Lokasi dan Waktu Sejarah Kawasan Mangrove Muara Angke Jakarta

3 METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu

Lokasi penelitian dilakukan di kawasan mangrove Muara Angke yang termasuk Kelurahan Kamal Muara, Kelurahan Kapuk, dan Keluarahan Muara Angke, wilayah Kecamatan Penjaringan, Kota Madya Jakarta Utara, Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Wilayah kajian juga meliputi Sub DAS Sungai Angke, Sub DAS Sungai Cengkareng, dan Sub DAS Sungai Kamal. Waktu penelitian dilakukan sejak bulan Desember 2010 sampai dengan bulan Juni 2011. Data sekunder yang dihimpun dari berbagai pihak di antaranya: laporan penelitian Fakultas Kehutanan IPB, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Universitas Indonesia, dan LPP Mangrove, instansi terkait PT. Mandara Permai, PT. Murindra Karya Lestari, Dinas Pertanian dan Kelautan Perikanan, Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jakarta atau BKSDA, Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah atau BPLHD, dan Badan Pengelola Reklamasi Pantura atau BP Pantura, pemerintah daerah Kelurahan Kamal Muara, Kelurahan Kapuk, Kelurahan Muara Angke, Kecamatan Penjaringan-Kodya Jakarta Utara, dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan pemerintah pusat Ditjen RLPS dan Ditjen PHKA Kementrian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementrian Kelautan dan Perikanan.

3.2 Ruang Lingkup, Tahapan Penelitian dan Variabel yang Diamati

3.2.1 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini meliputi serangkaian kegiatan sebagai berikut: a. Mengkaji kondisi biofisik kawasan mangrove Muara Angke yang meliputi: kondisi geologi dan tanah, hidrologi, iklim, kualitas air, flora dan fauna, dan biota air b. Survei kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat sekitarnya, harapan dan keinginan, potensi permintaan pemanfaatan mangrove, persepsi masyarakat dan swasta terhadap pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke, dan kebijakan 39 pengelolaan pemerintah pemerintah daerah kota atau propinsi, pemerintah pusat tentang penyelamatan hutan mangrove Muara Angke c. Valuasi ekonomi sumberdaya mangrove yang dimanfaatkan masyarakat wisata terbatas, pendidikan, penelitian, budidaya tambak, tegakan hutan, biota air, fauna darat, dan jasa lingkungan d. Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke DKI Jakarta e. Merumuskan arahan kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke yang berkelanjutan .

3.2.2 Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian dimulai dengan inventarisasi yang bertujuan untuk mengetahui aspek biofisik kawasan mangrove Muara Angke kondisi fisik kimia dan biologi kawasan, aspek sosial ekonomi dan budaya penduduk, pendidikan, mata pencaharian, dan persepsi masyarakat terhadap kondisi kawasan mangrove Muara Angke, serta kondisi pengelolaan saat ini potensi kawasan, kegiatan yang telah dilakukan, rencana program pengelolaan setiap sektor atau instansi serta kondisi, dan rencana pengembangan infrastruktur. Kajian kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan mangrove Muara Angke dan valuasi ekonomi sumberdaya mangrove Muara Angke dilakukan untuk mengetahui kondisi terkini masyarakat penduduk, pendidikan, mata pencaharian, pendapatan, harapan dan keinginan, dan interaksi dengan kawasan mangrove serta nilai sumberdaya kawasan mangrove. Status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke dimaksudkan untuk mengetahui status terkini dan faktor pengungkit yang perlu didorong untuk mewujudkan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke berkelanjutan. Sintesis bertujuan untuk merumuskan “Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke yang B erkelanjutan” yang didukung semua pihak, paling optimal bagi pengembangan kawasan mangrove Muara Angke DKI Jakarta. Tahapan penelitian disajikan pada Gambar 3. 40 Gambar 3 Tahapan penelitian.

