Reformasi Keuangan Negara EKONOMI

270 | pq rs q r t q r u v q w pxy z{ | }~ € |}~  masih lemah, terutama dalam hal penegakan prosedur dan kepatuhan pajak. Masih lemahnya aspek administrasi perpajakan juga menyangkut kelembagaan, sistem dan prosedur ‚ƒ„ … r † „„ ‡ˆ ‰ s † „„ , termasuk dari aspek sumber daya manusia baik dari segi jumlah maupun kemampuan, komputerisasi, serta pengadilan pajak Masih lemahnya kualitas administrasi perpajakan di Indonesia jelas terlihat ketika dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Pertama, dari segi Š … ‹ † Š ‰ s ‰ ‹ ‡ w y. Meski sudah mampu mengurangi Š … ‹ † Š ‰ s ‰ ‹ ‡ w y secara signifikan, tetapi nilainya masih relatif lebih buruk dibandingkan dengan negara lain. Sebagai ilustrasi, Š … ‹ † Š ‰ s ‰ ‹ ‡ w y di Indonesia saat ini selama 259 jam, lebih tinggi dibandingkan rata-rata negara Asia Pasifik, 232 jam. Œ … ‹ † Š ‰ s ‰ ‹ ‡ w y di kawasan ASEAN: Singapura, Brunei Darrusalam, Malaysia, Myanmar, Kamboja, dan Filipina, berturut-turut selama 82, 96, 133, 155, 173, dan 193 jam, semuanya jauh lebih baik dari Indonesia. Kinerja yang lebih buruk lagi ditunjukkan oleh indikator kedua, yakni jumlah pembayaran yang harus dilakukan r ƒ ‹ ‚† ˆ ‰  ‡ q y ‹ † r Š „ . Di antara negara Asia Pasific yang disurvei, Indonesia hanya lebih baik dari Srilanka. Jumlah pembayaran yang harus dilakukan di Indonesia mencapai 52 kali, sementara rata-rata Asia Pasifik hanya sebanyak 25,4 kali. Dilihat dari ranking total, kemudahan membayar pajak di Indonesia menempati peringkat 137 dari 189 negara PWC, 2014. Faktor lain yang juga menjadi kendala utama untuk meningkatkan rasio penerimaan perpajakan adalah masih terbatasnya basis pajak, baik dari sektor unggulan maupun sektor informal. Usaha perluasan basis pajak masih terkendala kondisi ekonomi dunia yang belum sepenuhnya stabil. Selain itu, di beberapa kasus pajak ditanggung pemerintah atau kebijakan Šq x Š ˆ† q Š y , ada kebijakan perpajakan yang tidak tepat sasaran, yang kemudian berdampak pada hilangnya potensi penerimaan pajak. Untuk mencapai target rasio penerimaan perpajakan, masih banyak hal yang harus diperbaiki. Evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan perpajakan yang ada harus dilakukan. Reformasi perpajakan harus dipercepat dan ditingkatkan dalam skala yang lebih besar, menuju administrasi perpajakan yang ideal. Dari sisi penerimaan Negara bukan pajak PNBP, meski trennya erus meningkat, kontribusi PNBP terhadap pendapatan Negara dirasa masih bisa ditingkatkan lagi. Jika dibandingkan dengan penerimaan perpajakan, PNBP dalam kurun waktu 2009-2014 hanya tumbuh moderat. Pertumbuhannya lebih rendah 9,5 persen per tahun dibandingkan dengan penerimaan perpajakan 14,6 persen per tahun. Dilihat dari komposisinya, sekitar 60 persen PNBP masih disumbangkan oleh sektor minyak gas dan bumi, 40 persen sisanya disumbangkan oleh Ž‘  ’   “ ” •–— ˜  ™ š › œ  ™ š › ž | 271 komponen-komponen lain, seperti PNBP dari sektor pertambangan umum, laba BUMN, BLU, dan lainnya. Berbagai permasalahan dalam pengelolaannya menjadi salah satu alasan terhambatnya peningkatan PNBP. Hasil audit BPK menemukan adanya permasalahan: 1 pungutan tanpa dasar hukum danatau dikelola di luar mekanisme APBN; 2 PNBP terlambatbelum disetor ke kas negara; 3 PNBP digunakan langsung. Permasalahan lain yang juga muncul adalah ketiadaan database jenis tarif PNBP dan tidak optimalnya monitoring dan evaluasi karena keterlambatan dan ketidaklengkapan laporan yang disampaikan oleh kementerianlembaga KL. Salah satu pos potensial untuk peningkatan PNBP adalah sektor pertambangan umum. Kontribusi PNBP pertambangan umum hanya sebesar Rp18,6 triliun atau 5,2 persen dari total keseluruhan PNBP di tahun 2013, meski telah terjadi eksplorasi dan ekspor yang begitu besar di sektor ini. Kajian KPK menemukan berbagai permasalahan di pengelolaan PNBP mineral dan batu bara, yang mencakup aspek ketatalaksanaan, regulasi, organisasi dan SDM, dan hilangnya pendapatan negara dari tidak dilaksanakannya wajib bayar PNBP. Potensi hilangnya PNBP dari ekspor batu bara saja disebutkan mencapai US1,2 miliar lebih dari Rp12 triliun pada kurun waktu 2010-2012. Laba BUMN juga merupakan salah satu pos potensial bagi penerimaan negara. Dilihat dari trennya, PNBP dari laba BUMN ini terus meningkat, tetapi kenaikannya masih dalam tingkat yang moderat, dan sebenarnya hanya dihasilkan oleh sebagian kecil BUMN saja seperti Pertamina, Telkom, BRI, Bank Mandiri, BNI, Semen Gresik, PGN, Bukit Asam, dll. Dengan jumlah BUMN yang lebih dari 100 perusahaan, artinya masih adanya ruang untuk peningkatan penerimaan laba ke depan. Selain itu, seiring dinamika holdings dan merger BUMN yang membuat kapitalisasi pasarnya meningkat, kontribusi BUMN bagi penerimaan negara terutama dari laba diharapkan meningkat. Melihat begitu besarnya potensi yang ada dalam PNBP, peningkatan peran PNBP sebagai sumber pendapatan Negara perlu untuk lebih dioptimalkan.

