Rancangan Awal RPJMN 2015-2019
| 121
lapisan masyarakat, serta diseminasi, aksesibilitas dan pemanfaatan data dan informasi penduduk bagi pemangku kebijakan. 2 penguatan
data dan informasi yang tepat waktu dan berkualitas yang berasal dari sensus, survei, proyeksi, statistik sektoral KKB, kajian dan lainnya,
untuk dimanfaatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi pembangunan bidang KKB.
B. Kesehatan dan Gizi Masyarakat 2.1.5
Peningkatan Kesehatan Ibu, Anak, Remaja dan Lansia
Angka Kematian Ibu AKI masih cukup tinggi walaupun dalam beberapa dekade terakhir AKI telah mengalami penurunan. Pada tahun
1994 AKI di Indonesia adalah 390 per 100.000 kelahiran hidup SDKI 1994 menurun menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun
2007. Hasil Sensus Penduduk SP 2010, AKI di Indonesia adalah 346 per 100.000 kelahiran hidup, sementara hasil survey SDKI tahun 2012
AKI di Indonesia adalah 359 per 100.000 kelahiran hidup. Perlu upaya ekstra keras untuk dapat menurunkan angka kematian ibu.
GAMBAR 2.1 ANGKA KEMATIAN IBU INDONESIA TAHUN 1994-2012
Angka Kematian Balita AKBA telah turun sebesar 58,8 persen dari 97 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1991 menjadi 40 per
1.000 kelahiran hidup pada tahun 2012. Namun demikian, angka ini masih cukup jauh dari target MDG 4 sebesar 32 per 1.000 kelahiran
hidup. Sementara itu Angka Kematian Bayi AKB turun sebesar 52,5 persen pada kurun waktu yang sama. Angka Kematian Neonatal AKN
turun dari 32 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1991 menjadi 20
122
|
Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2003, kemudian turun sedikit
menjadi 19 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2010, selanjutnya tidak berubah pada tahun 2012. Lambatnya penurunan kematian
neonatal yang berkontribusi pada 59,4 persen kematian bayi SDKI 2012 menyebabkan tetap tingginya AKB.
GAMBAR 2.2 ANGKA KEMATIAN BAYI AKB, BALITA AKBA DAN NEONATAL AKN
1991-2012
Walaupun angka kematian ibu meningkat, tetapi berbagai indikator pelayanan kesehatan menunjukkan kinerja sistem kesehatan
yang cukup baik, yang ditandai dengan peningkatan pemeriksaan kehamilan, persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih dan persalinan di
fasilitas pelayanan kesehatan, kunjungan neonatal pertama dan cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi. Walupun demikian
kesinambungan pelayanan continuum of care kesehatan ibu, anak dan remaja belum terjaga. Cakupan beberapa jenis pelayanan kesehatan
masih rendah seperti anemia ibu hamil, pemakaian kontrasepsi, dan ASI ekslusif.
Rancangan Awal RPJMN 2015-2019
| 123
GAMBAR 2.3 CAKUPAN PERSEN DALAM KESINAMBUNGAN PELAYANAN CONTINUUM
OF CARE KESEHATAN IBU DAN ANAK
Dalam hal kualitas pelayanan, permasalahan utama adalah masih belum terpenuhinya berbagai standar pelayanan berupa
fasilitas, alat, bahan, dan ketenagaan kesehatan. Dari seluruh rumah sakit umum PONEK pemerintah, hanya 7,6 persen yang memenuhi
seluruh standar yang ditetapkan Rifaskes 2011; yang memiliki kamar operasi dan tim dokter siap 24 jam baru mencapai 82 persen dan tidak
memiliki pelayanan darah 24 jam sebesar 58 persen Kemenkes, 2012. Sebagian besar 60 persen kabupatenkota belum memiliki 4 empat
buah puskesmas PONED seperti yang dipersyaratkan. Dari puskesmas PONED yang ada, hanya 70 persen yang mempunyai alat pemeriksaan
hemoglobin dan hanya 42,6 persen mempunyai obat Magnesium untuk perdarahan dan eklampsia. Lebih dari separuh 55 persen puskesmas
PONED belum memiliki tenaga terlatih, dan sebagian besar puskesmas 66 persen bahkan tidak dilengkapi dengan peralatan dan obat-obatan
yang lengkap.