3.2.3 Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data yang dikumpulkan terdiri atas: data ekologi, data sosial dan ekonomi, dan data kebijakan pemerintah DKI Jakarta dan sektor-sektor pembangunan terkait. Data ekologi hutan mangrove meliputi: komponen lingkungan fisik, kimia, dan biologi air, tanah, pasang surut, kedalaman, debit aliran, sampah padat, dan vegetasi, satwaliar, dan biota air. Data sosial meliputi kependudukan, pendidikan, agama, suku, dan adat istiadat. Data ekonomi meliputi data-data yang terkait dengan kegiatan pembangunan, yaitu perhubungan, kehutanan, perikanan, perindustrian, pariwisata, dan pemukiman, dsb. Sedangkan data kebijakan pemerintah yang ditelaah adalah beberapa kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tata ruang, pengelolaan kawasan mangrove, wilayah pesisir, lingkungan, dan kawasan Kondisi Umum kawasan mangrove Kondisi Biofisik Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kondisi kelembagaan Status Keberlanjutan Pengelolaan ARAHAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN Kebutuhan Masyarakat dalam Pemanfaatan Kawasan Mangrove Tahap-1 Tahap-2 Tahap-3 Deskriptif Deskriptif MDS Analisis Kebutuhan A’WOT 41 konservasi. Selain itu juga dikumpulkan peta-peta tematik yang telah diterbitkan oleh berbagai unit kerja di wilayah DKI Jakarta. Tabel 4 Tahap penelitian, jenis data, dan sumber data No Tahap Jenis Data Sumber Data 1 Mengkaji kondisi dan potensi kawasan mangrove Muara Angke Geologi dan tanah, fisiografi, hidrologi, peruntukan wilayah, sistem tata air, ekosistem dan keanekaragaman hayati flora, fauna, potensi kawasan mangrove, kebijakan dan sarana prasarana pengelolaan Observasi, kuesioner, dan dokumentasi dari instansi terkait 2 Mengkaji kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat Kependudukan, matapencaharian, pendidikan, persepsi masyarakat terhadap kawasan mangrove, harapan dan keinginan, interaksi masyarakat dengan kawasan mangrove, peranserta dan kelembagaan. Monografi desa, kecamatan dan Kota Jakarta Utara, wawancara dengan responden, pengamatan lapang 3 Melakukan valuasi nilai ekonomi total kawasan Muara Angke Nilai ekonomi kawasan mangrove, perikanan, permukiman, pariwisata, jasa Wawancara dengan kuesioner kepada masyarakat , observasi 4 Mengkaji status keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove Muara Angke Ekologi, Ekonomi, Sosial, Kelembagaan Observasi dan dokumentasi, serta pendapat stakeholder 5 Mengidentifikasi kebutuhan stakeholder yang terkait dengan pemanfaatan mangrove Muara Angke Kebutuhan stakeholder dalam pemanfaatan dan pelestarian kawasan Wawancara mendalam kepada stakeholder 6 Menyusun skenario pengelolaan dan merumuskan strategi implementasinya Preferensi stakeholder dalam kaitan dengan kebijakan pengelolaan mangrove Diskusi dengan stakeholder

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

3.3.1 Studi Literatur

Studi literatur dilakukan untuk mengkaji kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah, serta langkah-langkah pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke yang telah dan akan dilakukan, serta terhadap hasil-hasil penelitian biofisik, sosial ekonomi, yang pernah dilakukan di kawasan mangrove Muara Angke. Laporan kegiatan yang dilakukan pemerintah daerah Dinas Pertanian, Peternakan, Kelautan dan Perikanan DKI Jakarta, BKSDA DKI Jakarta, dan BPLHD DKI Jakarta serta 42 hasil penelitian yang dilakukan perguruan tinggi Fakultas Kehutanan IPB, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, dsb.

3.3.2 Metode Wawancara

Metode Wawancara digunakan untuk memperoleh data persepsi masyarakat terhadap kawasan mangrove keberadaan dan manfaat, peranserta, kesadaran masyarakat dalam pengelolaan kawasan mangrove, dan upaya perbaikan lingkungan, serta penilaian masyarakat tentang status keberlanjutan kawasan mangrove Muara Angke. Wawancara juga dilakukan untuk mengetahui nilai ekonomi sumberdaya mangrove. Pengumpulan data sosial dan ekonomi dilakukan dengan cara survei. Berdasarkan Singarimbun dan Effendi 1989, penelitian survei adalah penelitian yang mengambil contoh dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Pemilihan responden sebagai unit penelitian dilakukan dengan metode penarikan contoh secara acak sederhana. Contoh yang diambil sedemikian rupa sehingga tiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan yang sama. Responden adalah kepala keluarga atau penghuni dewasa dalam suatu rumah tangga, yang berumur di atas 20 tahun, dengan asumsi bahwa yang bersangkutan dapat memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam kuisioner. Data sosial ekonomi tidak seluruhnya berupa data kuantitatif, sehingga data yang bersifat kualitatif akan diolah secara deskriptif. Data wisatawan dikumpulkan dengan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpulan data. Pemilihan responden sebagai unit penelitian dilakukan dengan metode penarikan contoh secara acak sederhana dengan memilih wisatawan yang berumur di atas 20 tahun atau sudah berkeluarga. Pengumpulan data kelembagaan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Sedangkan untuk mengetahui tugas dan fungsi masing-masing instansi, dilakukan wawancara dengan instansi terkait, baik struktural maupun keproyekan, dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Harapan dan keinginan masyarakat tentang kelembagaan pengelolaan hutan mangrove Muara Angke 43 dilakukan pengumpulan datanya dengan menggunakan kuisioner melalui teknik wawancara terhadap responden terpilih LSM, Perguruan Tinggi, Pemerintah Daerah, dan Dinas Teknis terkait. Wawancara dengan responden untuk mengetahui Nilai Ekonomi Sumberdaya Mangrove dilakukan dengan alat bantu kuisioner Lampiran 2. Demikian pula dengan wawancara terhadap stakeholder masyarakat, swasta, pakar, dan pemerintah untuk mengetahui status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke digunakan kuisioner Lampiran 3. Jumlah responden keseluruhan sebanyak 130 orang, dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 102 orang 78 , sedangkan perempuan 28 orang 22 . Responden merupakan kepala keluarga dalam rumah tangga masyarakat yang tersebar di Kelurahan Penjaringan, Tegal Alur, Kamal Muara, Pluit, dan Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan Kotamadya Jakarta Utara. Khusus responden untuk wisatawan telah diwawancarai sebanyak 40 orang yang terdiri atas 35 orang wisatawan nusantara winus dan 5 orang wisatawan mancanegara wisman.

