Status Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Muara Angke

output pelaksanaan kebijakan Fauzi dan Anna 2005. Sehingga untuk mengevaluasi outcome dari kinerja kebijakan memerlukan waktu sedikitnya 5 tahun khususnya yang terkait dengan aspek lingkungan hidup dan sosial. Nilai indeks keberlanjutan pada penelitian ni diperoleh dari penilaian terhadap semua atribut yang tercakup dalam lima dimensi ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, dan teknologi.

6.2 Status Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Muara Angke

Berdasarkan hasil diskusi dengan stakeholders dan pakar disepakati 51 atribut yang tersebar dalam lima dimensi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Penilaian status keberlanjutan didasarkan pada ke-51 atribut tersebut melalui data dan pendapat stakeholder. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke belum berkelanjutan. Dari lima dimensi yang dianalisis untuk menentukan status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke Jakarta, menunjukkan bahwa semua dimensi atau lima dimensi tergolong tidak berkelanjutan skor 75 yakni dimensi ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, dan dimensi teknologi. Dimensi ekologi dengan 11 atribut memiliki skor 45,5 tergolong tidak berkelanjutan. Teridentifikasi adanya beberapa kondisi sebagai berikut: 1. Tingkat pencemaran air yang semakin meningkat atau menurunya kualitas air pada kawasan mangrove dan perairan sekitarnya. Kandungan logam berat Hg, Pb, dan Cr pada badan air Sungai Angke, Cengkareng Drain, Sungai Tanjungan, dan Sungai Kamal telah melebihi baku mutu kualitas air. Kondisi logam berat yang melebihi baku mutu kualitas air bukan merupakan faktor yang mematikan bagi pertumbuhan komunitas vegetasi mangrove, namun dalam jangka panjang akan membahayakan bagi kehidupan biota air dan manusia yang mengkonsumsinya 2. Pencemaran limbah padat sampah rumah tangga dan industri yang dibuang melalui Sungai Angke, Cengkareng Drain, dan Sungai Kamal telah menimbulkan sedimentasi tumpukan sampah yang dapat mengganggu pertumbuhan komunitas mangrove melalui penutupan akar nafas oleh sampah plastik dan sampah rumah tangga lainnya. Di samping itu penumpukan sampah di sepanjang pantai, lantai hutan dan pinggir sungai dapat menghambat terjadinya regenerasi komunitas mangrove 3. Pemanfaatan sumberdaya mangrove yang tidak bertanggung jawab sampai sekarang masih terjadi, yakni: penebangan kayu, pembuangan cangkang kerang hijau pada kawasan mangrove, pemanfaatan sebagian lahan untuk parkir perahu, perbaikan kapal juga menjadi indikasi bahwa tekanan terhadap keberadaan ekosistem mangrove semakin meningkat 4. Rencana reklamasi Teluk Jakarta untuk kawasan perkantoran atau bisnis juga dinilai merupakan ancaman bagi keberlanjutan kawasan mangrove Muara Angke. Demikian rencana pembangunan Jalan Rel Kereta Api dari stasiun Manggarai-Bandara Soekarno Hatta dapat memberikan pengaruh ekologi terhadap kondisi ekosistem mangrove 5. Dampak pemanasan global Global Warming telah dirasakan dengan semakin meningkatnya intensitas kejadian banjir air pasang rob dan semakin tingginya genangan pada beberapa lokasi, serta interusi air laut yang semakin menuju daerah hulu. Dimensi ekonomi dengan 12 atribut memiliki skor 58,0 tergolong tidak berkelanjutan. Hal ini diindikasikan masih kurangnya anggaran pemerintah, belum dimanfaatkan potensi dana CSR secara optimal, serta aksesibilitas menuju kawasan mangrove masih baik. Dibangunnya kawasan Pantai Indah Kapuk beserta fasilitas pendukungnya lapangan golf, Fresh Market, restoran, rumah sakit, dan perkantoran telah mendorong masyarakat sekitar dan pendatang untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja dan memanfaatkan peluang berusaha yang tersedia. Namun demikian keberadaan kawasan mangrove belum dijadikan aset yang dapat memberikan nilai tambah dalam pembangunan perumahan Pantai Indah Kapuk dan lebih diposisikan sebagai faktor penghambat atau kelemahan gangguan satwaliar, adanya binatang buas, dan tempat yang kotor dan bau. Dimensi sosial dengan 10 atribut memiliki skor 55,1 tergolong tidak berkelanjutan. Hal ini dikarenakan masih rendahnya partisipasi pengelolaan masyarakat, kesadaran masyarakat masih kurang dan potensi perhatian peneliti belum dimanfaatkan. Walaupun jumlah petani kerang hijau sangat banyak, namun kesadaran memahami manfaat dan fungsi mangrove dalam mendukung budidaya kerang hijau masih kurang. Demikian pula tingkat pendidikan masyarakat setempat mayoritas SLTP dan SLTA, frekuensi pertemuan masyarakat dalam rangka meningkatkan partisipasi dalam pengelolaan kawasan mangrove masih rendah, dan dukungan serta kesadaran masyarakat meningkatkan pengelolaan kawasan mangrove masih kurang. Masyarakat sekitar Kelurahan Kamal Muara dan Kelurahan Kapuk Muara pada umumnya berpatisipasi dalam kegiatan penanaman dan pertemuan kalau terdapat dana transportasi atau