G. Made Sanjaya Melaksanakan kegiatan evaluasi dan penilaian
ISBN 978-602-72071-1-0
ISBN 978-602-72071-1-0
PENDAHULUAN
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pembelajaran konsep adalah prakonsenpsipengetahuan
awal” siswa sebelum pembelajaran Osborn dan Witrock dalam Gilbert, 2009. Banyak penelitian menunjukan
bahwa siswa datang ke kelas dengan pengetahuan awal tentang berbagai konsep, yang berbeda dari lingkungan
ilmiah yang berkaitan dengan kegiatan ilmiah. Pengetahuan awal yang tetap pada siswa mencegah
pikiran dari prinsip-prinsip pembelajaran ilmiah dan konsep dengan cara yang benar Griffiths Preston,
1992. Karena itu, pengetahuan awal siswa dan miskonsepsi harus diidentifikasi dan harus direncanakan
model pembelajaran sesuai dengan konsepsi siswa
tersebut Coştu et al., 2007. Dalam konteks ini, tahap utama
yang dilakukan
adalah mengidentifikasi
miskonsepsi sebagai akibat dari pengetahuan awal siswa. Tahap studi pendahuluan yang telah dilakukan
pada mahasiswa kimia Universitas Negeri Gorontalo diperoleh bahwa mahasiswa mengalami miskonsepsi
pada konsep-konsep kimia Pikoli, Effendy, dan Ibnu, 2004 dan Pikoli, 2013. Beberapa penelitian dilakukan
untuk
menentukan strategi
yang tepat
dalam memfasilitasi perubahan konseptual dan retensi
mahasiswa. Pembelajaran dengan model 5E dapat mereduksi miskonsepsi siswa Metin, 2011, penentuan
retensi pengetahuan mahasiswa terhadap pemahaman konsep Ugulu, 2009
Berdasarkan uraian di atas maka perlu adanya upaya untuk memfasilitasi perubahan konseptual dan
retensi mahasiswa, salah satunya melalui pengembangan model pembelajaran. Model pembelajaran
yang dikembangkan dinamai dengan model pembelajaran
berorientasi inkuiri terbimbing dengan
multipel representasi dan harus memenuhi kriteria valid, baik
valid secara isi maupun valid secara konstruk Nieveen, 2007. Untuk itu perlu diungkap hasil
validitas isi dan konstruk dari model pembelajaran yang dikembangkan.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan atau Research and Development
RD. Sugiyono 2010 menyatakan bahwa Research and Development
adalah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu dan
menguji keefektivan produk yang dihasilkan. Penelitian pengembangan ini bertujuan untuk
mengembangkan model pembelajaran berorientasi multipel representasi dengan multipel representasi
sebagai suatu produk yang valid, praktis, dan efektif Nieveen, 2007 dalam memfasilitasi perubahan
konseptual dan retensi mahasiswa.
Tahap pengembangan model meliputi: 1 studi pendahuluan dengan menerapkan pendekatan deskriptif
kualitatif; dan 2 pengembangan desain model yang mengacu pada desain model penelitian menurut
Sugiyono 2012 yang terdiri atas tiga tahapan utama yaitu studi pendahuluan, pengembangan dan validasi
model, serta pengujian dan implementasi model. Identifikasi permasalahan didasarkan pada literatur
atau teori, site visits, dan studi pendahuluan. Berdasarkan review beberapa literatur dan hasil studi
pendahuluan, selanjutnya
didesain model
pembelajaran. Model pembelajaran dirancang dengan komponennya meliputi: 1 teori, 2 tujuan, 3 sintaks,
dan 4 lingkungan belajar. Desain model yang dikembangkan selanjutnya dibuat dalam bentuk buku
model serta video pembelajaran. Para ahli diberikan buku model dan video pembelajaran untuk divalidasi dalam
suatu forum diskusi yaitu melalui Focus Group Discussion
FGD. Kriteria untuk menyatakan model pembelajaran yang dikembangkan adalah valid yang
ditetapkan oleh Ratumanan dan Lauren 2006 terdiri atas 5 kategori yaitu tidak valid nilai 1, kurang valid nilai
2, cukup valid nilai 3, valid nilai 4, dan sangat valid nilai 5.
HASIL DAN PEMBEHASAN
a. Validitas Isi Model Pembelajaran berorientasi inkuiri terbimbing dengan multipel representasi
Data validitas
isi model
pembelajaran berorientasi inkuiri terbimbing dengan multipel
representasi dijaring dengan instrumen penilaian validitas isi model. Validitas isi model pembelajaran yang
dikembangkan merujuk pada defenisi validitas isi menurut Nieveen 2007 yaitu suatu model pembelajaran
dikatakan memiliki validitas isi yang baik, apabila komponen-komponen model dilandasi rasional teoritis
yang kuat state of the art knowledge. Penilaian ahli terhadap validitas isi terdiri atas empat aspek yaitu teori,
tujuan, sintaks, dan lingkungan belajar. Rata-rata hasil penilaian ahli terhadap empat aspek validitas isi model
pembelajaran berorientasi inkuiri terbimbing dengan multipel representasi tersebut secara berturut-turut adalah
4,7; 4,3, 4,6; dan 4,4. Hal ini berarti bahwa model pembelajaran berorientasi inkuiri terbimbing dengan
multipel representasi yang dikembangkan memiliki validitas isi dengan kategori sangat valid untuk semua
aspek yang dinilai. Secara keseluruhan para ahli menilai bahwa validitas model pembelajaran yang dikembangkan
memiliki validitas 4,7 dengan kategori sangat valid. Dengan
demikian, maka
karakteristik model
pembelajaran berorientasi inkuiri terbimbing dengan multipel representasi yang berhubungan dengan empat
komponen model pembelajaran terwujud dalam bentuk penilaian validator.