3.3.3 Metode Survei

Metode survei lapang untuk mengumpulkan data biofisik, sosial ekonomi masyarakat, dan nilai ekonomi total kawasan mangrove digunakan beberapa teknik pengumpulan data primer sebagai berikut:

1. Indek Tutupan Vegetasi

Citra yang digunakan dalam kajian ini adalah citra Landsat 7 ETM+ tahun 1989 mewakili kondisi sebelum dilakukan konversi kawasan mangrove Muara Angke dan tahun 2006 mewakili kondisi tutupan lahan setelah dilakukan konversi kawasan mangrove dan kegiatan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Setiap objek di permukaan bumi memiliki karakteristik reflektansi berbeda pada panjang gelombang tertentu, sehingga karakter unik ini yang dapat membedakan satu objek dengan objek lain. Secara umum, karakteristik reflektansi spektral pada suatu tutupan lahan disajikan pada Gambar 4. Adapun karakteristik spektral yang dimiliki Landsat 7 ETM+ disajikan pada Tabel 5. 44 Tabel 5 Karakteristik spektral citra Landsat 7 ETM+ Nomor Band Panjang Gelombang µm Band 1 0,45 – 0,515 Biru 2 0,525 – 0,605 Hijau 3 0,63 – 0,69 Merah 4 0,75 – 0,90 Infra merah dekat 5 1,55 – 1,75 Infra merah sedang 1 6 10,4 – 12,5 Infra merah termal 7 2,09 – 2,35 Infra merah sedang 2 8 0,52 – 0,9 Pankromatik Gambar 4 Karakteristik reflektansi spektral pada masing-masing tutupan lahan. Registrasi merupakan kegiatan penyamaan posisi antara satu citra dengan citra lainnya pada satu lokasi yang sama. Proses ini dilakukan agar posisi piksel suatu citra bisa dibandingkan. Dalam analisis citra multi waktu, terutama yang berkaitan dengan perubahan tutupan lahan, registrasi merupakan tahapan pra pengolahan citra yang vital karena menentukan hasil analisis piksel yang bersangkutan. Kemampuan spektral yang dimiliki suatu citra dapat digunakan untuk memperoleh informasi lain yang tidak dapat diperoleh secara langsung melalui visualisasi citra. Salah satu hasil pemanfaatan spektral yang sering digunakan adalah indeks vegetasi. Pada beberapa indeks vegetasi yang dapat diturunkan dari hasil operasi band- band yang terkandung dalam suatu citra. Normalized Difference Vegetation Index Tanah Kosong kering Vegetasi Air jernih Panjang gelombang µm 45 NDVI merupakan salah satu indeks vegetasi yang umum digunakan, terutama untuk mengetahui kandungan biomassa suatu lokasi. NDVI menggunakan band infra merah dekat dan band merah. Adapun rumus yang digunakan adalah: NIR RED NDVI NIR RED    1 Dimana, NIR : Nilai digital pada band infra merah dekat RED : Nilai digital pada band merah Nilai NDVI yang dihasilkan berkisar antara -1 hingga +1. Vegetasi lebat diwakili oleh nilai-nilai yang mendekati 1, badan air memiliki nilai mendekati -1, sedangkan NDVI untuk tanah kosong cenderung mendekati nol. Klasifikasi indeks tutupan vegetasi ditentukan berdasarkan rentang nilai NDVI hasil perhitungan. Jumlah klasifikasi kerapatan mengacu pada buku Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Mangrove yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan. Pembagian klasifikasinya adalah sebagai berikut: a Kerapatan tajuk lebat 0,43 ≤ NDVI ≤ 1,00 b Kerapatan tajuk sedang 0,33 ≤ NDVI ≤ 0,42 c Kerapatan tajuk jarang -1,00 ≤ NDVI ≤ 0,32

2. Keanekaragaman Jenis dan Dominasi Jenis Tumbuhan

Hutan mangrove di lokasi penelitian dibedakan menjadi 5 lokasi, yaitu: Suaka Margasatwa Muara Angke, Hutan Lindung, Hutan Wisata, Kebun Bibit, dan Lahan dengan Tujuan Istimewa. Kelima lokasi atau daerah tersebut memiliki tingkat kerusakan dan penutupan vegetasi yang berbeda-beda. Pada jalur-jalur yang telah dibentuk, dibuat petak ukur bertingkat berbentuk bujur sangkar yang dibuat secara berselang seling. Masing-masing berukuran 10 m x 10 m tingkat pohon, 5 m x 5 m tingkat pancang, dan 1 m x 1 m tingkat anakan 46 Kusmana 1995. Bersamaan dengan pengukuran dilakukan pencatatan pada tally sheet yang meliputi jenis dan jumlah individu masing-masing jenis. Stadium pertumbuhan vegetasi mangrove, dibedakan dengan menggunakan kriteria Kusmana 1995, yaitu: a. Anakan : Permudaan mulai kecambah sampai anakan setinggi  1,50 m b. Pancang : Permudaan dengan tinggi 1,50 m sampai pohon muda berdiameter kurang dari 10 cm c. Pohon : Berdiameter 10 cm atau lebih. Data yang diperoleh di lapangan digunakan untuk menghitung kerapatan, frekuensi penyebaran jenis, dominasi penguasaan jenis, dan indeks nilai penting peran jenis. Persamaan-persamaan yang digunakan untuk pengolahan data vegetasi mangrove adalah sebagai berikut: a. Kerapatan batangha = Jumlah individu suatu jenis Luas seluruh petak b. Kerapatan relatif KR = Kerapatan suatu jenis x 100 Kerapatan seluruh jenis c. Frekuensi Jenis = Jumlah petak terisi suatu jeins Jumlah seluruh petak d. Frekuensi Relatif FR = Frekuensi suatu jenis x 100 Frekuensi seluruh jenis e. Dominasi Jenis = Luas bidang dasar suatu jenis Luas seluruh petak f. Dominasi Relatif DR = Dominasi suatu jenis x 100 Dominasi seluruh Jenis g. Indeks Nilai Penting INP = KR+FR+DR

