150
|
Rancangan Awal RPJMN 2015-2019
Penguatan Jaminan Kualitas Pelayanan Pendidikan
Untuk menjembatani pemenuhan SNP, pada tahun 2010 telah dikeluarkan
Peraturan Menteri
Pendidikan dan
Kebudayaan Permendikbud No. 15 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan
Minimal SPM yang kemudian dirubah dalam Permendikbud No. 23 Tahun 2013. Standar pelayanan minimal tersebut ditetapkan sebagai
tolok ukur kinerja pelayanan pendidikan dasar di tingkat kabupatenkota yang merupakan pentahapan dalam pencapaian
seluruh standar nasional pendidikan. Dalam peraturan tersebut Pemerintah menetapkan bahwa SPM pendidikan dasar harus tercapai
dalam tahun 2014. Namun demikian, capaian pada tahun 2013 menunjukkan hasil yang belum baik. Survei yang dilakukan terhadap
5.280 SDMI dan SMPMTs menemukan hanya sekitar 54 persen SMPMTs yang memiliki ruang laboratorium sains, bahkan hanya
sekitar 21 persen MTs swasta yang memiliki ruang laboratorium. Tidak hanya capaian fisik, capaian non-fisik juga masih belum cukup baik.
Misalnya, kurang dari 60 persen SDMI yang semua gurunya menerapkan rencana pelaksanaan pembelajaran RPP dan hanya
sekitar 50 persen SDMI yang semua gurunya mengembangkan dan menerapkan program penilaian untuk membantu meningkatkan
kemampuan belajar peserta didik. Infomasi ini dapat menggambarkan bahwa proses pembelajaran dan sistem pendukungnya belum sesuai
dengan yang diharapkan.
Jaminan kualitas pendidikan menengah juga belum sepenuhnya diterapkan. Sekitar 32,1 persen SMASMK bahkan belum terakreditasi.
Lingkungan pembelajaran termasuk ketersediaan fasilitas belum cukup mendukung proses belajar mengajar yang berkualitas, meskipun
hampir seluruh guru pendidikan menengah sudah berpendidikan S1D4. Kondisi ini antara lain juga disebabkan oleh banyaknya sekolah
swasta yang dibangun bukan karena tuntutan kualitas yang lebih tinggi dari sekolahmadrasah negeri, tetapi karena ketiadaan atau kurangnya
daya tampung SMASMKMA negeri. Pada tahun 2011 dari 26.408 SMASMKMA yang ada PODES 2011, 17.860 diantaranya 67,6
persen adalah sekolahmadrasah swasta. Lebih rendahnya kualitas sekolah swasta dapat ditunjukkan oleh lebih banyaknya SMASMKMA
swasta yang tidak memiliki fasilitas yang mendukung pembelajaran termasuk perpustakaan dan berbagai laboratorium.
Penguatan Kurikulum dan Pelaksanaannya
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa kurikulum dikembangkan dengan prinsip
Rancangan Awal RPJMN 2015-2019
| 151
diversifikasi. Kurikulum harus dapat meningkatkan potensi, minat, dan kecerdasan jamak peserta didik, serta memberi peluang penggunaan
bahasa ibu, selain bahasa Indonesia, sebagai bahasa pengantar dalam proses pembelajaran.
2
Penggunaan bahasa ibu ini penting untuk dua tujuan: i memfasilitasi murid yang masih belum fasih berbahasa
Indonesia agar lebih mudah mengikuti pelajaran, dan ii mencegah kepunahan bahasa ibu akibat berkurangnya penutur di masyarakat.
Selain itu, kurikulum juga perlu diselaraskan dengan kebutuhan keterampilan abad ke-21 yang ditandai oleh kesadaran global,
penumbuhan kreativitas dan inovasi, serta berbagai macam kemampuan: pemecahan masalah, kerjasama, mencari informasi yang
sahih, berkomununikasi dan menggunakan teknologi informasi, serta menjadi warga negara yang bertanggungjawab dan memiliki kapasitas
moral yang ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari, baik di kelas maupun di luar kelas. Kurikulum juga harus meningkatkan wawasan
dan pemahaman peserta didik dalam membangun ketahanan diri, terutama kesadaran akan pentingnya kesehatan, termasuk kesehatan
reproduksi, dan kepedulian terhadap lingkungan, untuk menghindari permasalahan remaja seperti pernikahan dan melahirkan di usia yang
terlalu muda, dan penyebaran penyakit menular termasuk HIVAIDS.
