Novelty Composite Alluvial Plains and Barriers

9 Kebijakan pengelolaan mangrove Kondisi biofisik ekosistem mangrove Kondisi sosial ekonomi masyarakat Nilai ekonomi mangorve Faktor-faktor penentu keberlanjutan pengelolaan mangrove Pola pemanfaatan oleh stakeholder Strategi pengelolaan mangrove berkelanjutan Kepentingan masyarakat dan pengusaha Perubahan luas lahan mangrove Kebijakan pembangunan wilayah pesisir Gambar 1 Kerangka pikir penelitian.

1.6 Novelty

Kebaruan dari penelitian ini adalah pendekatan baru dalam merumuskan ‘Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Mangrove Berkelanjutan di Muara Angke DKI Jakarta berdasarkan kajian Aspek Lingkungan, Sosial, dan Ekonomi M asyarakat’ . Arahan kebijakan dan Strategi pengelolaan mangrove berkelanjutan 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Hutan Mangrove

Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai DAS yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8 Departemen Kehutanan 1994. Nybakken 1982 mendeskripsikan hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove dicirikan oleh: tumbuhan dari 9 genus Avicennia, Snaeda, Laguncularia, Lumnitzera, Conocarpus, Aegiceras, Aegialitis, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, dan Sonneratia , memiliki akar napas pneumatofor, adanya zonasi Avicennia, Sonnetaria, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, dan Nypa, tumbuh pada substrat tanah berlumpur atau berpasir dan variasinya, salinitas bervariasi. Berdasarkan Haan 1935 dan Watson 1935 dalam Departemen Kehutanan 1994 menyebutkan bahwa tempat tumbuh hutan mangrove adalah: tempat yang memiliki salinitas 0 dengan sedikit dipengaruhi pasang surut sampai salinitas 10- 30 dengan digenangi 1-2 kalihari, dan tempat yang digenangi kadang-kadang digenangi oleh air pasang tertinggi sampai tempat digenangi air pasang dengan genangan 56-62 kalibulan.

2.1.1 Luas dan Sebaran Mangrove di Dunia

Berdasarkan Spalding et.al. 1997, ekosistem mangrove di dunia tersebar di antara 30 o LU dan 30 o LS, dengan beberapa keanehan terdapat di sebelah utara Bermuda 32 o 20’ LU dan Jepang 31 o 22’ LU dan di Australia Selatan 38 o 45’ LS, New Zealand 38 o 03’ LS, serta di pantai timur Afrika Selatan 32 o 59’ LS. 11 Terdapat dua pusat poros utama keanekaragaman dari komunitas mangrove di dunia, yakni: komunitas Group Barat dan komunitas Group Timur Tomlinson 1986 dan Spalding et.al 1997. Komunitas mangrove Group Timur tersebar sekitar Indo-Pacific yang di bagian timur dibatasi oleh komunitas mangrove di Pasific Barat dan Tengah, dan di bagian Barat dibatasi oleh komunitas mangrove pada bagian ujung Afrika Selatan. Komunitas mangrove Group Barat meliputi komunitas mangrove di pantai Afrika, Amerika sampai lautan Atlantik, laut Karibia, dan Gulf Mexico, dan juga bagian barat pantai Pasific dan Amerika. Dua Group wilayah sebaran tersebut memiliki komposisi floristik yang berbeda, serta komposisi jenis flora di Wilayah Timur memiliki jumlah jenis lima kali dari keanekaragaman jenis di Wilayah Barat. Pola distribusi mangrove di dunia merupakan hasil dari proses panjang dari faktor sejarah dan waktu pembentukannya. Kemungkinan pola distribusi dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: dibatasi oleh letak lintang, temperatur rendah, temperatur permukaan air laut dan temperatur udara, dan terutama temperatur ekstrim. Curah hujan juga dapat mempengaruhi cukup kuat distribusi mangrove, terutama diakibatkan oleh menurunnya salinitas, sedangkan lingkungan mangrove memerlukan salinitas yang relatif lebih tinggi. Meskipun demikian mangrove mampu beradaptasi pada lingkungan payau sampai lingkungan perairan laut dengan salinitas tinggi, dan kadang-kadang salinitas lebih tinggi pada daerah pasang surut terutama di negara dengan iklim sangat kering arid, pertumbuhan terbatas. Pada daerah dengan curah hujan rendah, jumlah spesies mangrove yang dapat hidup sangat terbatas. Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi mangrove antara lain: tanah, pasang surut, geomorphologi, ketersediaan mineral, aerasi tanah, angin, arus laut, dan gelombang. Berdasarkan Spalding et.al. 1997, luas ekosistem mangrove di dunia sekitar 18.107.700 ha. Negara-negara di wilayah Asia Tenggara dan Asia Selatan memiliki luas hutan mangrove yang terluas di dunia dibandingkan dengan wilayah negara- negara di tempat lain. Sedangkan negara di dunia yang memiliki ekosistem hutan mangrove terluas adalah Indonesia 4.542.100 ha atau 25 dari luas hutan mangrove 12 di dunia disusul oleh negara Brazil 1.340.000 ha. Luas hutan mangrove pada beberapa wilayah negara di dunia seperti pada Tabel 1. Tabel 1 Luas hutan mangrove pada beberapa wilayah negara di dunia No. Wilayah Luas Mangrove Km 2 19971 Luas Mangrove Km 2 I9832 Luas Mangrove Km 2 19933 1 2 3 4 5 Asia Tenggara dan Asia Selatan Australia Amerika Afrika Barat Afrika Timur dan AfrikaTimur Tengah 75.173 41,5 18.789 10,4 49.096 27,1 27.995 15,5 10.024 5,5 51.766 30,7 16.980 10,0 67.446 40,0 27.110 16,0 5.508 3,3 76.226 38,3 15.145 7,6 51.286 25,8 49.500 24,9 6.661 3,4 Total Luas 181.077 Km 2 18.107.700 Ha 168.810 Km 2 16.881.000 Ha 198.818 Km 2 19.881.800 Ha Keterangan: 1. Spalding M, Blasco F, Field C 1997 2. ITTO 1983. 3. Fisher and Spalding 1993.