2. Satwaliar

Data primer yang berkaitan dengan satwaliar diperoleh dengan penjelajahan atau reconnaisance, yang dilakukan di seluruh hutan mangrove Muara Angke hutan lindung, suaka margasatwa, hutan wisata, kebun bibit, dan LDTI, baik mengenai 47 kondisi habitat secara umum maupun jenis satwaliar terutama yang dilindungi. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi umum kawasan Muara Angke sebagai habitat satwaliar. Setelah ditemukan jenis satwaliar, dilakukan pengamatan intensif di tiap tipe vegetasi atau lokasi habitat yang ada. Khusus untuk data burung, pengumpulan data dilakukan dengan metode terkonsentrasi Consentration Count Method dan metode perjalanan untuk menyusun daftar jenis pada lokasi pengamatan Alikodra 1990.

3. Valuasi Ekonomi

Dalam studi ini, pendekatan yang digunakan dalam penilaian adalah Nilai Ekonomi Total Total Economic Value yang meliputi Lihat Gambar 5: a Nilai penggunaan langsung adalah barang dan jasa sumberdaya dan lingkungan mangrove yang digunakan langsung oleh manusia. Nilai penggunaan langsung yang dihitung dalam studi ini meliputi: kayu komersial, arang, tiang pancang, kayu bakar, nipah, obat-obatan, kerang, untuk konstruksi dan tanaman obat- obatan b Nilai penggunaan tidak langsung adalah nilai ekonomi yang diterima oleh masyarakat dari sumberdaya alam dan lingkungan mangrove secara tidak langsung, seperti manfaat ekologis dari hutan mangrove sebagai penahan abrasi, penahan intrusi, dan penyerapan karbon c Nilai pilihan diturunkan dari pilihan untuk melakukan preservasi bagi penggunaan barang dan jasa sumberdaya dan lingkungan mangrove di masa yang akan datang yang tidak dapat digunakan pada saat sekarang d Nilai bukan penggunaan merupakan nilai keuntungan yang dapat dinikmati manusia sehubungan dengan keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan mangrove. Manusia dapat memberikan nilai pada sumberdaya hutan dengan tanpa maksud untuk memanfaatkannya pada masa yang akan datang, yaitu mereka memberikan nilai secara murni pada sumberdaya hutan, dengan harapan keberadaan sumberdaya hutan tersebut dapat dipertahankan terus-menerus. 48 Banyak pihak ingin memberi uang, waktu, atau pun barang untuk membantu melindungi jenis ekosistem yang langka dan akan terancam punah. Gambar 5 Tipologi barang dan jasa sistem sumberdaya dan lingkungan: Total Economic Value Pagiola et Al. 2004.

3.4 Analisis Data

3.4.1 Analisis Deskriptif

Analisis Deskriptif dilakukan untuk mengetahui kondisi dan status terkini biofisik kawasan mangrove penutupan lahan berdasarkan Citra Landsat TM tahun liputan 1989, 2001, dan tahun 2006, keanekaragaman jenis, struktur dan komposisi jenis, keanekaragaman jenis fauna, biota air dan plankton, kondisi hidrologi atau hidrooseanografi, kualitas air, kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar. Analisis dieskriptif juga dilakukan terhadap peranserta dan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan kawasan mangrove, penilaian masyarakat terhadap keberadaan kawasan mangrove dan upaya perbaikan lingkungan, serta kebutuhan stakeholders. Analisis deskriptif juga dilakukan terhadap kebijakan dan kelembagaan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke, serta kegiatan pengelolaan yang telah dan akan dilakukan pada masa mendatang. Total Economic Value TEV Use value Non- use value Direc use value:  Consumptive  Non- consumtive Indirect use value Option Value Existence value 49

