Kerangka Regulasi dan Kerangka Kelembagaan Kerangka Regulasi

80 | Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 hak penyandang disabilitas dan lansia, termasuk penguatan Rancangan Undang-Undang Penyandang Disabilitas, dan Rancangan regulasi yang mendukung pembangunan lingkungan yang inklusif bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia; vii peran masyarakat dalam pelaksanaan perlindungan dan kesejahteraan sosial; viii peningkatan dan penyelenggaraan kesetiakawanan sosial; ix pelaksanaan inovasi pendaftaran dan pengumpulan iuran jaminan sosial; x penguatan fungsi, peran, serta standar dan kapasitas lembaga dan personil penyelenggara, termasuk institusi pengambil kebijakan dan pelaksana SJSN.

B. Peningkatan dan perluasan pelayanan dasar bagi masyarakat kurang mampu

Peningkatan pelayanan dasar dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dasar penduduk kurang mampu dan rentan baik perempuan dan laki-laki, perlu diperkuat melalui kerangka regulasi sebagai berikut: 1. Penguatan regulasi dalam mengatur akuntabilitas pemerintah pusat dan daerah dalam menyelenggarakan pelayanan dasar sebagai Urusan Pemerintahan Wajib, sesuai dengan amanat UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan PP No. 96 Tahun 2012 tentang pelaksanaannya, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, terutama setelah diberlakukannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, serta melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses perencanaan, penganggaran dan pemantauan pelayanan publik dan pelayanan dasar; 2. Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, penyusunan Peraturan Pemerintahan yang memperkuat keberpihakan pada masyarakat kurang mampu dalam SPM terkait enam Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar di tingkat kabupatenkota pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum dan penataan ruang; perumahan rakyat dan kawasan permukiman; ketenteraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat; dan sosial, serta administrasi kependudukan dan pencatatan sipil Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 | 81 walaupun tidak masuk dalam kategori Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar; 3. Penyusunan regulasi dan mekanisme insentif yang mendukung pemenuhan kebutuhan SDM penyedia layanan terutama tenaga kesehatan, tenaga pendidikan, dan pekerja sosial untuk dapat menjangkau masyarakat kurang mampu dan rentan di kantong-kantong kemiskinan.