2.1.2 Luas dan Sebaran Hutan Mangrove di Indonesia

Menurut Kementrian Kehutanan 2006, luas hutan mangrove Indonesia 7.804.444,80 ha dan hasil interpretasi tahun 2010 seluas 3.685.241,16 ha. Sedangkan menurut Bakosurtanal 2009, luas hutan mangrove Indonesia sekitar 3.244.018,46 ha. Perbedaan hasil pengukuran ini dikarenakan metode yang dipergunakan berbeda. Hasil pengukuran Bakosurtanal didasarkan atas perhitungan luas lahan mangrove yang bervegetasi, sedangkan hasil pengukuran Kementrian Kehutanan 2006 didasarkan atas lahan bervegetasi dan land system yang termasuk mangrove. Secara rinci, luas kawasan mangrove di Indonesia disajikan pada Tabel 2. 13 Tabel 2 Luas mangrove Indonesia menurut Kementrian Kehutanan dan Bakosurtanal 2006-2010 No Provinsi BPDAS Luas pada Tahun 2006 Luas Rekap RTK RHL Luas Hasil Pemetaan MSP tahun 2010 BAKOSURTANAL 2009 1 2 3 3 3 4 1 NAD Krueng Aceh 422.703,00 60.726,82 22.950,321 2 Sumatera Utara Asahan Barumun 364.581,15 22.352,80 50.369,793 3 Riau Indragiri Rokan 261.285,33 37.966,41 206.292,642 4 Kep. Riau Kep. Riau 178.417,55 64.821,80 54.681,915 5 Jambi Batanghari 52.566,88 5.736,26 12.528,323 6 Sumatera Barat Agam Kuantan 61.534,00 8.073,33 3.002,689 7 Sumatera Selatan Musi 1.693.112,11 596.697,46 149.707,431 8 Bangka-Belitung Baturusa Cerucuk 273.692,82 31.701,37 64.567,396 9 Bengkulu Ketahun 46.034,28 1.904,90 2.321,870 10 Lampung Way Seputih-Sekampung 866.149,00 4.403,95 10.533,676 11 Kalimantan Selatan Barito 116.824,00 135.181,50 56.552,064 12 Kalimantan Tengah Kahayan 30.497,71 64.663,23 68.132,451 13 Kalimantan Barat Kapuas 342.600,12 127.864,00 149.344,189 14 Kalimantan Timur Mahakam Berau 883.379,00 1.121.925,27 364.254,989 BPHM II 5.593.376,95 2.284.019,11 1.215.239,749 15 Banten Citarum Ciliwung 1.180,48 2.936,188 16 DKI Jakarta Citarum Ciliwung 259,93 500,675 17 Jawa Barat Citarum Ciliwung 13.883,20 22.407,39 7.932,953 18 Jawa Barat Cimanuk-Citanduy 0,00 8.127,33 19 Jawa Tengah Pemali Jratun 50.690,00 40.366,13 4.857,939 20 Jogyakarta SOP 0,00 88,32 0,000 21 Jawa Timur Solo 66.466,30 69.886,30 18.253,871 22 Brantas 5.817,40 54.360,14 23 Sampean Madura 199.946,60 7.348,06 24 Bali Unda Anyar 2.215,50 454,90 1.925,046 25 NTB Dodokan Moyosari 18.356,88 13.931,00 11.921,179 26 NTT Benain Noelmina 40.640,85 10.800,00 20.678,450 27 Sulawesi Utara Tondano 32.384,49 12.063,00 12.445,712 28 Gorontalo Bone Bolango 32.934,62 26.475,64 12.315,465 29 Sulawesi Tengah Palu - Poso 29.621,56 88.030,16 43.746,508 30 Sulawesi Barat Lariang Mamasa 3.000,00 1.507,00 3.182,201 31 Sulawesi Selatan Saddang 2.772,30 58.551,95 12.821,497 Jeneberang Walanae 26.206,00 13.082,00 32 Sulawesi Tenggara Sampara 74.348,82 46.706,10 62.506,924 33 Maluku Waehapu Batu Merah 128.035,00 92.648,33 139.090,920 34 Maluku Utara Ake Malamo 43.887,00 46.259,41 39.659,729 35 Papua Barat Remu Rasinki 430.604,00 431.257,90 475.734,835 36 Papua Memberamo 1.007.817,00 356.871,00 1.158.268,619 BPHM I 2.211.067,93 1.401.222,05 2.028.778,711 TOTAL 7.804.444,88 3.685.241,16 3.244.018,460