3.4.2 TEV Total Economic Valuation

Pendugaan nilai ekonomi total dilakukan beradasarkan hasil kajian data lapang, data sekunder, dan hasil wawancara dengan responden. Analisis kuantitatif nilai ekonomi kawasan mangrove Muara Angke menggunakan dua tahap, seperti yang dilakukan Ruitenbeek 1992, yaitu 1 Identifikasi manfaat dan fungsi-fungsi kawasan dan 2 Mengkuantifikasikan manfaat dan fungsi ke dalam nilai uang. Metode penelitian yang digunakan untuk valuasi ekonomi hutan mangrove adalah metode biaya pengganti replacement cost methodRCM dan valuasi kontingensi contingensi valuation methodCVM dengan pendekatan kesediaan pemanfaat hutan mangrove untuk membayar jasa lingkungan willingness to pay WTP dan kesediaan masyarakat yang terkena dampak untuk menerima pembayaran jasa lingkungan willingness to acceptWTA agar tetap menjaga keberadaan hutan mangrove. Alasan pemilihan metode RCM dan CVM adalah untuk menilai jasa lingkungan multifungsi hutan mangrove, khususnya sebagai pelindung pantai, tempat ikan bertelur, dan berkembangbiak. Asumsi dasarnya yaitu sebagai informasi dan manfaat mengenai jasa lingkungan hutan dimengerti oleh responden, harga penawaran mencerminkan preferensi individu responden mengenai perubahan kualitas lingkungan atas penyediaan jasa lingkungan. Valuasi nilai ekonomi total kawasan Muara Angke mencakup mangrove, perikanan, permukiman, pariwisata, dan jasa. Pengambilan data dilakukan secara langsung melalui kuesioner kepada masyarakat, pemerintah, pengusaha, dan lembaga swadaya masyarakat. Adapun perhitungan valuasi ekonomi terhadap multifungsi hutan mangrove dilakukan dengan pendekatan perhitungan hutan mangrove sebagai fungsi eknomoni, nursery ground, dan pelindung abrasi. Kemauan masyarakat untuk membayar WTP jasa lingkungan hutan mangrove dianalisis secara deskriptif, análisis korelasi, dan regresi berganda. Kemauan masyarakat sekitar hutan untuk menerima WTA pembayaran jasa lingkungan hutan mangrove dianalisis secara deskriptif. 50

3.4.3 Analisis Status Keberlanjutan MDS

Perumusan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan berkelanjutan memerlukan data dan informasi tentang kinerja pembangunan kawasan yang ada saat ini. Kinerja pembangunan tersebut ditunjukkan dalam bentuk nilai indeks keberlanjutan. Analisis keberlanjutan pembangunan kawasan Muara Angke dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu tahapan penentuan atribut sistem pengembangan kawasan berkelanjutan yang mencakup lima dimensi dimensi ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, dan teknologi. Tahap penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi, analisis ordinasi yang berbasis metode “multidimensional scaling” MDS, penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengembangan kawasan existing condition yang dikaji baik secara umum maupun pada setiap dimensi Fauzi dan Anna 2002. Secara lengkap tahapan analisis keberlanjutan kawasan disajikan pada Gambar 6. Data yang dikumpulkan dalam kaitan dengan penentuan status keberlanjutan pembangunan kawasan Muara Angke adalah biogeofisik, fisiografi, hidrologi, ekosistem pesisir, potensi sumberdaya alam, dinamika penduduk, sistem tata air, tenaga kerja, penggunaan lahan, sarana dan prasarana wilayah, dan kelembagaan. Teknik pengumpulan data adalah observasi, kuesioner MDS, dan dokumentasi dari instansi terkait. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, hasil perhitungan ataupun data sekunder yang tersedia maka setiap atribut diberikan skor atau peringkat yang mencerminkan keberlanjutan dari dimensi pembangunan yang bersangkutan. Skor ini menunjukkan nilai yang “buruk” di satu ujung dan nilai “baik” di ujung yang lain Alder et al. 2000. Nilai “buruk” mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan bagi sistem pengembangan kawasan berkelanjutan. Sebaliknya, nilai “baik” mencerminkan kondisi yang paling menguntungkan. Di antara dua ekstrim nilai ini terdapat satu atau lebih nilai antara tergantung dari jumlah peringkat pada setiap atribut. Jumlah peringkat pada setiap atribut diseragamkan yakni tiga peringkat dengan skor 0, 1, dan 2. 51 Penentuan Atribut meliputi berbagai kategori MULAI Kondisi Kawasan Saat Ini Skoring Kawasan mengkonstruksi angka referensi untuk good, bad, dan anchor Multidimensional Scaling Ordination untuk setiap atribut Simulasi Monte Carlo Analisis ketidakpastian Leveraging Factor Analisis anomali Analisis Keberlanjutan Gambar 6 Tahapan analisis keberlanjutan menggunakan MDS. Pembuatan peringkat disusun berdasarkan urutan nilai terkecil ke nilai terbesar baik secara kuantitatif maupun kualitatif dan bukan berdasarkan urutan nilai dari yang terburuk ke nilai yang terbaik. Dalam penentuan nilai skor baik atau buruk pada metode analisis keberlanjutan ini berkaitan dengan persepsi sehingga suatu atribut harus dilihat terlebih dahulu dari persepsi apa. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan software Rapfish Rapid Appraisal for Fisheries. Teknik Rapfish adalah suatu metode multi disiplin yang digunakan untuk mengevaluasi perbandingan pengelolaan mangrove berkelanjutan berdasarkan jumlah atribut yang banyak tetapi mudah untuk dinilai. Dalam analisis Rapfish setiap data yang diperoleh diberi skor yang menunjukkan status sumberdaya tersebut. Hasil statusnya menggambarkan keberlanjutan di setiap aspek yang dikaji dalam bentuk skala 0 sampai 100 . Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks lebih dari 75 maka pengembangan tersebut berkelanjutan sustainable dan sebaliknya jika kurang dari 75 maka sistem tersebut belum berkelanjutan unsustainable. 52 Pada tahap selanjutnya, dilakukan analisis sensitivitas untuk melihat atribut apa yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan di lokasi penelitian. Pengar uh dari setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan “root mean square ” RMS ordinasi, khususnya pada sumbu X atau skala sustainabilitas Alder et al. 2000. Semakin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya suatu atribut tertentu maka semakin besar pula peranan atribut tersebut dalam pembentukan nilai indeks keberlanjutan pada skala sustainabilitas, atau dengan kata lain semakin sensitif atribut tersebut dalam menentukan keberlanjutan pengembangan kawasan di lokasi studi.

