paper 4814. Washington, DC: World Bank; juga Newhouse, David and Daniel Suryadarma. 2011. The Value of Vocational Education: High School Type and Labor Market Outcomes in Indonesia. The World Bank Economic Review 252, 296-322. 10 World Bank, 2011, Skills for the Labor Force in Indonesia 164 | Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 maupun yang dikembangkan di dalam negeri. 11 Penanganan penduduk usia muda berpendidikan rendah menjadi sangat relevan untuk dilakukan sebagai upaya memanfaatkan bonus demografi. Dengan proyeksi rasio ketergantungan yaitu proporsi penduduk usia non-produktif terhadap usia produktif yang akan mencapai titik terendah antara tahun 2028 dan 2031 dengan angka sekitar 46,9 persen, maka upaya untuk menyiapkan tenaga kerja berkualitas harus dilakukan dengan baik dan segera. Keterlambatan dalam mengantisipasi momentum bonus demografi dapat menimbulkan dampak negatif yang cukup berat, tidak hanya di bidang ekonomi seperti meningkatnya pengangguran, tetapi juga dapat memicu konflik sosial karena daya dukung lingkungan yang tidak memadai. Permasalahan berikutnya adalah masih sangat sedikit perusahaan yang memberikan pelatihan bagi karyawannya. Hanya sekitar 5 persen tenaga kerja yang melaporkan pernah mendapat pelatihan. Hanya sektor keuangan dan jasa publik yang memberikan pelatihan cukup banyak bagi karyawannya masing-masing sekitar 17 persen. Survei juga menemukan bahwa perusahaan kecil dan menengah jarang memberikan pelatihan on-the-job training bagi karyawannya. 12 Hanya sekitar 3 persen perusahaan kecil dengan karyawan 5-19 orang dan hanya sekitar 13 persen perusahaan menengah dengan karyawan 20-99 orang yang memberikan pelatihan bagi karyawannya. Meskipun hampir 40 persen perusahaan besar memberikan pelatihan bagi karyawan, angka tersebut masih lebih rendah dari yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan besar di negara-negara lain, yang angka rata-ratanya sudah mencapai 65 persen. Kualitas lembaga pelatihan keterampilan di Indonesia juga masih rendah. Sebagian besar balai latihan kerja BLK tidak berkualitas dilihat dari ketersediaan fasilitas, peralatan, dan sumber daya manusia. Sangat sedikit pelatih di BLK yang lulus perguruan tinggi. Pendidikan non-formal berperan penting dalam penyediaan pelatihan keterampilan kerja melalui lembaga kursus, namun kualitasnya dinilai jauh lebih rendah dibanding lembaga pendidikan formal. Meskipun demikian, lulusan lembaga pendidikan non-formal dinilai lebih baik dalam hal relevansi dan adaptabilitasnya dengan 11 World Bank, 2011, Skills for the Labor Force in Indonesia 12 World Bank, 2009, Enterprise Surveys