13 Tabel 2 Luas mangrove Indonesia menurut Kementrian Kehutanan dan Bakosurtanal
2006-2010
No Provinsi
BPDAS Luas pada Tahun 2006
Luas Rekap RTK RHL Luas Hasil Pemetaan
MSP tahun 2010 BAKOSURTANAL 2009
1 2
3 3
3 4
1 NAD
Krueng Aceh 422.703,00
60.726,82 22.950,321
2 Sumatera Utara
Asahan Barumun 364.581,15
22.352,80 50.369,793
3 Riau
Indragiri Rokan 261.285,33
37.966,41 206.292,642
4 Kep. Riau
Kep. Riau 178.417,55
64.821,80 54.681,915
5 Jambi
Batanghari 52.566,88
5.736,26 12.528,323
6 Sumatera Barat
Agam Kuantan 61.534,00
8.073,33 3.002,689
7 Sumatera Selatan
Musi 1.693.112,11
596.697,46 149.707,431
8 Bangka-Belitung
Baturusa Cerucuk 273.692,82
31.701,37 64.567,396
9 Bengkulu
Ketahun 46.034,28
1.904,90 2.321,870
10 Lampung
Way Seputih-Sekampung 866.149,00
4.403,95 10.533,676
11 Kalimantan Selatan Barito
116.824,00 135.181,50
56.552,064 12
Kalimantan Tengah Kahayan
30.497,71 64.663,23
68.132,451 13
Kalimantan Barat Kapuas
342.600,12 127.864,00
149.344,189 14
Kalimantan Timur Mahakam Berau
883.379,00 1.121.925,27
364.254,989 BPHM II
5.593.376,95 2.284.019,11
1.215.239,749 15
Banten Citarum Ciliwung
1.180,48 2.936,188
16 DKI Jakarta
Citarum Ciliwung 259,93
500,675 17
Jawa Barat Citarum Ciliwung
13.883,20 22.407,39
7.932,953 18
Jawa Barat Cimanuk-Citanduy
0,00 8.127,33
19 Jawa Tengah
Pemali Jratun 50.690,00
40.366,13 4.857,939
20 Jogyakarta
SOP 0,00
88,32 0,000
21 Jawa Timur
Solo 66.466,30
69.886,30 18.253,871
22 Brantas
5.817,40 54.360,14
23 Sampean Madura
199.946,60 7.348,06
24 Bali
Unda Anyar 2.215,50
454,90 1.925,046
25 NTB
Dodokan Moyosari 18.356,88
13.931,00 11.921,179
26 NTT
Benain Noelmina 40.640,85
10.800,00 20.678,450
27 Sulawesi Utara
Tondano 32.384,49
12.063,00 12.445,712
28 Gorontalo
Bone Bolango 32.934,62
26.475,64 12.315,465
29 Sulawesi Tengah
Palu - Poso 29.621,56
88.030,16 43.746,508
30 Sulawesi Barat
Lariang Mamasa 3.000,00
1.507,00 3.182,201
31 Sulawesi Selatan
Saddang 2.772,30
58.551,95 12.821,497
Jeneberang Walanae 26.206,00
13.082,00 32
Sulawesi Tenggara Sampara
74.348,82 46.706,10
62.506,924 33
Maluku Waehapu Batu Merah
128.035,00 92.648,33
139.090,920 34
Maluku Utara Ake Malamo
43.887,00 46.259,41
39.659,729 35
Papua Barat Remu Rasinki
430.604,00 431.257,90
475.734,835 36
Papua Memberamo
1.007.817,00 356.871,00
1.158.268,619 BPHM I
2.211.067,93 1.401.222,05
2.028.778,711 TOTAL
7.804.444,88 3.685.241,16
3.244.018,460
2.2 Karakteristik Ekosistem Hutan Mangrove
2.2.1 Zonasi Hutan Mangrove
Jenis-jenis pohon mangrove cenderung tumbuh dalam zona-zona atau jalur- jalur. Berdasarkan hal tersebut, hutan mangrove dapat dibagi ke dalam beberapa
mintakat zona, yaitu Sonneratia, Avicennia yang menjorok ke laut, Rhizophora, Bruguiera
, Ceriops, dan asosiasi Nypa. Pembagian zona tersebut mulai dari bagian yang paling kuat mengalami pengaruh angin dan ombak, yakni zona terdepan yang
14 digenangi air berkadar garam tinggi dan ditumbuhi pohon pioner misalnya
Sonneratia sp. dan di tanah lebih padat tumbuh Avicennia sp.. Makin dekat ke darat
makin tinggi letak tanah dan dengan melalui beberapa zona peralihan akhirnya sampailah pada bentuk klimaks.