3.4.4 Analisis A’WOT Integrasi SWOT dan AHP

Dalam penentuan strategi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke dilakukan dengan metode partisipatif dengan menggunakan analisis A’WOT, yakni integrasi antara Analytical Hierarchy Process AHP dengan analisis SWOT strengths, weaknesess, opportunities, dan treaths. Penggunaan A’WOT dimasudkan untuk penelusuran permasalahan secara bertahap dan membantu pengambilan keputusan dalam memilih strategi pengelolaan terbaik dengan cara: 1 Mengamati secara sistematis dan meneliti ulang tujuan dan alternatif strategi atau cara bertindak untuk mencapai tujuan, dalam hal ini kebijakan yang baik 2 Membandingkan secara kuantitatif dari segi manfaat dan resiko dari tiap alternatif 3 Memilih alternatif terbaik untuk diimplementasikan 4 Membuat strategi pemanfaatan secara optimal, dengan cara memilih atau menentukan prioritas kegiatan. Penetapan prioritas kebijakan strategi pengelolaan dalam A’WOT dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi orang, kemudian mengkonversi faktor- faktor yang tidak terukur intangible ke dalam aturan yang biasa, sehingga dapat dibandingkan. Untuk menyusun faktor-faktor strategis digunakan matriks SWOT yang dapat menggambarkan peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi, dapat 53 disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matriks ini dapat menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategis. Hasil analisis SWOT dilanjutkan dengan AHP, AHP akan membantu meningkatkan analisis SWOT dalam mengkolaborasikan hasil keputusan situasional sehingga keputusan strategi alternatif dapat diprioritaskan. Tahap terpenting dari AHP adalah penilaian perbandingan berpasangan, yang pada dasarnya merupakan perbandingan tingkat kepentingan antar komponen dalam suatu tingkat hirarki Saaty 1993. Dalam melakukan perhitungan matriks, akan sangat rumit sehingga diperlukan paket komputer khusus mengenai AHP. Pengolahan data berbasis komputer menggunakan software Expert Choice 2000. Expert Choice merupakan perangkat lunak sistem pendukung keputusan yang didasarkan atas metodologi decision-making yakni Analytic Hierarchy Process AHP. Kelebihan perangkat lunak ini antara lain dapat: 1 memudahkan identifikasi tujuan, 2 memudahkan identifikasi full range solusi-solusi alternatif, 3 evaluasi kunci trade-off di antara tujuan dan alternatif, dan 4 memungkinkan membuat keputusan yang dipahami sepenuhnya dan didukung oleh seluruh stakeholder. Langkah-langkah dalan analisis data dengan AHP adalah: 1 Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi masalah 2 Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub-sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah 3 Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat di atasnya, perbandingan berdasarkan judgment dari para pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya. Untuk mengkuantifikasi data kualitatif pada materi wawancara digunakan nilai skala komparasi 1-9 berdasarkan skala Saaty 4 Melakukan perbandingan berpasangan. Kegiatan ini dilakukan oleh stakeholder yang berkompeten berdasarkan hasil analisis stakeholder 54 5 Menghitung akar ciri, vektor ciri, dan menguji konsistensinya. Jika tidak konsisten maka pengambilan data diulangi atau dikoreksi. Indeks Konsistensi CI menyatakan penyimpangan konsistensi dan menyatakan ukuran tentang konsisten tidaknya suatu penilaian perbandingan berpasangan. Nilai pengukuran konsistensi diperlukan untuk mengetahui konsistensi jawaban dari responden karena akan berpengaruh terhadap keabsahan hasil. 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah Kawasan Mangrove Muara Angke Jakarta

