Dimensi Ekologi Faktor Pengungkit Keberlanjutan Pengelolaan Mangrove Muara

Tabel 59 Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai indeks keberlanjutan dan masing- masing dimensi pengelolan kawasan mangrove Muara Angke Status Indeks Hasil MDS Hasil Monte Carlo Perbedaan Dimensi Ekologi 45,46 45,37 0,09 Dimensi Ekonomi 57,97 57,79 0,18 Dimensi Sosial 55,07 55,23 -0,16 Dimensi Kelembagaan 41,79 41,67 0,12 Dimensi Teknologi 56,62 56,52 0,10 Perbedaan hasil analisis yang relatif kecil sebagaimana disajikan pada Tabel 59 menunjukkan bahwa analisis menggunakan metode MDS untuk menentukan keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove yang dikaji memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi dan sekaligus dapat disimpulkan bahwa metode yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat dipergunakan sebagai salah satu alat evaluasi untuk menilai secara sistemik, cepat, objektif, dan terkuantifikasi keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove di suatu wilayah.

6.3 Faktor Pengungkit Keberlanjutan Pengelolaan Mangrove Muara

Angke

6.3.1 Dimensi Ekologi

Pengelolaan dimensi ekologi kawasan mangrove Muara Angke perlu dilakukan dengan memperhatikan atribut yang menjadi faktor pengungkit, guna efisiensi, dan efektivitas pengelolaan. Terdapat 11 sebelas atribut yang menentukan keberlanjutan dimensi ekologi kawasan mangrove Muara Angke dan empat di antaranya merupakan faktor pengungkit berdasarkan nilai RMS root mean square dengan nilai di atas nilai tengah 1,5. Atribut ekologi yang merupakan faktor pengungkit adalah abrasi pantai, pencemaran air, fungsi konservasi menurun, dan sedimentasi disajikan pada Gambar 28. Kondisi kawasan pesisir DKI Jakarta atau Kota Jakarta Utara dengan jumlah dan kepadatan penduduk tinggi 6.748 jiwakm 2 - 23.529 jiwakm 2 , keterbatasan lahan, dan laju pembangunan yang tinggi menyebabkan menurunnya daya dukung dan kualitas lingkungan. Sebagaimana pada kawasan mangrove Muara Angke, kualitas lingkungan cenderung menurun dari waktu ke waktu. Pada tahun 1936-1980 belum terjadi abrasi pantai, namun terjadi akresi pantai atau penambahan garis pantai 1 mtahun. Namun sejak dibangunya jetti di sisi Barat Sungai Angke tahun 1980 telah mendorong terjadinya abrasi pantai 19 - 25 mtahun. Berdasarkan survei lapang, responden yang mengalami gangguan abrasi adalah masyarakat nelayan di Kelurahan Kamal Muara 60 , Penjaringan 36 , Kapuk Muara 27 , dan Kelurahan Pluit 25 . Sedangkan gangguan berupa banjir pasang rob hampir 90 seluruh responden di lima kelurahan Penjaringan, Tegal Alur, Kamal Muara, Pluit, dan Kapuk Muara mengalaminya, serta gangguan berupa interusi air laut yang tertinggi 100 responden terjadi di Kelurahan Penjaringan dan Kamal Muara. Berdasarkan kajian perubahan garis pantai terhadap Cita Satelit TM dan Foto Udara kawasan manrove Muara Angke, sejak tahun 1984 sampai 2010 telah terjadi abrasi pantai yang telah menyebabkan mundurnya garis pantai atau hilangnya lahan pantai seluas 59,09 ha. Lokasi abrasi pantai sebagian besar terjadi di sebelah barat muara Sungai Angke dan Cengkareng Drain, dan yang paling parah berada disekitar Kamal Muara. Kejadian akresi atau sedimentasi penambahan daratan terjadi pada beberapa lokasi, khususnya di di bagian barat muara Sungai Angke dan muara Cengkareng Drain yang