b. Valiitas Konstruk Model Pembelajaran berorientasi
inkuiri terbimbing dengan multipel representasi Selain validitas isi, ketiga validator juga diminta
untuk menilai validitas konstruk model pembelajaran berorientasi inkuiri terbimbing dengan multipel
representasi yang dikembangkan. Validitas konstruk model pembelajaran dinilai dengan menggunakan
instrumen penilaian validitas konstruk model. Validitas konstruk dilakukan dengan menilai kelogisan desain
model pembelajaran dan hubungan internal antar komponen model Nieveen, 2007. Aspek-aspek yang
dinilai pada validitas konstruk adalah: 1 kesesuaian antara tahapan model dengan tujuan yang ingin dicapai
tidak kontradiktif; 2 keterkaitan teori-teori pendukung dan karakteristik kimia saling mendukung; 3
ISBN 978-602-72071-1-0
pemahaman prinsip dari teori-teori pendukung dengan tujuan dan karakteristik kimia tidak kontradiktif; 4
keterkaitan setiap tahapan pembelajaran pada model berorientasi inkuiri terbimbing dengan multipel
representasi secara internal saling mendukung; 5 aktivitas mahasiswa dan dosen pada setiap tahapan
pembelajaran pada model berorientasi inkuiri terbimbing dengan multipel representasi saling terkait; 6
penggunaan sumber belajar untuk pencapaian tujuan saling mendukung; 7 pola interaksi antara dosen dan
mahasiswa saling mendukung; 8 perilaku dosen dalam memberikan motivasi dan bimbingan kepada mahasiswa
tergambar dalam tahapan model pembelajaran. Hasil penilaian terhadap kedelapan aspek validitas konstruk
model pembelajaran berorientasi inkuiri terbimbing dengan multipel representasi tersebut disajikan dalam
Tabel 1.
ISBN 978-602-72071-1-0
Tabel 1 Penilaian Ahli terhadap Validitas Konstruk Model Pembelajaran Berorientasi Inkuiri Terbimbing dengan Multipel Representasi
No. Aspek yang Dinilai
Rata-rata Penilaian
Kategori Validitas
1 Kesesuaian antara tahapan model dengan tujuan yang ingin dicapai tidak
kontradiktif 4,7
Sangat valid 2
Keterkaitan teori-teori pendukung dan karakteristik kimia saling mendukung 4,7
Sangat valid 3
Pemahaman prinsip dari teori-teori pendukung dengan tujuan dan karakteristik kimia tidak kontradiktif
4,7 Sangat valid
4 Keterkaitan setiap tahapan pembelajaran pada model berorientasi inkuiri
terbimbing dengan multipel representasi secara internal saling mendukung 4,7
Sangat valid 5
Aktivitas mahasiswa dan dosen pada setiap tahapan pembelajaran pada model berorientasi inkuiri terbimbing dengan multipel representasi saling
terkait 4,3
Valid 6
Penggunaan sumber belajar untuk pencapaian tujuan saling mendukung 5,0
Sangat valid 7
Pola interaksi antara dosen dan mahasiswa saling mendukung 4,3
Valid 8
Perilaku dosen dalam memberikan motivasi dan bimbingan kepada mahasiswa tergambar dalam tahapan model pembelajaran
4,0 Valid
ISBN 978-602-72071-1-0
Penilaian ahli terhadap validitas konstruk model pembelajaran menunjukkan bahwa dari delapan aspek
yang dinilai, tujuh aspek berada pada kategori sangat valid dan satu aspek berada pada kategori valid. Sesuai
kategori validitas konstruk model, validitas konstruk model pembelajaran berorientasi inkuiri terbimbing
dengan multipel representasi tergolong sangat valid. Keterkaitan antar tahapan sintaks dan antar komponen
model merupakan aspek validitas konstruk yang mendapatkan validasi sangat valid sehingga layak
digunakan dalam pembelajaran. Semua validator ahli menyatakan bahwa model pembelajaran berorientasi
inkuiri terbimbing dengan multipel representasi layak untuk digunakan dengan beberapa perbaikan.
