Kesimpulan Pendahuluan Policy guidance and strategy for sustainable mangrove management in Muara Angke DKI Jakarta

167 nilai manfaat tidak langsung 39 dari nilai ekonomi total kawasan mangrove, maka terlihat bahwa nilai ekonomi kawasan mangrove Muara Angke mendominasi dari komponen nilai ekonomi total. Hal ini terjadi karena kondisi hutan mangrove Batu Ampar masih memiliki potensi kayu yang cukup tinggi dan masyarakat sekitar membutuhkan nilai manfaat langsung tersebut kayu, ikan. Sedangkan kondisi hutan mangrove Muara Angke DKI Jakarta telah mengalami degradasi, potensi kayu rendah dan tidak dapat dimanfaatkan, serta kondisi lingkungan dan masyarakat lebih memerlukan manfaat tidak langsung dari keberadaan kawasan mangrove Muara Angke. Tabel 57 Estimasi nilai total hutan mangrove Muara Angke 478 ha No Manfaat Nilai Persentase Rphath Rptahun 1 Manfaat langsung 58.294.953 19.103.256.000 19,10 2 Manfaat tidak langsung 244.228.535 80.033.690.876 80,03 3 Nilai pilihan 141.000 46.205.700 0,05 4 Manfaat pewarisan 106.805 35.000.000 0,03 5 Manfaat keberadaan 2.414.743 791.311.418,2 0,79 6 Total 305.186.036 100.009.463.994 100

5.5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Nilai ekonomi total kawasan mangrove Muara Angke adalah sebesar Rp. 100.009.463.994,-. Nilai ini diperoleh dari nilai manfaat langsung pemanfaatan ikan, cacing, wisata alam, nilai manfaat tidak langsung penahan abrasi, penahan interusi, penghasil oksigen, pengurai danpenjerap polutan, tempat mencari makanmemijahdaerah asuhan, nilai manfaat pilihan, nilai manfaat pewarisan dan nilai manfaat keberadaan. 2. Kebijakan pemanfaatan kawasan mangrove Muara Angke perlu mempertimbangkan nilai ekonomi total kawasan mangrove. Dalam mewujudkan pegelolaan mangrove Muara Angke Berkelanjutan, pemerintah DKI Jakarta perlu tetap menetapkan status kawasan mangrove sebagai Kawasan Hijau Lindung. 6 KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN KAWASAN MANGROVE MUARA ANGKE

6.1 Pendahuluan

Kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke secara berkelanjutan diperlukan mengingat kedudukan Jakarta sebagai pintu gerbang internasional bagi Indonesia, serta merupakan ekosistem mangrove yang memiliki fungsi dan manfaat penting bagi penyangga kehidupan wilayah pesisir, serta nilai keberadaan ekosistem mangrove yang dibutuhkan bagi masyarakat sekitarnya. Kawasan mangrove Muara Angke yang masih tersisa saat ini sekitar 478 ha yang terdiri atas kawasan hutan atau tanah negara hutan lindung, hutan wisata, arboretum atau kebun benih, lahan dengan tujuan istimewa, transmisi PLN, dan suaka margasatwa seluas 327,7 ha dan lahan tambak milik masyarakat 93,0 ha, dan lahan tambak penelitian KKP Kementrian Kelautan dan Perikanan 57,3 ha. Kawasan hutan lindung 44,76 ha dan Lahan Dengan Tujuan Istimewa LDTI yang terdiri atas: 1 Kebun pembibitan 10,51 ha, 2 Lahan transmisi PLN 23,07 ha, 3 Cengkareng Drain 28,93 ha, dan 4 Jalan tol dan jalur hijau 95,50 ha di bawah pengelolaan Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta. Sedangkan kawasan Hutan Wisata Kamal 99,82 ha dan Suaka Margasatwa Muara Angke 25,02 ha di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam BKSDA DKI Jakarta. Khusus pengelolaan Hutan Wisata Kamal, sejak tahun 1994 telah diberikan ijin pemanfaatan wisata alam kepada PT. Murindra Karya Lestari dan sampai sekarang masih terus berjalan. Kondisi kawasan mangrove Muara Angke terus mengalami tekanan, baik yang berasal dari darat pencemaran, perusakan, dan perambahan dan dari laut abrasi dan pencemaran. Indikasi peningkatan tekanan terhadap ekosistem mangrove Muara Angke adalah meningkatnya kandungan logam berat, detergen, banjir akibat air pasang rob, salinitas air yang mendekati air tawar pada beberapa lokasi, dan penurunan keanekaragaman hayati. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah pesisir juga memprihatinkan, dikarenakan lahan untuk bermukim dan bekerja terbatas. Pertumbuhan penduduk meningkat dan telah mencapai tingkat kepadatan penduduk yang tinggi 8.451 jiwakm 2 . Sebagian besar masyarakat di sekitar kawasan mangrove Muara Angke adalah pendatang yang bermukim secara berkelompok dengan tingkat pendapatan dan pendidikan yang rendah, terkecuali yang bermukim pada perumahan elit Pantai Indah Kapuk. Pada umumnya penduduk bekerja sebagai buruh, pedagang informal, jasa angkutan, dan pegawai rendahan. Tingginya tingkat perputaran uang dan aktivitas ekonomi serta luasnya skala pelayanan aktivitas ekonomi ternyata belum mampu meningkatkan tingkat sosial ekonomi masyarakat setempat sehingga pada akhirnya dapat berpengaruh pada kondisi sosial masyarakat. Di lain pihak, kawasan mangrove Muara Angke semakin menarik bagi pertumbuhan pemukiman modern, bisnis, tempat wisata alam dan rekreasi, sehingga berlangsung usaha-usaha reklamasi pantai yang apabila tidak dilaksanakan dengan hati-hati, dapat mengancam keberlanjutan ekosistem mangrove. Sebagai upaya untuk mendapatkan solusi optimal terhadap dampak yang ditimbulkan maka perlu diterapkan konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep tersebut perlu diterapkan dalam pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke, agar pelaksanaan program pengelolaan pada masa mendatang dapat terjamin keberlanjutannya. Dalam kerangka pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke-Jakarta yang berkelanjutan, maka kriteria-kriteria keberlanjutan perlu diperhatikan yaitu kawasan yang berkelanjutan seharusnya tidak menggunakan sumberdaya lebih cepat dibandingkan kemampuan untuk melakukan subtitusi, tidak menghasilkan polusi lebih cepat dibandingkan kemampuan untuk menetralisir secara alami, terjadi peningkatan pendapatan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah dan mengurangi kesenjangan dan potensi konflik, serta melibatkan patisipasi semua stakeholder . Penelitian ini dilakukan analisis untuk menilai keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Untuk keperluan tersebut dilakukan analisis terhadap kawasan mangrove Muara Angke dengan menggunakan model multi dimensional scalling MDS. Dalam model multi dimensional scalling dimaksud, penilaian dilakukan terhadap outcome dari pelaksanaana kebijakan dan bukan output pelaksanaan kebijakan Fauzi dan Anna 2005. Sehingga untuk mengevaluasi outcome dari kinerja kebijakan memerlukan waktu sedikitnya 5 tahun khususnya yang terkait dengan aspek lingkungan hidup dan sosial. Nilai indeks keberlanjutan pada penelitian ni diperoleh dari penilaian terhadap semua atribut yang tercakup dalam lima dimensi ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, dan teknologi.

6.2 Status Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Muara Angke