Peningkatan Akses, Kualitas, dan Relevansi Pendidikan Tinggi
158
|
Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 disebabkan oleh keterbatasan infrastruktur iptek dan anggaran untuk
riset. Meskipun perguruan tinggi memiliki banyak SDM berkualitas ilmuwan, akademisi, peneliti, tidak semua ahli berkesempatan
melakukan riset-riset ilmiah berskala besar yang melahirkan penemuan-penemuan baru. Kondisi ini disebabkan infrastruktur iptek
yang belum terbangun merata di seluruh perguruan tinggi dan belanja publik untuk penelitian yang sangat minimal, yaitu hanya sekitar 0,08
persen dari GDP. Demikian pula upaya membangun universitas riset masih sulit dilakukan karena beberapa kendala, yaitu: i banyak
perguruan tinggi lebih berorientasi pada penyelenggaraan program akademik dan program studi yang laku di pasaran diploma, kelas
ekstensi yang menjadi sumber pendapatan, ii ketiadaan fokus pengembangan institusi untuk menjadi pusat keunggulan sebagai
wujud mission differentiation, iii beban mengajar para dosen yang sangat tinggi serta kurang tersedia waktu dan dana untuk melakukan
penelitian. Kegiatan riset yang jarang dilakukan berdampak pada terbatasnya publikasi di jurnal ilmiah, terutama jurnal internasional.
Selain itu, banyak dosen kurang memberi prioritas untuk mengajar di universitas asal dan lebih mengutamakan pekerjaan
lain e.g. mengajar di universitas lain, menjadi konsultan dan pembicara seminar untuk menambah pendapatan. Pekerjaan
sampingan ini berpengaruh pada komitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikan di perguruan tinggi asal. Di samping itu, banyak
pula dosen dan peneliti perguruan tinggi Indonesia lebih memilih bekerja menjadi pengajar dan peneliti di universitas-universitas di luar
negeri, karena keterbatasan fasilitas dan insentif yang rendah di dalam negeri. Meskipun bisa berdampak positif, fenomena brain drain dapat
juga melemahkan perguruan tinggi dalam negeri terutama yang masih kekurangan tenaga akademik dosen, peneliti berkualitas. Terkait hal
ini, sarjana-sarjana cemerlang dan bertalenta kurang berminat menjadi dosen dan peneliti di perguruan tinggi dan lebih memilih bekerja di
industri dengan pertimbangan ekonomi pendapatan tinggi. Hal ini berdampak pada kualitas pengajaran di perguruan tinggi.
Angka pengangguran terdidik masih cukup tinggi yang mengindikasikan bahwa relevansi dan daya saing pendidikan
tinggi masih rendah dan ketidakselarasan antara perguruan tinggi dan dunia kerja.
5
Pengangguran terdidik memberi indikasi bahwa
5
Angka pengangguran terdidik lulusan perguruan tinggi memang terus menurun dari 13,6 persen 2009 menjadi 5,5 persen 2013, meskipun jumlahnya masih cukup besar yaitu
421,717 orang.
Rancangan Awal RPJMN 2015-2019
| 159
program-program studi yang dikembangkan di perguruan tinggi mengalami kejenuhan, karena peningkatan jumlah lulusan tidak
sebanding dengan pertumbuhan pasar kerja. Bagi lulusan perguruan tinggi yang terserap di pasar kerja, sebagian besar 60 persen bekerja
di bidang pekerjaan yang termasuk kategori white-collar jobs manajer, profesional, yang menuntut keahlianketerampilan tinggi dan
penguasaan ilmu khusus insinyur, dokter, guru. Namun, sebagian dari mereka 30 persen juga ada yang bekerja di bidang pekerjaan yang
bersifat semi-terampil tenaga administrasi, sales, bahkan ada juga yang berketerampilan rendah sehingga harus bekerja di bagian
produksi blue-collar jobs.
6
Gejala ini memberi gambaran bahwa kurikulum yang dikembangkan di perguruan tinggi kurang relevan dan
tidak sesuai dengan kebutuhan dunia usahadunia industri. Perguruan tinggi juga belum sepenuhnya dapat melahirkan lulusan-lulusan
berkualitas yang memiliki daya saing mumpuni. Relevansi dan daya saing lulusan perguruan sangat ditentukan oleh penguasaan tiga hal,
yaitu: i academic skills yang berhubungan langsung dengan bidang ilmu yang ditekuni di perguruan tinggi, ii genericlifeskills yang
merujuk pada serangkaian dan jenis-jenis keterampilan yang diperoleh selama menempuh pendidikan yang dapat diaplikasikan di lapangan
kerja, yang mencakup banyak hal seperti kemampuan berpikir kritis- kreatif, pemecahan masalah, komunikasi, negosiasi, kerja dalam tim,
dan kepemimpinan, dan iii technical skills yang berkaitan dengan profesi spesifik yang mensyaratkan pengetahuan dan keahlian agar
berkinerja bagus di suatu bidang pekerjaan.
7
Kemitraan perguruan tinggi dengan dunia industri pun dinilai lemah bahkan terjadi diskoneksi dalam lima hal penting,
yang menunjukkan rendahnya relevansi dan daya saing yaitu: i antara pendidikan tinggi dan pemberi kerja [pengguna keahlian], ii
antara pendidikan tinggi dan perusahaan [pengguna hasil-hasil penelitian], iii antara pendidikan tinggi dan lembaga penelitian
[penyedia program-program penelitian], iv di antara lembaga pendidikan tinggi sendiri serta antara lembaga pendidikan dan
lembaga penyedia pelatihan [diskoneski horizontal di seluruh penyedia keahlian], dan v antara pendidikan tinggi dan pendidikan sebelumnya
[sekolah]
diskoneksi vertikal
di seluruh
penyedia
6
Hasil kajian Bank Dunia 2013, Indonesia s Higher Education System: How Responsive is it to the Labor Market?, Kemdikbud-AusAID-World Bank.
7
Hasil kajian Bank Dunia 2012, Putting Higher Education to Work: Skills and Research for Growth in East Asia. Washington D.C.
160
|
Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 keahlian.
8
Kemitraan universitas-industri-pemerintah memang belum berkembang baik, sehingga peluang kerjasama untuk mengembangkan
program riset dan inovasi teknologi yang memberi keuntungan ekonomi kurang dapat dimanfaatkan.Kemitraan tiga pihak ini penting
dikembangkan untuk menggali sumber-sumber pembiayaan alternatif dalam rangka mendukung kegiatan riset.
Dengan mempertimbangan keseluruhan permasalahan yang diuraikan di atas, tantangan utama pembangunan pendidikan tinggi
yang harus diatasi adalah: meningkatkan akses ke layanan pendidikan tinggi khususnya bagi masyarakat kurang mampu, serta meningkatkan
kualitas, relevansi, dan daya saing pendidikan tinggi, yang didukung oleh upaya meningkatkan tatakelola kelembagaan perguruan tinggi.