2. Peningkatan Kualitas Belanja Negara Melalui Sinergitas

Perencanaan Dan Penganggaran Baik Di Pusat Maupun Daerah Secara kuantitas, belanja pemerintah terus meningkat, tetapi tidak secara kualitas. Rendahnya kualitas belanja tersebut bisa dilihat dari postur makro belanja pemerintah. Komposisi belanja pemerintah pusat sejauh ini banyak dihabiskan untuk pos-pos lain yang kurang produktif, terutama subsidi BBM. Sepanjang periode tahun 2005-2014, nilai subsidi BBM selalu lebih tinggi bila dibandingkan dengan belanja modal. 272 | Ÿ ¡¢ ¡ £ ¡ ¤ ¥ ¦ Ÿ§¨ ©ª « ¬­® ¯ «¬­ ° Besarnya belanja subsidi BBM juga menjadi penyebab utama di balik memburuknya defisit anggaran dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi ini menjadi ironi mengingat kebijakan subsidi BBM ini tidak tepat sasaran. Sekitar 70 persen subsidi BBM dinikmati oleh 30 persen rumah tangga kaya. Sebaliknya hanya sekitar 10 persen dinikmati oleh 30 persen rumah tangga miskin Augustina et al, 2008. Padahal di sisi lain, negara ini masih membutuhkan dana yang sangat besar untuk pembangunan infrastruktur dan peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan. Subsidi BBMenergi yang sebagian besar tidak dinikmati oleh masyarakat lapisan bawah layak dihapus dan dialihkan untuk belanja modalpembangunan seperti infrastruktur dan kegiatanprogram pemberdayaan masyarakat untuk mengurangi kemiskinan, pengembangan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan atau kegiatanprogram yg lebih produktif dan strategis lainnya. Penghapusan subsidi BBM akan mengurangi resiko fiskal dan meningkatkan keberlanjutan fiskal serta stabilitas ekonomi sehingga mendorong pertumbuhan tinggi yang lebih inklusif pemerataan. Penghapusan subsidi BBM juga akan mendorong konsumsi energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dengan harga yg lebih kompetitif dan terjangkau oleh masyarakat. Permasalahan belanja pemerintah juga dapat dilihat dari sisi mikro, dimana kualitas belanja dirasa belum optimal sebagai salah satu stimulan dalam mendongkrak perekonomian nasional. Jika di masa sebelum orde reformasi, porsi belanja untuk pembangunan pengeluaran pembangunan bisa mencapai 50 persen dari total belanja, maka sepanjang kurun waktu tahun 2005-2014, porsinya belanja modal sebagai proxy tidak pernah lebih dari 20 persen. Kualitas belanja modal juga masih tergerus oleh masuknya komponen-komponen seperti perjalanan dinas, belanja konsultan, biaya rapat, dan beberapa lainnya yang seharusnya tidak mengurangi porsi belanja modal. Permasalahan lain yang selalu terjadi adalah penyerapan yang rendah, terutama belanja modal. Kondisi ini diperburuk dengan pola penyerapan yang lebih besar pada triwulan terakhir tahun anggaran. Dari tahun anggaran 2009 sampai 2014, setiap semester pertama, penyerapan anggaran hanya sekitar 30 persen. 70 persen anggaran lainnya diserap pada semester dua, dengan rata-rata lebih dari 50 persen anggaran diserap pada triwulan terakhir tahun anggaran. Persoalan penyerapan ini menjadi salah satu titik lemah tidak maksimalnya program-program pembangunan yang direncanakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah RPJM dan Rencana Kerja Pemerintah RKP tahunan. Sinergitas perencanaan dan penganggaran tidak hanya dilakukan di tingkat pusat tetapi di tingkat daerah. Secara proporsi, dana transfer ke ±²³´ ² ³µ ² ³ ²¶² · ¸¹º » ³ ¼ ½ ¾ ¿ À ¼ ½ ¾ Á | 273 daerah setiap tahun mengalami peningkatan yang signifikan. Pasca diterapkannya UU No.22 tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pembangunan