Model pembelajaran
berorientasi inkuiri
terbimbing dengan
multipel representasi
telah menunjukkan adanya konsistensi antar komponen
model, yang meliputi teori, tujuan, sintaks model, dan linkungan. Hal ini dapat dikaji dari peranan mahasiswa
dan dosen, interaksi antar mahasiswa, interaksi antara dosen dengan mahasiswa yang telah tergambarkan dalam
setiap fase. Kegiatan pembelajaran berpusat pada mahasiswa sehingga dosen dapat berperan sebagai
fasilitator, pembimbing, dan mediator. Penggunaan sumber belajar, lingkungan belajar serta perilaku dosen
dalam mengelola pembelajaran harus mendukung pelaksanaan model. Dengan demikian akan tercapai
tujuan instruksional yang telah ditetapkan. Arends 2012 menyatakan bahwa seluruh pola yang terdapat
dalam model pembelajaran akan mengarah pada pencapaian tujuan. Adapun tujuan dari model
pembelajaran yang dikembangkan adalah untuk memfasilitasi perubahan kenseptual dan memperkuat
retensi mahasiswa. Model pembelajaran berorientasi inkuiri terbimbing dengan multipel representasi juga
telah menunjukkan adanya konsistensi antara model dengan teori yang melandasinya.
Beberapa teori yang digunakan sebagai landasan model pembelajaran berorientasi inkuiri
terbimbing dengan multipel representasi yaitu Pertama, teori konstruktivisme Piaget. Teori ini berkaitan dengan
proses pembentukan skema atau skemata. Proses pembentukan skema melibatkan dua aktivitas, yaitu
asimilasi dan akomodasi Slavin, 2011. Asimilasi terjadi bila ciri-ciri perangsang atau informasi baru bersesuaian
dengan ciri-ciri skema yang telah dimiliki. Apabila ciri- ciri perangsang tersebut tidak cocok dengan ciri-ciri
skema yang telah ada maka perangsang tersebut akan dilakukan akomodasi. Kedua, teori konstruktivisme
Vygotsky. Menurut Vygotsky bahwa peserta didik belajar melalui interaksi dengan orang lain atau teman sebaya
yang lebih mampu. Gagasan lainnya yang dikemukakan Vygotsky bahwa peserta didik paling baik mempelajari
konsep yang berada dalam zona perkembangan proksimal Slavin, 2011. Ketiga, teori pemrosesan informasi.
Model pemrosesan informasi membahas peran operasi- operasi kognitif dalam pemrosesan informasi. Inti dari
perkembangan dan pemrosesan informasi adalah terbentuknya sistem pada diri seseorang yang semakin
efisien untuk mengontrol aliran informasi. Woolfolk 2008 menyatakan bahwa informasi yang di encode
dalam ingatan sensorik dengan persepsi dan atensi menentukan apa yang akan disimpan dalam working
memory untuk digunakan lebih jauh. Keempat, teori
pengkodean ganda. Teori pengkodean ganda dual coding theory
merupakan teori tentang kognisi dan pikiran. Teori ini meramalkan bahwa informasi yang disajikan
secara visual maupun verbal diingat dengan lebih baik, daripada informasi yang disajikan hanya dengan satu
cara. Kelima, teori perubahan konseptual. Demircioglu, Ayas, dan Demircioglu 2005 mengutip pendapat
Hewson, 1996 bahwa perubahan konseptual merupakan bagian dari mekanisme pembelajaran yang mengharuskan
peserta didik untuk mengubah konsepsinya tentang suatu fenomena melalui restrukturisasi atau pengintegrasian
informasi baru ke dalam skemata yang ada. Posner et al. dalam Ozdemir dan Clark, 2007 mengemukakan bahwa
perubahan konseptual dapat berupa perluasan skema asimilasi, tetapi hal ini tidak menjamin hilangnya
pemahaman salah dalam pikiran siswa. Alternatif kedua adalah akomodasi atau rekonstruksi. Akomodasi ini
cenderung
lebih berperan
dalam memperbaiki
miskonsepsi pada siswa. Model
pembelajaran berorientasi
inkuiri terbimbing dengan multipel representasi juga telah
menunjukkan adanya konsistensi antara sintaks model. Adaupun sintaks model pembelajaran terdiri atas empat
tahap yaitu:
1.
Tahap orientasi dan identifikasi. Aktivitas dosen pada tahap ini adalah menyampaikan tujuan
pembelajaran dan melakukan identifikasi konsep awal yang dimiliki mahasiswa. Identifikasi konsep
yang dimiliki mahasiswa bertujuan mengetahui prakonsepsimiskonsepsi yang dialami mahasiswa.
2.
Tahap eksplorasi. Mahasiswa mengembangkan pemahaman tentang konsep dengan memberikan
serangkaian pertanyaan yang memandunya melalui proses eksplorasi dalam kegiatan kelompok. Pada
tahap ini jenis informasi dapat diproses dengan cara menyediakan berbagai sumber seperti demonstrasi,
praktikum, penjelasan verbal, visualisasi diagram, grafik, tabel data, animasi komputer, ataupun kajian
buku teks. Tahap eksplorasi juga mengharapkan mahasiswa berusaha untuk menjelaskan atau
memikirkan penjelasan yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala yang telah diamati untuk
menguji hipotesis atau jawaban sementara terhadap masalah. Pada tahap ini dosen memberikan
scaffolding
yang difokuskan pada aspek hubungan multipel representasi makroskopik, submikroskopik,
dan simbolik.
3.
