Pengembangan Jaminan Kesehatan Nasional

144 | Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 dasarnya diarahkan untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan. Oleh karenanya kebijakan perlu diarahkan pada upaya untuk menjamin ketersediaan, menyiapkan standar, dan menjamin compliance standar sarana, tenaga, dan manajemen pelayanan kesehatan; menguatkan mekanisme kontrol terhadap eskalasi biaya JKN klaim; menguatkan JKN sebagai bagian dari SKN untuk mendorong pencapaian tujuan pembangunan kesehatan nasional misalnya penurunan AKI dan AKB, serta pengendalian penyakit menular dan tidak menular, dan distribusi tenaga kesehatan; penguatan kembali kebijakan kesehatan publik terutama upaya promotif dan preventif; serta meningkatkan kerjasama dengan penyedia layanan swasta dan pengembangan sistem pembayaraninsentif bagi penyedia layanan dan tenaga kesehatan.

C. Pendidikan 2.1.5

Pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun yang Berkualitas Wajib Belajar Wajar 12 Tahun menjadi salah satu agenda utama pembangunan pendidikan yang akan dilaksanakan dalam periode 2015-2019. Peningkatan taraf pendidikan penduduk ini diharapkan dapat mendukung pengembangan karakter termasuk nilai- nilai dan perilaku yang dibutuhkan untuk membangun tradisi masyarakat yang bertanggung jawab dan toleran dalam kehidupan yang multikultur. Pelaksanaan Wajar 12 Tahun juga ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan pengentasan kemiskinan. Upaya Indonesia untuk keluar dari middle income trap hanya akan terealisasi jika tersedia tenaga kerja terampil secara memadai terutama untuk bersaing dalam skala global, termasuk ketika menghadapi perdagangan bebas ASEAN. Pelaksanaan Wajar 12 Tahun harus mencakup keseluruhan proses pendidikan sampai siswa menyelesaikan jenjang pendidikan menengah. Karena itu, berbagai permasalahan dalam pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang belum terselesaikan harus dapat diatasi, agar seluruh siswa yang telah menyelesaikan pendidikan pada jenjang SMPMTs dan paket Paket B dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah. Pemenuhan Hak terhadap Pelayanan Pendidikan Dasar yang Berkualitas Sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, seluruh anak usia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Namun, dalam kenyataan pada tahun 2012 sebagian dari mereka yaitu sekitar 2,12 persen anak usia 7- Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 | 145 12 dan 10,48 persen anak usia 13-15 tahun tidak bersekolah. Sebagian kecil dari mereka bahkan tidakbelum pernah sekolah Gambar xxx. Kesenjangan partisipasi pendidikan juga masih mengemuka, seperti antardaerah, antara kota dan desa, dan antara penduduk kaya dan penduduk miskin. Contoh, kesenjangan APS penduduk usia 13-15 tahun SMPMTs pada kelompok 20 persen termiskin sebesar 81,0 persen dengan kelompok 20 persen penduduk terkaya sebesar 94,9 persen. Isu kesenjangan ini makin mencolok karena cukup banyak di antara anak usia 13-15 tahun dari kelompok miskin yang tidak bersekolah adalah anak-anak yang putus sekolah selama di SDMI. Sebagian lagi lulus SDMI tetapi tidak melanjutkan ke jenjang SMPMTssederajat. GAMBAR 2.8 STATUS PARTISIPASI PENDIDIKAN ANAK USIA 6-18 TAHUN DI INDONESIA TAHUN 2012 Sumber: Diolah dari data Susenas 2012 Kesenjangan gender sudah tidak tampak di tingkat nasional, tetapi jika dilihat antarkabupatenkota, perbedaan masih cukup lebar dan berbeda antar kabkota. Berbagai masalah kesenjangan ini perlu segera diatasi untuk menjamin anak Indonesia usia 7-15 tahun, tanpa terkecuali, dapat terpenuhi haknya bersekolah dan dapat menyelesaikan Wajar Dikdas 9 Tahun. Dengan uraian permasalahan di atas, tantangan yang harus diatasi adalah meningkatkan pemerataan akses ke layanan pendidikan dengan memberikan peluang yang lebih besar bagi anak dari keluarga yang tidak mampu untuk menurunkan kesenjangan akses pendidikan antardaerah, antarstatus sosial ekonomi, dan antarjenis kelamin. 