2.2 Karakteristik Ekosistem Hutan Mangrove

2.2.1 Zonasi Hutan Mangrove

Jenis-jenis pohon mangrove cenderung tumbuh dalam zona-zona atau jalur- jalur. Berdasarkan hal tersebut, hutan mangrove dapat dibagi ke dalam beberapa mintakat zona, yaitu Sonneratia, Avicennia yang menjorok ke laut, Rhizophora, Bruguiera , Ceriops, dan asosiasi Nypa. Pembagian zona tersebut mulai dari bagian yang paling kuat mengalami pengaruh angin dan ombak, yakni zona terdepan yang 14 digenangi air berkadar garam tinggi dan ditumbuhi pohon pioner misalnya Sonneratia sp. dan di tanah lebih padat tumbuh Avicennia sp.. Makin dekat ke darat makin tinggi letak tanah dan dengan melalui beberapa zona peralihan akhirnya sampailah pada bentuk klimaks. Pada endapan lumpur yang kokoh lebih umum terdapat Avicennia marina, sedang pada lumpur yang lebih lunak diduduki Avicennia alba Van Steenis 1958. Pada belakang zona-zona ini terdapat Bruguiera cylindrica tercampur dengan Rhizophora apiculata , R. mucronata, B. parviflora, dan Xylocarpus granatum yang puncak tajuknya dapat mencapai 35-40 meter. Zonasi tersebut akan berbeda dari suatu tempat ke tempat lainnya, bergantung dari keadaan tempatnya. Misalnya di Cagar Alam Pulau Rambut diketahui terdiri dari tiga zona dari laut ke darat yaitu, zona Rhizophora mucronata, R. Stylosa, dan zona Scyhiphora . Adapun di Cilacap terdapat 3 zona, yaitu zona Avicennia atau Sonneratia , zona Rhizophora dan zona Bruguiera LPP Mangrove 1998.