Tahap konseptualisasi. Mahasiswa melaporkan hasil kegiatan eksplorasi melalui presentasi kelompok,
kemudian dosen memberikan penguatan dan mengarahkan mahasiswa melakukan penilaian
kebenaran konsep yang telah ditemukan. Dalam kegiatan ini dosen membimbing mahasiswa untuk
merestrukturisasikan
ide sehingga
terjadi penyelarasan
ide terhadap
struktur kognitif
mahasiswa dalam merumuskan kesimpulan dan meninjau konsep melalui representasi kimia
ISBN 978-602-72071-1-0
makroskopik, submikroskopik, dan simbolik.
4.
Tahap aplikasi: Dosen memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menyelidiki fenomena baru
dengan menggunakan konsep yang sudah ditemukan untuk menyelidiki fenomena tersebut lebih lanjut.
Mahasiswa didorong menggunakan pengetahuan dalam situasi baru melalui latihan dan masalah.
Latihan memberi mahasiswa kesempatan untuk membangun kepercayaan diri dalam situasi yang
sederhana,
sedangkan masalah
mensyaratkan mahasiswa untuk menganalisis situasi yang
kompleks, mentransfer pengetahuan untuk konteks asing, mensintesis dengan pengetahuan lain dalam
bentuk representasi
kimia makroskopik,
submikroskopik dan simbolik. Dari sintaks model ini terdapat adanya pengulangan representasi kimia pada
setiap tahap. Hal ini dimaksudkan agar informasi tidak hanya berhenti dalam memori jangka pendek
tetapi masuk dalam memori jangka panjang sehingga retensi mahasiswa terhadap konsep yang dipelajari
menjadi lebih baik.
Model pembelajaran
berorientasi inkuiri
terbimbing dengan multipel representasi juga memiliki konsistensi terhadap tugas-tugas yang terkait dengan
pengelolaan lingkungan belajar selama pembelajaran yaitu gurudosen menstrukturisasikan lingkungan belajar
dengan cukup ketat, mempertahankan fokus akademis, dan berharap siswamahasiswa menjadi pengamat dan
partisipan yang tekun. Perilaku buruk yang dapat terjadi selama pembelajaran dengan model pembelajaran
berorientasi
inkuiri terbimbing dengan multipel
representasi harus ditangani dengan tegas dan cepat. Dengan implementasi model pembelajaran
berorientasi inkuiri terbimbing dengan
multipel representasi, mahasiswa diharapkan berusaha membentuk
dan merestrukturisasi
konsepnya. Proses
ini membutuhkan
kemampuan mahasiswa
untuk menghubungkan
konsep-konsep kimia
melalui representasi makroskopik, submikroskopik dan simbolik.
Oleh karena itu, peran gurudosen adalah mendorong interaksi
dan memberikan
kesempatan kepada
siswamahasiswa untuk
mengeksplorasi proses
berpikirnya sendiri,
merestrukturisasi konsepnya,
menjelaskan konsep yang telah ditemukan, dan menerapkan konsep tersebut pada situasi yang mirip.
Memfasilitasi kegiatan
siswamahasiswa ini
membutuhkan lingkungan belajar yang terstruktur di mana
siswamahasiswa dapat
menjelaskan pemahamannya terhadap suatu konsep dengan bebas.
PENUTUP Simpulan
Tinjauan terhadap seluruh aspek validasi menunjukkan
bahwa model
pembelajaran INTERPELASI valid secara isi dan konstruk. Valid
secara isi karena komponen-komponen model dilandasi rasional teoritis yang kuat state of the art knowledge
dan valid secara konstruk karena antar bagian saling terkait. Model Pembelajaran INTERPELASI yang valid
dapat memberi peluang bagi para praktisi untuk menerapkannya dalam pembelajaran kimia dengan
sehingga dapat memfasilitasi perubahan konseptual dan retensi mahasiswa.
Perlu penelitian lanjutan sebagai bentuk finalisasi uji kepraktisan dan keefektifan model
Pembelajaran INTERPELASI sehingga akan dihasilkan model pembelajaran yang benar-benar memenuhi kriteria
valid, praktis, dan efektif untuk memfasilitasi perubahan konseptual dan retensi mahasiswa terhadap konsep-
konsep yang dipelajari.
DAFTAR PUSTAKA Arends, R. I. 1997. Classroom Instruction and
Management . New York: The McGraw-Hill
Companies, Inc. Arends, R. I. 2012. Learning to Teach; 9th
Edition . New York: T h e McGraw-Hill
Companies, Inc. Arikunto, S. 2013. Dasar-Dasar evaluasi Pendidikan.
Jakarta: Rineka Cipta Cetingul, P.I., Geban, O. 2005. Understanding Of
Acid-Base Concept By Using Conceptual Change Approach. Journal of Edueation. 29: 69-
74 Costu, B., Ayas, A., Niaz, M. 2010. Promoting
conceptual change in first year students’ understanding
of evaporation.
Chemistry Education Research and Practice
. 11, 5 –16.
Crosling, G. and Heagney, M. 2009. Improving Student Retention in Higher Education: Improving
Teaching and Learning. Australian Universities Review. 51 2. Pp. 9-18.
Demircioglu, G., Ayas, A., and Demircioğlu, H. 2005. Conceptual change achieved through a new
teaching program on acids and bases. Chemistry Education Research and Practice.
