45.5 Policy guidance and strategy for sustainable mangrove management in Muara Angke DKI Jakarta

Gambar 26 Status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke Jakarta. Berdasarkan analisis dari lima dimensi yang menentukan status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke, teridentifikasi bahwa ketidakberlanjutan pengelolaan lebih banyak dipengaruhi oleh lemahnya koordinasi kelembagaan pengelolaan di antara sektor lembaga yang diserahi tanggung jawab pengelolaan, yaitu: Dinas Pertanian dan Kelautan Propinsi DKI Jakarta, BKSDA DKI Jakarta, BPLHD Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta, dan Litbang Kementrian Kelautan dan Perikanan. Di samping itu juga disebabkan oleh tingginya tekanan lingkungan yang berupa: abrasi dan sedimentasi, pencemaran limbah cair dan limbah padat sampah, banjir pasang rob, dan interusi air laut. Hal ini didukung oleh skor dimensi kelembagaan 41,8 dan dimensi ekologi 45,5 yang paling rendah di antara dimensi sosial, ekonomi, dan teknologi. Konversi kawasan hutan mangrove Muara Angke 831,63 ha didasarkan atas Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 097Kpts-II88 tanggal 9 Februari 1988 tentang Pelepasan Kawasan hutan Angke Kapuk seluas 831,63 ha di DKI Jakarta. Berdasarkan hasil tata batas di lapangan dan Berita Acara Tata Batas yang

