268
|
= ? =
= A
B = C
DE FG H IJK
L HIJ M
TABEL 3.1 Gambaran Ekonomi Makro 2010-2014
Realisasi Perkiraan
2010 2011
2012 2013
2014 Perkiraan Besaran-besaran Pokok
Pertumbuhan PDB 6,2
6,5 6,3
5,8 5,3
PDB per Kapita ribu Rp 27.029
30.659 33.531
36.508 40.483
Laju Inflasi, Indeks Harga Konsumen 5,1
5,4 4,3
8,4 8,2
Nilai Tukar Nominal RpUS 8.991
9.068 9.670
12.189 11.600
Perubahan Kurs Riil -7,5
-1,3 -4,1
17,6 -10,6
Neraca Pembayaran
Transaksi BerjalanPDB 0,7
0,2 -2,8
-3,8 -2,1
Pertumbuhan Ekspor Nonmigas 30,7
25,7 -6,0
-2,1 5,6
Pertumbuhan Impor Nonmigas 38,9
24,8 9,3
-3,6 1,9
Cadangan Devisa US miliar 96,2
110,1 112,8
99,4 112,0
Keuangan Negara
Keseimbangan Primer APBNPDB 0,6
0,1 -0,6
-1,1 -1,0
SurplusDefisit APBNPDB -0,8
-1,2 -1,9
-2,3 -2,3
Penerimaan PajakPDB 11,2
11,8 11,9
11,8 12,4
Stok Utang PemerintahPDB 26,2
24,4 23,6
23,8 25,3
Utang Luar Negeri 16,6
16,0 16,4
17,3 19,0
Utang Dalam Negeri 9,6
8,4 7,3
6,4 6,8
Tingkat Pengangguran dan Kemiskinan
Tingkat Pengangguran 7,1
6,6 6,1
6,2 5,7
Tingkat Kemiskinan 13,3
12,4 11,96
11,47 10,5
Jika ada kenaikan harga BBM bersubsidi Rp. 2.000Liter pada Bulan November 2014
3.1.2 Reformasi Keuangan Negara
Reformasi keuangan Negara merupakan salah satu elemen kunci dalam proses transformasi ekonomi lima tahun ke depan.
Untuk keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah, berbagai program
pembangunan, terutama peningkatan infrastruktur dan pengurangan kemiskinan, sangat dibutuhkan dan harus ditingkatkan. Kondisi ini
menuntut pemerintah untuk meningkatkan kualitas belanja dan pendapatan negara dengan tetap menjaga defisit anggaran dan utang
dalam tingkat yang aman.
1. Peningkatan Penerimaan Negara
Jika dilihat trennya, kinerja pendapatan negara dan hibah sebenarnya sudah cukup baik. Sepanjang periode 2010-2014 pendapatan
NOPQ O PR O P
OSO T UVW
X P
Y Z [ \ ]
Y Z [
| 269
negara dan hibah terus mengalami peningkatan dari Rp995,3 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp1.432,1 triliun pada tahun 2013, dan diperkirakan
akan mencapai Rp1.633,1 triliun di tahun 2014 meningkat rata-rata 13,2 persen per tahun. Peningkatan pendapatan negara tersebut utamanya
didorong oleh penerimaan perpajakan yang meningkat rata-rata sebesar 14,6 persen per tahun dan menyumbang lebih dari 70 persen dari total
penerimaan dalam negeri.
Namun peningkatan tersebut dirasa belum optimal. Jika dilihat rasionya terhadap PDB, penerimaan pajak Indonesia berkisar antara 11,5
13,3 persen dalam 10 tahun terakhir. Rasio tersebut merupakan yang terendah di antara negara-negara G-20 dan salah satu yang terendah di
antara negara-negara berpenghasilan menengah. Studi yang dilakukan oleh Pessino dan Fenochietto 2013
menunjukan masih besarnya potensi penerimaan perpajakan Indonesia yang belum tergali. Dalam studi tersebut, kapasitas pajak
_`
x
a ` b`
a c _
y Indonesia di tahun 2011 mencapai 28,0 persen PDB. Jika dibandingkan
dengan nilai aktualnya,
_`
x
d e e f g_
Indonesia di tahun tersebut hanya sebesar 42,5 persen, lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata negara
berpenghasilan menengah lainnya, sebesar 64,0 persen. Jika saja Indonesia mampu meningkatkan
_`
x
d eef g _
]
nya pada tingkat rata-rata negara berpenghasilan menengah, maka rasio penerimaan pajak di tahun
2011 dapat mencapai 17,92 persen. Hasil dari studi ini sejalan dengan hasil studi Bappenas 2011 yang menunjukkan masih besarnya
_ `
x
h `b
Indonesia, yakni sekitar 50 persen. Angka-angka ini menunjukkan bahwa target 16,0 persen PDB Presiden sangat mungkin dicapai, tetapi dengan
syarat adanya reformasi yang komprehensif di administrasi perpajakan.