6 1, 36-51. Gilbert, J.K., Treagust, D.F. 2009.Introduction: Macro,
Submicro and Symbolic Representations and the Relationship between them: Key Models in
Chemical Education. In: Gilbert Treagust. Eds. Multiple Representations in Chemical
Education: Models and Modeling in Science Education
. Dordrecht: Spinger. Pp 1-8. Griffith,
A.K. and Preston, K.R. 1992. “Grade 12- Students’
Misconception Relating
to Fundamental Characteristics of Atom and
Molecules”. Journal of Research in Science Teaching. 29
6: 611-628. Metin, M. 2011. Effects Of Teaching Material Based On
5E Model Removed Pre- Service Teachers’
Misconceptions About Acids-Bases. Bulgarian Journal of Science and Education Policy
BJSEP, 5 2. 274 - 301
Nieveen, N. 2007. Formative evaluation in educational design research. In T Plomp and N Nieveen
Eds., An Introduction to Educational Design Research
pp. 89-101. Enschede: SLO, Netherlands
Institute for
Curriculum Development.
ISBN 978-602-72071-1-0
Ozdemir, G., and Clark, D.B. 2007. An Overview of Conceptual Change Theories. Eurasia Journal
of Mathematics,
Science Technology
Education. Vol. 3, No. 4, pp. 351-361.
Pikoli, M., Effendy, dan Ibnu, S. 2004. Identifikasi Tingkat Pemahaman dan Kesalahan Konsep
dalam Ikatan Kimia pada Mahasiswa Tahun I, II, III, dan IV Jurusan Pendidikan Kimia IKIP
Negeri Gorontalo.
Jurnal MIPA
dan Pembelajarannya
Universitas Negeri
Malang , Vol. 33, No. 2.
Pikoli, M. 2013. Identifikasi Miskonsepsi tentang Larutan Asam Basa dan Larutan Penyangga
Mahasiswa Pendidikan Kimia UNG. Studi Pendahuluan
penelitian pada
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia Universitas Negeri
Gorontalo. Pinarbasi, T., Sozbilir, M., and Canpolat, N. 2009.
Prospective Chemistry
Teachers’ Misconceptions About Colligative Properties:
Boiling Point Elevation And Freezing Point Depression. Chem. Educ. Res. Pract., Vol. 10,
pp. 273 –280
Ratumanan T.G., dan Laurens T. 2006. Evaluasi Hasil Belajar
. Surabaya: Unesa University Press Silberberg, M.S. 2009. Chemistry the Molecular Nature
of Matter and Change. New York: McGraw-Hill
Companies, Inc. Sirhan, G. 2007. Learning Difficulties in Chemistry: An
Overview. Journal
of Turkish
Science Education. 42. 2-20.
Slavin, R. 2011. Psikologi Pendidikan Teori dan Praktek. Jakarta: Indeks
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R D. Bandung: Alfabeta.
Ugulu. 2009. Determination Of Retention Of Students Knowledge And The Effect Of Conceptual
Understanding. Biotechnol Biotechnol. Eq. 23 Woolfolk, A. 2008. Educational Psycology. Active
Learning Edition . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
ISBN 978-602-72071-1-0
ANALISIS HASIL BELAJAR SISWA BERDASARKAN EMPAT DIMENSI GAYA BELAJAR FELDER-SILVERMAN
MELALUI MODEL PEMBELAJARAN STUDENT TEAM ACHIEVEMENT DIVISION
STAD MATERI HUKUM- HUKUM DASAR KIMIA PADA SISWA KELAS X SMK
KESEHATAN SAMARINDA
Abdul Majid
Jurusan MIPA, Program Studi Pendidikan Kimia Universitas Mulawarman E-mail: daeng1466gmail.com
ABSTRAK
Gaya belajar merupakan cara belajar yang dimiliki oleh setiap individu, yang dianggap termudah dalam menyerap, mengatur, dan mengolah informasi. Model gaya belajar yang dipilih adalah gaya belajar Felder-
Silverman yang terdiri atas empat dimensi yaitu; dimensi pemrosesan, dimensi persepsi, dimensi input, dan dimensi pemahaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gaya belajar yang dimiliki siswa, rata-rata
hasil belajar siswa pada setiap dimensi gaya belajar Felder-Silverman, dan mengetahui kesuaian model pembelajaran STAD jika diterapkan pada siswa dengan gaya belajar yang berbeda-beda.
Sampel penelitian terdiri dari 32 siswa kelas X Analis-1 SMK Kesehatan Samarinda yang dipilih melalui teknik probability sampling. Analisis dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Data kuantitatif diperoleh
dari skor hasil belajar siswa dan persentase gaya belajar siswa, sedangkan data kualitatif diperoleh melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar siswa
memiliki gaya belajar yang seimbang pada setiap dimensi gaya belajar Felder-Silverman dengan rata-rata hasil belajar tertinggi terdapat pada kelompok gaya belajar visual sedang dengan nilai 87,60. Rata-rata hasil
belajar siswa, 83,81 dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran STAD dapat mengakomodir seluruh gaya belajar siswa.
