Prioritas Kebijakan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke

kecil dan tingkat gangguan yang tinggi, maka kurang efektif dalam menjalankan fungsinya apabila tidak ada satu kesatuan dalam pengelolaan. Memperhatikan Tabel 62, kondisi dan status kawasan mangrove Muara Angke, serta kegiatan pemanfaatan yang telah berjalan, maka status hutan konservasi yang lebih sesuai untuk pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke adalah Taman Hutan Raya. Hal ini juga didukung oleh kebijakan pengelolaan Taman Hutan Raya Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2011 yang menyebutkan bahwa : 1 Penyelenggaraan KSA dan KPA kecuali taman hutan raya dilakukan oleh Pemerintah 2 Untuk taman hutan raya, penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah provinsi atau pemerintah kabupatenkota 3 Penyelenggaraan KSA dan KPA oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh unit pengelola yang dibentuk oleh Menteri 4 Penyelenggaraan taman hutan raya oleh pemerintah provinsi atau pemerintah kabupatenkota sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan oleh unit pengelola yang dibentuk oleh gubernur atau bupatiwalikota Memperhatikan hal tersebut, maka apabila status pengelolaan seluruh kawasan mangrove Muara Angke menjadi Taman Hutan Raya, maka peran Pemerintah Provinsi akan semakin kuat dalam melakukan koordinasi pengelolaan dan implementasinya, termasuk dalam pengalokasian anggaran.

7.3.3 Prioritas Kebijakan

Berdasarkan kajian kepustakaan dan kondisi riil objek penelitian, disusun kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke dalam rangka meningkatkan nilai keberadaan dan untuk peningkatan pendapatan masyarakat melalui kegiatan wisata alam dengan memperhatikan faktor eksternal dan internal yang mempengaruhinya yang merupakan faktor-faktor komponen SWOT. Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa komponen peluang O menempati urutan teratas dalam penentuan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove, kemudian diikuti oleh komponen kekuatan S, kelemahan W, dan ancaman T. Bobot dan prioritas masing-masing komponen dapat dilihat pada Tabel 64. Tabel 64 Matriks prioritas komponen SWOT kebijakan pengelolaam kawasan mangrove Muara Angke Faktor SWOT Bobot Prioritas Peluang Opportunities 0,565 P1 Kekuatan Strengths 0,262 P2 Kelemahan Weaknesess 0,118 P3 Ancaman Threats 0,055 P4 Tabel 64 menunjukkan bahwa faktor internal dalam penentuan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove untuk kegiatan wisata alam yang dominan adalah komponen kekuatan dan faktor eksternal yang dominan adalah komponen peluang. Besarnya faktor kekuatan dan peluang dibandingkan dengan kelemahan dan ancaman dalam penentuan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke merupakan indikator keberhasilan kebijakan pengelolaan yang berkelanjutan di masa mendatang. Selanjutnya, dari komponen strengths, faktor-faktor yang menentukan dalam penentuan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke untuk kegiatan wisata alam adalah sebagai berikut: 1 Nilai keberadaan kawasan mangrove Muara Angke, 2 Legalitas kawasan mangrove Muara Angke, 3 Nilai ekonomi sumberdaya mangrove, dan 4 Aksesibilitas kawasan mangrove. Bobot dan prioritas masing-masing faktor dapat dilihat pada Tabel 65. Tabel 65 Matriks prioritas faktor strentghs kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke Faktor Strentghs Bobot Prioritas Nilai keberadaan kawasan mangrove 0,565 P1 Legalitas kawasan mangrove 0,262 P2 Nilai ekonomi mangrove 0,118 P3 Aksesibilitas kawasan mangrove 0,055 P4 Berdasarkan peringkat faktor-faktor kekuatan tersebut, ternyata bahwa faktor nilai keberadaan kawasan mangrove merupakan faktor kekuatan yang utama dalam upaya peningkatan kegiatan wisata alam. Dengan demikian, faktor ini diharapkan dapat dimaksimalkan kinerjanya melalui berbagai strategi yang akan dilaksanakan di masa mendatang. Di samping itu nilai historik ekosistem mangrove di wilayah Propinsi DKI Jakarta juga merupakan faktor penguat terhadap nilai keberadaan, karena merupakan ekosistem alam yang masih tersisa di Jakarta dan berada pada pintu gerbang Negara Republik Indonesia. Dari komponen kelemahan, faktor-faktor yang menentukan dalam penentuan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove untuk kegiatan wisata alam adalah sebagai berikut: 1 Koordinasi kelembagaan pengelolaan, 2 Kesadaran masyarakat, 3 Kerusakan habitat, dan 4 Komitmen Pemerintah Daerah. Bobot dan prioritas masing-masing faktor dapat dilihat pada Tabel 66. Tabel 66 Matriks prioritas faktor weaknesses kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke Faktor Weaknesses Bobot Prioritas Koordinasi kelembagaan pengelolaan 0,565 P1 Kesadaran masyarakat sekitar kawasan mangrove 0,262 P2 Kerusakan habitat 