Usaha untuk melakukan reformasi bukannya tidak dilakukan. Reformasi perpajakan telah dimulai sejak tahun 2000-an dan mampu
memberikan perbaikan yang signifikan. Dalam satu dekade terakhir, pembenahan yang dilakukan antara lain: 1 pembentukan struktur baru
yang diimplementasikan sejak awal 2007; 2 pembangunan kantor pelayanan pajak madya dan pratama; dan 3 pembangunan kantor
pelayanan khusus individual
i c hi] j
d `
k_i
. Hasilnya, dalam laporan PWC 2014, Indonesia menjadi salah satu dari empat negara di Asia Pacific
yang mampu mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi segala administrasi perpajakan
_ c l
d _
f a
f l
b k
y hingga lebih dari 300 jam sejak 2004.
Permasalahannya adalah berbagai upaya reformasi yang dilakukan masih belum menghasilkan administrasi perpajakan yang ideal. Reformasi
perpajakan belum memberikan hasil akhir pada peningkatan penerimaan perpajakan. IMF 2011 menyebutkan meski sistem perpajakan sudah
c m]
k c md
dengan
n d
o _
bg `
a _ c a
d
dunia internasional, administrasi perpajakan
270
|
pq rs q
r t q r
u v q
w pxy z{
| }~
|}~
masih lemah, terutama dalam hal penegakan prosedur dan kepatuhan pajak. Masih lemahnya aspek administrasi perpajakan juga menyangkut
kelembagaan, sistem dan prosedur
r
s
, termasuk dari aspek sumber daya manusia baik dari segi jumlah maupun kemampuan,
komputerisasi, serta pengadilan pajak Masih lemahnya kualitas administrasi perpajakan di Indonesia jelas
terlihat ketika dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Pertama, dari segi
s
w
y. Meski sudah mampu mengurangi
s
w
y secara signifikan, tetapi nilainya masih relatif lebih buruk dibandingkan
dengan negara lain. Sebagai ilustrasi,
s
w
y di Indonesia saat ini selama 259 jam, lebih tinggi dibandingkan rata-rata negara Asia Pasifik,
232 jam.
s
w
y di kawasan ASEAN: Singapura, Brunei Darrusalam, Malaysia, Myanmar, Kamboja, dan Filipina, berturut-turut
selama 82, 96, 133, 155, 173, dan 193 jam, semuanya jauh lebih baik dari Indonesia. Kinerja yang lebih buruk lagi ditunjukkan oleh indikator
kedua, yakni jumlah pembayaran yang harus dilakukan
r
q
y
r
. Di antara negara Asia Pasific yang disurvei, Indonesia hanya lebih baik dari Srilanka. Jumlah pembayaran yang harus dilakukan di
Indonesia mencapai 52 kali, sementara rata-rata Asia Pasifik hanya sebanyak 25,4 kali. Dilihat dari ranking total, kemudahan membayar
pajak di Indonesia menempati peringkat 137 dari 189 negara PWC, 2014.
Faktor lain yang juga menjadi kendala utama untuk meningkatkan rasio penerimaan perpajakan adalah masih terbatasnya basis pajak, baik
dari sektor unggulan maupun sektor informal. Usaha perluasan basis pajak masih terkendala kondisi ekonomi dunia yang belum sepenuhnya
stabil. Selain itu, di beberapa kasus pajak ditanggung pemerintah atau kebijakan
q
x
q
y , ada kebijakan perpajakan yang tidak tepat sasaran, yang kemudian berdampak pada hilangnya potensi penerimaan pajak.
Untuk mencapai target rasio penerimaan perpajakan, masih banyak hal yang harus diperbaiki. Evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan
perpajakan yang ada harus dilakukan. Reformasi perpajakan harus dipercepat dan ditingkatkan dalam skala yang lebih besar, menuju
administrasi perpajakan yang ideal.
Dari sisi penerimaan Negara bukan pajak PNBP, meski trennya erus meningkat, kontribusi PNBP terhadap pendapatan Negara dirasa
masih bisa ditingkatkan lagi. Jika dibandingkan dengan penerimaan perpajakan, PNBP dalam kurun waktu 2009-2014 hanya tumbuh
moderat. Pertumbuhannya lebih rendah 9,5 persen per tahun dibandingkan dengan penerimaan perpajakan 14,6 persen per tahun.
Dilihat dari komposisinya, sekitar 60 persen PNBP masih disumbangkan oleh sektor minyak gas dan bumi, 40 persen sisanya disumbangkan oleh