Kata Kunci:
Gaya Belajar Felder-Silverman, Hasil Belajar, Model Pembelajaran STAD
ISBN 978-602-72071-1-0 PENDAHULUAN
Seiring perkembangan zaman yang semakin pesat, pendidikan menjadi salah satu penentu kemajuan suatu
bangsa. Keberhasilan dalam pendidikan tidaklah terlepas dari kegiatan pembelajaran. Pembelajaran merupakan
interaksi atau hubungan timbal balik antara guru dan peserta didik dalam pendidikan.
Proses pembelajaran dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kondisi fisiologis dan psikologis, lingkungan
sekitar, sarana dan prasarana, hingga gaya belajar. Menurut Gunawan 2004, gaya belajar adalah cara yang
lebih kita sukai dalam melakukan kegiatan berpikir, memproses, dan mengerti suatu informasi.
Terdapat berbagai macam model gaya belajar, salah satunya adalah gaya belajar Felder-Silverman. Menurut
Felder, gaya belajar adalah cara ia memahami dan memproses informasi baru, memperoleh pengalaman
belajar baru, danatau memecahkan suatu masalah Hasrul, 2009. Model gaya belajar Felder-Silverman
terdiri atas 4 empat dimensi, yaitu dimensi pemrosesan active-reflective, dimensi persepsi sensing-intuitive,
dimensi input visual-verbal, dan dimensi pemahaman sequential-global. Rowinah, 2012.
Felder 1988 dalam jurnalnya yang berjudul ”Learning and Teaching Style in Engineering Education”
mengemukakan bahwa ketidaksesuaian antara gaya belajar siswa dengan cara mengajar guru menyebabkan
kurangnya perhatian siswa selama proses pembelajaran berlangsung dan berdampak pada rendahnya hasil belajar
siswa. Oleh sebab itu diperlukan suatu cara mengajar yang dapat mengakomodir kebutuhan gaya belajar siswa.
Cara mengajar diartikan disini diartikan sebagai metode, strategi, dan pendekatan yang tercakup dalam suatu
model pembelajaran.
Menurut Trianto 2007, model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan
sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial. Salah satu model
pembelajaran adalah model pembelajaran kooperatif tipe Student Team Achievement Division
STAD. Model pembelajaran ini merupakan model pembelajaran
kooperatif yang paling sederhana dan memiliki beberapa keunggulan, diantaranya adalah meningkatkan kerja sama
antar siswa, meningkatkan motivasi dan minat belajar siswa, serta meningkatkan rasa percaya diri siswa. Model
pembelajaran STAD diharapkan dapat efektif diterapkan pada kelas dengan siswa yang memiliki gaya belajar yang
berbeda-beda.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul ”Analisis
Hasil Belajar Siswa Berdasarkan Empat Dimensi Gaya Belajar Felder-Silverman Melalui Model Pembelajaran
Student Team Achievement Division STAD Materi
Hukum-hukum Dasar Kimia pada Siswa Kelas X SMK Kesehatan Samarinda”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gaya belajar siswa, mengetahui rata-rata hasil belajar siswa pada setiap dimensi gaya belajar Felder-
Silverman, dan untuk mengetahui sesuai atau tidaknya model pembelajaran STAD pada materi hukum-hukum
dasar kimia jika diterapkan pada siswa dengan gaya belajar yang berbeda-beda.
METODE PENELITIAN Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kelas X
SMA Kesehatan Samarinda. Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah kelas X Analis-1 sebanyak 32 siswa.
Sampel dipilih menggunakan teknik probability sampling tipe cluster sampling.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang terdiri dari 4 tahap, yakni tahap persiapan, tahap
pelaksanaan, tahap pengolahan data, dan tahap laporan akhir. Pengumpulan data dalam penelitian menggunakan
teknik tes, angketkuesioner, observasi, wawancara, dan dokumentasi.
Data gaya belajar siswa diperoleh melalui ILS Questionnaire
yang telah diterjemahkan dan disesuaikan dengan mata pelajaran kimia. Angket ini terdiri atas 44
item yang terdiri atas 2 opsi, yaitu opsi “a” dan opsi “b”.Setelah data diperoleh selanjutnya dianalisis
frekuensi kekuatan dan frekuensi kelemahan untuk setiap sub-skala gaya belajar. Selanjutnya ditentukan persentase
rata-rata gaya belajar siswa pada setiap dimensi gaya belajar Felder-Silverman.
Data hasil belajar siswa diperoleh melalui hasil posttest
untuk setiap kali pertemuan dan ulangan harian pada pertemuan terakhir. Pada penelitian ini digunakan
presentase pengambilan nilai untuk setiap kali pertemuan yaitu masing-masing 25 untuk nilai dari post test I dan
II, dan 50 untuk ulangan harian.
Keterangan : HB
= Hasil Belajar P
= Posttest UH
= Ulangan Harian Data hasil belajar yang telah diperoleh kemudian
disajikan dalam bentuk deskripsi. Analisis data tersebut meliputi penyajian data terkecil dan data terbesar, rentang
data, tabel distribusi frekuensi, rata mean, median, modus, varians dan simpangan baku standar deviasi,
serta grafik batang.
