24 memiliki perakaran ini adalah: genus Avicennia dan Sonneratia. Akar tegak dari
genus Avicennia memiliki tinggi kurang dari 3 cm, sedangkan akar tegak dari genus Sonneratia
memiliki tinggi sampai 3 meter. Pada kedua perakaran genus Avicennia dan Sonneratia mengandung klorofil pada bagian permukaan akar.
c. Akar Lutut
Sistem perakaran ini merupakan akar yang tumbuh dari pangkal batang secara horisontal dan pada bagian tertentu secara periodik tumbuh bagian akar menuju
permukaan tanah, namun ujung dari permukaan akar yang muncul ke permukaan tanahlumpur tidak meruncing, melainkan tumpul. Oleh karena itu disebut akar
lututmenyerupai bentuk lutut manusia. Jenis tumbuhan mangrove yang memiliki akar lutut adalah: genus Bruguiera, Xylocarpus molucensis, Xylocarpus mekongensis,
dan genus Lumnitzera, genus Ceriops dan Campthostemon menyerupai tipe akar ini.
d. Akar Papan
Sistem perakaran ini merupakan akar horisontal dan sepanjang perakaran tidak terdapat bagian akar yang meuncul ke permukaan tanahlumpur. Biasanya jenis
tumbuhan yang memiliki perakaran ini berada pada tempat yang jarang terkena pasang naik air lautpayau. Jenis tumbuhan yang memiliki perakaran ini antara lain:
Xylocarpus granatum , dan genus Heritiera.
2. Mangrove Tanpa Perakaran Napas
Jenis tumbuhan mangrove yang tidak memiliki perakaran napas aerial roots antara lain: genus Aegiceras, Aegialitis, Excoecaria, Kandelia, Osbornea,
Scyphiphora, dan Nypa.
2.2.6 Kenekaragaman Hayati Ekosistem Hutan Mangrove 1.
Flora
Diperkirakan kurang lebih terdapat 70 spesies mangrove khas komponen mayor dan minor, 40 spesies di antaranya tumbuh di Asia Tenggara, kira-kira 15
25 spesies tumbuh di Afrika dan 10 spesies di Amerika JICA 1999. Soemodihardjo
1993 menegaskan bahwa mangrove di Indonesia terdiri atas 15 famili, 18 genus, 41 spesies, dan 116 spesies yang berasosiasi. Berdasarkan Kusmana 1993 di Indonesia
saat ini paling sedikit terdapat sekitar 101 jenis tumbuhan mangrove baik yang khas maupun tidak khas habitat mangrove, yang terdiri atas: 47 jenis pohon, 5 jenis semak,
9 jenis herba dan rumput, 9 jenis liana, 29 jenis epifit, dan 2 jenis parasit.
2. Fauna
Alikodra et al. 1990 melaporkan bahwa di hutan mangrove muara Cimanuk dan Segara Anakan berturut-turut terdapat 23 jenis dan 16 jenis burung Wader, 12
jenis di antaranya termasuk jenis burung yang melakukan migrasi. Di samping itu beberapa jenis primata terdapat di hutan mangrove antara lain: bekantan Nasalis
larvatus , monyet ekor panjang Macaca fascicularis, lutung Presbytis sp.. Juga
dijumpai jenis reptilia, seperti: biawak Varanus salvator, kadal, beberapa jenis ular dan buaya muara Crocodylus porosus.
Kartawinata et Al. 1979 dalam Kusmana 1993 melaporkan bahwa di Indonesia paling sedikit terdapat 90 jenis fauna laut di habitat mangrove yang terdiri
atas Gastropoda 50 spesies, Bivalvia 6 spesies, dan Crustacea 34 spesies.
2.2.7 Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Menurut World Commision on Environment and Development WCED, 1987. Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development adalah
pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Greend dan Szabalcs
1994 menyatakan bahwa kebutuhan masa mendatang tergantung pada tata cara keterkaitan antara pertumbuhan penduduk, pengelolaan sumberdaya energi, dan
proteksi lingkungan
secara harmonis.
Pembangunan berkelanjutan
telah menempatkan kebijakan pelestarian lingkungan hidup menjadi satu kebutuhan dalam
pembangunan ekonomi. Dengan kata lain kebijakan pelestarian lingkungan hidup adalah salah satu variabel tetap dalam proses pembangunan ekonomi suatu bangsa.
26 Prinsip pembangunan berkelanjutan sebenarnya sederhana, tidak kompleks dan
mudah dicerna. Hal ini didasarkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi ada batasnya dan perekonomian yang mengandalkan hasil ekstraksi sumberdaya alam tidak
bertahan lama. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak berarti jika degradasi lingkungan yang ditimbulkannya tidak diperhitungkan Arief, 2001.
Keberlanjutan merupakan prasarat ideal, dimana masyarakat hidup untuk menikmati kebutuhan mereka yang ramah lingkungan dan berkeadilan sosial, bukan
kompromi dari kemampuan manusia untuk melakukan hal yang sama di masa kini dan akan datang. Dalam prakteknya keberlanjutan lebih pada proses penerimaan,
pengimplementasian, dan pengembangan kebijakan strategi, institusi dan teknologi yang sesuai untuk memajukan masyarakat menuju kondisi yang ideal WCED, 1987.
Untuk mencapai keberlanjutan, keterpaduan lingkungan dan keadilan sosial harus direalisasikam dan ditegakkan secara simultan.
Sumberdaya alam seharusnya dikelola secara berkelanjutan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi. Dengan demikian telah
disepakati secara
global bahwa
pengelolaan sumberdaya
alam harus
mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yakni ekonomi, ekologi, dan sosial. Sejalan dengan itu maka upaya mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak
berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan kesejahteraan
masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi
pembangunan yang memberikan ambang batas pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada didalamnya. Ambang batas ini tidaklah
bersifat mutlak, melainkan merupakan batas yang fleksibel yang tergantung pada kondisi teknologi dan Sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta
kemapuan biosfir untuk memnerima dampak kegiatan manusia. Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian
rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia tidak rusak.
27 Munasinghe 1993 telah menjabarkan konsep pembangunan berkelanjutan
dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan berkelanjutan Environmentally sustainable development triangle
seperti pada Gambar 2. Pertumbuhan pendapatan
Efisiensi produksi Stabilitas suplai bahan baku
Assesmen lingkungan
Kesempatan kerja Valuasi lingkungan
Distribusi pendapatan Internalisasi
Solusi konflik
Penanggulangan kemiskinan Pemerataan, kelestarian
Nilai-nilaibudaya partisipasi Partisipasi
Konsultasi
Gambar 2 Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan Munasinghe 1993.
Berdasarkan kerangka tersebut, suatu kegiatan pembangunan termasuk pengelolaan sumberdaya alam dan berbagai dimensinya dinyatakan berkelanjutan
Serageldin, 1996. Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital
dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Menurut Munasinghe 1993 pendekatan ekonomi dalam pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk
memaksimalkan kesejahteraan manusia dengan pertumbuhan ekonomi dan efisiensi pembangunan kapital dalam keterbatasan dan kendala sumberdaaya serta
keterbatasan teknologi. Peningkatan output pembangunan ekonomi dilakukan dengan tetap memperhatikan kelestarian aset ekologi dan sosial sepanjang waktu dan
EKONOMI
EKOLOGI SOSIAL
28 memberikan jaminan kepada asset ekologi dan sosial sepanjang waktu dan
memberikan jaminan kepada kebutuhan dasar manusia serta memberikan perlindungan kepada golongan.
Serageldin 1996 menyatakan bahwa berkelanjutan secara ekologi artinya bahwa kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem,
memelihara daya dukung lingkungan dan konservasi sumberdaya alam termasuk pertimbangan bahwa perubahan lingkungan akan terjadi di masa yang akan datang
dan dipengaruhi oleh segala aktivitas manusia. Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan
pemerataan hasil-hasil pembagunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan.
Dalam kaitan dengan kebijakan pemerintah agar segenap tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai, maka dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan
ekonomi diperlukan kebijakan ekonomi yang meliputi intervensi pemerintah secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan pemberian subsidi
bagi kegiatan pembangunan. Dalam hal ini pertumbuhan dan efisiensi kapital yang merupakan tujuan ekonomi pembangunan harus pula disertai dengan peningkatan
kesempatan kerja bagi masyarakat dan berbagai usaha yang dilakukan untuk tujuan pemerataan pembangunan.
Tujuan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan mempunyai hubungan dengan tujuan lingkungan. Keberhasilan dan keberlanjutan pembangunan tidak akan
tercapai bila tidak didukung oleh kondisi lingkungan hidup yang mendukung pembangunan ekonomi dan sosial. Pembangunan ekonomi tanpa memperhatikan
efisiensi penggunaan sumberdaya dan kelestarian alam akan menyebabkan degradasi alam yang tidak dapat pulih kembali, sehingga diperlukan berbagai upaya
penanganannya seperti: efisiensi penggunaan sumberdaya alam dan memberikan evaluasi lingkungan dengan menginternalisasikan dan mengevaluasi dampak
lingkungan yang ditimbulkannya. Sedangkan dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi,
pembangunan yang dilaksanakan disamping menekankan pada usaha konservasi dan
29 perlindungan sumberdaya juga harus memperhatikan masyarakat yang bergantung
pada sumberdaya tersebut. Apresiasi terhadap hak-hak kepemilikan masyarakat terhadap sumberdaya harus mendapat perhatian. Pengukuhan hak kepemilikan bagi
masyarakat sekitar sumberdaya merupakan hal yang sangat penting dan akan merupakan intensif bagi masyarakat lokal untuk melakukan konservasi dan
pelestarian lingkungan. Dalam hubungan dengan tujuan sosial dan ekologi, maka strategi yang ditempuh adalah partisipasi masyarakat dan swasta serta konsultasi.
2.3 Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat
Secara umum di Indonesia pengelolaan sumberdaya alam masih berbasis pemerintah. Pada rezim ini pemerintah bertindak sebagai pelaksana mulai dari
perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan, sedangkan kelompok-kelompok masyarakat pengguna user groups hanya menerima informasi tentang produk-
produk kebijakan dari pemerintah. Pengelolaan berbasis pemerintah ini memiliki beberapa kelemahan, antara lain: 1 aturan-aturan yang dibuat kurang terinternalisasi
dalam masyarakat sehingga sulit ditegakkan; 2 biaya transaksi yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan dan pengawasan sangat besar sehingga menyebabkan
lemahnya penegakan hukum. Berdasarkan Hanna 1995 dalam Satria et.al 2002, dalam pendekatan sentralistis, biaya yang dibutuhkan untuk rancangan program
rendah, namun tinggi dalam pelaksanaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Untuk mengatasi berbagai kelemahan dalam pengelolaan berbasis pemerintah
adalah pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat. Carter 1996 dalam Satria 2002 mendefinisikan pengelolaan berbasis masyarakat sebagai suatu strategi
untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada masyarakat dengan pengambilan keputusan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan berada di tangan
kelembagaan lokal di daerah tersebut. Biaya pelaksanaan dan pengawasan dalam pengelolaan berbasis masyarakat jauh lebih rendah daripada pengelolaan berbasis
pemerintah. Hal ini disebabkan pengambilan keputusan dan inisiatif dilakukan pada tingkat lokal sehingga semakin menyentuh aspirasi masyarakat. Pengakuan
30 masyarakat terhadap aturan dan kebijakan yang dibuat semakin tinggi sehingga akan
lebih mudah ditegakkan. Model pengelolaan berbasis masyarakat akan memberikan insentif bagi
masyarakat untuk mandiri dalam wadah kelembagaan lokal. Pengawasan terhadap pelaksanaan lokal pun lebih efektif karena dilakukan oleh masyarakat secara
lembaga, tidak individual. Selain itu dengan organisasi lokal yang mandiri, jalur komunikasi dan koordinasi antara masyarakat dengan pemerintah dan pemangku
kepentingan lainnya akan efektif. Setidaknya diperlukan sebelas kunci agar pengelolaan SDA berbasis
masyarakat, mencapai hasil sesuai yang diharapkan Ostrom 1990, Pomeroy 1994 dan Saad 2003, yaitu: batas-batas wilayah secara fisik harus jelas; keanggotaan
didefinisikan secara jelas; kohesi kelompok; organisasi yang ada tidak asing bagi masyarakat; fisibilitas ekonomi; partisipasi anggota komunitas tinggi; aturan
pengelolaan dijalankan secara efektif; secara yuridis organisasi masyarakat diakui; kerjasama dan kepemimpinan; desentralisasi dan pendelegasian wewenang;
koordinasi antara pemerintah dengan masyarakat. Namun, melihat kondisi objektif masyarakat saat ini penerapan pengelolaan
sumberdaya alam berbasis masyarakat secara murni belum dapat diterapkan. Pengelolaan berbasis masyarakat sangat mengutamakan prakarsa masyarakat yang
menuntut kemampuan manajerial dan kedewasaan masyarakat secara merata dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang diserahkan kepada kelembagaan
masyarakat. Kemampuan manajerial tersebut adalah kemampuan masyarakat lokal untuk mengatur dirinya sendiri dan komunitasnya. Di samping itu pengelolaan
berbasis masyarakat membutuhkan lembaga lokal yang cenderung mengalami penurunan fungsi bahkan tidak dimiliki oleh sebagian daerah. Sementara
pembentukan lembaga-lembaga baru akan membutuhkan biaya sosial yang cukup besar mulai dari pembentukannya, sosialisasi, dan hingga penerimaannya.
Untuk mengakomodasi permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis pemerintah dan berbasis masyarakat, maka pendekatan jalan tengahnya
adalah model pengelolaan sumberdaya alam co-manajemen yang memadukan unsur
31 pemerintah dengan kelompok pengguna Sen dan Nielsen dalam Satria et.al 2002.
Co-manajemen menghindari peran yang berlebihan dari satu pihak dalam pengelolaan
sumberdaya alam sehingga pembiasan terhadap aspirasi salah satu pihak dapat dikurangi. Pengelolaan sumberdaya alam dengan pendekatan co-manajemen
bertujuan untuk melaksanakan pengelolaan sumberdaya alam dengan menyatukan lembaga-lembaga terkait terutama masyarakat dan pemerintah serta pemangku
kepentingan lainnya dalam setiap proses pengelolaan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pengawasan.
Dalam co-manajemen, pembagian wewenang antara pemerintah dan kelompok pengguna dapat terjadi dalam berbagai pola, tergantung pada kemampuan
dan kesiapan sumberdaya manusia dan institusi lokal yang ada. Hasil penelitian Pomeroy William 1994 dalam Satria et.al 2002 menyatakan bahwa proses co-
manajemen dapat terjadi dalam bentuk: 1 lembaga pemerintah secara formal
mengakui aturan-aturan yang secara informal sudah diimplementasikan oleh masyarakat, 2 otoritas pelaksanaan suatu peraturan formal diserahkan dari
pemerintah kepada masyarakat. Keuntungan yang dapat diperoleh dari pengelolaan co-manajemen adalah
dapat mengurangi biaya transaksi. Biaya transaksi secara umum mencakup: 1 biaya informasi, 2 biaya pengambilan keputusan, dan 3 biaya operasional Kuperan et.al
1999 dalam Satria et.al 2002. Selain itu dalam jangka panjang pelaksanaan co- manajemen
akan memberikan perubahan ke arah yang lebih baik yaitu: 1 meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya SDA dalam menunjang
kehidupan, 2 meningkatkan kemampuan masyarakat sehingga mampu berperan serta dalam setiap tahapan pengelolaan secara terpadu, 3 meningkatkan pendapatan
masyarakat dengan bentuk-bentuk pemanfaatan yang berkelanjutan PKSPL 2001. Co-manajemen
merupakan alternatif pilihan yang mengkombinasikan antara sistem manajemen yang top-down dan bottom-up, dengan kata lain co-manajemen
menggabungkan antara pengelolaan sentralistis yang dilakukan oleh pemerintah Government-based management dengan pengelolaan berbasis masyarakat
Community-based management. Hirarki tertinggi dari tatanan kegiatannya pun
32 berada diantara kedua model utama ini yaitu pada tataran hubungan kerjasama
cooperation selanjutnya consultative dan advisory. Berdasarkan hirarki tatanan kegiatannya, co-manajemen dibagi menjadi
