Peningkatan Keterampilan PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA DAN KEHIDUPAN BERAGAMA

164 | Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 maupun yang dikembangkan di dalam negeri. 11 Penanganan penduduk usia muda berpendidikan rendah menjadi sangat relevan untuk dilakukan sebagai upaya memanfaatkan bonus demografi. Dengan proyeksi rasio ketergantungan yaitu proporsi penduduk usia non-produktif terhadap usia produktif yang akan mencapai titik terendah antara tahun 2028 dan 2031 dengan angka sekitar 46,9 persen, maka upaya untuk menyiapkan tenaga kerja berkualitas harus dilakukan dengan baik dan segera. Keterlambatan dalam mengantisipasi momentum bonus demografi dapat menimbulkan dampak negatif yang cukup berat, tidak hanya di bidang ekonomi seperti meningkatnya pengangguran, tetapi juga dapat memicu konflik sosial karena daya dukung lingkungan yang tidak memadai. Permasalahan berikutnya adalah masih sangat sedikit perusahaan yang memberikan pelatihan bagi karyawannya. Hanya sekitar 5 persen tenaga kerja yang melaporkan pernah mendapat pelatihan. Hanya sektor keuangan dan jasa publik yang memberikan pelatihan cukup banyak bagi karyawannya masing-masing sekitar 17 persen. Survei juga menemukan bahwa perusahaan kecil dan menengah jarang memberikan pelatihan on-the-job training bagi karyawannya. 12 Hanya sekitar 3 persen perusahaan kecil dengan karyawan 5-19 orang dan hanya sekitar 13 persen perusahaan menengah dengan karyawan 20-99 orang yang memberikan pelatihan bagi karyawannya. Meskipun hampir 40 persen perusahaan besar memberikan pelatihan bagi karyawan, angka tersebut masih lebih rendah dari yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan besar di negara-negara lain, yang angka rata-ratanya sudah mencapai 65 persen. Kualitas lembaga pelatihan keterampilan di Indonesia juga masih rendah. Sebagian besar balai latihan kerja BLK tidak berkualitas dilihat dari ketersediaan fasilitas, peralatan, dan sumber daya manusia. Sangat sedikit pelatih di BLK yang lulus perguruan tinggi. Pendidikan non-formal berperan penting dalam penyediaan pelatihan keterampilan kerja melalui lembaga kursus, namun kualitasnya dinilai jauh lebih rendah dibanding lembaga pendidikan formal. Meskipun demikian, lulusan lembaga pendidikan non-formal dinilai lebih baik dalam hal relevansi dan adaptabilitasnya dengan 11 World Bank, 2011, Skills for the Labor Force in Indonesia 12 World Bank, 2009, Enterprise Surveys Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 | 165 kebutuhan lapangan kerja. Berbagai layanan pendidikan dan pelatihan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta, dinilai kurang mendukung kebutuhan pembangunan daerah. Selain itu, struktur penduduk Indonesia juga akan semakin menua dengan semakin meningkatnya umur harapan hidup dan derajat kesehatan penduduk. Proporsi penduduk usia 60 tahun keatas diproyeksikan meningkat dari sekitar 7,6 persen pada tahun 2010 menjadi 15,8 persen pada tahun 2035. Dengan berbagai perubahan yang terjadi seperti perkembangan teknologi dan sosial budaya, penduduk semakin sering mengalami transisi dalam hidup mereka. Dengan demikian pendidikan bagi orang dewasa semakin menjadi tuntutan untuk membantu mereka mendapatkan pengetahuan dan keterampilan baik teknis maupun profesional yang dibutuhkan dalam meningkatkan kualitas hidup sesuai dengan perubahan lingkungan yang terjadi. Penyediaan pendidikan bagi penduduk dewasa di Indonesia masih perlu mendapat perhatian mengingat sebagian besar penduduk dewasa berpendidikan rendah. Pada tahun 2013, misalnya, masih 47,8 persen penduduk usia 15 tahun keatas yang hanya berpendidikan SD ke bawah. Lebih dari itu, masih cukup banyak penduduk dewasa yang buta aksara. Meskipun angka buta aksara penduduk usia 15 tahun tinggal 5,86 persen, angka buta aksara penduduk usia 45 tahun keatas masih 15,24 persen. Kebutuhan layanan pendidikan bagi mereka perlu disediakan tidak hanya melalui penyediaan pendidikan non-formal seperti pendidikan kesetaraan dan keaksaraan tetapi juga penyediaan akses bagi mereka untuk dapat mengikuti pendidikan formal sampai jenjang pendidikan tinggi. Tantangan yang harus dijawab pada kurun waktu lima tahun ke depan dalam peningkatan keterampilan kerja lulusan terutama untuk meningkatkan akses terhadap layanan pendidikan dan pelatihan keterampilan, meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan keterampilan kerja, meningkatkan relevansi pendidikan dan pelatihan kerja dengan kebutuhan pembangunan daerah. Selain itu menjadi tantangan pula untuk meningkatkan peluang bagi penduduk usia dewasa untuk mengikuti baik pendidikan formal maupun non-formal di semua jenjang pendidikan.