58.0 55.1

41.8 45.5

56.6 - 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 Ekonomi Sosial Kelembagaan Ekologi Teknologi ditandatangani pada tanggal 25 Juli 1994 oleh Panitia Tata Batas yang diangkat dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Ibukota Jakarta Nomor 924 tahun 1989, diketahui bahwa kawasan hutan yang dipertahankan adalah seluas 327,70 ha. Kebijakan konversi kawasan hutan yang prosesnya dimulai sejak tahun 1977 telah melibatkan Presiden, Gubernur, Menteri Penertiban Aparatur Negara, Dirjen Kehutanan atau Menteri Kehutanan, dan Swasta PT. Mandara Permai. Pembangunan Kawasan Kapuk Angke digagas oleh Pemerintah DKI, sesuai arahan RUTR DKI 1965-1985 bertujuan untuk mengembangkan areal tambak dan “eks-hutan” Angke Kapuk yang terbengkalai untuk perumahan dan fungsi perkotaan lainnya. Perjanjian kerjasama pembangunan pengembangan tanah Kawasan Hutan Angke-Kapuk di DKI Jakarta, yang isinya antara lain: a. Peruntukan lahan 50 dari luas kawasan hutan 581,24 ha dapat dikembangkan b. Kewajiban pihak PT. Mandara Permai untuk membayar biaya penyediaan prasarana sebagai presentase dari luas yang akan dikembangkan 831,63 ha yang menghubungkan kawasan dengan areal luarnya, sementara biaya pembangunan prasarana di dalam tapak seluruhnya menjadi beban dan tanggung jawab pihak PT. Mandara Permai PT. Metropolitan Kencana Group. Di samping itu PT. Mandara Permai berkewajiban mengganti kawasan hutan 831,63 ha, dan telah dilakukan tukar menukar lahan seluas 1.654 ha yang terletak di Kepulauan Seribu 39 ha, Kec. Rumpin-Kab. Bogor 75 ha, Kec.Nagrek-Kab. Sukabumi 350 ha dan di Kecamatan Sukanagara dan Campaka-Kab.Cianjur seluas 1.190 ha. Pasca konversi kawasan hutan mangrove Muara Angke yang menyisakan 327,7 ha kawasan hutan dan 150,3 ha lahan tambak, belum mampu merubah kondisi lingkungan hutan mangrove. Hal ini dapat dilihat dari kondisi hutan mangrove Muara Angke periode 1995-1998, yang ditunjukkan masih banyaknya lahan tambak dan kondisi hutan yang kurang terawat. Perubahan Undang-undang No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah menjadi Undang- Undang N.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan selanjutnya disempurnakan lagi menjadi Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mendorong peran pemerintah daerah dalam mengelola kawasan hutan. Demikian pula kebijakan di Kehutanan Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 tentang Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Kawasan Hutan telah mendorong upaya pengelolaan hutan lebih intensif. Namun demikian terkait dengan kawasan hutan konservasi, kewenangan pengelolaan masih dipegang Pusat atau dikelola oleh Unit Pusat yang ada di daerah, seperti BKSDA. Oleh karena itu kelembagaan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke masih berjalan masing-masing Dinas Pertanian dan Kelautan, dan BKSDA DKI Jakarta, dan hal inilah yang mempengaruhi status ketidakberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove. Parameter statistik digunakan untuk menentukan kelayakan terhadap hasil kajian yang dilakukan di kawasan mangrove Muara Angke adalah nilai stress dan koefisien determinasi r 2 . Kedua parameter ini untuk setiap dimensi berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya penambahan atribut, sehingga dapat mencerminkan dimensi yang dikaji mendekati kondisi sebenarnya. Nilai stress dan r 2 hasil analisis MDS disajikan pada Tabel 58. Tabel 58 Hasil analisis MDS beberapa parameter statistik keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke Nilai Statistik Ekologi Ekonomi Sosial Kelembagaan Teknologi Stress 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 r 2 0,95 0,95 0,95 0,95 0,95 Jumlah Interaksi 2 2 2 2 2 Berdasarkan Tabel 58, setiap dimensi maupun multidimensi memiliki nilai stress yang lebih kecil dari 0,25. Nilai tersebut menyatakan bahwa nilai stress pada analisis dengan metode MDS sudah cukup memadai. Karena semakin kecil nilai stress yang diperoleh berarti semakin baik kualitas hasil analisis yang dilakukan. Berbeda dengan nilai koefisien determinasi r 2 , kualitas hasil analisis semakin baik jika nilai koefisien determinasi semakin besar mendekati 1. Dengan demikian kedua parameter nilai stress dan r 2 menunjukkan bahwa seluruh atribut yang digunakan pada analisis keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke sudah cukup baik dalam menerangkan kelima dimensi pengelolaan yang dianalisis ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, dan teknologi. Untuk menguji tingkat kepercayaan nilai indeks total maupun masing- masing dimensi digunakan analisis Monte Carlo. Analisis ini merupakan analisis yang berbasis komputer yang dikembangkan pada tahun 1994 dengan menggunakan teknik random number berdasarkan teori statistika untuk mendapatkan dugaan peluang suatu solusi persamaan atau model matematis EPA 1997. Mekanisme untuk mendapatkan solusi tersebut mencakup perhitungan yang berulang-ulang. Analisis Monte Carlo sangat membantu dalam analisis indeks keberlanjutan untuk melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut pada masing-masing dimensi yang disebabkan oleh kesalahan prosedur atau pemahaman terhadap atribut, variasi pemberian skor karena perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda, stabilitas proses analisis MDS, kesalahan memasukan data atau ada data yang hilang, dan nilai “stress” yang terlalu tinggi. Hasil analisis Monte Carlo dilakukan dengan beberapa kali pengulangan ternyata mengandung kesalahan yang tidak banyak mengubah nilai indeks total multi dimensi maupun nilai indeks masing-masing dimensi. Berdasarkan Tabel 59, dapat dilihat bahwa nilai status indeks keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke pada selang kepercayaan 95 memberikan hasil yang tidak banyak mengalami perbedaan dengan hasil analisis MDS. Kecilnya perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil analisis metode MDS dengan analisis Monte Carlo mengindikasikan hal-hal sebagai berikut: 1 kesalahan dalam pembuatan skor setiap atribut relatif kecil, 2 variasi pemberian skor akibat perbedaan opini relatif kecil, 3 proses analisis yang dilakukan secara berulang- ulang stabil, dan 4 kesalahan pemasukan data dan data yang hilang dapat dihindari. Tabel 59 Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai indeks keberlanjutan dan masing- masing dimensi pengelolan kawasan mangrove Muara Angke Status Indeks Hasil MDS Hasil Monte Carlo Perbedaan Dimensi Ekologi 45,46 45,37 0,09 Dimensi Ekonomi 57,97 57,79 0,18 Dimensi Sosial 55,07 55,23 -0,16 Dimensi Kelembagaan 41,79 41,67 0,12 Dimensi Teknologi 56,62 56,52 0,10 Perbedaan hasil analisis yang relatif kecil sebagaimana disajikan pada Tabel 59 menunjukkan bahwa analisis menggunakan metode MDS untuk menentukan keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove yang dikaji memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi dan sekaligus dapat disimpulkan bahwa metode yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat dipergunakan sebagai salah satu alat evaluasi untuk menilai secara sistemik, cepat, objektif, dan terkuantifikasi keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove di suatu wilayah.

6.3 Faktor Pengungkit Keberlanjutan Pengelolaan Mangrove Muara