2.2.2 Habitat

Hutan mangrove telah menarik perhatian berbagai ahli biologi sejak abad 19, terutama karena kekhasannya, yaitu kehadiran berbagai macam bentuk akar, seperti akar napas, akar tunjang, dan akar lutut. Schimper 1898 menganggap hutan mangrove ini sebagai vegetasi xerofil yang secara fisiologi habitatnya kering karena kadar garam yang tinggi dalam air rawa Steenis 1958. Sebagai daerah peralihan antara laut dan darat, ekosistem mangrove mempunyai gradien sifat lingkungan yang tajam. Pasang surut air laut menyebabkan terjadinya pergoyangan beberapa faktor lingkungan yang besar, terutama suhu, dan salinitas. Karena itu hanya jenis-jenis tumbuhan dan binatang yang memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan ekstrim faktor-faktor fisik itu dapat bertahan dan berkembang di hutan mangrove. Kenyataan ini menyebabkan keanekaragaman jenis biota mangrove kecil saja, akan tetapi kepadatan populasi masing-masing jenis umumnya besar. 15 Meskipun habitat hutan mangrove bersifat khusus, setiap jenis biota laut di dalamnya mempunyai kisaran ekologi tersendiri dan masing-masing mempunyai relung khusus Steenis 1958. Hal ini menyebabkan terbentuknya berbagai macam komunitas dan bahkan zonasi, sehingga komposisi jenis berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Steenis 1958 mengemukakan bahwa faktor utama yang mengakibatkan adanya Ecological Preference berbagai jenis adalah kombinasi faktor-faktor berikut ini: 1. Tipe tanah: keras atau lembek, kandungan pasir dan liat dalam berbagai perbandingan 2. Salinitas: variasi harian dan nilai rata-rata pertahun secara kasar sebanding dengan frekuensi, kedalaman, dan jangka waktu genangan 3. Ketahanan jenis terhadap arus dan ombak 4. Kombinasi perkecambahan dan pertumbuhan semai dalam hubungannya dengan amplitudo ekologi jenis-jenis terhadap tiga faktor di atas. Steenis 1958, dan ditegaskan pula oleh Soerianegara 1971 dan Kartawinata Waluyo 1977, bahwa faktor utama yang menyebabkan adanya zonasi di hutan mangrove adalah sifat-sifat tanah mineralogi dan fisik dan bukan hanya faktor salinitas. Pengaruh faktor ini jelas pada penyebaran Rhizophora R. mucronata tumbuh pada lumpur yang dalam dan lembek, R. stylosa pada pantai pasir atau terumbu karang, R. apiculata pada keadaan transisi. Mengenai pengaruh salinitas, Steenis 1958 mengatakan bahwa faktor ini bukan faktor utama, dan berhubungan erat dengan faktor pasang surut. Meskipun demikian pengaruh nyatanya dapat terlihat pula, misalnya bila salinitas berkurang karena estuaria dan goba yang tertutup, hutan Rhizophora mati dan diganti oleh jenis yang tumbuh di tempat yang kurang asin, seperti Lumnitzera. Hal yang sama tentang Bruguiera cylindrica dilaporkan oleh Watson 1928 di Malaya. Pengaruh kecepatan arus dapat terlihat sepanjang sungai yang mengalami pasang surut setiap hari. Pada tepian yang dipengaruhi oleh aliran yang deras, misalnya pada belokan, biasanya tumbuh jenis-jenis yang mempunyai sistem 16 perakaran yang tahan terhadap keadaan demikian, seperti Nypa fruticans yang berakar serabut.

2.2.3 Klasifikasi Tempat Tumbuh

Pengaruh pasang surut terhadap penyebaran jenis-jenis mangrove Indonesia belum diteliti dengan terperinci. Di semenanjung Malaya hal ini telah dikerjakan oleh Watson 1928 dalam Steenis 1958 yang menghasilkan suatu klasifikasi genangan air pasang berdasarkan sifat-sifat pasang di suatu tempat. Diperkirakan klasifikasi ini berlaku juga untuk kawasan Indonesia. Watson 1928 mengemukakan adanya korelasi antara jenis-jenis dengan tinggi pasang dan lamanya tempat digenangi air. Dikenal lima kelas genangan, yaitu: 1. Kelas 1 : Tempat digenangi oleh air pasang all high tides, genangan per bulan 56 kali sampai 62 kali. Di tempat seperti ini jarang suatu jenis dapat hidup, kecuali Rhizophora mucronata yang tumbuh di tepi sungai 2. Kelas 2 : Tempat digenangi oleh air pasang agak besar medium high tides. Di tempat ini tumbuh jenis-jenis Avicennia dan Sonneratia. Berbatasan dengan sungai R. mucronata merajai 3. Kelas 3 : Tempat digenangi oleh pasang rata-rata normal high tides. Tempat ini mencakup sebagian besar hutan mangrove yang ditumbuhi oleh R. mucronata, R. apiculata, Ceriop tagal, dan Bruguiera parviflora 4. Kelas 4 : Tempat digenangi oleh pasang perbani spring tides. Di sini Rhizophora diganti oleh Bruguiera. Pada lumpur yang keras Bruguiera cylindrica membentuk tegakan murni dan di tempat dengan drainase lebih tumbuh B. parviflora kadang-kadang dengan B. sexangula 5. Kelas 5 : Tempat kadang-kadang digenangi oleh pasang tertinggi exeptional or equinoctical tides . Di sini B. gymnorrhiza berkembang dengan baik, sering bersama-sama dengan pakis dan bersama-sama R.apiculata. Ke arah darat sering ditumbuhi tegakan nibung Oncosperma filamentosa. 17 Klasifikasi tempat tumbuh hutan bakau berdasarkan salinitas dan genangan air pasang surut Haan 1935 dalam Steenis 1958: 1. Kelas 1 : Salinitas 10-30, tanah digenangi 1-2 kali sehari atau sekurang- kurangnya 20 hari per bulan, jenis Avicennia atau Sonneratia pada tanah baru yang lunak atau Rhizophora pada tanah yang lebih keras, membentuk zona luar 2. Kelas 2 : Salinitas 10-30, tanah digenangi 10-19 hari per bulan, Bruguiera gymnorrhiza tumbuh baik dengan tegakan membentuk zona tengah 3. Kelas 3 : Salinitas 10-30 , tanah digenangi 9 hari atau kurang sebulan, jenis- jenis Xylocarpus dan Heritiera berkembang disini dan membentuk zona ke 3 4. Kelas 4 : Salinitas 10-30, tanah digenangi hanya beberapa hari saja dalam setahun, Rhizophora dan Lumnitzera berkembang baik 5. Kelas 5 : Salinitas 0, tanah sedikit dipengaruhi pasang surut 6. Kelas 6 : Salinitas 0, tanah dipengaruhi oleh perubahan permukaan air hanya pada musim basah.

2.2.4 Klasifikasi Komunitas Hutan Mangrove

Terdapat tiga skema klasifikasi yang menampakan beberapa nilai umum pada komunitas mangrove, dua pada skala sedang sampai lokal dan satu pada skala sedang sampai regional. 1. Klasifikasi Menggunakan Tanda-Tanda Struktural Menurut Specht 1970 dalam Lugo dan Snedaker 1974, mengembangkan suatu klasifikasi struktural dari komunitas tumbuhan mangrove dengan menggunakan bahan-bahan untuk merefleksikan sejumlah jaringan fotosintesis berkontribusi untuk input energi dan biomassa dari jaringan tumbuhan yang mengalami respirasi mencakup output energi. Bahan-bahan yang digunakan adalah 1 tinggi dan bentuk kehidupan dari strata yang paling tinggi yang meliputi perkiraan biomassa dan 2 “Foliage Projective Cover” FPC dari strata yang paling tinggi. FPC adalah proporsi jaringan fotosintesis secara vertikal di atas tanah. Idealnya diukur menggunakan beberapa crosswire device untuk menjelaskan ada atau tidaknya stratifikasi tajuk vertikal sejumlah besar diseleksi secara acak pada ujung-ujung komunitas. 18 Penggunaan dua bahan ini, dapat digunakan untuk identifikasi pembentukan struktur. Pembentukan ini selanjutnya bisa dibatasi meliputi nama genus atau spesies yang dominan seperti Avicennia woodland. Penggunaan klasifikasi ini pada kisaran pembentukan struktur mangrove dapat dilihat pada Tabel 3. Pada umumnya di sini adalah komunitas-komunitas tertutup. Jarang pohon-pohon yang tingginya melebihi 30 meter. Kanopi terbuka berhubungan dengan tingginya salinitas tempat, sering atau hampir mendekati sumber air yang tinggi levelnya high-water spring level, dimana curah hujan atau run-off rendah atau keadaan sedang. Kanopi terbuka bisa juga karena adanya air tergenang yang merupakan suatu bentuk lingkungan dan beberapa contoh yang lain, pada komunitas yang pendek dwarf strukturnya tidak bisa dijelaskan dengan cepat. Tabel 3 Pembentukan struktur komunitas mangrove Australia Bentuk hidup dan tinggi dari strata paling tinggi Foliage Projective Cover of Tallest Stratum Rapat 70-100 Kerapatan sedang 30-70 Jarang 10-30 Pohon 1 Pohon Pohon Belukar 2 30 m Hutan tertutup tinggi 10-30 m hutan tertutup 5-10 Hutan tertutup rendah Belukar tertutup - - Hutan terbuka rendah Belukar terbuka - - Tanah hutan rendah Tanah belukar tinggi Sumber : Lugo dan Snedaker 1974 Keterangan : 1 Suatu pohon dibatasi sebagai tumbuhan kayu, tinggi lebih dari 5 m dengan suatu batang tunggal 2 Semak dibatasi sebagai suatu tumbuhan kayu, tingginya kurang dari 8 m biasanya banyak tumbuhan lain pada bagian dasarnya. Asumsi yang dibuat pada klasifikasi ini yaitu komunitas adalah sempurna mature yaitu mempunyai kemampuan penuh untuk merefleksikan pengaruh dari keseimbangan air, pemupukan tanah, suhu, dan cahaya. Dalam istilah pengetahuan biogeografi ekologi komunitas tumbuhan mangrove, penggunaan klasifikasi ini adalah ekstrim. Parameter terseleksi FPC dan tinggi dihubungkan dengan pertumbuhan komunitas dan akibatnya memungkinkan beberapa interpretasi fungsional dari variasi struktur untuk dibuat. Suatu penfasiran komunitas tumbuhan 19 mangrove akan memberitahukan kunci tentang lingkungan dan medekati beberapa prediksi secara langsung tentang perubahan komunitas yang mengikuti manipulasi lingkungan.

2. Klasifikasi Penggunaan Tanda-Tanda Fisiografi dan Struktural

Lugo dan Snedaker 1974, memperkirakan bahwa komunitas mangrove menunjukan suatu bentuk kisaran yang luas, suatu bentuk yang sering digunakan untuk klasifikasi adalah didasarkan pada proses-proses dan hidrologi geomorphic and hydrological . Enam tipe komunitas mempunyai serangkaian karakteristik variable lingkungan seperti: tipe tanah dan kedalaman, kisaran salinitas tanah, dan kecepatan pengaliran pasang. Selanjutnya setiap tipe komunitas mempunyai kisaran karakteristik produksi utama, pelapukan serasah dan pengiriman karbon selama recycling nutrien pada kecepatan yang berbeda pada komponen-komponen komunitas. Tipe-tipe tersebut adalah: a. Overwash mangrove forest : hutan mangrove ini terdapat pada pulau kecil dan proyeksi kecil terbentuk dari massa tanah yang banyak pada teluk yang dangkal dan estuarin. Posisinya lurus dihalangi oleh aliran pasang, dan tipe hutan ini sering tergenang overwashed oleh pasang dan banyak bahan-bahan organik yang tercuci b. Fringe mangrove forest hutan mangrove rumbai: hutan ini berbentuk rumbai tipis dilindungi oleh garis pantai dan pulau, paling baik berkembang sepanjang garis pantai yang elevasinya lebih tinggi dari pasang rata-rata. Kecepatan datang dan surutnya pasang adalah rendah, sistem akar tunjang berkembang dengan baik semua menjerat namun sedikit bahan organiknya yang terurai c. Riverine mangrove forest: hutan ini mempunyai tinggi lebih 20 meter, hutan ini terjadi karena pasang floodplain sepanjang aliran sungai dan teluk. Hutan ini biasanya dipengaruhi oleh pasang harian dan sering terdapat di depan hutan rumbai-rumbai menempati slope pada sisi teluk 20 d. Basin mangrove forest: hutan ini terdapat pada daerah pedalaman selama saluran drainase terdepresi oleh aliran permukaan tanah ke arah pantai e. Hummock forest: hutan ini sama dengan tipe basin, perbedaannya hutan ini terbentuk pada tanah dengan elevasi ringan kira-kira 5-10 cm pada area sekitarnya, sering terdapat deposit peat f. Scrub or dwarf forest: di Florida tipe komunitas ini adalah terbatas pada flat coastal southern Florida dan Keys. Individu tanaman jarang mencapai tinggi 1,5 meter, kecuali tumbuhan yang tumbuh pada mangrove peat dan pada umumnya pohon shrubs berumur 4 tahun atau lebih. Nutrien terbatas walaupun tinggi kandungan substrat yang mengandung kapur calcareous juga bisa berperan pada siklus.

3. Klasifikasi Menggunakan Geomorfologi Lingkungan a

. Tanah alluvial Alluvial Plains Lingkungan ini ditandai oleh pantai yang kisaran pasangnya rendah dan pelepasan air tawar dan sedimen timah cepat, deposisi dari pasir, lumpur dan liat akan membentuk delta. Pembentukan delta ini ke arah laut melebihi slope garis pantai yang datar flat offshore slopes disusun oleh sedimen fine-grained. Delta terdiri dari distribusi bermacam anak sungai membentuk panjang elongate, finger-like protusions , menghasilkan suatu highly crenulate coastline dengan terjadinya pendangkalan pelabuhan dan lagoons danau sepanjang pantai dibatasi oleh distribusi. Daerah distribusi aktif lebih banyak pada daerah yang tinggi pelepasan air tawarnya freshwater discharge, umumnya tumbuhan yang toleran terhadap garam tidak didapatkan. Sekitar area ini distribusi juga ada hubungannya dengan keadaan lingkungan seperti penghanyutan lumpur dari garis pantai, penumpukan reworking pasir dan kerang oleh pengaruh ombak, keberadaan tanaman dan regenerasi, suatu fenomena terutama striking on chenier plains. Selanjutnya bagian endapan alluvial bisa menjadi suatu habitat dimana mangrove bisa tumbuh atau ditanam dipelihara. Tanah plains merupakan pokok 21 untuk mengukur kecepatan pengendapan dan perubahan pelepasan air tawar dan deposit, yang ditandai oleh keanekaragaman fisik-kimia yang tinggi dan perubahan habitat yang cepat. b . Barrier and lagoons Lingkungan ini ditandai oleh lebih banyaknya ombak dibanding tempat yang lainnya dan jumlah air yang dilepaskan dari sungai relatif rendah. Offshore barrier ilands, barrier spits, dan bay barriers adalah tipe lingkungan ini. Terbentuk delta kecil yang berbentuk jari di air tanpa adanya tekanan dari kekuatan laut. Pengaruh perubahan pasang bisa terjadi pada sistem barrier. Tumbuh-tumbuhan toleransi garam terdapat di sekitar pinggir danau lagoons pada habitat yang bervariasi.

c. Composite Alluvial Plains and Barriers

Keberadaan lingkungan ini merupakan kombinasi antara energi ombak yang tinggi dengan pelepasan aliran air yang tinggi. Pasir dibawa ke laut oleh sungai dan didistribusikan dengan cepat oleh ombak sepanjang garis pantai untuk membentuk tumpukan pasir secara ekstensif. Tumbuh-tumbuhan yang toleran garam seperti mangrove terkonsentrasi di sepanjang tempat ini dan pada area dekat muara sungai dan perbatasan lagoons. Dimana kisaran pasang surut adalah besar dan iklim kering seperti keadaan delta Burdekin, habitat saling menyebar pada area interdistributary yang mana periode tergenang oleh pasang musim semi yang tinggi. d . Drowned Bedrock Coasts Lingkungan ini bisa dijelaskan sebagai suatu lembah yang dibanjiri sungai. Kedalaman deposit adalah terbatas oleh suatu sistem lembah batuan bedrock yang dibanjiri oleh air laut sea level. Deposit sungai cukup untuk masuk ke dalam suatu sistem estuaria terbuka. Pada bagian awal lembah terdapat delta sungai yang relatif kecil yang dapat dimodifikasi oleh ombak Bunt dan Wolanski 1980 dalam Kusmana 2001. Pada muara lembah yang dibanjiri dibatasi oleh laut terbuka pasang bisa 22 menyebabkan terjadi delta, yang dibentuk oleh lumpur laut dan tumpukan pasir sand reworked ke arah darat selama pemunculan air laut. e . Coral Coast Dua penampilan yang terdapat pada lingkungan ini: mangrove bisa tumbuh pada sedimen terrestrial yang terakumulasi di belakang fringing reefs, atau bisa terdapat pada sedimen coral sand pada platform reefs. Menurut Ongkosongo, Soemodihardjo, Abdullah 1986 dalam Mulia 1999, berdasarkan proses terbentuknya hutan mangrove dan lokasi keberadaan hutan mangrove dapat dibedakan menjadi beberapa tipe-tipe hutan mangrove sebagai berikut:

e.1 Tipe Delta