di Indonesia berubah cukup signifikan dari yang awalnya bersifat terpusat sentralisasi menjadi desentralisasi otonomi daerah. Persoalannya, peningkatan dana transfer daerah tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah secara signifikan. Studi yang dilakukan Nugroho, et al 2010 menekankan bahwa pengaruh belanja pemerintah daerah APBD tidak signifikan mempengaruhi PDRB. Terdapat beberapa faktor penyebab kenapa belanja pemerintah daerah kurang signifikan mempengaruhi perekonomian setempat. Pertama, dari sisi alokasi anggaran APBD yang mayoritas dibelanjakan untuk belanja pegawai ketimbang belanja modal. Pada 2011 saja rata-rata belanja modal untuk Pemerintah kabupatenkota sebesar 18,8 persen, sementara pemerintah provinsi sebesar 22,4 persen. Bandingkan dengan belanja pegawai yang sebesar 52 persen untuk Pemda dan 25,9 persen untuk Pemprov. Kedua, meskipun telah ada Dana Alokasi Khusus DAK tetapi jumlahnya terlampau kecil untuk membuat suatu perubahan. Jika dibandingkan dengan total pendapatan daerah, rata-rata DAK untuk kabupatenkota sebesar 6,1 persen sementara untuk provinsi sebesar 0,9 persen. Dengan anggaran yang terlalu kecil tersebut tentu tidak akan efektif merubah kondisi daerah dalam waktu relatif cepat. Ketiga, sasaran yang ditetapkan oleh pemerintah daerah melalui APBD-nya tidak fokus pada investasi sumberdaya manusia. Kualitas dan kuantitas di daerah-daerah adalah salah satu faktor utama yang menghambat berkembangnya perekonomian di daerah setempat. Oleh karena itu, investasi pada SDM human capital juga harus diprioritaskan oleh daerah. Gambaran di atas menegaskan bahwa terdapat masalah yang sangat prinsip terhadap akumulasi transfer daerah yang ada serta tentunya terkait dengan pilihan kebijakan perencanaan dan penganggaran itu sendiri. Ke depannya, kebijakan transfer daerah, baik dari DAU, DAK, dan Dana Bagi Hasil DBH, yang saat ini ada perlu direposisikan kembali dengan mempertimbangkan juga mulai dialokasikannya dana desa pada tahun 2015. Berbagai perbaikan sinergitas perencanaan dan penganggaran, baik di pusat ataupun daerah, akan berimplikasi pada membaiknya pengelolaan defisit dan pembiayaan anggaran, terutama melalui utang. Perbaikan pada proses perencanaan dan pelaksanaan anggaran dapat mengurangi tekanan defisit dan mendorong penggunaan pembiayaan utang ke kegiatan yang produktif serta mengurangi komitmen utang yang tidak terserap. 274 | Âà ÄÅ Ã Ä Æ Ã Ä Ç È Ã É ÂÊË ÌÍ Î ÏÐÑ Ò ÎÏÐ Ó Dalam melakukan sinergitas perencanaan dan penganggaran, tantangan yang tak kalah pentingnya adalah reformasi kelembagaan keuangan negara agar dapat mengoptimalkan fungsi-fungsi pengelolaan keuangan negara melalui penciptaan sistem pengawasan dan keseimbangan checks and balancing. Fungsi-fungsi tersebut adalah: 1 pengumpulan pendapatan revenue collection; 2 perbendaharaan treasury; serta 3 pengalokasian anggaran belanja budget allocation.

3.1.3 Stabilitas Moneter

Dalam upaya menjaga stabilitas moneter, Pemerintah dan Bank Indonesia memiliki tujuan yang sama yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua isu strategis, yaitu : i menjaga kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa, ii serta menjaga kestabilan rupiah terhadap mata uang negara lain. Isu strategis pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara isu kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Isu staregis ketiga adalah meningkatkan koordinasi kebijakan dalam rangka menjaga stabilitas moneter.