Hasil observasi yang diperoleh selama kegiatan pembelajaran dengan STAD kemudian diolah dengan
rumus :
Berdasarkan persentase tersebut, maka dapat diketahui sejauh mana efektivitas pembelajaran STAD dalam kelas.
Hasil wawancara antara peneliti dengan siswa, guru kimia, dan waka kurikulum selanjutnya dianalisis secara
kualitatif deskriptif untuk selanjutnya digunakan sebagai data pendukung.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Mei dan bertempat di SMK Kesehatan yang beralamat di
jalan Perjuangan. Hasil angket penentuan gaya belajar siswa disajikan
pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Persentase Gaya Belajar Siswa
HB = 25 P1 + 25 P2 + 50 UH
ISBN 978-602-72071-1-0 Data hasil belajar yang telah diperoleh kemudian
disajikan dalam bentuk deskripsi.
Tabel 4.2 Data Hasil Belajar Siswa
No. Data
Nilai
1. Rata-rata
83,81 2.
Modus 84
3. Median
83,5 4.
Varians 47,64
5. Simpangan Baku
6,90 Melalui data hasil belajar siswa yang telah diperoleh,
selanjutnya ditentukan rata-rata hasil belajar siswa berdasarkan setiap kelompok gaya belajarnya. Data
tersebut disajikan pada tabel 4.3.
Tabel 4.3
Rata-rata Hasil Belajar Siswa pada Setiap Dimensi Gaya Belajar
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gaya belajar siswa, mengetahui rata-rata hasil belajar siswa
pada setiap dimensi gaya belajar Felder-Silverman, dan untuk mengetahui sesuai atau tidaknya model
pembelajaran Student Team Achievement Division STAD pada materi hukum-hukum dasar kimia jika
diterapkan pada siswa dengan gaya belajar yang berbeda- beda. Sampel dalam penelitian ini adalah kelas X Analis-
1 SMK Kesehatan Samarinda. Penelitian ini dilaksanakan dalam 3 kali pertemuan. Pertemuan pertama dan kedua
adalah pembelajaran hukum-hukum dasar kimia dengan model pembelajaran STAD, dan pertemuan ketiga adalah
pelaksanaan ulangan harian.
Gaya Belajar Siswa
Gaya belajar merupakan cara belajar yang dianggap termudah dalam menyerap dan memahami suatu
informasi atau pelajaran. Dalam penelitian ini, peneliti akan memfokuskan kepada gaya belajar Felder-
Silverman karena model gaya belajar ini dapat menggambarkan gaya belajar siswa secara lebih rinci.
Selain itu, penelitian mengenai model gaya belajar tersebut masih kurang dibandingkan model gaya belajar
yang lain.
Penentuan gaya belajar Felder-Silverman dalam penelitian ini menggunakan instrumen berupa kuesioner
atau angket. Angket yang digunakan adalah ILS Index of Learning Style Questionnaire
yang terdiri atas 44 item, dimana setiap dimensi gaya belajar Felder-Silverman
terdiri dari 11 item. Setiap item soal memiliki 2 opsi pilihan, yakni opsi a dan opsi b. Setiap opsi yang dipilih
akan diberi skor 1 sedangkan yang tidak terpilih diberi skor 0. Keseluruhan skor akan dijumlahkan pada setiap
dimensi, dan selanjutnya disesuaikan dengan gaya belajar siswa berdasarkan ketentuan yang telah berlaku. Melalui
ketentuan tersebut dapat diketaui pula tingkat kekuatan sub-skala gaya belajar yang dimiliki siswa, apakah kuat,
sedang, atau seimbang.
Hasil dari angket akan menunjukkan empat gaya belajar yang dominan dimiliki siswa menurut model gaya
belajar Felder-Silverman. Persentase hasil angket gaya belajar siswa disajikan pada gambar 4.1.
Gambar 4.1
Grafik Persentase Gaya Belajar Siswa Berdasarkan grafik persentase pada gambar 4.1,
dapat diketahui bahwa sebagian besar siswa kelas X Analis-1 SMK Kesehatan Samarinda memiliki gaya
belajar yang seimbang antara kedua gaya belajar pada setiap dimensi. Menurut Felder dalam Aryungga 2014,
siswa dengan gaya belajar seimbang atau siswa yang memiliki preferensi rendah pada kedua gaya belajar
ISBN 978-602-72071-1-0 cenderung memerlukan kedua gaya belajar pada setiap
dimensi untuk memproses, mempersepsikan, menginput, dan memahami informasi sehingga dapat memahami
suatu konsep. Pada dasarnya, setiap individu memiliki potensi untuk kedua gaya belajar dari setiap dimensi.
Namun, dari keduanya pasti terdapat satu gaya belajar yang lebih dominan pada dirinya.
Hasil Belajar Siswa dengan Menggunakan Model Pembelajaran STAD
Model pembelajaran Student Team Achievement Division
STAD merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif yang menekankan pada adanya
aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai
materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. Model pembelajaran ini terdiri atas 6 enam tahap, yaitu
penyampaian tujuan dan motivasi, pembagian kelompok, presentasi dari guru, kegiatan belajar dalam tim kerja
tim, kuis, dan penghargaan prestasi tim Rusman, 2010.
