Dimensi Teknologi Faktor Pengungkit Keberlanjutan Pengelolaan Mangrove Muara

6.3.5 Dimensi Teknologi

Indek keberlanjutan yang tergolong belum berkelanjutan, karena 75,0. Dengan demikian pengelolaan dimensi teknologi kawasan mangrove Muara Angke harus dilakukan dengan memperhatikan atribut yang merupakan faktor pengungkit guna efisiensi dan efektivitas kegiatan pengelolaan. Pada penelitian ini terdapat sembilan atribut dimensi teknologi yang menentukan keberlanjutan pengelolaan dan terdapat tiga atribut yang merupakan faktor pengungkit berdasarkan nilai RMS 3,0, yaitu teknologi rehabilitasi mangrove, penanggulangan pencemaran, dan teknologi pencegahan dan penanggulangan abrasi, banjir rob. Secara visual disajikan pada Gambar 32. 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 Teknologi budidaya perikanan Teknologi Penanggulangan … Teknologi pengelolaan limbah Teknologi Pengelolaan SDAir Teknologi rehabilitasi … Teknologi pemantauan … Teknologi Penanggulangan … Teknologi Pencegahan banjir Teknologi Pencegahan … Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed on Sustainability scale 0 to 100 A tt ri but e Leverage of Attributes: Teknologi Gambar 32 Atribut teknologi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Teknik rehabilitasi mangrove saat ini telah banyak dilakukan di kawasan mangrove Muara Angke. Tujuan rehabilitasi di DKI Jakarta untuk meningkatkan fungsi lindung dan konservasi. Pada beberapa lokasi fungsi konservasi dan lindung yang seharusnya lebih banyak menonjol, tetapi pada kenyataannya di lapangan kawasan banyak berubah menjadi pertambakan liar. Dalam pelaksanaan rehabilitasi, tata hubungan kerja antara berbagai stakeholder menjadi penting. Tata hubungan kerja ini termasuk hubungan vertikal maupun horizontal. Dengan koordinasi yang baik diharapkan terjadinya keterpaduan program dan tidak terjadi tumpang tindih kegiatan. Secara umum ada 2 dua jenis bahan tanaman di dalam kegiatan penanaman mangrove, yakni: 1 propagule dan 2 berupa bibit yang berasal dari persemaian ataupun dari alam. Pada kondisi habitat yang berbeda, memerlukan pendekatan teknologi rehabilitasi yang berbeda pada setiap lokasi. Beberapa kegiatan rehabilitasi yang dilakukan di kawasan mangrove Muara Angke adalah: 1 Penanaman dengan sea defence di kawasan Hutan Lindung revitalisasi hutan lindung, 2 Penanaman mangrove dengan sistem guludan penanaman dengan teknis guludan dilakukan pada lokasi bekas tambak yang mempunyai kedalaman 1,5 m sampai 3 meter sehingga tidak memungkinkan ditanam dengan sistem langsung, 3 Penanaman dengan menggunakan bibit pohon, dan 4 Penanaman dengan menggunakan buah matang propagule. Penanaman dengan jenis pidada Sonneratia caseolaris dilakukan pada kawasan SMMA, LDTI kanan kiri jalan Tol Prof. Soedyatmo, dengan mengunakan bibit yang berasal dari Sagara Anakan Cilacap, Indramayu, dan Muara Gembong Bekasi. Ukuran bibit memiliki ketinggian 80 cm, agar tidak tenggelam lumpur apabila ditanam. Di samping itu pada lahan dengan lumpur dalam, dilakukan penanaman dengan sistem menggantung posisi bibit tanaman terikat pada ajir yang ditancapkan. Pertumbuhan tinggi tanaman pidada 18,5 cmbulan - 42 cmbulan. Pertumbuhan diameter batang 1,75 cmbulan - 3,45 cmbulan. Pertumbuhan akar tanaman pidada lebih baik 10-20 cm per 16 bulan pada lingkungan berlumpur dalam 1 m dibandingkan dengan pada lingkungan tanah keras. Persen tumbuh tanaman jarak tanam 1 x 1 meter 70 umur 6 bulan, 60 umur 1 tahun, dan 18 setelah umur 6 tahun. Jumlah biji buah pidada 723 bijibuah - 1768 bijibuah. Hama yang sering menyerang adalah penggerek batang dan hama ulat daun, sedangkan penyakit keriting daun sering terjadi pada kondisi kualitas air yang jelek. Penanaman dengan jenis bakau Rhizophora apiculata, R. stylosa, dan R. mucronata dilakukan di kawasan hutan lindung. Bibit berasal dari Kepulauan Seribu, Tangerang, dan Indramayu. Kondisi pertumbuhan lebih lambat dibandingkan dengan jenis pidada. Di samping itu juga dilakukan penanaman dengan jenis tancang Bruguiera gymnorrhiza di kawasan SMMA dan Hutan Wisata Kamal, namun pertumbuhannya lambat. Jenis api-api Avicennia marina ditanam di lahan LDTI dan pada tanggul yang dibuat PT. Mandara Permai atau PT. Kapuk Naga Indah. Teknik rehabilitasi mangrove sudah