Hutan mangrove Muara Angke adalah bagian dari kawasan hutan mangrove bakau Tegal Alur-Angke Kapuk di pantai utara Jakarta yang termasuk wilayah Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Pada tahun 1977, Menteri Pertanian dengan Keputusan Nomor 16Um61977 tanggal 10 Juni 1977 menetapkan kembali peruntukan kawasan hutan Angke Kapuk sebagai: a. Hutan Lindung, 5 km sepanjang pantai dengan lebar 100 m b. Cagar Alam Muara Angke c. Hutan Wisata d. Kebun Pembibitan Kehutanan e. Lapangan Dengan Tujuan Istimewa LDTI. Pembangunan Kawasan Angke-Kapuk digagas oleh Pemerintah DKI, Jakarta sesuai arahan RUTR Rencana Umum Tata Ruang DKI 1965-1985, bertujuan untuk mengembangkan areal tambak dan “eks-hutan” Angke-Kapuk yang terbengkalai, untuk perumahan dan fungsi perkotaan lainnya. Keinginan ini mendapat tanggapan dari kelompok usaha PT. Metropolitan Kencana, sebagaimana tertuang dalam surat perusahaan tersebut kepada Direktur Jenderal Kehutanan, selaku pihak yang memiliki kewenangan legal-formal atas kawasan itu, No. 652MKV81 tertanggal 22 Mei 1981. Menanggapi surat di atas, Direktur Jenderal Kehutanan dalam suratnya No. 2755DJI1981 tertanggal 27 Juli 1981 memberikan penjelasan tentang status pengelolaan kawasan dimaksud dan kemungkinan bagi PT. Metropolitan Kencana untuk berpartisipasi dalam pengembangannya. Beberapa butir penting isi surat dimaksud adalah sebagai berikut: 1 Wilayah tanah hutan Angke-Kapuk seluas  1.144 ha berada di bawah pengelolaan Dinas Kehutanan DKI Jakarta berdasarkan Piagam Kerjasama antara Pemda DKI Jakarta dengan Departemen Pertanian cq Direktorat Jenderal Kehutanan yang ditandatangani tanggal 24 Juni 1977, dan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah. Tujuan kerjasama dimaksud adalah untuk mengelola, memanfaatkan, dan membina kawasan hutan seluas  1.144 ha yang terletak di kelurahan Kapuk Muara, dan Kamal Muara. 2 Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 161KptsUm61977 tanggal 10 Juni 1977, ditetapkan kembali fungsi kawasan hutan Tegal Alur, Angke Kapuk, dan Cagar Alam Muara Angke, sebagai berikut: a Sebagai hutan lindung, 5 km sepanjang pantai selebar 100 meter b Sebagai Cagar Alam Muara Angke c Sebagai Hutan Wisata d Sebagai Kebun Pembibitan e Sebagai “lapangan dengan tujuan istimewa LDTI”. Selanjutnya, disebutkan pula dalam Piagam Kerjasama itu bahwa Pemda DKI Jakarta dapat bekerjasama dengan pihak lain, dalam pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan tanah kawasan hutan tersebut di atas. Pada surat No. 842AKBKD78 tanggal 25 Mei 1978, Gubernur DKI Jakarta mengajukan permohonan kepada Presiden RI melalui Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara PAN, agar tanah bekas kawasan hutan Angke Kapuk secara formil dihapuskan sebagai kawasan hutan dan menyerahkan hak pengelolaannya kepada Pemda DKI Jakarta, dengan alasan: a Pada kenyataannya, kawasan hutan di wilayah Angke Kapuk tidak lagi berfungsi sebagai hutan b Peruntukannya tidak sesuai dengan RUTR DKI Jakarta 1965-1985 c Kesulitan pemerintah dalam penyediaan tanah untuk pembangunan rumah murah. Menanggapi surat di atas, Menteri Negara PAN memprakarsai pertemuan yang dihadiri oleh para Pejabat Pemda DKI, Sekretaris Menteri Negara PAN dan Direktorat Jenderal Kehutanan, dengan menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: a. Penyelesaian masalah hutan Angke Kapuk berpegang pada Program Kerjasama antara Departemen Pertanian c.q Direktorat Jenderal Kehutanan dengan Pemda DKI Jakarta tanggal 24 Juni 1977. Untuk merealisir Program Kerjasama tersebut, akan: 1 Segera disusun Feasibilitas Study FS oleh Pemda DKI JakartaPerumnas 2 Diadakan pembicaraan kembali antara Departemen Pertanian, Pemda DKI Jakarta dan Perumnas, setelah ada FS, untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya 3 Membalas surat Dirjen Kehutanan No.2755DJI1981, Pemrakarsa dengan surat No.929MKVII81 tanggal 28 Juli 1981 menyampaikan antara lain tidak perlu dirubahnya 25 ha Cagar Alam, 100 ha Hutan Wisata dan 50 ha Perumahan Nelayan. Sedangkan sisa lahan dari  1.150 ha, akan dimanfaatkan untuk berbagai fungsi perkotaan hunian, komersial, prasaranasarana, dll 4 Menanggapi usulan di atas, Dirjen Kehutanan pada suratnya No.26DJI1982 tanggal 5 Januari 1982 menyampaikan bahwa, Pemrakarsa dinilai mampu melaksanakan proyek Pengembangan Kawasan Hutan Angke Kapuk dan diminta dapat bekerjasama dengan Pemda DKI Jakarta 5 Melalui suratnya No.352MKIII82 tanggal 17 Maret 1982, Pemrakarsa mengajukan kerjasama dengan Pemda DKI. Selanjutnya wakil Gubernur Bidang I, atas nama Gubernur DKI, melalui surat No.04280VI1982 tanggal 19 Juni 1982 menyampaikan persetujuan