Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pikir

4 berjalanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi pengelolaan telah menyebabkan pengelolaan kawasan mangrove dilakukan secara parsial dan tidak terpadu. Pengembangan pengelolaan hutan mangrove Muara Angke di DKI Jakarta sangat penting untuk mendukung sarana pendidikan lingkungan, penelitian, dan wisata alam bagi generasi muda dan masyarakat pada umumnya, serta sebagai ruang terbuka hijau dan meningkatkan kualitas kawasan lindung. Terbatasnya ruang untuk melakukan kegiatan di alam terbuka telah mendorong upaya pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat untuk kegiatan wisata alam pemancingan, rekreasi, penelitian, dan pendidikan lingkungan. Berdasarkan kondisi dan permasalahan serta pengembangan pengelolaan kawasan lindung DKI Jakarta, maka pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke Jakarta berkelanjutan perlu kajian yang meliputi: a. Bagaimana kondisi lingkungan ekosistem mangrove di Muara Angke? b. Bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan mangrove Muara Angke? c. Sejauhmana status keberlanjutan pengelolaan mangrove di Muara Angke? d. Bagaimana arahan kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke pada masa mendatang?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah: a. Mengidentifikasi kondisi lingkungan biofisik ekosistem mangrove Muara Angke b. Mengkaji kondisi sosial masyarakat di sekitar kawasan mangrove Muara Angke c. Menganalisis nilai ekonomi total kawasan mangrove Muara Angke d. Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke e. Merumuskan arah kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke yang berkelanjutan. 5

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan rumusan yang berguna dalam upaya pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke Jakarta berkelanjutan, yang meliputi: a. Bagi iptek adalah memperkaya khasanah pengetahuan dan gagasan di bidang pengelolaan mangrove secara berkelanjutan b. Bagi pengambil keputusan adalah tersedianya arahan kebijakan dan strategi pengelolaan mangrove berkelanjutan yang dapat diaplikasikan di Muara Angke Jakarta c. Bagi praktisi adalah tersedianya arahan dan strategi untuk praktek pengelolaan mangrove yang berkanjutan di Muara Angke.

