Dimensi Kelembagaan Faktor Pengungkit Keberlanjutan Pengelolaan Mangrove Muara

Di samping itu perhatian peneliti perlu ditingkatkan, baik peneliti dari Perguruan Tinggi, lembaga swadaya masyarakat, pelajar dan mahasiswa. Potensi perhatian peneliti di wilayah Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi JABOTABEK cukup tinggi, namun sarana prasarana pendukung masih belum menunjang. Sebagai contoh: dalam pengurusan ijin penelitian, harus mengurus ke kantor BKSDA di Salemba atau Dinas Kelautan dan Pertanian. Apabila kantor pengelola berada di lokasi Muara Angke, maka akan memudahkan dalam pelayanan. Demikian pula pengelolaan data dan informasi hasil-hasil penelitian yang sampai sekarang masih belum berjalan.

6.3.4 Dimensi Kelembagaan

Indek keberlanjutan yang tergolong belum berkelanjutan, karena skor 75,0. Dengan demikian pengelolaan dimensi kelembagaan kawasan mangrove Muara Angke harus dilakukan dengan memperhatikan atribut yang merupakan faktor pengungkit guna efisiensi dan efektivitas kegiatan pengelolaan. Pada penelitian ini terdapat sembilan atribut dimensi kelembagaan yang menentukan keberlanjutan pengelolaan dan terdapat tiga atribut yang merupakan faktor pengungkit berdasarkan nilai RMS 3,0, yaitu komitmen pemerintah daerah, keterpaduan program, legalitas kawasan dan peraturan. Secara visual disajikan pada Gambar 31. Status kawasan mangrove Muara Angke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta sebagai Kawasan Hijau Lindung sejak tahun 1985 sampai sekarang. Di samping itu keberadaan kawasan mangrove Muara Angke masih tetap dipertahankan dalam rencana Reklamasi Pantai. Namun demikian komitmen pemerintah daerah tidak cukup hanya mempertahankan status dan keberadaan, namun sangat penting peranya apabila komitmen Pemda DKI Jakarta terus ditingkatkan khususnya dalam upaya meningkatlan kualitas lingkungan dan nilai manfaatnya. Komitmen Pemda DKI Jakarta yang perlu ditingkatkan antara lain: 1 Alokasi anggaran APBD, 2 Kebijakan penetapan kawasan mangrove dalam satu kesatuan pengelolaan terpadu atau membuat usulan perubahan status menjadi Taman Hutan Raya, 3 Kebijakan memasukkan kurikulum pendidikan lingkungan dengan penetapan lokasi kegiatan berada di kawasan mangrove Muara Angke, 4 Mendorong peran swasta dalam peningkatan kualitas pengelolaan mangrove Muara Angke, 5 Membangun sarana prasarana pengelolaan yang memadai, 6 Meningkatkan kesadaran dan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga, dan 7 Melakukan penegakan hukum terhadap para pihak yang melanggar peraturan perundang-undangan pengelolaan lingkungan. Keterpaduan program sampai saat ini belum terwujud, dikarenakan masing-masing pihak pengelola kawasan Hutan Lindung, Hutan Suaka Margasatwa, Hutan Wisata, LDTI, lahan tambak KKP dan lahan tambak milik masyarakat memiliki program dan rencana kegiatan. Oleh karena itu perlu dilakukan sinergi dan integrasi visi dan misi, progam dan kegiatan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Pihak Dinas Pertanian dan Kelautan Propinsi DKI Jakarta, BKSDA DKI Jakarta telah beberapa kali bermaksud menyatukan pengelolaan kawasan mangrove terpadu, namun beberapa seminar, lokakarya, dan diskusi yang telah dilakukan tidak ada tindak lanjut. Dalam acara Seminar yang diselenggarakan lembaga IWF Indonesian Wildlife Fund di Jakarta tanggal 19 Juli 2006 telah dirumuskan enam langkah menuju terwujudnya Pengelolaan Terpadu Kawasan Lindung Mangrove, yaitu: 1 Revitalisasi Kawasan Lindung Angke Kapuk, 2 Kesatuan Pengelolaan Kawasan Lindung berupa Taman Hutan Raya THR Husni Tamrin atau THR Ali Sadikin, 3 Sebagai Monumen Historik DKI, Pemda DKI Jakarta harus mengelola dengan sungguh dan pendanaan cukup menjadi kawasan lahan basah untuk pendidikan pariwisata terbatas, 4 Sebaiknya dibuatkan kelembagaan independen dengan pengawasan Pemda DKI, 5 Pengelolaan Kawasan Lindung Angke Kapuk dipadukan dengan kawasan lahan