1. Menjaga Stabilitas Laju Inflasi

Stabilitas inflasi merupakan prasyarat bagi transformasi dan pertumbuhan ekonomi lima tahun ke depan dalam rangka keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah ÔÕ Ö Ö É × Õ ÄÅ Ø Ô × ÙÚ Ã Û . Terjaganya laju inflasi akan memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa: i inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin; ii inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian Ü ÄÅ × ÚÙ Ã Õ Ä Ù y bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi; iii tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah. Jika dilihat tren inflasi selama lima tahun kebelakang 2010-2014, telah terjadi fluktuasi yang cukup berarti, dimana tercatat bahwa selama kurun waktu 2010-2014, inflasi secara berturut-turut yoy mencapai 6,5; 3,8 4.3; 8,38; dan 4,53 September 2014. Di tengah melemahnya ekonomi dunia dan permasalahan keuangan Eropa pada ÝÞßà Þ ßá Þ ß ÞâÞ ã äåæ ç ß è é ê ë ì è é ê í | 275 tahun 2010, tekanan inflasi yang dilaporkan cukup tinggi mencapai 6,5 yoy, melampaui sasaran inflasi 5±1. Selanjutnya, perekonomian Indonesia pada tahun 2011 menunjukkan daya tahan yang kuat di tengah meningkatnya ketidakpastian ekonomi global, tercermin pada kinerja pertumbuhan yang bahkan lebih baik dan kestabilan makroekonomi yang tetap terjaga, disertai dengan pencapaian inflasi pada level yang rendah sebesar 3,8. Di tahun 2012, pertumbuhan ekonomi dapat dipertahankan pada tingkat yang cukup tinggi, yaitu 6,2, dengan inflasi yang terkendali pada tingkat yang rendah 4,3. GAMBAR 3.1 PERKEMBANGAN INFLASI BERDASARKAN KOMPONEN PERIODE 2010-2014 Sumber: BPS, Bank Indonesia, Data diolah Akan tetapi, lonjakan inflasi terjadi pada tahun 2013 menjadi 8,38 dari 4,30 pada 2012, atau berada jauh di atas sasaran inflasi yang telah ditetapkan 4,5±1. Kenaikan inflasi ini terutama disebabkan dampak gejolak harga pangan domestik serta pengaruh kenaikan harga BBM bersubsidi pada akhir Juni 2013, dimana kenaikan harga BBM bersubsidi telah mendorong kenaikan harga-harga baik dampak langsung maupun dampak lanjutan îïð ñ òó ô ñ õòó ï ö öï ð ÷ . Kemudian, inflasi pada Agustus 2014 menurun seiring dengan meredanya tekanan harga paska Idul Fitri. Pada bulan September yang merupakan akhir triwulan III 2014 terjadi inflasi sebesar 0,27 mtm dengan Indeks Harga Konsumen IHK sebesar 113,89. Niai inflasi dibulan September lebih rendah dibandingkan dengan inflasi pada bulan sebelumnya sebesar 0,47 276 | øù úû ù ú ü ù ú ý þ ù ÿ ø mtm. Penurunan inflasi tersebut dikarenakan deflasi komponen pangan yang harganya mudah bergejolak pada bulan September 2014. Secara tahunan pada akhir triwulan III 2014 terjadi inflasi inti sebesar 4,04 persen, lebih rendah dibandingkan dengan inflasi inti triwulan sebelumnya sebesar 4,81 persen. Nilai inflasi inti yang lebih rendah tersebut sejalan dengan menurunnya tekanan eksternal, moderatnya permintaan domestik serta masih terjaganya ekspektasi inflasi. Masih berfluktuasinya angka inflasi tersebut memberikan indikasi bahwa Pemerintah dan Bank Indonesia dalam jangka lima tahun kedepan harus tetap fokus untuk mengupayakan langkah- langkah strategis guna mencapai laju inflasi yang rendah dan terkendali. Permasalahan inflasi tersebut tidak terlepas dari beberapa persoalan struktural, diantaranya: i kenaikan inflasi dipengaruhi terbatasnya pasokan domestik dalam memenuhi permintaan; ii kendala implementasi kebijakan pengaturan tata niaga impor seperti pada komoditas hortikultura dan daging sapi akan mendorong kenaikan harga domestik; iii belum optimalnya dukungan infrastruktur yang kemudian meningkatkan biaya distribusi seperti ongkos transportasi dan ongkos bongkar muat; iv pembentukan harga yang belum transparan antara lain akibat struktur pasar yang cenderung oligopolistik. Sehingga, isu utama untuk mengatasi permasalahan struktural dalam pengendalian inflasi yaitu mendorong terciptanya kedaulatan pangan melalui peningkatan produksi dalam negeri serta menjaga ketersediaan pasokan, stabilisasi harga, dan kelancaran distribusi.