2.1.20 Peningkatan Pendidikan Keagamaan

Pendidikan keagamaan diselenggarakan untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermuatan nilai-nilai keislaman, terutama dalam bentuk pesantren dan madarasah diniyah. Pesantren berperan penting dalam menyediakan 166 | Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 layanan pendidikan keislaman bagi masyarakat, yang tersedia di sebanyak 27,230 lembaga dengan jumlah santri mencapai 3,7 juta orang. Layanan pendidikan pesantren didukung oleh tenaga pendidik sebanyak 153,576 orang, dengan kualifikasi akademik: i belum S1 sebanyak 108,351 orang 70,99 persen, ii S1 sebanyak 42.019 orang 27,42 persen, dan iii lebih dari S2 sebanyak 2,441 orang 1,59 persen. Demikian pula halnya dengan madrasah diniyah berjumlah 68,471 lembaga yang menampung siswa sebanyak 4,3 juta orang, dan didukung oleh tenaga pendidik sebanyak 295,771 orang, dengan kualifikasi akademik: i belum S1 sebanyak 183,351 orang 61,99 persen, ii S1 sebanyak 67,206 orang 22,72 persen, dan iii lebih dari S2 sebanyak 45.214 orang 15,29 persen Kemenag 2012. Meskipun pesantren telah memberi sumbangan penting untuk memajukan kehidupan bangsa, pendidikan pesantren masih tertinggal karena berbagai masalah. Pertama, program dan kegiatan pendidikan yang terselenggara di pondok pesantren biasanya merupakan gabungan dari dua atau lebih unsur-unsur berikut: i mengaji kitab kuning, ii madrasah diniyah yang menerapkan pengajaran agama dengan sistem klasikal, iv madrasah lokal dengan kurikulum yang dibuat oleh pondok pesantren sendiri, v madrasah pendidikan umum berciri khas Islam yang menerapkan kurikulum nasional dan kurikulum Kemenag, vi Ma had Ali, vii Wajar Dikdas Paket ABC, dan viii sekolah umum. Program dan kegiatan pendidikan yang bervariasi ini seringkali tidak terkelola dengan baik karena keterbatasan tenaga. Kedua, selain pesantren khalafiyah modern, juga terdapat pesantren salafiyah murni yang jumlahnya cenderung menurun. Di sebagian masyarakat, gejala ini memunculkan kekhawatiran semakin berkurangnya kesempatan untuk melahirkan ahli-ahli agama Islam. Akibat lebih lanjut adalah kajian kitab kuning KK sebagai inti pendidikan pesantren menjadi semakin melemah. Ketiga, tata kelola kelembagaan pondok pesantren dan madrasah diniyah pada umumnya bersifat tradisional dan berorientasi pada asas kekeluargaan, sehingga kurang progresif dalam penyelenggaraan pendidikan modern. Selain itu, penyelenggaraan pendidikan di pesantren dan madrasah diniyah kurang didukung oleh sistem pendataan dan informasi yang kuat, keterbatasan tenaga administrasi, dan jumlah personil kurang memadai. Keempat, pesantren lebih ramah pada kelompok masyarakat miskin dan kalangan marginal yang memerlukan layanan pendidikan, namun kekurangan sarana-prasarana asrama dan pemondokan, ruang belajar, workshop untuk keterampilan, sehingga tidak mampu menampung anak-anak usia sekolah dalam jumlah besar. Pesantren Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 | 167 juga sangat terbatas dalam hal fasilitas pendidikan sumber dan media pembelajaran, sehingga proses dan kegiatan pembelajaran tidak optimal. Kelima, pendanaan untuk pesantren sangat terbatas karena hanya bertumpu pada partisipasi orangtua santri dan masyarakat, padahal mayoritas termasuk dalam kategori ekonomi lemah. Meskipun pemerintah mengalokasikan anggaran untuk layanan pendidikan di pesantren dan madrasah diniyah, namun belum memadai untuk mendukung penguatan dan pengembangan pendidikan pesantren dan madrasah diniyah. Keenam, mutu pendidikan pesantren dan madrasah diniyah masih di bawah standar, karena kekurangan tenaga pendidik yang berkualitas, yang tercermin pada kualifikasi akademik tinggi. Selain itu, pesantren belum memiliki sistem pembinaan dan pengembangan kompetensi ketenagaan yang berkelanjutan untuk mendukung layanan pendidikan bermutu. Ketujuh, pendidikan keagamaan lainnya seperti pasraman, pesantian, sekolah minggu, dan bentuk lain yang sejenis juga menghadapi masalah yang sama seperti kualitas yang belum baik, mutu guru dan tenaga kependidikan lainnya yang masih rendah, fasilitas pendidikan tidak memadai, sehingga kurang mendukung proses pembelajaran yang bermutu. Dengan mempertimbangkan keseluruhan permasalahan yang diuraikan di atas, dua tantangan utama yang harus diperhatikan adalah mutu dan akses pendidikan keagamaan. Terkait mutu, tantangannya adalah meningkatkan kualitas pendidikan keagamaan agar lebih kompetitif, maju, dan adaptif terhadap perkembangan zaman, dengan tetap menjaga identitas dan karakteristik yang khas sebagai lembaga pendidikan keagamaan. Terkait akses, tantangannya adalah meningkatkan layanan pendidikan keagamaan yang menjangkau semua kelompok masyarakat, terutama lapisan masyarakat kurang mampu secara ekonomi.