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Usia Z-10: Lulus SM Z-9: Putus Sekolah di SM Z-8: Sedang sekolah di SM Z-7: Lulus SMPMTs tidak melanjutkan Z-6: Putus sekolah di SMPMTs Z-5: Sedang sekolah di SMPMTs Z-4: Lulus SDMI tidak melanjutkan Z-3: Putus sekolah di SDMI Z-2: Sedang sekolah di SDMI Z-1: Sedang mengikuti di PAUD Z-0: Tidakbelum pernah sekolah 146 | Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 Peningkatan Akses Pendidikan Menengah yang Berkualitas Pelaksanaan Wajib Belajar Wajar 12 Tahun menuntut kinerja maksimal untuk menjamin semua anak terutama yang berusia 7-18 tahun dapat terus bersekolah dan menyelesaikan pendidikan 12 tahun. Permasalahan yang masih ada dalam pelaksanaan pendidikan jenjang menengah ditunjukkan dengan terdapatnya sekitar 2,0 juta anak dari 12,4 juta anak usia 16-18 tahun yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun, bahkan sekitar 100 ribu diantaranya tidak pernah sekolah. Jumlah tersebut belum termasuk 1,4 juta anak yang sudah lulus SMPMTs tetapi tidak melanjutkan dan 280 ribu anak yang putus sekolah selama menempuh pendidikan di SMASMKMA. Peningkatan partisipasi pendidikan menengah tidak terjadi secara merata di tanah air. Antara tahun 2009 dan 2012 terdapat beberapa provinsi seperti Jawa Barat, Banten, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Maluku Utara yang mengalami kenaikan APK lebih dari 10 persen. Namun beberapa daerah tidak mengalami peningkatan APK secara berarti meskipun capaian mereka pada tahun 2009 juga masih rendah, seperti Kepulauan Bangka dan Belitung, Kalimantan Barat, dan Papua. Kesenjangan ini harus segera diperkecil dengan memberikan perhatian lebih besar pada daerah dengan kinerja yang kurang baik. Upaya meningkatkan partisipasi pendidikan menengah sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ketersediaan fasilitas availability, daya jangkau terhadap fasilitas accessibility, daya jangkau pembiayaannya affordability, kualitas layanan quality yang disediakan, dan persepsi terhadap nilai tambah yang diperoleh. Dalam hal ketersediaan fasilitas, ketersediaan sekolahmadrasah jenjang menengah dinilai belum memadai, yang antara lain diukur dengan jarak antara sekolah dan tempat tinggal anak. Sekitar 35 persen siswa SMASMKMA harus menempuh perjalanan lebih dari 4 km atau lebih untuk mencapai sekolah. Perhitungan ini tidak termasuk mereka yang putus sekolah, sehingga jika mereka diperhitungkan, maka jaraknya akan lebih jauh lagi. Biaya pendidikan yang tinggi menjadi salah satu penyebab rendahnya partisipasi pendidikan menengah pada kelompok miskin. Data tahun 2012 menunjukkan bahwa pada saat angka partisipasi sekolah APS anak usia 16-18 tahun pada kelompok 20 persen terkaya sudah mencapai 75,3 persen, APS pada kelompok 20 persen termiskin Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 | 147 baru mencapai 42,9 persen Gambar xxx. Keterbatasan finansial merupakan alasan utama tidak melanjutkan sekolah. Beratnya beban Keluarga pada kelompok 20 persen paling miskin menanggung beban sangat berat, rata-rata harus mengeluarkan sekitar 50 persen dari total pengeluaran keluarga untuk pendidikan. Pada kelompok terkaya hanya mengeluarkan sekitar 20 persen dari total pengeluaran keluarga untuk pendidikan. Karena itu, pemberian perhatian lebih besar bagi anak- anak dari keluarga miskin termasuk melalui beasiswa sangat penting untuk dilanjutkan. GAMBAR 2.9 ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH PENDUDUK USIA 16-18 TAHUN MENURUT KELOMPOK PENGELUARAN KELUARGA TAHUN 2000-2009 Kualitas pendidikan menengah juga masih rendah karena belum semua sekolah memiliki fasilitas memadai untuk mendukung proses belajar mengajar yang berkualitas, meskipun hampir seluruh guru pendidikan menengah sudah berpendidikan S1D4. Selain itu, masih terdapat sekitar 32,1 persen SMASMK yang belum terakreditasi. Kualitas pendidikan yang rendah juga disebabkan banyak sekolah swasta yang dibangun tanpa memperhatikan standar mutu, tetapi lebih karena terbatasnya