0,118 P3 Komitmen pemerintah daerah 0,055 P4 Berdasarkan peringkat faktor-faktor kelemahan di atas, ternyata bahwa rendahnya koordinasi kelembagaan pengelolaan merupakan faktor kelemahan yang mendasar dalam upaya peningkatan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Untuk itu perumusan berbagai strategi yang akan dilaksanakan di masa mendatang perlu mempertimbangkan faktor ini agar strategi tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Dari komponen opportunities, faktor-faktor yang menentukan dalam penentuan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove untuk wisata alam adalah sebagai berikut: 1 Permintaan kegiatan wisata alam, 2 Potensi dana CSR, 3 Perhatian peneliti dari perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat. Bobot dan prioritas masing-masing faktor dapat dilihat pada Tabel 67. Tabel 67 Matriks prioritas faktor opportunities kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke Faktor Opportunities Bobot Prioritas Permintaan kegiatan wisata alam 0,637 P1 Potensi dana CSR untuk mendukung pengelolaan 0,258 P2 Perhatian peneliti Perguruan tinggi dan LSM 0,105 P3 Berdasarkan peringkat faktor-faktor peluang di atas, ternyata bahwa komitmen Pemda DKI Jakarta merupakan faktor peluang yang penting dalam upaya pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke yang berkelanjutan. Faktor tersebut didukung pula dengan tingginya permintaan kegiatan wisata alam, sehingga pencapaian keberlanjuutan pengelolaan sangat tergantung dari komitmen Pemda DKI Jakarta. Dengan demikian, kedua faktor tersebut diharapkan dapat diakomodasi ke dalam berbagai strategi kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Komponen SWOT yang paling rendah bobotnya adalah komponen threats ancaman. Dari komponen threats, faktor-faktor yang menentukan dalam penentuan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke adalah sebagai berikut: 1 Abrasi, banjir pasang rob, dan interusi air laut, 2 Tingginya tingkat pencemaran lingkungan, dan 3 Kebutuhan lahan. Bobot dan prioritas masing-masing faktor dapat dilihat pada Tabel 68. Tabel 68 Matriks prioritas faktor threats kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke Faktor Threats Bobot Prioritas Abrasi, banjir pasang rob, dan interusi air laut 0,637 P1 Tingginya pencemaran lingkungan 0,258 P2 Kebutuhan lahan 0,105 P3 Berdasarkan peringkat faktor-faktor ancaman tersebut, ternyata bahwa abrasi, banjir pasang, dan interusi air laut merupakan faktor ancaman yang serius dalam upaya peningkatan pengelolaan untuk kegiatan wisata alam. Bobot faktor ini yang sangat tinggi 0,637 menunjukkan bahwa faktor ini diharapkan dapat diminimalkan dengan rumusan berbagai strategi yang akan dilaksanakan di masa mendatang. Secara umum, dari semua faktor SWOT yang telah diidentifikasi, faktor yang paling tinggi prioritasnya dalam penentuan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke melalui kegiatan wisata alam berturut-turut adalah: 1 tingginya abrasi, banjir pasang rob, dan interusi air laut dengan bobot 0,637; 2 Permintaan kegiatan wisata alam dengan bobot 0,637; 3 Lemahnya koordinasi kelembagaan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke dengan bobot 0,565; 4 Nilai Keberadaan kawasan mangrove Muara Angke dengan bobot 0,565; 5 Kesadaran masyarakat, legalitas kawasan dengan bobot 0,262. Tingginya abrasi pantai, banjir pasang rob dan interusi air laut merupakan ancaman yang perlu diperhatikan dalam peningkatan kegiatan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Kelurahan Kamal Muara, Kapuk Muara, Penjaringan, dan Kelurahan Pluit merasakan dampak banjir pasang dan abrasi. Sedangkan bagi masyarakat Kelurahan Tegal Alur, dampak banjir pasang dan interusi air laut semakin sering dirasakan. Penanggulangan abrasi telah dilakukan dengan teknologi yang cukup baik oleh PT. Kapuk Naga Indah sebagai bagian dari komitmen untuk melakukan revitalisasi hutan lindung sebelum dilakukan reklamasi pantai. Teknik pembuatan breakwater model Rubber Mould cukup berhasil dalam mencegah terjadinya abrasi. Walaupun biaya pembangunan breakwater ini cukup mahal, namun efektif dalam mewujudkan revitalisasi hutan lindung. Di samping itu masih lemahnya koordinasi kelembagaan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke, merupakan faktor yang sangat penting dikelola agar keberlanjutan pengelolaan dapat terwujud. Pada saat ini kawasan mangrove Muara Angke seluas 478,0 ha dikelola oleh BKSDA hutan wisata dan suaka margasatwa, Dinas Pertanian dan Kelautan hutan lindung dan LDTI, BRKP- Kementrian Kelautan dan Perikanan lahan tambak penelitian, dan dikelola oleh masyarakat pemilik tambak. Masing-masing pihak menyusun perencanaan pengelolaan dan mengimplementasikan sendiri, sedangkan permasalahan pengelolaan kawasan