guru, namun masih ada pekerjaan besar yang harus segera dilakukan, yakni meningkatkan dedikasi dan kompetensi guru.
Apakah yang dimaksud kompetensi? Istilah kompetensi memang bukan barang baru. Pada tahun 70-an, terkenal wacana
akademis tentang apa yang disebut sebagai Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi atau Competency-based Training and Education
CBTE. Pada saat itu Direktorat Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis Dikgutentis Dikdasmen pernah mengeluarkan “buku saku berwarna
biru” tentang “sepuluh kompetensi guru”. Dua dekade kemudian, Direktorat Tenaga Kependidikan Dit Tendik, nama baru Dikgutentis
telah membentuk satu tim Penyusun Kompetensi Guru yang beranggotakan para pakar pendidikan yang tergabung dalam
Konsorsium Pendidikan untuk menghasilkan produk kompetensi guru. Setelah sekitar dua tahun berjalan, tim itu telah dapat menghasilkan
rendahnya kompetensi guru. Sementara itu, para penyelenggra pendidikan di kabupatenkota telah menunggu kelahiran kompetensi
guru itu. Bahkan mereka mendambakan adanya satu instrumen atau alat ukur yang akan mereka gunakan dalam melaksanakan skill audit
dengan tujuan untuk menentukan tingkat kompetensi guru di daerah masing-masing.
Untuk menjelaskan pengertian tentang kompetensi itulah maka Gronzi 1997 dan Hager 1995 menjelaskan bahwa “An integrated
view sees competence as a complex combination of knowledge, attitudes, skill, and values displayed in the context of task
performance”. Secara sederhana dapat diartikan bahwa kompetensi guru merupakan kombinasi kompleks dari pengetahuan, sikap,
keterampilan, dan nilai-nilai yang ditunjukkan oleh guru dalam konteks kinerja tugas yang diberikan kepadanya. Sejalan dengan definisi
tersebut, Direktorat Profesi Pendidik Ditjen PMPTK, menjelaskan bahwa “Kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan
nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak”.
Berdasarkan pengertian tersebut, standar kompetensi guru diartikan sebagai ‘satu ukuran yang ditetapkan atau dipersyaratkan
dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan perilaku perbuatan bagi seorang guru agar berkelayakan untuk menduduki jabatan fungsional
sesuai bidang tugas, kualifikasi, dan jenjang pendidikan’ Direktorat Profesi Pendidik, Diten PMPTK, 2005. Standar kompetensi guru terdiri
atas tiga komponen yang saling mengait, yakni 1 pengelolaan pembelajaran, 2 pengembangan profesi, dan 3 penguasaan
akademik. Ketiga standar kompetensi tersebut dijiwai oleh sikap dan kepribadian yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan tugas guru
sebagai tenaga profesi. Ketiga komponen masing-masing terdiri atas dua kemampuan. Oleh karena itu, ketiga komponen tersebut secara
keseluruhan meliputi 7 tujuh kompetensi, yaitu: 1 penyusunan rencana pembelajaran, 2 pelaksanaan interaksi belajar mengajar, 3
penilaian prestasi belajar peserta didik, 4 pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar peserta didik, 5 pengembangan
profesi, 6 pemahaman wawasan kependidikan, 7 penguasaan bahan kajian akademik.
Standar kompetensi guru SKS memiliki tujuan dan manfaat ganda. Standar kompetensi guru bertujuan ‘untuk memperoleh acuan
baku dalam pengukuran kinerja guru untuk mendapatkan jaminan kualitas proses pembelajaran’ SKG, Direktorat Tendik 2003:5. Di
samping itu, Standar Kompetensi Guru bermanfaat untuk: 1 menjadi tolok ukur semua pihak yang berkepentingan di bidang pendidikan
dalam rangka pembinaan, peningkatan kualitas dan penjenjangan karir guru, 2 meningkatkan kinerja guru dalam bentuk kreativitas, inovasi,
keterampilan, kemandirian, dan tanggung jawab sesuai dengan jabatan profesinya Direktorat Profesi Pendidik, PMPTK, 2005.
E. Pengembangan Karir Guru
Pada era sentralisasi pendidikan, pembinaan guru diatur secara terpusat oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan
Nasional melalui PGPS Peraturan Gaji Pegawai Sipil dan ketentuan lain tentang kenaikan pangkat dengan sistem kredit. Dalam
pelaksanaan di lapangan ketentuan tersebut berjalan dengan berbagai penyimpangan. PGPS sering diplesetkan menjadi ‘pinter goblok
penghasilan sama’ atau ‘pandai pandir penghasilan sama’. Pelaksanaan kenaikan pangkat guru dengan sistem kredit pun sama.
