Sebagai tenaga profesional, guru memang dikenal sebagai salah satu jenis dari sekian banyak pekerjaan occupation yang
memerlukan bidang keahlian khusus, seperti dokter, insinyur, dan bidang pekerjaan lain yang memerlukan bidang keahlian yang lebih
spesifik. Dalam dunia yang sedemikian maju, semua bidang pekerjaan memerlukan adanya spesialisasi, yang ditandai dengan adanya
standar kompetensi tertentu, termasuk guru. Guru merupakan tenaga profesional dalam bidang pendidikan
dan pengajaran. Westby-Gybson 1965, Soerjadi 2001:1-2 menyebutkan beberapa persyaratan suatu pekerjaan disebut sebagai
profesi. Pertama, adanya pengakuan oleh masyarakat dan pemerintah
mengenai bidang layanan tertentu yang hanya dapat dilakukan karena keahlian tertentu dengan kualifikasi tertentu yang berbeda dengan
profesi lain. Kedua, bidang ilmu yang menjadi landasan teknik dan prosedur kerja yang unik. Ketiga, memerlukan persiapan yang sengaja
dan sistematis sebelum orang mengerjakan pekerjaan profesional
tersebut. Keempat, memiliki mekanisme yang diperlukan untuk
melakukan seleksi secara efektif, sehingga yang dianggap kompetitiflah yang diperbolehkan dalam melaksanakan bidang
pekerjaan tersebut. Kelima, memiliki organisasi profesi yang, di
samping melindungi kepentingan anggotanya, juga berfungsi untuk meyakinkan agar para anggotannya menyelenggarakan layanan
keahlian yang terbaik yang dapat diberikan Suparlan, 2004:2. Profesionalisme guru didukung oleh tiga hal, yakni 1 keahlian,
2 komitmen, dan 3 keterampilan Supriadi 1998:96. Untuk dapat melaksanakan tugas profesionalnya dengan baik, pemerintah sejak
lama telah berupaya untuk merumuskan perangkat standar komptensi guru. Dapat dianalogikan dengan pentingnya hakim dan Undang-
Undang, yang menyatakan bahwa, ‘berilah aku hakim dan jaksa yang baik, yang dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun akan
dapat dihasilkan keputusan yang baik’, maka kaidah itu dapat
dianalogikan dengan pentingnya guru, yakni dengan ungkapan bijak ‘berilah aku guru yang baik, dan dengan kurikulum yang kurang baik
sekali pun aku akan dapat menghasilkan peserta didik yang baik’. Artinya, bahwa aspek kualitas hakim dan jaksa masih jauh lebih
penting dibandingkan dengan aspek undang-undangnya. Hal yang sama, aspek guru masih lebih penting dibandingkan aspek kurikulum.
Sama dengan manusia dengan senjatanya, yang terpenting adalah manusianya, ‘man behind the gun’.
Untuk menggambarkan guru profesional, Supriadi mengutip laporan dari Jurnal Educational Leadership edisi Maret 1993, bahwa
guru profesional dituntut memiliki lima hal. Pertama, guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa
komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswa. Kedua, guru menguasai secara mendalam bahanmateri pelajaran yang
diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada para siswa. Bagi guru hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ketiga, guru
bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampai
tes hasil belajar. Keempat, guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Kelima, guru
seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya di PGRI dan organisasi profesi
lainnya. Apabila kelima hal tersebut dapat dimiliki oleh guru, maka guru tersebut dapat disebut sebagai tenaga dan pendidik yang benar-benar
profesional dalam menjalankan tugasnya Supriadi 2003:14.
D. Standar Pengembangan Karir Guru
Mutu pendidikan amat ditentukan oleh kualitas gurunya. Mendiknas memberikan penegasan bahwa “guru yang utama”
Republika 10 Februari 2003. Belajar dapat dilakukan di mana saja, tetapi guru tidak dapat digantikan sepenuhnya oleh siapa atau alat apa
pun juga. Untuk membangun pendidikan yang bermutu, yang paling penting bukan membangun gedung sekolah atau sarana dan
prasarananya, melainkan harus dengan upaya peningkatan proses pengajaran dan pembalajaran yang berkualitas, yakni proses
pembelajaran yang menyenangkan, mengasyikkan, dan mencerdaskan. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh guru yang bermutu.
