6.3.2 Dimensi Ekonomi
Dimensi ekonomi memiliki indeks keberlanjutan yang tergolong belum berkelanjutan, karena 75,0. Dengan demikian pengelolaan dimensi ekonomi
kawasan mangrove Muara Angke harus dilakukan dengan memperhatikan atribut yang merupakan faktor pengungkit guna efisiensi dan efektivitas kegiatan
pengelolaan. Pada penelitian ini terdapat 12 atribut dimensi ekonomi yang menentukan keberlanjutan pengelolaan dan terdapat 3 atribut yang merupakan
faktor pengungkit berdasarkan nilai RMS 3,0, yaitu anggaran pemerintah untuk pengelolaan mangrove, dukungan dana CSR dan aksesibilitas kawasan.
Secara visual disajikan pada Gambar 29. Kebutuhan anggaran pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke
bersumber dari APBN Pemerintah Pusat dan Kementrian Kehutanan dan APBD Pemda Propinsi DKI Jakarta. Kondisi saat ini belum tercapai kecukupan
anggaran untuk kegiatan pengelolaan berkelanjutan. Hal ini dikarenakan kondisi sarana prasarana pengelolaan, sumberdaya manusia, pelayanan pengelolaan,
pemeliharaan kawasan, dan koordinasi pengelolaan masih belum optimal dan masih perlu banyak anggaran untuk memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat
Jakarta tentang fasilitas pendukung pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Ketimpangan antara kondisi pengelolaan saat ini dengan tuntutan
konsume n masyarakat DKI Jakarta tentang performa “Kawasan Ekowisata
Mangrove Muara Angke” atau Kawasan Hijau Lindung Mangrove Muara Angke untuk kegiatan wisata alam masih tinggi. Oleh karena itu anggaran APBN dan
ABPD yang ada saat ini perlu ditingkatkan lagi, termasuk peranserta pihak swasta dalam mendukung pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke secara
berkelanjutan. Dukungan dana CSR Corporate Social Responsibility di wilayah
Propinsi DKI jakarta cukup tinggi. Sejak tahun 1999, kegiatan rehabilitasi mangrove banyak bersumber dari dana CSR Standard Chartered Bank, City
Bank, Bank Mandiri, Pertamina, PT. Aneka Tambang, PT. PLN, PT. Kapuk Naga Indah, dan sebagainya. Sampai saat ini dukungan masih terus mengalir, namun
karena tidak adanya perencanaan terpadu terhadap pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke, maka potensi dana CSR tersebut belum terserap semua.
Aksesibilitas kawasan mangrove Muara Angke masih perlu ditingkatkan, terutama terhadap kinerja pengelola kawasan pemukinan Pantai Indah Kapuk
PIK. Posisi kawasan mangrove Muara Angke berada di pinggiran kawasan pemukinan PIK, dan untuk menuju ke lokasi harus melalui jalan perumahan PIK.
Oleh karena itu kerjasama pengelolaan dalam upaya meningkatkan aksesibilitas kawasan mangrove perlu dilakukan melalui sarana koordinasi kelembagaan
pengelolaan terpadu. Hasil penelitian terhadap nilai manfaat langsung sumberdaya mangrove
Muara Angke hanya 19,1 atau Rp. 19.103.256.000,-tahun yang termasuk rendah dibandingkan dengan nilai manfaat tidak langsung sebesar 80,03 atau
Rp. 80.033.690.876,-tahun. Nilai manfaat langsung sumberdaya mangrove di Batu Ampar, Kalimantan Barat sebesar 47,13 atau Rp. 45.065.299.450,-tahun
dan nilai manfaat tidak langsung sebesar 39,40 atau Rp. 37.670.116.800,- tahun. Hal ini menunjukkan bahwa nilai manfaat langsung kawasan mangrove
Muara Angke perlu ditingkatkan, agar masyarakat sekitarnya merasakan dan mendukung upaya pengelolaannya. Status kawasan mangrove sebagai Hutan
Lindung, Hutan Konservasi Suaka Margasatwa Muara Angke dan Hutan Wisata tidak ada larangan untuk dikembangkan nilai manfaatnya terutama untuk kegiatan
wisata alam. Bahkan kerjasama dengan pihak ketiga swasta dalam pemanfaatan kawasan mangrove hutan lindung dan hutan konservasi telah diberikan payung
hukum dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah No. 06 Tahun 2007 tentang Penyusunan Rencana
Pengelolaan, Pemanfaatan Hutan, dan Kawasan Hutan. Pada saat ini kegiatan pemanfaatan Hutan Wisata yang dilakukan Pihak
PT. Murindra Karya Lestari untuk kegiatan pariwisata alam ekowisata belum optimal, dikarenakan belum seluruhnya fasilitas pendukung dan sarana prasarana
disiapkan. Sedangkan pada kawasan hutan lindung dan hutan Suaka Margasatwa Muara Angke masih belum dilakukan secara profesional sarana prasarana,
fasilitas pendukung, sumberdaya manusia, kelembagaan, administrasi pelayaanan, dsb, dan hal ini yang menyebabkan rendahnya jumlah sektor informal dan
keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan mangrove masih rendah.
Gambar 29 Atribut ekonomi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke.
6.3.3 Dimensi Sosial