Pemerintah harus dapat memastikan bahwa semua siswa dapat mengikuti kurikulum yang berlaku, sehingga mereka memiliki
kompetensi yang sama. Meskipun memicu kontroversi dan mengandang polemik di masyarakat, Kurikulum 2013 resmi
diterapkan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di tingkat sekolah. Namun demikian, banyak pihak meragukan
efektivitasnya karena berbagai masalah terkait pelaksanaan kurikulum ini belum diselesaikan, yaitu: rendahnya kompetensi guru, lemahnya
kepemimpinan pedagogis kepala sekolah, pengawas, dan pegawai pemerintahan. Untuk itu, diperlukan kemampuan dan kemauan
sekolah dan guru yang dapat mendorong terjadinya perubahan terutama dalam proses pembelajaran di kelas dan penilaian kinerja
siswa. Akuntabilitas sekolah dan transparansi kepada masyarakat, manajemen kinerja guru, penilaian sekolah, dan proses pemantauan
yang juga menjadi faktor penting dalam keberhasilan pelaksanaan
2
Di sejumlah sekolah di daerah-daerah terpencil, guru-guru tidak bisa mengajar di sekolah tersebut menggunakan bahasa Indonesia, karena murid-murid masih bertutur dalam bahasa
ibu. Dengan menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengatar dalam pembelajaran, maka akan membantu murid-murid untuk lebih mudah memahami mata pelajaran. Karena itu,
penggunaan bahasa ibu seyogianya dapat diterapkan paling kurang sampai kelas 3 Sekolah Dasar.
152
|
Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 kurikulum harus mendapat perhatian. Mengingat peran kepala sekolah
dan pengawas yang sangat sentral dalam menentukan kualitas pendidikan, kompetensi mereka yang masih lemah perlu untuk
ditingkatkan.
E. Penguatan Sistem Penilaian Pendidikan
Saat ini, Ujian Akhir Nasional UAN merupakan satu satunya instrumen untuk melihat tingkat pencapaian pembelajaran siswa, yang
hasilnya digunakan untuk berbagai tujuan, yaitu: mengukur hasil belajar atau prestasi akademik siswa, seleksi untuk penerimaan siswa
baru pada jenjang yang lebih tinggi, pemetaan kesenjangan dan mengidentifikasikan kebutuhan intervensi di tingkat sekolah,
penentuan
kelulusan siswa, dan pengukuran kualitas sekolah termasuk guru dan kepala sekolah. Mengingat banyaknya faktor yang
mempengaruhi hasil belajar siswa, penggunaan satu bentuk penilaian di akhir dari satu siklus pendidikan untuk berbagai tujuan tentunya
tidak mencukupi.
Disamping itu, sistem UAN masih memiliki berbagai kelemahan, terutama terkait dengan validitas dan keandalan pelaksanaannya,
keadilan sistemnya, dan penggunaan hasil UAN sebagai barometer perkembangan kualitas pendidikan di Indonesia. Penggunaan soal-soal
pilihan berganda dinilai tidak dapat mengukur kompetensi siswa secara luas seperti kemampuan berpikir dan kreativitas. Penggunaan
pola ini juga rawan terhadap kecurangan baik yang dilakukan secara individu maupun kolektif. Oleh karena itu validitas pelaksanaan UAN
harus ditingkatkan. Selain itu, penggunaan satu sistem penilaian dalam suatu sistem pendidikan yang belum merata kualitasnya dinilai tidak
berkeadilan. Siswa yang mengikuti pendidikan di sekolahmadrasah dengan kualitas rendah tidak dapat dinilai dan ditentukan
kelulusannya dengan cara yang sama dengan siswa yang mendapatkan pelayanan yang berkualitas. Keandalan reliability UAN juga sulit
dijamin karena cakupannya yang sangat luas dan dengan beban logistik yang sangat berat. Sistem UAN yang ada saat ini juga tidak
dapat
digunakan untuk
mengukur perkembangan
kualitas pembelajaran antarwaktu. Hal tersebut disebabkan karena sistem
pelaksanaan yang terus berubah, termasuk dalam penetapan batas kelulusan, tingkat kesulitan soal, dan perhitungan kontribusi nilai
sekolah. Untuk itu, diperlukan satu sistem penilaian yang lebih baik, yang dapat dilakukan melalui uji petik, untuk dapat mengukur
perkembangan hasil belajar siswa dari waktu ke waktu yang tidak dipengaruhi oleh perubahan sistem ujian nasional. Sistem penilaian
yang disebut Indonesian National Assessment Program INAP yang
Rancangan Awal RPJMN 2015-2019
| 153
dikembangkan tahun 2009 oleh Pusat Penilaian Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat diperkuat untuk
dapat memenuhi kebutuhan penilaian perkembangan hasil belajar siswa di Indonesia dari waktu ke waktu.