daya tampung sekolahmadrasah negeri. Pada tahun 2011, dari 26.408 SMASMKMA yang ada, 17.860 di antaranya 67,6 persen adalah sekolahmadrasah swasta PODES 2011. Relevansi pendidikan menengah juga masih rendah yang diindikasikan oleh rendahnya penilaian pelaku usaha terhadap karyawan yang berpendidikan menengah baik umum maupun kejuruan. Sekolah menengah kejuruan juga dianggap belum mampu 2 7 .6 2 9 .9 2 8 .7 4 2 .9 3 6 .8 4 1 .0 4 3 .4 5 5 .2 4 6 .2 5 .4 5 2 .4 6 3 .6 5 5 .9 6 1 .4 6 2 .4 6 8 .4 7 2 .0 7 3 .0 7 2 .7 7 5 .3 20 40 60 80 100 2000 2006 2009 2012 Kuintil-1 Kuintil-2 Kuintil-3 Kuintil-4 Kuintil-5 148 | Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 membekali lulusan dengan keterampilan yang memadai yang dapat menjadi pembeda upah significant wage premium dan kemudahan memperoleh pekerjaan dibanding sekolah umum. Tingkat pengangguran terbuka lulusan SMK juga lebih tinggi 9,88 persen dibanding dengan lulusan SMA 9,60, dan lulusan dari jenjang pendidikan lainnya Sakernas 2012. Pendapatan lulusan SMK rata- rata juga lebih rendah dibandingkan lulusan SMA, sementara biaya pendidikan per siswa yang harus disediakan oleh pemerintah dan keluarga jauh lebih banyak untuk siswa SMK dibandingkan siswa SMA. Selain bidang-bidang yang dikembangkan belum sepenuhnya searah dengan kebutuhan dunia kerja, rendahnya relevansi pendidikan menengah juga disebabkan oleh kurangnya kerjasama lembaga pendidikan dengan industri. Kegiatan magang di industri masih sangat terbatas, terutama karena industri tidak memiliki sumber pembiayaan yang memadai, ketiadaan fasilitas termasuk peralatan untuk pelatihan, kurangnya manfaat yang dirasakan oleh industri, dan kurangnya dukungan peraturan perundangan. Dukungan industri dalam pengembangan kurikulum juga masih sangat terbatas yang antara lain disebabkan oleh komunikasi antara industri dan pengelola pendidikan yang belum dilakukan secara intensif dan berkesinambungan. Dengan melihat permasalahan tersebut di atas, pembangunan pendidikan menengah pada kurun waktu lima tahun ke depan dihadapkan pada tantangan untuk meningkatkan akses pendidikan menengah melalui Wajar 12 Tahun dengan memberikan dukungan yang lebih besar kepada anak yang berasal dari keluarga tidak mampu, serta meningkatkan kualitas pendidikan menengah dengan penyediaan sarana prasarana dan fasilitasnya. Tantangan berikutnya adalah membangun sistem yang lebih komprehensif melalui penyediaan alternatif pembelajaran yang beragam termasuk diferensiasi kurikulum agar siswa dapat mengembangkan potensi, minat, bakat, dan kecerdasan jamak individu secara maksimal.

2.1.6 Peningkatan Kualitas Pembelajaran

Kualitas pembelajaran di Indonesia dinilai masih belum baik diukur dengan proses pembelajaran maupun hasil belajar siswa. Berbagai studi mengungkapkan bahwa proses pembelajaran di kelas umumnya tidak berjalan secara interaktif. Hasil studi Bank Dunia 2014 menunjukkan, sekitar 74 persen aktivitas kelas dilakukan oleh guru saja, dan hanya sekitar 11 persen yang dilakukan bersama guru- Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 | 149 siswa. 1 Bahkan waktu belajar sebagian besar digunakan guru untuk menjelaskan materi dan pemecahan masalah, sementara waktu yang digunakan untuk diskusi dan praktik sangat sedikit. Proses pembelajaran demikian tidak akan menumbuhkan kreativitas siswa dan membangkitkan daya kritis dalam berpikir dan kemampuan analisis siswa, suatu kompetensi yang justru sangat vital dimiliki siswa sebagai hasil dari pembelajaran. Proses pembelajaran yang baik akan terjadi bila guru menerapkan metode discovery learning approach, untuk menggantikan metode expository learning approach. Hasil belajar siswa juga masih belum menggembirakan. Dalam Ujian Akhir Nasional UAN tahun 2013, hanya sekitar 56 siswa SMPMTs dan 66 persen siswa SMASMKMA yang mencapai batas minimal nilai UAN murni. Selain itu, hasil UAN juga masih sangat senjang baik antarsiswa, antarsekolah, maupun antardaerah. Disamping itu, hasil ujian nasional