telah menambah lahan daratan seluas 42,85 ha. Namun demikian fenomena abrasi dan akresi ini telah mengurangi lahan pantai defisit seluas 16,14 ha. Perubahan garis pantai kawasan mangrove Muara Angke dari tahun 1984 sampai 2010 seperti pada Tabel 60 dan Gambar 27. Tabel 60 Luas perubahan garis pantai kawasan mangrove Muara Angke dari tahun 1984 sampai tahun 2010 No Garis Pantai Perubahan Garis Pantai Ha Abrasi Ha AkresiSedimentasi Ha 1 Tahun 1984-1989 26,00 - 2 Tahun 1989-1994 8,50 4,80 3 Tahun 1994-2001 13,70 18,21 4 Tahun 2001-2006 1,58 11,46 5 Tahun 2006-2010 9,31 8,38 Jumlah 59,09 42,85 Sumber : Data primer hasil analisis foto udara dan Citra Satelit 1984-2010 Gambar 27 Perubahan garis pantai pada kawasan mangrove Muara Angke dari tahun 1984 sampai tahun 2010. Terdapat 4 empat sungai yang mengalir menuju kawasan mangrove Muara Angke, yaitu: Sungai Angke Kali Adem, Cengkareng Drain, Kali Tanjungan, dan Sungai Kamal. Sungai-sungai tersebut membawa bahan pencemar berupa limbah cair limbah rumah tangga, industri, restoran, hotel, dan pabrik dan limbah padat mayoritas sampah rumah tangga menuju kawasan Muara Angke. Produksi sampah Kota jakarta tahun 2007 mencapai 6.000 tonhari. Produsen sampah terbesar adalah rumah tangga 58 , industri 15 , jalan dan taman 15 , PD Pasar Jaya 7,5 , dan pasar temporer 5,5 . Persentase sampah organik 65,05 dan sampah non organik plastik, sterofom, dan besi 34,95 Aquan H 1997. Pada tahun 2009, jumlah sampah DKI Jakarta 26.945 m 3 hari dan diprediksi meningkat 5 per tahun. Kondisi pengelolaan sampah masih belum optimal, dikarenakan penerapan 3R di sumber atau lokasi penghasil sampah belum optimal. Masih bercampurnya sampah dengan limbah B3 rumah tangga, tingkat pengangkutan yang baru mencapai 91,51 dan kurangnya fasilitas pengolahan sampah Jakarta. Hasil pemantauan KP 2 L Pemda DKI 1998 yang hanya menemukan ikan sapu-sapu Hypotamus sp. pada perairan Sungai Angke, serta hasil analisis air dengan kadar oksigen nol, BOD 442,25 - 499,57 ppm dan COD 666,68 - 761,92 ppm. Sedangkan baku mutu air golongan B, C, dan D mensyaratkan kadar O 2 3 ppm, BOD 20 ppm, dan COD 30 ppm. Di samping itu kandungan logam berat dalam tanah di kawasan SMMA Pb 0,053 ppm; Cu 1,848 ppm; dan Hg 0,034 ppm, kawasan Hutan lindung Pb 0,053 ppm; Cu 3,140 ppm; dan Hg 0,063 ppm, dan pada kawasan Hutan Wisata Pb 0,053 ppm; Cu 3,61 ppm; dan Hg 0,018 ppm. 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 Tekanan lahan mangrove Penjerap dan pengurai polutan Abrasi pantai Pencemaran perairan Pemanfaatan lahan tambak Pemanfaatan kawasan wisata Pemanfaatan air tanah Sanitasi lingkungan Fungsi konservasi Sedimentasi pantai Potensi karbon Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed on Sustainability scale 0 to 100 A tt ri bu te Leverage of Attributes: Ekologi Gambar 28 Atribut ekologi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Pemeliharaan sungai dan drainase kota masih belum optimal, sehingga masih ditemukan kawasan rawan banjir dan genangan air, terutama saat air pasang banjir atau rob. Akibat penumpukan sampah rumah tangga di bagian muara sungai dan sungai, telah mengurangi daya tampung sungai dalam pengaliran air. Di samping itu masalah pengendalian banjir berkaitan dengan penyediaan sarana prasarana polder, drainase, dan sebagainya.

6.3.2 Dimensi Ekonomi