1.5 Kerangka Pikir

Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia hara bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penahan angin dan tsunami, penyerap limbah, dan pencegah intrusi air laut, hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat obatan, dan fungsi sosial sebagai lahan interaksi bagi masyarakat. Kebijakan pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta DKI Jakarta yang mengkonversi kawasan mangrove seluas 831,63 ha telah menyebabkan penurunan nilai dan fungsi kawasan mangrove. Di samping itu kebijakan penetapan status kawasan mangrove hutan lindung, taman wisata alam, suaka margasatwa, arboretum, lahan dengan tujuan istimewa, tambak telah mendorong pengelolaan kawasan berjalan secara parsial dan tidak terpadu. Kondisi ini didorong oleh rendahnya kesadaran masyarakat dan rendahnya komitmen pemerintah dan pemerintah Propinsi DKI Jakarta, telah mendorong semakin rusaknya ekosistem mangrove Muara Angke. Pelaksanaan otonomi daerah mendorong daerah untuk mengambil kewenangan pengelolaan mangrove melalui eksploitasi yang berlebihan untuk kepentingan ekonomi. Konflik kepentingan antar sektor seperti: Kementrian 6 Kehutanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan, Kementrian Pekerjaan Umum maupun antar wilayah seperti antara Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten merupakan faktor lain yang menyebabkan degradasi kuantitas kerapatan dan luas maupun kualitas komposisi jenis dan proporsi mangrove di Muara Angke semakin dipercepat. Ancaman kerusakan bagi kawasan mangrove sebagian besar berasal dari aktivitas manusia yang tidak memperhatikan aspek lingkungan. Secara sederhana penyebab kerusakan mangrove dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung melalui: alih fungsi atau konversi, pencemaran, abrasi, dan sedimentasi. Secara tidak langsung melalui fenomena alam seperti: meningkatnya muka air laut, banjir rob. Banyak kawasan mangrove hancur akibat alih fungsi mangrove untuk tambak, industri, dan permukiman tanpa mengindahkan kaidah konservasi lingkungan Wartaputra 1990; Kusmana 2002. Perubahan hutan mangrove menjadi tambak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan terutama jika terjadi pembukaan berlebihan yang menyebabkan oksidasi pirit dan intrusi serta abrasi gelombang laut, sehingga tanah menjadi irreversible, tidak produktif dan sangat sulit direhabilitasi Naamin 2002; Soedharma et al. 1990. Kerusakan sumberdaya mangrove juga terjadi karena ekstensifikasi yang berlebihan untuk perluasan wilayah tambak tanpa memperhitungkan kualitasnya, serta adanya pembabatan habis untuk kebutuhan kayu bakar masyarakat. Perbedaan persepsi dari cara pandang antara peran mangrove terhadap lingkungan dan alih fungsi menyebabkan konflik yang tidak mudah dipecahkan, seperti kasus Muara Angke. Kemampuan tawar sektor ekonomi yang lebih kuat dibandingkan sektor lingkungan menyebabkan pembabatan mangrove sulit dikendalikan. Tingkat kerusakan mangrove yang makin luas menyebabkan multifungsi mangrove secara spasial dan temporal merosot tajam, sehingga daya dukungnya terhadap budidaya kawasan pesisir sangat rendah. Kerusakan mangrove ini perlu dicari solusinya agar dapat dirumuskan kebijakan dan strateginya untuk menciptakan kelestarian ekosistem mangrove dengan tetap dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. 7 Persepsi masyarakat terhadap mangrove juga merupakan salah satu yang mendorong kerusakan ekosistem mangrove. Salah satu bentuknya adalah pengembangan tambak ekstensif yang tidak mengindahkan kaidah lingkungan. Supriharyono 2000 menyatakan kerusakan hutan mangrove terutama disebabkan oleh banyaknya konversi hutan mangrove yang dijadikan tambak. Budhisantoso 1998 menyebutkan bahwa permasalahan utama yang dihadapi dalam pengelolaan pengembangan kawasan pesisir adalah menyusutnya persediaan sumberdaya, khususnya hutan mangrove, dan merosotnya mutu lingkungan. Oleh karenanya, pengelolaan kawasan pesisir tidak terbatas pada pembinaan kelestarian alam, melainkan juga upaya pemberdayaan penduduk secara perseorangan maupun kolektif. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang lingkungan hidup mutlak diperlukan karena perusakan terhadap sumberdaya mangrove masih terus terjadi. Dalam pelaksanaannya diperlukan pendekatan partisipatif, yakni masyarakat lokal dilibatkan dalam proses pengelolaan kawasan mangrove. Hambatan dan gangguan dalam pengelolaan hutan mangrove yang mencerminkan kaidah-kaidah perlindungan ekosistem di Indonesia, antara lain adalah benturan kepentingan pihak yang berkompeten, lemahnya informasi ekosistem hutan mangrove, kelemahan di aspek pemanfaatan, masalah sosial ekonomi masyarakat, sisitem silvikultur hutan mangrove, dan aspek hukum dan kelembagaan Machfuddin dan Nasendi 1997. Kebijakan mengenai konversi lahan mangrove secara berlebihan menyebabkan rusaknya kawasan pesisir. Terjadinya kerusakan wilayah pesisir akibat pembukaan hutan yang berlebihan, mengakibatkan kualitas, dan kelestarian sumberdaya mangrove mengalami ancaman dari berbagai pemangku kepentingan. Terdapat tiga kelompok stakeholder kunci dalam pembangunan wilayah pesisir yakni pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Ketiga kelompok ini memiliki motif yang berbeda dalam pemanfaatan hutan mangrove. Apabila kebijakan pemanfaatan hutan mangrove tidak sesuai dengan kesepakatan ketiganya, maka kerusakan hutan mangrove akan terus berlanjut. Dengan demikian, kebutuhan stakeholder dalam pemanfaatan hutan mangrove perlu dipertimbangkan sehingga terjadi sinergi dalam pemanfaatan secara lestari. 8 Perbedaan kepentingan antar stakeholder terhadap pemanfaatan hutan mangrove, seperti antara sektor kehutanan, perikanan, pertanian, pertambangan, transmigrasi, perhubungan, pariwisata, dan sektor perindustrian, menimbulkan tekanan yang beragam terhadap keberadaan hutan mangrove. Terjadinya degradasi hutan mangrove juga disebabkan oleh pencurian dan penebangan yang tidak terkendali dan pemanfaatan yang melebihi daya dukung. Kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di sekitar kawasan hutan mangrove belum sepenuhnya mendukung pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan. Agar permasalahan pengelolaan mangrove dapat direpresentasikan, maka perlu pemahaman mengenai faktor-faktor penentu keberhasilan pengelolaan mangrove. Dalam hal ini perlu disusun alat bantu pengambilan keputusan kebijakan pengelolaan mangrove sesuai kebutuhan stakeholder dan peraturan perundangan yang ada, sehingga konsep perencanaan dan pemanfaatan mangrove dapat berkelanjutan. Dalam hal studi kasus Muara Angke, maka diperlukan pemahaman tentang kondisi ekosistem mangrove yang ada saat ini, evaluasi kebijakan pemanfaatan mangrove di Muara Angke, dan analisis kebutuhan stakeholder dalam pemanfaatan mangrove di masa mendatang. Pemahaman terhadap ketiga hal tersebut merupakan masukan dalam penyusunan strategi pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan di Muara Angke. Sistem pengambilan keputusan yang mendukung upaya ini perlu dirumuskan dengan pendekatan yang komprehensif. Rumusan hasil keputusan ini merupakan rekomendasi untuk kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke - Jakarta yang berkelanjutan. Secara rinci kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. 9 Kebijakan pengelolaan mangrove Kondisi biofisik ekosistem mangrove Kondisi sosial ekonomi masyarakat Nilai ekonomi mangorve Faktor-faktor penentu keberlanjutan pengelolaan mangrove Pola pemanfaatan oleh stakeholder Strategi pengelolaan mangrove berkelanjutan Kepentingan masyarakat dan pengusaha Perubahan luas lahan mangrove Kebijakan pembangunan wilayah pesisir Gambar 1 Kerangka pikir penelitian.

1.6 Novelty