juga mengindikasikan terjadinya kesenjangan gender. Anak perempuan secara rata-rata memperoleh nilai lebih tinggi untuk semua mata pelajaran dibanding anak laki-laki, dengan selisih yang lebih signifikan pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Dalam tes internasional seperti dalam Programme for International Student Assessment PISA dan Trends in International Mathematics and Science Study TIMSS, hasil belajar siswa Indonesia juga kurang menggembirakan. Nilai rata-rata siswa Indonesia dalam PISA 2012 hanya 396, jauh lebih rendah dari nilai rata-rata negara OECD 497. Sekitar 55,3 persen siswa Indonesia tidak mencapai kecakapan Level-2 yang merupakan kecakapan minimal yang harus dikuasai oleh anak-anak usia 15 tahun. Hasil belajar siswa Indonesia untuk pelajaran matematika dan sains tidak mengalami peningkatkan, bahkan mengalami penurunan dalam 10 tahun terakhir. Hasil PISA juga menunjukkan bahwa hasil belajar anak perempuan lebih baik dibanding dengan proporsi anak perempuan yang tidak mencapai kecakapan Level-2 47,6 persen lebih kecil dibandingkan dengan anak laki-laki yang tidak mencapai kecakapan yang sama 62,5 persen. Terdapat tiga faktor utama terkait dengan rendahnya kualitas proses pembelajaran di Indonesia, yaitu: a penguatan jaminan kualitas pelayanan pendidikan; b penguatan kurikulum dan pelaksanaannya; dan c penguatan sistem penilaian pendidikan. Permasalahan terkait dengan isu-isu tersebut diuraikan sebagai berikut: 1 Chang, dkk. 2014. Reformasi guru di Indonesia: Peran politik dan bukti dalam pembuatan kebijakan. 150 | Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 Penguatan Jaminan Kualitas Pelayanan Pendidikan Untuk menjembatani pemenuhan SNP, pada tahun 2010 telah dikeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Permendikbud No. 15 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal SPM yang kemudian dirubah dalam Permendikbud No. 23 Tahun 2013. Standar pelayanan minimal tersebut ditetapkan sebagai tolok ukur kinerja pelayanan pendidikan dasar di tingkat kabupatenkota yang merupakan pentahapan dalam pencapaian seluruh standar nasional pendidikan. Dalam peraturan tersebut Pemerintah menetapkan bahwa SPM pendidikan dasar harus tercapai dalam tahun 2014. Namun demikian, capaian pada tahun 2013 menunjukkan hasil yang belum baik. Survei yang dilakukan terhadap 5.280 SDMI dan SMPMTs menemukan hanya sekitar 54 persen SMPMTs yang memiliki ruang laboratorium sains, bahkan hanya sekitar 21 persen MTs swasta yang memiliki ruang laboratorium. Tidak hanya capaian fisik, capaian non-fisik juga masih belum cukup baik. Misalnya, kurang dari 60 persen SDMI yang semua gurunya menerapkan rencana pelaksanaan pembelajaran RPP dan hanya sekitar 50 persen SDMI yang semua gurunya mengembangkan dan menerapkan program penilaian untuk membantu meningkatkan kemampuan belajar peserta didik. Infomasi ini dapat menggambarkan bahwa proses pembelajaran dan sistem pendukungnya belum sesuai dengan yang diharapkan. Jaminan kualitas pendidikan menengah juga belum sepenuhnya diterapkan. Sekitar 32,1 persen SMASMK bahkan belum terakreditasi. Lingkungan pembelajaran termasuk ketersediaan fasilitas belum cukup mendukung proses belajar mengajar yang berkualitas, meskipun hampir seluruh guru pendidikan menengah sudah berpendidikan S1D4. Kondisi ini antara lain juga disebabkan oleh banyaknya sekolah swasta yang dibangun bukan karena tuntutan kualitas yang lebih tinggi dari sekolahmadrasah negeri, tetapi karena ketiadaan atau kurangnya daya tampung SMASMKMA negeri. Pada tahun 2011 dari 26.408 SMASMKMA yang ada PODES 2011, 17.860 diantaranya 67,6 persen adalah sekolahmadrasah swasta. Lebih rendahnya kualitas sekolah swasta dapat ditunjukkan oleh lebih banyaknya SMASMKMA swasta yang tidak memiliki fasilitas yang mendukung pembelajaran termasuk perpustakaan dan berbagai laboratorium. Penguatan Kurikulum dan Pelaksanaannya Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa kurikulum dikembangkan dengan prinsip