Kesehatan ibu dan anak sangat terkait erat dengan kesehatan remaja putri. Permasalahan kesehatan dan gizi pada remaja masih
cukup besar. Prevalensi pendek stunting pada remaja usia 13-15 tahun sebesar 35,1 dan remaja usia 16-18 tahun mencapai 31,4
persen. Selain itu akses remaja pada kesehatan resproduksi juga beum optimal. Dalam beberapa tahun ke depan, jumlah dan proporsi
37.1 61.9
83.5 87.1
70.4
10.2 58.9
38.0 71.3
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
Anemia ibu hamil WUS
Pemakaian Kontrasepsi
Pemeriksaan Kehamilan
K4 Persalinan
oleh Nakes Persalinan di
Faskes Bayi berat
badan lahir rendah
Imunisasi dasar
lengkap ASI Esklusif 6
bulan Kunjungan
Neonatus KN1
Sumber: Riskesdas 2103 dan SDKI 2012
124
|
Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 penduduk lanjut usia juga akan meningkat pesat. Dengan demikian
pelayanan kesehatan lansia, terutama bagi berbagai upaya pencegahan penyakit tidak menular, kronis dan penyakit degeneratif perlu terus
ditingkatkan. Misalnya prevalensi ganggunan penghilatan sever low vision pada penduduk usia 65-74 dan 75 masing-masin mencapai 7,6
dan 13,9 dan gangguan pendengaran mencapai 17,1 dan 36,6. Berbagai prevalensi penyakit tidak menular seperti diabetes,
hipertiroid, stroke dan penyakit sendi juga meningkat tajam pada kelomok lansia.
Faktor tidak langsung yang berpengaruh terhadap upaya kesehatan ibu, remaja dan lansia adalah kondisi sosial ekonomi
masyarakat dan lokasi geografis. Disparitas status kesehatan terjadi antar kelompok sosial ekonomi dan perkotaan-perdesaan. Sebagai
contoh, angka kematian bayi pada penduduk termiskin sebesar 52 kematian per 1.000 kelahiran hidup, jauh lebih tinggi dibandingkan
kelompok terkaya sebesar 17 per 1.000 kelahiran hidup. Balita dari penduduk miskin tiga kali lipat lebih beresiko mengalami gizi buruk.
Selain itu kematian bayi di perdesaan 40 per 1.000 kelahiran hidup, jauh lebih tinggi daripada penduduk diperkotaan 26 per 1.000
kelahiran hidup. Demikian pula kekurangan gizi lebih banyak terjadi di perdesaan.
Tantangan utama yang dihadapi dalam peningkatan kesehatan ibu, bayi, dan remaja adalah menjamin keberlangsungan pelayanan
continuum of care terutama dalam peningkatan cakupan dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan remaja, pemeriksaan
kehamilan, persalinan, pelayanan pasca kehamilan, kunjungan neonatal dan imunisasi pada bayi. Selain itu dengan semakin meningkatnya
jumlah penduduk lanjut usia, maka perlu terus dikembangkan pelayanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas bagi penduduk
lanjut usia. Tantangan berikutnya adalah menjamin ketersediaan fasilitas dan tenaga, meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan,
menurunkan fertilitas dan memperbaiki status gizi remaja perempuan dan ibu hamil, serta menjaga kesinambungan pelayanan kesehatan ibu
dan anak di pusat, provinsi, dan kabupatenkota.
2.1.6 Percepatan Perbaikan status gizi masyarakat
Upaya percepatan perbaikan gizi masyarakat menghadapi permasalahan yang sangat besar karena kekurangan gizi dan kelebihan
gizi pada saat yang bersamaan dan terjadi seluruh kelompok umur. Kekurangan gizi yang diukur dengan stunting pendek telah terjadi
sejak anak lahir, dengan prevalensinya meningkat hingga anak berusia 2 tahun dan terus terjadi hingga usia lima tahun. Pada tahun 2013,
Rancangan Awal RPJMN 2015-2019
| 125
prevalensi stunting pada balita mencapai 37,2 persen. Selain stunting, pada tahun 2013 prevalensi balita yang mengalami wasting kurus
mencapai 12,1 persen dan underweight sebesar 19,6 persen. Selain itu beberapa indikator pembangunan gizi masih cukup tinggi seperti pada
tabel XXX. Selain disparitas masalah gizi yang cukup tinggi antar propinsi dan antar kabupatenkota menjadi tantangan yang perlu
diselesaikan serta disparitas permasalahan antar kelompok sosial ekonomi masyarakat.