C. Pengembangan penghidupan masyarakat kurang mampu secara berkelanjutan

Regulasi dalam hal usaha pengembangan penghidupan harus dilandaskan pada tujuan utama yaitu untuk membangun aset penghidupan kelompok kurang mampu dan rentan melalui perluasan akses terhadap kegiatan ekonomi produktif, dan pada saat yang sama melindungi dan mengembangkan aset penghidupan yang mereka miliki. Hal tersebut dilakukan melalui: 1. Penyusunan model lembaga bisnis dalam pengelolaan Dana Amanah Pemberdayaan Masyarakat DAPM. Dana bergulir PNPM yang merupakan Bantuan Langsung Masyarakat BLM yang bersumber dari APBN saat ini belum diakui secara hukum. Sementara ini, aset tersebut dikelola oleh masyarakat sebagai pemilik aset dan UPK PNPM selaku organisasi pengelola aset. Oleh karena itu, diperlukan payung hukum legal formal yang manjamin keberadaan dan status badan hukum lembaga pengelola DAPM. Hal ini penting mengingat lembaga tersebut dapat berperan sebagai Perusahaan Sosial Social Enterprise, khususnya yang bersifat Community Enterprise dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat karena memiliki orientasi ganda, yaitu komersial dan sosial. Berdasarkan kajian komprehensif yang telah dilakukan terkait status hukum kelembagaan untuk mendukung visi misi penanggulangan kemiskinan, status badan hukum yang menjadi pilihan dan diakui dalam sistem hukum positif di Indonesia adalah 1 Badan Hukum Koperasi, 2 PT Lembaga Keuangan Mikro, 3 Perkumpulan Berbadan Hukum PBH. SOP danatau ADART dari model lembaga bisnis yang akan dibentuk diarahkan agar dapat mengoptimalkan layanan bagi segmen sasaran yang 82 | Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 fokus utamanya ditujukan kepada masyarakat kurang mampu. Salah satu basis legal yang dapat dijadikan sebagai acuan misalnya Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang didalamnya belum tercantum pasal terkait aturan untuk lembaga koperasi yang mengarah ke Community Enterprise. Oleh karena itu, diperlukan adanya Peraturan Pemerintah PP terkait proses legalisasi DAPM menjadi koperasi, PT. LKM, atau PBH yang memuat perlakuan khusus dari seluruh proses legal-formal yang diperlukan untuk memperlancar dan mengefektifkan pemanfaatan DAPM; 2. Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah RPP yang mengatur suku bunga pinjaman atau imbal hasil pembiayaan Lembaga Keuangan Mikro LKM, luas cakupan wilayah LKM, dan pembentukan lembaga penjamin simpanan nasabah LKM, sebagai pendukung pelaksanaan amanat Undang-undang UU No. 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro; 3. Harmonisasi kebijakan dan peraturan turunan terkait implementasi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang sinergi dengan pelaksanaan program pengembangan penghidupan berkelanjutan; 4. Harmonisasi peraturan dan kebijakan tata ruang dan berbagai peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Daerah yang berkaitan dengan kepastian lokasi usaha, khususnya bagi penataan usaha informalpedagang kaki lima; 5. Harmonisasi peraturan pusat dan daerah yang mendukung pemanfaatan anggaran di daerah provinsi dan kabupatenkota untuk dapat membiayai kegiatan-kegiatan yang langsung dikelola secara swadaya oleh masyarakat miskin. Hal ini penting untuk mendorong keberpihakan pemerintah dalam membuka pekerjaan dan penurunan kemiskinan. Kerangka Kelembagaan Untuk mendorong keberhasilan dalam peningkatan pemerataan dan penanggulangan kemiskinan, penataan kelembagaan diarahkan untuk: 1. Memperkuat upaya-upaya penanggulangan kemiskinan dengan cara memadukan sistem perencanaan dan penganggaran yang Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 | 83 berpihak pada masyarakat miskin, baik secara vertikal antar kementerian lembaga, horisontal pemerintah pusat dan daerah, maupun dengan stakeholder lain di luar pemerintah; 2. Memperkuat kedudukan serta kapasitas kelembagaan yang berfungsi untuk mengkoordinasikan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, mengarahkan pengarusutamaan pengurangan kemiskinan baik di tingkat pusat maupun daerah. Institusi koordinasi penanggulangan kemiskinan tersebut dipimpin langsung oleh kepala pemerintahan presiden, gubernur, bupatiwalikota dengan anggota unsur pemerintahan dan perwakilan lembaga non-pemerintah; 3. Mengembangkan pusat pelayanan sosial terpadu di tingkat kabupatenkota secara bertahap, dengan mengembangkan jaringan hingga unit pelayanan di tingkat kecamatan dan desa. Pusat pelayanan sosial ini berfungsi untuk pemutakhiran data, penanganan pengaduan dan rujukan pelayanan sosial. Pembentukan lembaga ini diharapkan dapat diikuti dengan perbaikan layanan dan akuntabilitas untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga rujukan. 84 | Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 GAMBAR 1.2 SKEMA SISTEM PELAYANAN SOSIAL TERPADU Sistem pelayanan perlindungan sosial terpadu dikembangkan melalui kerjasama pemerintah dengan berbagai unsur masyarakat. Secara lebih rinci sistem ini terdiri dari bagian pelayanan, bagian penjangkauan, serta bagian keluhan dan pelaporan. Dengan adanya sistem ini program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial dapat terkoordinasi dengan baik, serta pemerintah daerah dapat melakukan pemutakhiran data secara berkala. 1.2.2 Perubahan Iklim 1.2.2.1 Permasalahan dan Isu Strategis A. Penurunan Emisi Gas Rumah Kacamitigasi GRK Sebagai pelaksanaan RAN GRK sesuai Perpres No. 612011 sampai dengan tahun 2013 telah diselesaikan: i Penerbitan Peraturan Gubenur tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca RAD-GRK di 33 provinsi, serta Pemantauan Evaluasi dan Pelaporan PEP pelaksanaan RAN-GRK dan RAD-GRK; ii Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional melalui Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 | 85 Perpres No. 712011; iii Pembentukan Tim Koordinasi Penanganan Perubahan Iklim di tingkat nasional yang didukung oleh unit Sekretariat Perubahan Iklim melalui Keputusan Menteri PPNKepala Bappenas No. 38M.PPNHK2012; dan iv Penerbitan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.152013 tentang Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi Aksi Mitigasi Perubahan Iklim, serta pembentukan Sistem Inventarisasi GRK Nasional SIGN Center untuk inventarisasi GRK. Sejalan dengan itu, di tingkat lapangan telah dilaksanakan berbagai kegiatan rendah emisi, sebagai contoh di pertanian, kehutanan dan lahan gambut telah dilakukan penanaman lahan terdeforestasi di kawasan hutan dan non-hutan, penurunan lahan terdeforestasi, pembangunan hutan kota, penghentian pemanfaatan lahan gambut, pembuatan instalasi biogas, System of Rice Intensification SRI, dan pengendalian land clearing dengan pembakaran. Pada sektor energi, transportasi dan industry telah dilaksanakan konversi bahan bakar minyak ke gas industri, rumah tangga, dan transportasi, pengembangan dan pemanfaatan biofuel serta biomass, pengembangan lampu jalanan yang hemat energi, pengelolaanpengembangan transportasi publikmassal berkelanjutan, efisiensi energi di sektor industri, serta pengembangan energi baru dan terbarukan lainnya. Pada sektor limbah juga telah dilakukan kegiatan-kegiatan seperti: pengelolaan sampah pada tingkat komunitas, pengembangan 3R reduce, reuse, recycle, pengelolaan bank sampah, dan pengelolaan limbah oleh swasta Selanjutnya, untuk menampung dukungan masyarakat internasional dalam melakukan penurunan emisi, Kementerian PPNBappenas bersama-sama dengan Kementerian Keuangan pada tahun 2009 telah mendirikan Indonesia Climate Change Trust Fund ICCTF. Pada saat ini ICCTF telah membantu pelaksanaan RANRAD GRK dengan membantu berbagai pilot kegiatan untuk dapat diperluas penerapannya melalui KL terkait. Pada saat ini sesuai dengan semangat kemandirian nasional, ICCT telah menjadi Lembaga Wali Amanah LWA Nasional, sesuai dengan Perpres No. 802011. Pembentukan LWA tersebut diharapkan dapat memperkuat pengelolaan pendanaan pembangunan untuk