Kepala sekolah sering terpaksa menandatangani usul kenaikan pangkat guru hanya karena faktor ‘kasihan’. Dengan kondisi seperti itu,
ada sebagaian kecil guru yang karena kapasitas pribadinya atau karena faktor lainnya dapat berubah atau meningkat karirnya menjadi
kepala desa, anggota legeslatif, dan bahkan menjadi tenaga struktural di dinas pendidikan. Sedang sebagian besar lainnya mengalami nasib
yang tidak menentu, antara lain karena belum ada kejelasan tentang standar pengembangan karir mereka.
Mengingat kondisi itulah maka pada tahun 1970-an dan 1980- an telah didirikan beberapa lembaga pendidikan dan pelatihan yang
bernama Balai Penataran Guru BPG, yang sekarang menjadi Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan LPMP di setiap provinsi, dan
Pusat Pengembangan Penataran Guru PPPG yang sekarang menjadi Pusat Pengembangan Profesi Pendidik dan Tenaga
Kependidikan P4TK untuk pelbagai mata pelajaran dan bidang keahlian di beberapa daerah di Indonesia. Pada tahun 1970-an
kegiatan ‘up-grading’ guru mulai gencar dilaksanakan di BPG dan PPPG. Kegiatan itu pada umumnya dirancang oleh direktorat-direktorat
di bawah pembinaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah sekarang LPMP dan P4TK berada di bawah Ditjen PMPTK.
Region-region penataran telah dibentuk di berbagai kawasan di Indonesia, dengan melibatkan antara direktorat terkait dengan
lembaga diklat preservice training dan lembaga pendidikan tenaga kependidikan LPTK sebagai lembaga preservice training, serta
melibatkan juga peranan lembaga pendidikan sekolah sebagai on the job training yang dibina langsung oleh Kantor Wilayah Departemen
pendidikan dan Kebudayaan yang ada di regionnya masing-masing. Salah satu pola pembinaan guru melalui diklat ini adalah
mengikuti pola Pembinaan kegiatan Guru PKG, yang sistem penyelenggaraan diklatnya dinilai melibatkan elemen pendidikan yang
lebih luas. Melalui pola PKG ini, para guru dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1 guru biasa, yakni guru baru atau guru yang belum
pernah mengikuti penataran, atau baru sebatas ditatar di tingkat kecamatan atau sekolah, 2 guru Inti, guru yang telah ditatar di tingkat
provinsi atau nasional dan memperoleh predikat yang sebagai penatar di tingkat kabupaten, kecamatan, dan sekolah, 3 instruktur, guru yang
telah mengikuti klegiatan diklat TOT training of trainer di tingkat pusat atau nasional dan memperoleh predikat sebagai penatar di tingkat
provinsi. Sebagian besar instruktur ini juga telah memperoleh pengalaman dalam mengikuti penataran di luar negeri, 4 pengelola
sanggar, guru instruktur yang diberi tugas untuk mengelola Sanggar PKG, yakni tempat bertemunya para guru berdiskusi atau mengikuti
penataran tingkat kabupaten atau sekolah, 5 kepala sekolah, yakni instruktur yang telah diangkat untuk menduduki jabatan sebagai kepala
sekolah, 6 Pengawas sekolah, satu jenjang fungsional bagi guru yang telah menjabat sebagai kepala sekolah. Selain itu, para guru
memiliki wadah pembinaan profesional melalui orgabnisasi yang dikenal dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran MGMP, sementara
para kepala sekolah aktif dalam kegiatan Latihan Kerja Kepala Sekolah LKKS, dan Latihan Kerja Pengawas Sekolah LKPS untuk
pengawas sekolah. Kegiatan-kegiatan tersebut sebagaian besar dilaksanakan di satu sanggar yang disebut sanggar PKG.
F. PENUTUP Peningkatan kompetensi dan profesionalisme guru, oleh
Depdiknas sekarang dikelola oleh Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Berbagai program
peningkatan kompetensi dan profesionalisme tersebut dilaksanakan dengan melibatkan P4TK PPPG, LPMP, Dinas Pendidikan, dan LPTK
sebagai mitra kerja.