upah. Budaya kota metropolitan telah mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat untuk selalu mengukur segala aktivitas dengan materi atau harus ada imbalan. Hal ini menjadi faktor penghambat dalam meningkatkan kapasitas pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke secara berkelanjutan. Dimensi kelembagaan dengan 9 atribut memiliki skor 41,8 tergolong tidak berkelanjutan dan merupakan dimensi dengan skor paling rendah. Hal ini dikarenakan kondisi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke masih sendiri- sendiri atau belum sinergis di antara para pihak yang terkait dengan pengelolaan kawaan mangrove. Pada kawasan mangrove 478 ha terdapat 7 tujuh pihak yang terkait langsung dalam pengelolaan, yaitu: 1 Dinas Kelautan dan Pertanian, 2 Balai Konservasi Sumberdaya Alam, 3 PT. Murindra Karya Lestari, 4 Litbang Kementrian Kelautan dan Perikanan, 5 Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah, 6 PT. Kapuk Naga Indah dan Group, dan 7 masyarakat pemilik lahan tambak. Masing-masing pihak memiliki rencana pengelolaan sendiri Rencana Pengelolaan Hutan Lindung, LDTI, Suaka Margasatwa, dan Hutan Wisata serta lahan Tambak Penelitian Kementrian Kelautan dan Perikanan. Posisi PT. Kapuk Naga Indah dan Group cukup penting dalam mewujudkan pengelolaan mangrove berkelanjutan karena memiliki tanggung jawab dalam revitalisasi Hutan Lindung dan dapat berperan dalam menunjang aksesibilitas kawasan, pengawasan, dan monitoring kawasan mangrove Muara Angke. Sedangkan otoritas pengelolaan lahan tambak milik masyarakat berada pada pemiliknya masing-masing dan tidak ada kaitan dengan pengelolaan kawasana mangrove di sekitarnya. Beberapa upaya untuk menyatukan rencana pengelolaan dan kelembagaan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke belum menunjukkan hasil, sehingga hal ini yang menyebabkan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke belum optimal. Beberapa faktor penyebab belum terwujudnya kesatuan pengelolaan tersebut adalah ego sektor masing-masing pihak, ketakutan kehilangan peran bagi instansi pemerintah, meningkatnya beban biaya pengelolaan bagi swasta, dan ketidakmandirian dalam mengelola lahan miliknya, serta menurunya hasil yang diperoleh. Dengan kata lain belum adanya kelembagaan pengelolaan yang menyatukan kawasan mangrove Muara Angke 478 ha atau koordinasi pengelolaan yang masih lemah, sinergi program di antara pemangku kepentingan yang masih minim, serta belum menyatunya visi dan strategi pengelolaan mangrove di antara para pihak, telah mendorong tidak berkelanjutannya dimensi kelembagaan dalam pengelolaan mangrove Muara Angke. Dimensi teknologi dengan sembilan atribut memiliki skore 56,6 tergolong tidak berkelanjutan. Teridentifikasi belum memadainya penggunaan teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya mangrove, belum memadainya teknologi penanggulangan abrasi, dan sedimentasi pengurangan sampah dan pencemaran air. Walaupun teknologi rehabilitasi mangrove telah tersedia teknik penanaman dengan sistem guludan pada genangan dalam, penanaman dengan sistem menggantung pada lumpur yang dalam, dan penanaman dengan bibit dan buah, namun teknologi ini belum mampu mengurangi ancaman yang dapat menekan faktor-faktor dan intensitas ancaman terhadap ekosistem mangrove Muara Angke. Demikian pula teknologi penanggulangan abrasi pantai sudah tersedia, namun belum dilaksanakan secara optimal. Hal ini dikarenakan belum adanya keterpaduan program di antara pemerintah, pemerintah daerah, dan pemangku pengelolaan kawaan mangrove Muara Angke. Dalam hal status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke disajikan pada Gambar 26. Gambar 26 Status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke Jakarta. Berdasarkan analisis dari lima dimensi yang menentukan status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke, teridentifikasi bahwa ketidakberlanjutan pengelolaan lebih banyak dipengaruhi oleh lemahnya koordinasi kelembagaan pengelolaan di antara sektor lembaga yang diserahi tanggung jawab pengelolaan, yaitu: Dinas Pertanian dan Kelautan Propinsi DKI Jakarta, BKSDA DKI Jakarta, BPLHD Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta, dan Litbang Kementrian Kelautan dan Perikanan. Di samping itu juga disebabkan oleh tingginya tekanan lingkungan yang berupa: abrasi dan sedimentasi, pencemaran limbah cair dan limbah padat sampah, banjir pasang rob, dan interusi air laut. Hal ini didukung oleh skor dimensi kelembagaan 41,8 dan dimensi ekologi 45,5 yang paling rendah di antara dimensi sosial, ekonomi, dan teknologi. Konversi kawasan hutan mangrove Muara Angke 831,63 ha didasarkan atas Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 097Kpts-II88 tanggal 9 Februari 1988 tentang Pelepasan Kawasan hutan Angke Kapuk seluas 831,63 ha di DKI Jakarta. Berdasarkan hasil tata batas di lapangan dan Berita Acara Tata Batas yang

58.0 55.1

41.8 45.5