Dari permasalahan tersebut di atas, tantangan yang dihadapi dalam meningkatkan kualitas pendidikan adalah membangun dan
menerapkan sistem jaminan kualitas pendidikan secara menyeluruh, memperbaiki pelaksanaan kurikulum, dan membangun sistem
penilaian pendidikan yang komprehensif.
2.1.16 Peningkatan Manajemen Guru, Pendidikan Keguruan, dan Reformasi LPTK
Jumlah dan distribusi guru masih perlu ditata secara lebih baik. Jumlah guru di Indonesia mengalami peningkatan yang
signifikan, terutama sejak pelaksanaan otonomi daerah. Namun, penambahan guru baru pada periode tersebut tidak sepenuhnya
didasarkan pada kebutuhan tenaga pendidik, sehingga pertumbuhan jumlah guru tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah siswa. Hal
ini berakibat pada terus mengecilnya rasio guru-murid, yang pada tahun 2012 mencapai 17 untuk SD, 14 untuk SMP, dan 12 untuk
SMASMK. Angka tersebut lebih kecil lagi untuk madrasah, yang pada tahun 2010 adalah 12 untuk MI, 10 untuk MTs, dan 8 untuk MA, yang
disebabkan oleh banyaknya madrasah kecil. Rasio guru-murid yang makin rendah ini menciptakan ketidakefisienan dalam pemanfaatan
guru. Padahal rasio guru-murid di negara-negara berpendapatan setara dengan Indonesia berpendapatan menengah bawah sebesar 1:29
SD, 1:24 SMP, dan 1:20 SMA.
Untuk meningkatkan pemerataan dan kualitas guru serta memperbaiki rasio guru-murid, pemerintah perlu memanfaatkan
momentum pergantian guru yang memasuki masa pensiun. Guru-guru yang memasuki masa pensiun akan mencapai puncaknya antara tahun
2016 sampai 2030. Untuk itu, proses rekrutmen guru, baik PNS maupun non-PNS, harus dilakukan dengan cermat guna menjamin
kualitasnya.
Distribusi guru yang tidak merata menimbulkan permasalahan lain. Guru cenderung berlebih di daerah perkotaan yang menyebabkan
beban mengajar seorang guru menjadi terlalu rendah dan tidak memenuhi persyaratan mengajar minimal 24 jam tatap muka. Di sisi
lain, sekolah-sekolah di daerah terpencil mengalami kekurangan guru sehingga proses pembelajaran berlangsung tidak efektif. Tunjangan
khusus sebesar satu kali gaji yang disediakan oleh Pemerintah masih belum dapat menarik minat guru untuk mengajar dan memenuhi
154
|
Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 kebutuhan guru di daerah terpencil. Selain itu, fasilitas untuk
pengembangan keilmuan dan promosi kepangkatan karir belum memadai.
Kualitas, kompetensi, dan profesionalisme guru masih harus ditingkatkan. Meskipun program peningkatan kualifikasi guru
sudah dilaksanakan lebih dari 10 tahun, masih banyak guru yang belum memenuhi kualifikasi akademik minimal S1D4. Pada tahun
2012, terdapat 11 provinsi yang lebih dari 50 persen gurunya belum berkualifikasi minimal S1D4, yang sebagian besar 10 provinsi
berada di wilayah timur Indonesia. Hal ini diperburuk dengan kenyataan bahwa banyak guru yang diangkat setelah tahun 2005 tidak
memenuhi persyaratan akademik tersebut, sehingga beban untuk meningkatkan kualifikasi guru tak kunjung terselesaikan.
Dibanding jenjang yang lebih tinggi, kualitas guru PAUD terhitung paling rendah. Dari 275.904 orang guru Taman Kanak-Kanak
TK, hanya sekitar 28,7 persen yang berkualifikasi S1D4 ke atas. Sebagian besar guru bahkan hanya lulusan SMA 38,6 persen. Sebelum
pemberlakuan UU No. 20 Tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan anak usia dini belum menjadi bagian dari sistem
pendidikan nasional, sehingga tidak ada ketentuan standar minimal kualifikasi akademik pendidiknya. Hal ini menyebabkan banyak
pendidik yang hanya lulusan jenjang menengah. Karena PAUD non-TK masuk jalur pendidikan non-formal, pendidik PAUD non-TK bahkan
tidak menjadi bagian dari guru yang diatur kualifikasi akademik dan kesejahteraannya didalam UU No. 14 Tahun 2005. Hal ini
menyebabkan intervensi untuk meningkatkan kualitas pendidik PAUD non-TK menjadi tidak maksimal.