tidak dapat dilaksanakan sendiri. Beberapa upaya telah ditempuh untuk menyatukan pengelolaan, namun sampai saat ini belum terwujud. Memperhatikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanakaragaman Hayati dan Ekosistemnya, disebutkan bahwa Taman Hutan Raya merupakan status pengelolaan yang sesuai untuk seluruh kawasan mangrove Muara Angke. Hal ini didasarkan atas kondisi saat ini, yaitu: 1 keberadaan Hutan Lindung, Hutan Konservasi Suaka Margasatwa, Hutan Wisata, LDTI, lahan tambak KKP, dan lahan tambak masyarakat, 2 tuntutan nilai manfaat sosial dan ekonomi sebagai lokasi obyek wisata alam, pendidikan dan penelitian, 3 tuntutan nilai manfaat ekologi sebagai pelestarian ekosistem mangrove dan jasa lingkungan, serta konservasi keanekaragaman hayati, dan 4 sebagai situs ekosistem asli Jakarta untuk warisan bagi generasi mendatang. Menurut Undang- Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya, menyebutkan bahwa Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan pariwisata dan rekreasi. Di dalam taman hutan raya dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam. Pengelolaan Taman Hutan Raya secara otomatis berada pada Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, sedangkan keberadaan hutan konservasi Suaka Margasatwa dan Hutan Wisata tidak berubah status dan pengelolaan tetap dibawah BKSDA dan secara operasional PT. Murindra Karya Lestari tetap dapat melakukan pengelolaan wisata alam. Namun perubahan status ini akan memudahkan dalam melakukan koordinasi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke dan pelaksanaan pengelolaan di lapangan. Demikian pula dalam menyusun perencanaan program, kegiatan, dan mobilisasi anggaran ABPN, APBD, dan hibah atau donor. Dari semua faktor SWOT yang telah diidentifikasi, faktor internal yang diprioritaskan dalam penentuan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke adalah penguatan koordinasi kelembagaan pengelolaan, nilai keberadaan kawasan mangrove, legalitas kawasan mangrove Muara Angke, peningkatan kesadaran masyarakat, nilai ekonomi sumberdaya mangrove, dan pengendalian kerusakan habitat. Sedangkan faktor eksternal yang diprioritaskan dalam penentuan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke untuk kegiatan wisata alam adalah pengendalian abrasi, banjir pasang rob dan interusi air lat, komitmen Pemda DKI Jakaarta, pengendalian pencemaran lingkungan, tingginya potensi permintaan kegiatan wisata alam, dan pengelolaan dana CSR. Berdasarkan berbagai faktor internal kekuatan dan kelemahan dan faktor eksternal peluang dan acaman dalam upaya peningkatan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke melalui kegiatan wisata alam, dirumuskan beberapa arahan kebijakan pengelolaan untuk mencapai tujuan tersebut. Kebijakan ini diharapkan dapat memanfaatkan secara maksimal kekuatan dan peluang yang ada serta meminimalkan kelemahan dan ancaman yang mungkin timbul. Hasil kajian kepustakaan dan diskusi dengan stakeholder, dirumuskan arahan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke untuk kegiatan wisata alam dengan memperhatikan faktor eksternal dan internal yang mempengaruhinya. Arahan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke berkelanjutan dalam penelitian ini merumuskan empat kebijakan pengelolaan, yaitu: 1 Penguatan kelembagaan pengelolaan kawasan mangrove, 2 Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove, 3 Konservasi mangrove, dan 4 Teknologi pengelolaan kawasan mangrove. Bobot dan prioritas kebijakan tersebut dapat dilihat pada Tabel 69. Tabel 69 Bobot dan prioritas kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke berkelanjutan KEBIJAKAN Bobot Prioritas Penguatan Kelembagaan Pengelolaan mangrove Muara Angke 0,335 P1 Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolan Mangrove 0,326 P2 Konservasi Mangrove untuk Mempertahankan dan Meningkatkan Nilai Keberadaan dan Nilai Ekonomi Mangrove 0,226 P3 Penggunaan Teknologi Pengelolaan Kawasan Mangrove 0,113 P4 Dari Tabel 69, ternyata bahwa kebijakan penguatan kelembagaan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke merupakan alternatif kebijakan utama yang harus dikedepankan. Alternatif kebijakan kedua adalah peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove. Kebijakan konservasi mangrove dapat dijadikan alternatif kegiatan bagi peningkatan nilai keberadaan dan nilai ekonomi kawasan mangrove Muara Angke untuk mendukung potensi kegiatan wisata alam dan jasa laingkungan lainya. Penggunaan teknologi pengelolaan untuk mengendalikan pencemaran lingkungan, abrasi, banjir pasang rob, dan interusi air laut merupakan kebijakan pendukung tewujudnya pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke berkelanjutan.

7.3.4 Strategi Pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke