25 spesies tumbuh di Afrika dan 10 spesies di Amerika JICA 1999. Soemodihardjo
1993 menegaskan bahwa mangrove di Indonesia terdiri atas 15 famili, 18 genus, 41 spesies, dan 116 spesies yang berasosiasi. Berdasarkan Kusmana 1993 di Indonesia
saat ini paling sedikit terdapat sekitar 101 jenis tumbuhan mangrove baik yang khas maupun tidak khas habitat mangrove, yang terdiri atas: 47 jenis pohon, 5 jenis semak,
9 jenis herba dan rumput, 9 jenis liana, 29 jenis epifit, dan 2 jenis parasit.
2. Fauna
Alikodra et al. 1990 melaporkan bahwa di hutan mangrove muara Cimanuk dan Segara Anakan berturut-turut terdapat 23 jenis dan 16 jenis burung Wader, 12
jenis di antaranya termasuk jenis burung yang melakukan migrasi. Di samping itu beberapa jenis primata terdapat di hutan mangrove antara lain: bekantan Nasalis
larvatus , monyet ekor panjang Macaca fascicularis, lutung Presbytis sp.. Juga
dijumpai jenis reptilia, seperti: biawak Varanus salvator, kadal, beberapa jenis ular dan buaya muara Crocodylus porosus.
Kartawinata et Al. 1979 dalam Kusmana 1993 melaporkan bahwa di Indonesia paling sedikit terdapat 90 jenis fauna laut di habitat mangrove yang terdiri
atas Gastropoda 50 spesies, Bivalvia 6 spesies, dan Crustacea 34 spesies.
2.2.7 Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Menurut World Commision on Environment and Development WCED, 1987. Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development adalah
pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Greend dan Szabalcs
1994 menyatakan bahwa kebutuhan masa mendatang tergantung pada tata cara keterkaitan antara pertumbuhan penduduk, pengelolaan sumberdaya energi, dan
proteksi lingkungan
secara harmonis.
Pembangunan berkelanjutan
telah menempatkan kebijakan pelestarian lingkungan hidup menjadi satu kebutuhan dalam
pembangunan ekonomi. Dengan kata lain kebijakan pelestarian lingkungan hidup adalah salah satu variabel tetap dalam proses pembangunan ekonomi suatu bangsa.
26 Prinsip pembangunan berkelanjutan sebenarnya sederhana, tidak kompleks dan
mudah dicerna. Hal ini didasarkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi ada batasnya dan perekonomian yang mengandalkan hasil ekstraksi sumberdaya alam tidak
bertahan lama. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak berarti jika degradasi lingkungan yang ditimbulkannya tidak diperhitungkan Arief, 2001.
Keberlanjutan merupakan prasarat ideal, dimana masyarakat hidup untuk menikmati kebutuhan mereka yang ramah lingkungan dan berkeadilan sosial, bukan
kompromi dari kemampuan manusia untuk melakukan hal yang sama di masa kini dan akan datang. Dalam prakteknya keberlanjutan lebih pada proses penerimaan,
pengimplementasian, dan pengembangan kebijakan strategi, institusi dan teknologi yang sesuai untuk memajukan masyarakat menuju kondisi yang ideal WCED, 1987.
Untuk mencapai keberlanjutan, keterpaduan lingkungan dan keadilan sosial harus direalisasikam dan ditegakkan secara simultan.
Sumberdaya alam seharusnya dikelola secara berkelanjutan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi. Dengan demikian telah
disepakati secara
global bahwa
pengelolaan sumberdaya
alam harus
mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yakni ekonomi, ekologi, dan sosial. Sejalan dengan itu maka upaya mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak
berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan kesejahteraan
masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi
pembangunan yang memberikan ambang batas pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada didalamnya. Ambang batas ini tidaklah
bersifat mutlak, melainkan merupakan batas yang fleksibel yang tergantung pada kondisi teknologi dan Sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta
kemapuan biosfir untuk memnerima dampak kegiatan manusia. Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian
rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia tidak rusak.
27 Munasinghe 1993 telah menjabarkan konsep pembangunan berkelanjutan
dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan berkelanjutan Environmentally sustainable development triangle
seperti pada Gambar 2. Pertumbuhan pendapatan
Efisiensi produksi Stabilitas suplai bahan baku
Assesmen lingkungan
Kesempatan kerja Valuasi lingkungan
Distribusi pendapatan Internalisasi
Solusi konflik
Penanggulangan kemiskinan Pemerataan, kelestarian
Nilai-nilaibudaya partisipasi Partisipasi
Konsultasi
Gambar 2 Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan Munasinghe 1993.