kerjasama dengan Pemrakarsa 6 Menindaklanjuti berbagai kesepakatan atau persetujuan prinsip yang telah dicapai, kemudian disusun atau ditandatangani: a. Perjanjian tukar-menukar sebagian tanah kawasan Hutan Angke-Kapuk di Wilayah DKI Jakarta, antara Menteri Kehutanan RI dengan DirekturKomisaris PT. Mandara Permai subsider PT. Metropolitan Kencana Group, ditandatangani di Jakarta tanggal 14 Juni 1984. Isi perjanjian ini antara lain: pengaturan perbandingan luas dan lokasi lahan pengganti DKI Jakarta atau di Bogor, Tanggerang, dan Bekasi yang disetujui oleh Pihak Menteri Kehutanan RI b. Perjanjian kerjasama pembangunan pengembangan tanah Kawasan Hutan Angke-Kapuk di DKI Jakarta. Isi dari perjanjian tersebut antara lain: c. Peruntukan lahan: 50 dari luas kawasan hutan 581,24 ha dapat dikembangkan d. Kewajiban pihak PT. Mandara Permai untuk membayar biaya penyediaan prasarana sebagai presentase dari luas yang akan dikembangkan 831,63 ha yang menghubungkan kawasan dengan areal luarnya, sementara biaya pembangunan prasarana di dalam tapak, seluruhnya menjadi beban dan tanggung jawab pihak PT. Mandara Permai e. Berita acara serah terima penyerahan biaya prasarana sebagaimana diatur dalam butir 2 f. Berita acara serah terima tukarmenukar sebagian tanah kawasan Angke-Kapuk dan tanah penggantinya, dalam berita acara ini antara lain disebutkan: 1. Dua bidang tanah luas seluruhnya 39 ha, terletak di Pulau Penjaliran Barat dan Pulau Penjaliran Timur, Kecamatan Kepulauan Seribu, Jakarta Utara 2. Tiga bidang tanah luas 75 ha terletak di Kampung Sawah dan Cipinang, Desa Rumpin, Kecamatan Rumping, Kabupaten Bogor, Jawa Barat 3. Satu bidang tanah luas 350 ha, terletak di Kecamatan Nagrek, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat 4. Sepuluh bidang tanah luas 1.190 ha, terletak di Kecamatan Sukanagara dan Campaka, Kabupaten Cianjur Jawa Barat. 7 Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 097Kpts-II88 tanggal 29 Februari 1988 tentang Pelepasan Kawasan Hutan Angke-Kapuk seluas 831,63 ha di DKI Jakarta 8 Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 463Kpts-II88 tanggal 24 September 1988 tentang Pelepasan Kawasan Hutan Angke-Kapuk seluas yang dipergunakan untuk perkampungan nelayan dan pendaratan ikan di Delta Muara Angke seluas 56 ha dan penunjukan areal tambak perikanan aset Pemda DKI Jakarta seluas 52 ha sebagai Kawasan Hutan. Selanjutnya kedua areal di atas akan dimanfaatkan dan dikembangkan oleh PT. Mandara Permai. Berkaitan dengan adanya pembangunan permukiman di kawasan ini, maka pada tahun 1984 Departemen Kehutanan melakukan pengukuran dan pemancangan batas ulang yang antara lain menghasilkan kawasan hutan yang tetap dikuasai oleh Pemerintah, yaitu seluas 322,6 ha terdiri dari: a. Hutan Lindung : 49,25 ha b. Cagar Alam Muara Angke : 21,45 ha c. Hutan Wisata : 91,45 ha d. Kebun Pembibitan Kehutanan : 10,47 ha e. Cengkareng Drain : 29,05 ha f. Jalur Transmisi PLN : 29,90 ha g. Jalan Tol dan Jalur Hijau : 91,37 ha Hasil pengukuran dan penataan batas ulang tersebut kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 097Kpts-II1988 tanggal 29 Pebruari 1988 yang menetapkan bahwa kawasan hutan yang dipertahankan adalah seluas 335,50 ha terdiri atas: a. Hutan Lindung : 50,80 ha b. Cagar Alam Muara Angke : 25,00 ha c. Hutan Wisata : 101,60 ha d. Kebun Pembibitan Kehutanan : 10,47 ha e. Cengkareng Drain : 28,36 ha f. Jalur Transmisi PLN : 25,90 ha g. Jalan Tol dan Jalur Hijau : 91,37 ha Berdasarkan hasil tata batas di lapangan dan Berita Acara Tata Batas yang ditandatangani pada tanggal 25 Juli 1994 oleh Panitia Tata Batas yang diangkat dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Ibukota Jakarta Nomor 924 tahun 1989, diketahui bahwa hutan yang dipertahankan adalah seluas 327,70 ha. Sehubungan dengan itu, Menteri Kehutanan menetapkan kembali peruntukan dan fungsi kelompok Hutan Angke Kapuk sebagai: a. Hutan Lindung : 44,76 ha b. Hutan Wisata : 99,82 ha c. Cagar Alam Muara Angke : 25,02 ha d. Hutan Dengan Tujuan Istimewa LDTI: 1 Kebun Pembibitan : 10,51 ha 2 Transmisi PLN : 23,07 ha 3 Cengkareng Drain : 28,93 ha 4 Jalan tol dan Jalur Hijau : 95,50 ha Cagar Alam Muara Angke dikukuhkan sebagai Suaka Margasatwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 097Kpts- II98, dengan luas areal 25,02 ha. Batas kawasan hutan mangrove Muara Angke adalah di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Timur dengan Sungai Angke S. Angke dan Perkampungan Nelayan Muara Angke, sebelah Selatan dengan areal pertambakan dan Sungai Kamal, dan di sebelah Barat dengan Jalan Tol Prof.Sedyatmo dan kawasan Industri Tegal Alur.

4.2 Kondisi Fisik