menyebabkan keadaan kapal tidak akan rusak oleh angin dan air pasang. Selain itu juga letaknya yang berdekatan dengan pusat perdagangan ikan terbesar se-
Jawa Barat yaitu TPI Muara Angke, sehingga memudahkan para nelayan untuk memasarkan ikan hasil tangkapan.
Interaksi kedua adalah dari masyarakat petambak yang mengubah hutan bakau menjadi areal tambak, dan kebanyakan mereka membuka lahan ini tanpa
ijin dari pemerintah setempat. Tapi rata-rata para pengusaha tambak ini kurang menyadari bahwa dengan semakin sedikitnya lokasi hutan bakau, maka hasil
tambak mereka akan semakin menurun. Tapi alternatif yang ditawarkan dari rencana pengelolaan SMMA untuk dijadikan tempat wisata alam cukup menarik
minat masyarakat petambak dan mereka banyak yang mengatakan setuju. Anggota masyarakat yang bukan masyarakat nelayan dan petambak
mereka cenderung memiliki tingkat pendidikan cukup tinggi yakni: SMU, dan pandangan yang dikemukakan mengenai SMMA cukup baik. Selain itu mereka
sangat setuju jika hutan Muara Angke ini diperbaiki sehingga kondisinya baik kembali seperti semula, mereka juga ingin ada suatu penyuluhan mengenai
kawasan hutan, karena pengetahuan mereka mengenai SMMA sangat minim, mereka hanya tahu kalau SMMA ini merupakan suatu kawasan yang tidak boleh
diganggu gugat, tapi apa maksud dan tujuan dari tidak boleh diganggu gugatnya kawasan tersebut disebabkan oleh apa dasarnya, mereka tidak tahu. Oleh karena
itu mereka setuju saja jika ada penyuluhan mengenai SMMA ini, dengan mengetahui maksud dan tujuannya maka masyarakat akan lebih mengerti
mengenai kawasan SMMA. Kebanyakan masyarakat sangat menyetujui apabila kawasan SMMA ini
dimanfaatkan untuk kawasan rekreasi, karena mereka merasa dapat terlibat langsung, dari responden yang di tanya sekitar 44 menyatakan ingin terlibat
langsung sebagai penjual makanan, sedangkan 22 ingin terlibat sebagai penjaga hutan dan petugas kebersihan.
4.4.4 Persepsi Responden Terhadap Perlunya Perbaikan Lingkungan Hutan Mangrove Muara Angke
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat Kelurahan Penjaringan, Tegar Alur, Kamal Muara, Pluit, dan Kapuk yang merupakan kelurahan-kelurahan
yang ada di sekitar hutan mangrove Muara Angke, diketahui bahwa mayoritas masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut pernah mengalami kerugian akibat
gangguan lingkungan. Persentase terbesar masyarakat yang pernah mengalami gangguan lingkungan adalah masyarakat yang tinggal di Kelurahan Tegal Alur,
Pluit, dan Kapuk Muara dengan persentase di atas 90 . Data selengkapnya bisa dilihat pada Tabel 39.
Tabel 39 Persentase masyarakat yang pernah mengalami gangguan lingkungan di kawasan Muara Angke, Jakarta
No Kelurahan
Kerugian Akibat Gangguan Lingkungan Ya
Tidak
1 Penjaringan
69 31
2 Tegal Alur
94 6
3 Kamal Muara
80 20
4 Pluit
91 9
5 Kapuk Muara
90 10
Rata-rata 86
14
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa gangguan lingkungan yang paling banyak atau sering dialami oleh masyarakat di lokasi penelitian adalah
banjir atau rob, sedangkan jenis gangguan lingkungan yang paling sedikit dirasakan oleh masyarakat adalah abrasi. Tingginya gangguan banjir atau rob
yang dirasakan oleh masyarakat menunjukan bahwa gangguan banjir memiliki cakupan wilayah yang lebih luas, sedangkan abrasi hanya dirasakan oleh
masyarakat yang tinggal dekat atau di sekitar pantai. Data selengkapnya bisa dilihat pada Tabel 40.
Tabel 40 Jenis gangguan yang dirasakan oleh masyarakat sekitar Muara Angke, Jakarta
No Kelurahan
Jenis Gangguan Lingkungan yang Dialami Abrasi
Banjirrob Intrusi Air Laut
1 Penjaringan
36 100
100 2
Tegal Alur -
90 69
3 Kamal Muara
60 100
100 4
Pluit 25
100 82
5 Kapuk Muara
27 100
93
Berdasarkan hasil wawancara juga diketahui bahwa dalam 10 tahun terakhir terdapat 40 responden yang mengalami kerugian akibat abrasi, dengan
frekuensi antara 1-3 kali dan lebih dari 6 kali. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 41.