cukup memadai dalam upaya meningkatkan kualitas mangrove Muara Angke. Namun demikian kegiatan rehabilitasi bukan hanya teknik menanam, tetapi yang lebih penting adalah memelihara tanaman sampai mampu tumbuh dewasa. Hasil pengamatan lapang menunjukkan bahwa penanaman dengan jenis bakau Rhizophora di hutan lindung lahan revitalisasi hutan lindung kalah bersaing dengan jenis api-api Avicennia marina yang tumbuh secara alami dari biji yang dihasilkan pohon api- api dewasa di sekitarnya. Di samping itu kegiatan pemeliharaan yang tidak dilakukan, telah menyebabkan kematian terhadap bibit pohon yang ditanam, seperti pernah terjadi di SMMA terhadap jenis tancang dan pidada yang kalah bersaing dengan tanaman gulma. Teknik penanggulangan pencemaran limbah cair masih sangat kurang dilakukan di dalam kawasan Muara Angke dan di wilayah bagian hulu Sungai Angke, Sungai Cengkareng Drain, Sungai Tanjungan, dan Sungai Kamal. Keluhan dari masyarakat nelayan dan petani kerang hijau Kelurahan kamal Muara adalah terjadinya pencemaran pada saat awal musim hujan tiba, karena limbah yang dibuang dari wilayah hulu Sungai Kamal. Banyak kerang hijau yang mati dan sulit juga untuk menangkap ikan. Hal ini sudah sejak lama terjadi, namun tindakan hukum terhadap sumber pencemar masih belum dilaksanakan. Demikian pula teknik penanggulangan pencemaran limbah padat sampah rumah tangga masih kurang, sehingga sampah rumah tangga terbawa aliran Sungai Angke, Sungai Cengkareng, dan Sungai Kamal telah mengganggu pertumbuhan tanaman mangrove. Teknik pengelolaan sampah pada lokasi sumber penghasil sampah rumah tangga perlu diberdayakan, agar tidak dibuang ke badan air sungai dan tidak mencemari lingkungan mangrove. Apabila teknik pengendalian pencemaran limbah padat dan limbah cair dapat diterapkan di dalam kawasan mangrove Muara Angke dan wilayah hulu, maka kondisi lingkungan mangrove dapat terbebas dari bau busuk, tumpukan plastik dan kualitas air yang layak bagi hidupnya biota air dapat terwujud, dan pada akhirnya akan meningkatkan keanekaragaman hayati mangrove. Ancaman abrasi, banjir pasang rob, dan interusi air laut semakin mengancam, akibat dampak pemanasan global. Masyarakat nelayan di Kelurahan Kamal Muara, Kapuk Muara, Penjaringan, Tegal Alur, dan Kelurahan Pluit juga semakin merasakan dampak pemansaan global ini dalam bentuk banjir pasang rob dan interusi air laut. Sedangkan abrasi pantai sangat dirasakan oleh nelayan Kelurahan Kamal Muara. Berdasarkan hasil analisis MDS dan pembahasannya diperoleh 16 faktor pengungkit kegiatan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke secara berkelanjutan, seperti tersaji pada Tabel 61. Dalam proses pengelolaan, semua faktor tersebut harus diperhatikan agar tercapai efisiensi dan efektivitas kegiatan. Secara operasional, faktor-faktor ini memiliki keterkaitan dalam bentuk pengaruh dan ketergantungan antar faktor. Namun demikian dalam proses implementasinya diperlukan pemilihan faktor yang berpengaruh dan memiliki keterkaitan dengan faktor lainnya yang paling tinggi, sehingga kegiatan pengelolaan kawasan mangrove dapat mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan oleh kawasan mangrove Muara Angke. Tabel 61 Faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan untuk setiap dimensi No Dimensi Faktor Pengungkit 1 Ekologi 1. Abrasi pantai 2. Pencemaran air 3. Fungsi konservasi menurun 4. Sedimentasi 2 Ekonomi 1. Anggaran pemerintah untuk pengelolaan mangrove 2. Dukungan dana CSR 3. Aksesibilitas kawasan mangrove 3 Sosial 1. Partisipasi pengelolaan masyarakat 2. Kesadaran masyarakat 3. Perhatian peneliti Tabel 61 Faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan untuk setiap dimensi lanjutan No Dimensi Faktor Pengungkit 4 Kelembagaan 1. Komitmen pemerintah daerah 2. Keterpaduan program 3. Legalitas kawasan mangrove 5 Teknologi 1. Teknologi rehabilitasi mangrove 2. Teknologi penanggulangan pencemaran 3. Teknologi pencegahan dan penanggulangan abrasi, banjirrob Faktor-faktor tersebut digunakan sebagai basis dalam perumusan kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke secara berkelanjutan. Penentuan faktor kunci dilakukan dengan melibatkan semua stakeholder yang terkait dengan kegiatan pembangunan kawasan mangrove Muara Angke.

6.4 Kesimpulan