beberapa tipe yaitu: tipe instructive, consultative, cooperative, advisory, dan informatif PKSPL 2001. Masing masing tipe memberikan proporsi yang berbeda-
beda bagi pemerintah dan kelompok masyarakat pengguna untuk berperan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
Pertama, dalam tipe instructive, peran lebih banyak diberikan kepada pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan dan perencanaan, sedangkan
masyarakat lebih banyak menerima informasi dari hasil pemerintah. Beda dengan pengelolaan berbasis pemerintah adalah informasi dasar yang dibutuhkan dalam
proses perencanaan ini diperoleh melalui sebuah proses dialogis yang masyarakat menyampaikan aspirasinya. Selanjutnya pemerintah mengolah informasi tersebut
untuk menghasilkan sebuah produk kebijakan dan perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kedua, tipe consultative. Tipe ini tidak jauh berbeda dengan tipe sebelumnya, pembuatan keputusan dan perencanaan tetap dilakukan oleh pemerintah. Namun
dalam tipe consultative ini yaitu proses dialogis dengan masyarakat dalam bentuk musyawarah dilakukan secara lebih intensif.
Ketiga, tipe cooperative. Dalam hirarki tatanan kerjanya tipe ini merupakan tipe ideal, dimana peran pemerintah dan masyarakat seimbang dalam pembuatan
kebijakan dan perencanaan. Dengan kata lain, pemerintah dan masyarakat merupakan mitra sejajar dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Keempat, tipe advisory. Peran masyarakat lebih besar daripada pemerintah, namun partisipasi pemerintah dalam pembuatan keputusan dan perencanaan masih
aktif. Peran yang dilakukan pemerintah adalah memberikan saran dan nasihat kepada masyarakat dalam mengambil sebuah keputusan, namun untuk memutuskan
diserahkan kepada masyarakat. Kelima, tipe informatif. Tipe ini lebih mengarah pada pengelolaan berbasis
masyarakat. Kewenangan dalam pengambilan keputusan dan perencanaan
33 pengelolaan diserahkan kepada masyarakat. Pemerintah hanya diinformasikan
tentang keputusan yang telah dibuat. Selanjutnya dalam pelaksanaan, pengawasan, dan penegakan hukum pun sepenuhnya dilakukan masyarakat.
Kerjasama pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam tidak hanya sebatas pada pembuatan keputusan dan perencanaan, namun lebih lanjut
kerjasama ini terjadi dalam pelaksanaan, pengawasan, dan penegakan hukum serta evaluasi. Melalui co-manajemen, proses pengawasan dan penegakan hukum akan
semakin efektif dan efisien karena dilakukan pada tataran lokal dan mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Co-manajemen dengan orientasi ke atas dan ke bawahnya yang lebih
seimbang dan egaliter, secara implisit menunjukkan pengakuan terhadap karakter- karakter lokal dalam mempengaruhi pola pemanfaatan sumberdaya alam.
Pertimbangan terhadap karakter dan kebutuhan lokal sangat penting dalam melakukan perencanaan pengelolaan sumberdaya, karena akan mengefektifkan
pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan. Selain itu prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya alam akan lebih dipahami dan diakui bila dibicarakan pada tingkatan
lokal Cartwight 1996 dalam Satria 2002. Berdasarkan karakter dan kebutuhan serta kemampuan masing-masing daerah, maka tipe co-managemen, untuk masing-masing
daerah pun cenderung berbeda-beda. Keberhasilan co-manajemen dalam pengelolaan sumberdaya alam sangat
tergantung pada kemauan pemerintah untuk mendesentralisasikan tanggung jawab dan kewenangan pengelolaan sumberdaya alam kepada masyarakat dan pemangku
kepentingan lainnya. Dukungan pemerintah dalam proses co-manajemen adalah misalnya kebijakan pemerintah yang mendukung co-manajemen, mendukung
masyarakat untuk mengelola dan melakukan restrukturisasi peran pelaku pengelolaan sumberdaya alam.
2.4 Analisis Kebijakan