Selain itu, meskipun guru-guru telah memenuhi kualifikasi akademik S1D4 belum tercermin pada tingginya kompetensi mereka.
Uji kompetensi guru yang dilakukan pada tahun 2012 terhadap sekitar 850 ribu guru menunjukkan hasil yang tidak cukup baik. Rata-rata nilai
uji kompetensi tersebut adalah sekitar 43 dari nilai maksimum yang mungkin diperoleh sebesar 100. Perolehan nilai antarguru dengan
kualifikasi akademik yang berbeda juga tidak terlalu signifikan. Hal ini mengindikasikan perlunya pengembangan guru dan penilaian kinerja
guru, yang dilakukan secara berkesinambungan agar guru selalu termotivasi untuk bekerja dan berupaya meningkatkan kualitas yang
berdampak pada peningkatan mutu pembelajaran.
Peningkatan sertifikasi profesi pendidik juga
belum berdampak signifikan baik pada peningkatan kompetensi guru
dalam proses pembelajaran maupun pada hasil belajar siswa. Hasil studi menunjukkan bahwa peningkatan sertifikasi profesi guru yang
Rancangan Awal RPJMN 2015-2019
| 155
diikuti dengan
pemberian tunjangan
profesi baru
mampu meningkatkan kesejahteraan guru yang diukur, antara lain, dengan
berkurangnya proporsi guru yang memiliki pekerjaan tambahan. Namun, sertifikasi profesi belum terlihat dampaknya terhadap
peningkatan kualitas proses pembelajaran yang diukur dengan kualitas substansi pembelajaran maupun hasil belajar siswa, yang dinilai
dengan hasil ujian baik ujian sekolah maupun ujian nasional.
Berbagai upaya yang dilakukan juga belum sepenuhnya dapat meningkatkan profesionalisme guru, antara lain tingkat ketidakhadiran
guru masih cukup tinggi dan ketidaktaatan dalam melaksanakan proses pembelajaran. Hasil studi SPM menunjukkan hanya sekitar 50
persen sekolah yang seluruh gurunya membuat rencana pembelajaran dan melakukan penilaian untuk membantu siswa belajar.
Kurangnya kapasitas LPTK dalam menyediakan guru berkualitas. UU No. 14 Tahun 2014 memberi mandat kepada
universitas-universitas LPTK untuk menyelenggarakan pendidikan keguruan. Saat ini, terdapat 415 LPTK yang terdaftar di Ditjen
Pendidikan Tinggi Kemdikbud, yang terdiri dari 37 LPTK negeri dan 378 LPTK swasta. Sejumlah LPTK tersebut melayani sekitar 1,3 juta
mahasiswa, termasuk guru yang sedang mengikuti pendidikan S1D4 sebagai prasyarat minimal untuk mengikuti sertifikasi profesi guru.
Namun, kualitas sebagian besar LPTK tersebut belum terjamin sehingga diragukan dapat menghasilkan guru-guru yang berkompeten.
Selain itu, jumlah mahasiswa yang menempuh pendidikan di LPTK terlalu banyak untuk memenuhi kebutuhan guru. Dalam 10 tahun
terakhir, animo lulusan Sekolah Menengah untuk kuliah di LPTK memang meningkat tajam, namun tidakbelum disertai sistem seleksi
yang ketat dengan menggunakan pendekatan academic merit system.
3
Untuk menghasilkan guru-guru berkualitas, LPTK semestinya hanya
3
Menurut laporan Dikti, Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri SBMPTN tahun 2013 diikuti oleh peserta sebanyak 585.789 orang. Dari jumlah peserta SBMPTN tersebut,
sebanyak 407.000 69,4 memilih program studi di LPTK. Jumlah peserta SBMPTN yang meminati program studi di LPTK meningkat sangat signifikan dari tahun 2012, yang berjumlah
sekitar 350.000 orang. Selain SBMPTN, untuk masuk ke perguruan tinggi negeri juga bisa ditempuh melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri SNMPTN, dengan
jumlah pendaftar mencapai 765.531 orang. Dari jumlah peserta SNMPTN tersebut, sebanyak 379,000 memilih kuliah di LPTK yang tersebar di berbagai program studi. Jumlah peminat LPTK
tahun 2013 ini jauh lebih banyak dibandingkan tahun 2012 yang hanya sekitar 126.000 orang. Peningkatan sangat tajam yang mencapai 300 ini merupakan gejala baru sepanjang sejarah
LPTK.