Sebagai salah satu komponen utama pendidikan, guru harus memiliki tiga kualifikasi dasar: 1 menguasai materi atau bahan ajar,
2 antusiasme, dan 3 penuh kasih sayang loving dalam mengajar dan mendidik Mas’ud 2003:194.
Peningkatan mutu guru merupakan upaya yang amat kompleks, karena melibatkan banyak komponen. Pekerjaan besar ini mulai dari
proses yang menjadi tugas lembaga pendidikan prajabatan yang dikenal dengan LPTK. Ternyata, LPTK mengalami kesulitan besar
ketika dihadapkan kepada masalah kualitas calon mahasiswa kelas dua yang akan dididik menjadi guru. Ketidakmampuan LPTK ternyata
memang di luar tanggung jawabnya, karena masalah rendahnya mutu calon guru itu lebih disebabkan oleh rendahnya penghargaan terhadap
profesi guru. Pada akhirnya orang mudah menebak, karena pada akhirnya menyangkut duit atau gaji dan penghargaan. Gaji dan
penghargaan guru belum dapat disejajarkan dengan profesi lain, karena indikasi adanya mutu profesionalisme guru masih rendah.
Terjadilah lingkaran setan yang sudah diketahui sebab akibatnya. Banyak orang menganggap bahwa gaji dan penghargaan terhadap
guru menjadi penyebab atau causa prima-nya. Namun, ada orang yang berpendapat bahwa antara gaji dan dedikasi tidak dapat
dipisahkan. Gaji akan mengikuti dedikasi. Di samping itu, gaji dan dedikasi terkait erat dengan faktor lain yang bernama kompetensi
profesional. Jadi, selain memang harus dipikirkan dengan sungguh- sungguh upaya untuk meningkatkan gaji dan penghargaan kepada
guru, namun masih ada pekerjaan besar yang harus segera dilakukan, yakni meningkatkan dedikasi dan kompetensi guru.
Apakah yang dimaksud kompetensi? Istilah kompetensi memang bukan barang baru. Pada tahun 70-an, terkenal wacana
akademis tentang apa yang disebut sebagai Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi atau Competency-based Training and Education
CBTE. Pada saat itu Direktorat Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis Dikgutentis Dikdasmen pernah mengeluarkan “buku saku berwarna
biru” tentang “sepuluh kompetensi guru”. Dua dekade kemudian, Direktorat Tenaga Kependidikan Dit Tendik, nama baru Dikgutentis
telah membentuk satu tim Penyusun Kompetensi Guru yang beranggotakan para pakar pendidikan yang tergabung dalam
Konsorsium Pendidikan untuk menghasilkan produk kompetensi guru. Setelah sekitar dua tahun berjalan, tim itu telah dapat menghasilkan
rendahnya kompetensi guru. Sementara itu, para penyelenggra pendidikan di kabupatenkota telah menunggu kelahiran kompetensi
guru itu. Bahkan mereka mendambakan adanya satu instrumen atau alat ukur yang akan mereka gunakan dalam melaksanakan skill audit
dengan tujuan untuk menentukan tingkat kompetensi guru di daerah masing-masing.
Untuk menjelaskan pengertian tentang kompetensi itulah maka Gronzi 1997 dan Hager 1995 menjelaskan bahwa “An integrated
view sees competence as a complex combination of knowledge, attitudes, skill, and values displayed in the context of task
performance”. Secara sederhana dapat diartikan bahwa kompetensi guru merupakan kombinasi kompleks dari pengetahuan, sikap,
keterampilan, dan nilai-nilai yang ditunjukkan oleh guru dalam konteks kinerja tugas yang diberikan kepadanya. Sejalan dengan definisi
tersebut, Direktorat Profesi Pendidik Ditjen PMPTK, menjelaskan bahwa “Kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan
nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak”.