Tabel 41 Frekuensi abrasi yang dialami responden selama 10 tahun terakhir
No Kelurahan
Frekuensi Terkena Abrasi dalam 10 tahun terakhir 0 kali
1-3 kali 4-6 kali
6 kali
1 Penjaringan
64 18
9 9
2 Tegal Alur
100 3
Kamal Muara 40
5 20
35 4
Pluit 32
41 12
15 5
Kapuk Muara 83
7 10
Rata-rata 60
17 8
14
Secara umum responden di lima kelurahan berpendapat bahwa dalam 10 tahun terakhir kerusakan akibat abrasi cenderung tetap 54 , sedangkan 39
responden berpendapat bahwa kerusakan akibat abrasi memburuk dan semakin buruk. Responden yang berpendapat bahwa dalam 10 tahun terakhir kerusakan
akibat abrasi cenderung membaik atau berkurang hanya 7 . Hal ini mengindikasikan belum terdapat program yang efektif untuk mengurangi atau
mencegah bahaya abrasi .
Tabel 42 Frekuensi kerusakan yang dialami responden selama 10 tahun terakhir
No Kelurahan
Kerusakan Akibat Abrasi 10 Tahun Terakhir Semakin Buruk
Memburuk Sama Saja
Membaik Semakin Baik
1 Penjaringan
27 55
18 2
Tegal Alur 6
19 69
6 3
Kamal Muara 5
40 55
4 Pluit
18 29
41 12
5 Kapuk Muara
30 10
60
Total 15
24 54
7
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa 89 responden dalam 10 tahun terakhir pernah mengalami gangguan lingkungan berupa intrusi air laut,
dengan persentase terbesar lebih dari enam kali. Hal ini menunjukan bahwa intrusi air laut merupakan gangguan lingkungan yang lebih banyak dirasakan
dibandingkan dengan abrasi. Selain itu, intrusi air laut juga memiliki cakupan wilayah yang lebih luas jika dibandingkan dengan abrasi. Data selengkapnya
disajikan pada Tabel 43.
Tabel 43 Frekuensi intrusi air laut yang dialami responden dalam 10 tahun terakhir
No Kelurahan
Frekuensi Terkena Intrusi Air Laut dalam 10 Tahun Terakhir 0 kali
1-3 kali 4-6 kali
6 kali
1 Penjaringan
20 20
60 2
Tegal Alur 31
6 6
56 3
Kamal Muara 100
4 Pluit
18 24
26 32
5 Kapuk Muara
7 13
7 73
Total 11
13 12
63
Berdasarkan hasil wawancara juga diketahui bahwa mayoritas responden berpendapat bahwa kerugian akibat intrusi air laut dalam 10 tahun terakhir
cenderung memburuk atau semakin buruk. Sedangkan responden yang berpendapat bahwa kerugian akibat intrusi air dalam 10 tahun terakhir cenderung
tetap sebanyak 23 dan yang berpendapat membaik hanya 9 . Data tersebut juga mengindikasikan gangguan lingkungan berupa intrusi air laut belum
ditangani dengan baik, sehingga masih terus berlangsung dengan dampak negatif yang terus bertambah. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 44.
Tabel 44 Kerugian akibat intrusi air laut dalam 10 tahun terakhir
No Kelurahan
Kerugian Akibat Intrusi Air Laut 10 Terakhir Semakin Buruk
Memburuk Sama Saja
Membaik Semakin Baik
1 Penjaringan
30 30
30 10
2 Tegal Alur
13 44
19 25
3 Kamal Muara
40 56
4 4
Pluit 15
29 47
9 5
Kapuk Muara 63
17 10
10
Total 34
34 23
9
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa dalam 10 tahun terakhir 98 responden pernah mengalami banjir atau rob, dengan frekuensi paling
banyak lebih dari 6 kali 58 . Dengan demikian banjir di wilayah penelitian cukup sering terjadi, dan wilayah yang paling sering terkena banjir adalah
Kelurahan Kamal Muara, dimana 100 responden yang berasal dari kelurahan tersebut terkena banjir lebih dari 6 kali dalam 10 tahun terakhir. Data
selengkapnya disajikan pada Tabel 45.
Tabel 45 Frekuensi banjir rob dalam 10 tahun terakhir
No Kelurahan
Frekuensi Terkena Banjir dalam 10 Tahun Terakhir 0 kali
1-3 kali 4-6 kali
6 kali
1 Penjaringan
6 12
24 59
2 Tegal Alur
6 63
6 25
3 Kamal Muara
100 4
Pluit 35
18 47
5 Kapuk Muara
53 4
43
Total 2
31 9
58
Mayoritas responden 55 berpendapat bahwa kerugian akibat banjir akan semakin buruk atau memburuk, 22 sama saja dan 21 akan membaik
kerugian akan berkurang. Responden terbanyak yang berpendapat bahwa kerugian akibat banjir sama saja berasal dari Kelurahan Pluit dan Tegar Alur,
sedangkan responden yang berpendapat bahwa kerugian akibat banjir akan berkurang membaik mayoritas berasal dari Kelurahan Tegal Alur dan Kapuk
Muara. Data selengkapnya bisa dilihat pada Tabel 46.
Tabel 46 Kerugian akibat banjir dalam 10 tahun terakhir
No Kelurahan
Kerugian Akibat Banir dalam 10 Tahun Terakhir Semakin Buruk
Memburuk Sama Saja
Membaik Semakin Baik
1 Penjaringan
24 52
24 2
Tegal Alur 6
6 31
44 13
3 Kamal Muara
39 48
10 3
4 Pluit
26 21
38 12
3 5
Kapuk Muara 23
17 10
50
Total 26
29 22
21 2
4.5 Kegiatan Pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke yang Telah