Berdasarkan kerangka tersebut, suatu kegiatan pembangunan termasuk pengelolaan sumberdaya alam dan berbagai dimensinya dinyatakan berkelanjutan
Serageldin, 1996. Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital
dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Menurut Munasinghe 1993 pendekatan ekonomi dalam pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk
memaksimalkan kesejahteraan manusia dengan pertumbuhan ekonomi dan efisiensi pembangunan kapital dalam keterbatasan dan kendala sumberdaaya serta
keterbatasan teknologi. Peningkatan output pembangunan ekonomi dilakukan dengan tetap memperhatikan kelestarian aset ekologi dan sosial sepanjang waktu dan
EKONOMI
EKOLOGI SOSIAL
28 memberikan jaminan kepada asset ekologi dan sosial sepanjang waktu dan
memberikan jaminan kepada kebutuhan dasar manusia serta memberikan perlindungan kepada golongan.
Serageldin 1996 menyatakan bahwa berkelanjutan secara ekologi artinya bahwa kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem,
memelihara daya dukung lingkungan dan konservasi sumberdaya alam termasuk pertimbangan bahwa perubahan lingkungan akan terjadi di masa yang akan datang
dan dipengaruhi oleh segala aktivitas manusia. Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan
pemerataan hasil-hasil pembagunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan.
Dalam kaitan dengan kebijakan pemerintah agar segenap tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai, maka dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan
ekonomi diperlukan kebijakan ekonomi yang meliputi intervensi pemerintah secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan pemberian subsidi
bagi kegiatan pembangunan. Dalam hal ini pertumbuhan dan efisiensi kapital yang merupakan tujuan ekonomi pembangunan harus pula disertai dengan peningkatan
kesempatan kerja bagi masyarakat dan berbagai usaha yang dilakukan untuk tujuan pemerataan pembangunan.
Tujuan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan mempunyai hubungan dengan tujuan lingkungan. Keberhasilan dan keberlanjutan pembangunan tidak akan
tercapai bila tidak didukung oleh kondisi lingkungan hidup yang mendukung pembangunan ekonomi dan sosial. Pembangunan ekonomi tanpa memperhatikan
efisiensi penggunaan sumberdaya dan kelestarian alam akan menyebabkan degradasi alam yang tidak dapat pulih kembali, sehingga diperlukan berbagai upaya
penanganannya seperti: efisiensi penggunaan sumberdaya alam dan memberikan evaluasi lingkungan dengan menginternalisasikan dan mengevaluasi dampak
lingkungan yang ditimbulkannya. Sedangkan dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi,
pembangunan yang dilaksanakan disamping menekankan pada usaha konservasi dan
29 perlindungan sumberdaya juga harus memperhatikan masyarakat yang bergantung
pada sumberdaya tersebut. Apresiasi terhadap hak-hak kepemilikan masyarakat terhadap sumberdaya harus mendapat perhatian. Pengukuhan hak kepemilikan bagi
masyarakat sekitar sumberdaya merupakan hal yang sangat penting dan akan merupakan intensif bagi masyarakat lokal untuk melakukan konservasi dan
pelestarian lingkungan. Dalam hubungan dengan tujuan sosial dan ekologi, maka strategi yang ditempuh adalah partisipasi masyarakat dan swasta serta konsultasi.
2.3 Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat
Secara umum di Indonesia pengelolaan sumberdaya alam masih berbasis pemerintah. Pada rezim ini pemerintah bertindak sebagai pelaksana mulai dari
perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan, sedangkan kelompok-kelompok masyarakat pengguna user groups hanya menerima informasi tentang produk-
produk kebijakan dari pemerintah. Pengelolaan berbasis pemerintah ini memiliki beberapa kelemahan, antara lain: 1 aturan-aturan yang dibuat kurang terinternalisasi
dalam masyarakat sehingga sulit ditegakkan; 2 biaya transaksi yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan dan pengawasan sangat besar sehingga menyebabkan
lemahnya penegakan hukum. Berdasarkan Hanna 1995 dalam Satria et.al 2002, dalam pendekatan sentralistis, biaya yang dibutuhkan untuk rancangan program
rendah, namun tinggi dalam pelaksanaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Untuk mengatasi berbagai kelemahan dalam pengelolaan berbasis pemerintah
adalah pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat. Carter 1996 dalam Satria 2002 mendefinisikan pengelolaan berbasis masyarakat sebagai suatu strategi
untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada masyarakat dengan pengambilan keputusan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan berada di tangan
kelembagaan lokal di daerah tersebut. Biaya pelaksanaan dan pengawasan dalam pengelolaan berbasis masyarakat jauh lebih rendah daripada pengelolaan berbasis
pemerintah. Hal ini disebabkan pengambilan keputusan dan inisiatif dilakukan pada tingkat lokal sehingga semakin menyentuh aspirasi masyarakat. Pengakuan