TABEL 2.1
PERKEMBANGAN INDIKATOR PEMBANGUNAN GIZI MASYARAKAT 2007-2013
Indikator Capaian persen
2007 2010
2013
Kekurangan Gizi pada Balita Gizi Kurang+Buruk 18,4
17,9 19,6
Gizi Kurang 13,0
13,0 13,9
Gizi Buruk 5,4
4,9 5,7
Stunting Pendek + Sangat Pendekpada Balita 36,8
35,6 37,2
Stunting Pendek + Sangat Pendek pada Baduta -
- 32,9
Wanita Hamil usia 15-49 tahun risiko Kurang Energi Kronik KEK -
24,2 Anemia pada ibu hamil
24.5 -
37.1 Kegemukan pada Balita
12,2 14,0
11,9 Berat badan lebih dan Obesitas IMT 18 tahun
- 21,7
28,9 Laki-laki
- 16,3
19,7 Perempuan
- 26,9
32,9 Bayi dengan berat badan lahir rendah BBLR
11,5 11,1
10,2 Bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI eksklusif
- -
38,0
Sumber: Riskesdas 2007, 2010, 2013
Beberapa permasalahan gizi masyarakat yang perlu mendapat perhatian antara lain adalah anemia pada anak dan perempuan yang
masing-masing mencapai 28,1 persen pada anak usia 12-59 bulan dan 37,1 persen pada ibu hamil Riskesdas 2013. Secara nasional, status
asupan yodium pada anak sekolah dan wanita usia reproduktif cukup baik, tetapi masih terdapat disparitas yang tinggi terutama pada
daerah-daerah penghasil garam yang status yodiumnya masih rendah.
126
|
Rancangan Awal RPJMN 2015-2019 Selain itu terdapat 36,6 persen anak usia 6-23 bulan yang
mendapatkan makanan pendamping ASI yang cukup baik dari jenis maupun frekuensinya SDKI 2012.
Selain hal-hal spesifik gizi di atas beberapa permasalahan yang terkait dengan gizi dan perlu mendapat perhatian antara lain adalah
tingkat kesakitan anak termasuk diare, cakupan imunisasi lengkap pada anak usia 12-23 bulan, rendahnya akses terhadap sumber air
minum layak 66,8 persen serta rendahnya rumah tangga dengan akses terhadap sanitasi layak yang baru 59,8 persen Riskesdas 2013.
Pernikahan usia muda dan kehamilan pada remaja meningkatkan peluang terjadinya kekurangan gizi pada anak. Selain itu kekurangan
akses pada pangan yang disebabkan oleh kemiskinan dan infrastruktur yang kurang memadai ikut berkontribusi pada kerawanan pangan.
Prevalensi kelebihan gizi meningkat cukup tajam dan mengkhawatirkan terutama pada perempuan. Gizi lebih overweight
meningkat lebih dari dua kali antara 2007 hingga 2013 dari 14,8 persen menjadi 32,9 persen pada perempuan dewasa dan dari 18,8
persen menjadi 26,6 persen pada laki-laki dewasa. Pada anak balita, gizi lebih menurun dari 12,2 menjadi 11,9 persen selama periode
2010-2013 Riskesdas. Peningkatan gizi lebih berkorelasi dengan meningkatnya faktor resiko penyakit tidak menular.
Tantangan utama dalam peningkatan status gizi masyarakat adalah meningkatkan intervensi gizi spesifik, antara lain melalui
perbaikan gizi pada bayi, remaja, ibu hamil, dan ibu menyusui, serta penanganan kelebihan gizi, peningkatan intervensi sensitif seperti
surveilans gizi, penguatan regulasi, kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan bagi upaya perbaikan gizi termasuk peningkatan jumlah dan
kualitas sumber daya manusia, meningkatkan akses masyarakat terhadap pangan yang berkualitas, dan mendorong pola hidup makan
sehat terutama dengan penurunan konsumsi gula, lemak, dan garam untuk menurunkan faktor resiko penyakit tidak menular. Selain itu
disparitas masalah gizi yang cukup tinggi antar propinsi dan antar kabupatenkota serta disparitas permasalahan antar kelompok sosial
ekonomi masyarakat menjadi tantangan yang perlu diselesaikan. Tantangan lain diantaranya peningkatan peranan Pengembangan Anak
Usia Dini PAUD holistik integratif dalam pelaksanaan gerakan nasional percepatan perbaikan gizi.
Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi Perpres No. 42 Tahun 2013 menjadi landasan dalam integrasi intervensi spesifik
sektor kesehatan dan intervensi sensitif sektor di luar kesehatan yang sejalan dengan pembangunan gizi global yaitu Scaling Up
Nutrition SUN Movement. Gerakan ini difokuskan pada 1000 Hari