Pada endapan lumpur yang kokoh lebih umum terdapat Avicennia marina, sedang pada lumpur yang lebih lunak diduduki Avicennia alba Van Steenis 1958.
Pada belakang zona-zona ini terdapat Bruguiera cylindrica tercampur dengan Rhizophora apiculata
, R. mucronata, B. parviflora, dan Xylocarpus granatum yang puncak tajuknya dapat mencapai 35-40 meter.
Zonasi tersebut akan berbeda dari suatu tempat ke tempat lainnya, bergantung dari keadaan tempatnya. Misalnya di Cagar Alam Pulau Rambut diketahui terdiri dari
tiga zona dari laut ke darat yaitu, zona Rhizophora mucronata, R. Stylosa, dan zona Scyhiphora
. Adapun di Cilacap terdapat 3 zona, yaitu zona Avicennia atau Sonneratia
, zona Rhizophora dan zona Bruguiera LPP Mangrove 1998.
2.2.2 Habitat
Hutan mangrove telah menarik perhatian berbagai ahli biologi sejak abad 19, terutama karena kekhasannya, yaitu kehadiran berbagai macam bentuk akar, seperti
akar napas, akar tunjang, dan akar lutut. Schimper 1898 menganggap hutan mangrove ini sebagai vegetasi xerofil yang secara fisiologi habitatnya kering karena
kadar garam yang tinggi dalam air rawa Steenis 1958. Sebagai daerah peralihan antara laut dan darat, ekosistem mangrove
mempunyai gradien sifat lingkungan yang tajam. Pasang surut air laut menyebabkan terjadinya pergoyangan beberapa faktor lingkungan yang besar, terutama suhu, dan
salinitas. Karena itu hanya jenis-jenis tumbuhan dan binatang yang memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan ekstrim faktor-faktor fisik itu dapat bertahan dan
berkembang di hutan mangrove. Kenyataan ini menyebabkan keanekaragaman jenis biota mangrove kecil saja, akan tetapi kepadatan populasi masing-masing jenis
umumnya besar.
15 Meskipun habitat hutan mangrove bersifat khusus, setiap jenis biota laut di
dalamnya mempunyai kisaran ekologi tersendiri dan masing-masing mempunyai relung khusus Steenis 1958. Hal ini menyebabkan terbentuknya berbagai macam
komunitas dan bahkan zonasi, sehingga komposisi jenis berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Steenis 1958 mengemukakan bahwa faktor utama yang mengakibatkan
adanya Ecological Preference berbagai jenis adalah kombinasi faktor-faktor berikut ini:
1. Tipe tanah: keras atau lembek, kandungan pasir dan liat dalam berbagai perbandingan
2. Salinitas: variasi harian dan nilai rata-rata pertahun secara kasar sebanding dengan frekuensi, kedalaman, dan jangka waktu genangan
3. Ketahanan jenis terhadap arus dan ombak 4. Kombinasi perkecambahan dan pertumbuhan semai dalam hubungannya dengan
amplitudo ekologi jenis-jenis terhadap tiga faktor di atas. Steenis 1958, dan ditegaskan pula oleh Soerianegara 1971 dan Kartawinata
Waluyo 1977, bahwa faktor utama yang menyebabkan adanya zonasi di hutan mangrove adalah sifat-sifat tanah mineralogi dan fisik dan bukan hanya faktor
salinitas. Pengaruh faktor ini jelas pada penyebaran Rhizophora R. mucronata tumbuh pada lumpur yang dalam dan lembek, R. stylosa pada pantai pasir atau
terumbu karang, R. apiculata pada keadaan transisi. Mengenai pengaruh salinitas, Steenis 1958 mengatakan bahwa faktor ini bukan faktor utama, dan berhubungan
erat dengan faktor pasang surut. Meskipun demikian pengaruh nyatanya dapat terlihat pula, misalnya bila salinitas berkurang karena estuaria dan goba yang tertutup, hutan
Rhizophora mati dan diganti oleh jenis yang tumbuh di tempat yang kurang asin,
seperti Lumnitzera. Hal yang sama tentang Bruguiera cylindrica dilaporkan oleh Watson 1928 di Malaya.
Pengaruh kecepatan arus dapat terlihat sepanjang sungai yang mengalami pasang surut setiap hari. Pada tepian yang dipengaruhi oleh aliran yang deras,
misalnya pada belokan, biasanya tumbuh jenis-jenis yang mempunyai sistem
16 perakaran yang tahan terhadap keadaan demikian, seperti Nypa fruticans yang
berakar serabut.
2.2.3 Klasifikasi Tempat Tumbuh