basah lainnya, seperti Suaka Margasatwa Pulau Rambut dan Cagar Alam Pulau Bokor, dan 6 Pemda DKI Jakarta segera mengatur tata letak dan koridor perairan pantai. Selanjutnya dalam pertemuan yang dimotori BKSDA DKI Jakarta tahun 2008 diusulkan perlu Pengelolaan Sabuk Hijau secara terpadu. Legalitas kawasan mangrove Muara Angke perlu ditingkatkan untuk mndukung penguatan kelembagaan pengelolaan, termasuk legalitas masing- masing kawasan pal batas, papan nama, ketepatan titik koordinat, mengingat harga kahan di Jakarta sangat mahal dan untuk mencegah terjadinya perambahan. Peraturan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke masih lemah dan perlu ditingkatkan dengan dukungan Peraturan Daerah atau minimal Keputusan Gubernur. Hal ini untuk memperkuat komitmen Pemda DKI Jakarta dalam mengelola kawasan mangrove Muara Angke yang berkelanjutan dan memberi nilai ekonomi bagi masyarakat dan pemerintah daerah pendapatan asli daerah. Disamping itu beberapa peraturan pendukung perlu disiapkan di tingkat lapangan, agar parapihak yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan mangrove mendukung dan memudahkan bagi pengguna atau pengunjung. LPP Mangrove dan Fakultas Kehutanan IPB juga telah banyak memfasilitasi diskusi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke terutama sebagai Pendidikan Lingkungan. Beberapa lembaga Internasional UNESCO, UNEP, JICA, OISCA, Wetland Internasional Indonesia Program, dan Flora Fauna International juga mendukung terwujudnya pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Beberapa kegiatan penanaman mangrove juga telah menghadirkan beberapa pihak yang cukup penting peranannya dalam pengambilan keputusan pengelolaan, yaitu: Menteri Kehutanan Bpk. MS. Kaban, Menteri Kelautan dan Perikanan Bpk. Fredy Numberi, Menteri Lingkungan Hidup Bpk. Sony Keraf, Gubernur DKI Jakarta Bpk. Fauzi Bowo, Duta Besar Amerika Serikat, Duta Besar Inggris, dan sebagainya. PT. Kapuk Naga Indah juga menyiapkan Yayasan Sahabat Bakau yang diketuai Ibu. Uly Sigar Rusadi, dengan maksud untuk meningkatkan kualitas mangrove Muara Angke khususnya pada lahan pantau untuk revitalisasi hutan lindung. Sampai dengan tahun 2011 telah dilakukan beberapa upaya peningkatan kualitas pengelolaan mangrove Muara Angke, terutama kegiatan penanaman mangrove dan pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Namun demikian penguatan kelembagaan pengelolaan yang mampu mangkoordinasikan perencanaan, program, dan kegiatan terpadu belum terwujud. Masalah yang dihadapi adalah lemahnya konsistensi dan belum adanya kesatuan visi dan misi pengelolaan terpadu Kawasan Hijau Lindung Mangrove Muara Angke. Pilihan dalam menetapkan status pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke adalah Taman Hutan Raya. Hal ini didasarkan atas kondisi saat ini, yaitu: 1 keberadaan Hutan Lindung, Hutan Konservasi Suaka Margasatwa, Hutan Wisata, LDTI, lahan tambak KKP dan lahan tambak masyarakat, 2 tuntutan nilai manfaat sosial dan ekonomi sebagai lokasi obyek wisata alam, pendidikan dan penelitian, 3 tuntutan nilai manfaat ekologi sebagai pelestarian ekosistem mangrove dan jasa lingkungan, serta konservasi keanekaragaman hayati, dan 4 sebagai situs ekosistem asli Jakarta untuk warisan bagi generasi mendatang. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya, menyebutkan bahwa Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Di dalam taman hutan raya dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam. Gambar 31 Atribut kelembagaan yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. 2 4 6 8 10 Peraturan pengelolaan Legalitas kawasan mangrove Sistem pengambilan keputusan Komitmen pemda Keterpaduan program Kemampuan aparat Lembaga masyarakat Penegakan hukum Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed on Sustainability scale 0 to 100 A tt ri b u te Leverage of Attributes: Kelembagaan

6.3.5 Dimensi Teknologi