Tahapan pertama model pembelajaran STAD dimulai dengan penyampaian tujuan pembelajaran dan
memberikan motivasi. Hal ini dilakukan agar dapat membangkitkan rasa ingin tahu terhadap materi yang
diajarkan. Tahapan selanjutnya adalah guru peneliti membentuk kelompok sebanyak 8 kelompok dimana
masing-masing kelompok terdiri dari 4 orang siswa yang heterogen. Melalui pembagian kelompok diharapkan
setiap siswa dapat saling membantu agar bisa memahami materi dengan baik.
Tahap selanjutnya adalah presentasi dari guru, dimana pada tahap ini guru menjelaskan secara singkat
mengenai materi hukum-hukum dasar kimia. Sesudah menjelaskan materi, guru memberikan kartu masalah
yang berisi serangkaian pertanyaan yang saling berkaitan yang akan didiskusikan oleh setiap kelompok. Diskusi
kelompok bertujuan agar siswa dapat saling berbagi kemampuan, saling menyampaikan pendapat, dan saling
membantu belajar. Pada saat siswa berdiskusi, guru mengamati kegiatan diskusi dalam kelompok dan
memberikan bantuan jika diperlukan. Selanjutnya, guru meminta setiap kelompok secara bergantian untuk
mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya. Setelah ditemukan hasil penyelesaian dari suatu masalah guru
memberikan kesempatan kepada masing-masing siswa untuk merefleksikan atau meninjau ulang hasil diskusi
dengan membuat kesimpulan dengan kata-kata mereka sendiri.
Guru selanjutnya memberikan kuis kepada siswa. Kuis dikerjakan secara individu dan setiap siswa tidak
diperkenankan untuk saling membantu dan bekerja sama dalam mengerjakan kuis. Hasil kuis digunakan sebagai
nilai individu dan akan digunakan untuk menentukan nilai kelompok. Nilai yang diperoleh melalui kuis dalam
penelitian ini juga dianggap sebagai nilai posttest. Tahap terakhir dalam pembelajaran dengan STAD adalah
penghargaan prestasi tim. Pemberian penghargaan kelompok didasarkan pada rata-rata nilai setiap individu
dalam kelompok. Penghargaan diberikan kepada kelompok yang memperoleh nilai rata-rata tertinggi.
Setelah pembelajaran materi hukum-hukum dasar kimia berakhir, selanjutnya data berupa nilai dianalisis
dan kemudian ditentukan nilai hasil belajar siswa. Melalui perhitungan diperoleh nilai rata-rata hasil belajar
siswa kelas X Analis-1 SMK Kesehatan Samarinda adalah 83,81; nilai ini lebih tinggi dibandingkan nilai
rata-rata siswa pada materi sebelumnya, yaitu 80,46 dan berada di atas nilai kriteria ketuntasan minimal KKM
untuk mata pelajaran kimia adalah 75. Nilai post-test I, post-test
II dan ulangan harian dalam materi hukum- hukum dasar kimia disajikan pada gambar 4.2
Gambar 4.2
Grafik Persentase Hasil Belajar Siswa Berdasarkan grafik persentase pada gambar 4.2,
dapat terlihat bahwa posttest I lebih rendah dibandingkan posttest
II. Hal ini dapat disebabkan karena pada pertemuan pertama siswa masih mengalami kesulitan
untuk mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran STAD dan pada diskusi kelompok hanya beberapa siswa
yang aktif, hal ini dapat terlihat dari siswa yang paham tidak membimbing teman dalam satu kelompok yang
masih belum paham.
Pada pertemuan kedua, siswa sudah mulai terbiasa dengan pembelajaran menggunakan model STAD. Siswa
juga lebih memperhatikan guru saat penyampaian tujuan dan motivasi. Pada saat penjelasan materi siswa juga
lebih memperhatikan dan aktif dalam bertanya jika ada yang tidak dipahami. Kegiatan diskusi juga berjalan
sangat aktif, mereka saling bekerja sama agar mendapatkan penghargaan kelompok. Bahkan terdapat
beberapa siswa yang membantu kelompok lainnya untuk menyelesaikan masalah.
Peneliti memilih untuk menggunakan model pembelajaran STAD karena model ini memiliki beberapa
kelebihan. Menurut Sri 1998, kelebihan model pembelajaran kooperatif tipe STAD diantaranya dapat
meningkatkan interaksi antar siswa seiring dengan peningkatan kemampuan mereka dalam berpendapat,
meningkatkan rasa percaya diri, dan dengan adanya penghargaan akan memberikan dorongan serta semangat
bagi siswa untuk mencapai hasil yang maksimal. Selain kelebihan, model pembelajaran STAD juga memiliki
kelemahan seperti waktu pembelajaran yang relatif lama dan tidak semua siswa suka bekerja sama. Kelemahan ini
dapat diatasi peneliti dengan mengatur dan membagi waktu secara baik, serta memberikan waktu untuk
berpikir dan menyimpulkan hasil diskusi secara individu.
Analisis Hasil Belajar Siswa Berdasarkan Empat Dimensi Gaya Belajar Felder-Silverman
ISBN 978-602-72071-1-0 Berdasarkan data hasil belajar dan gaya belajar
siswa, maka dapat ditentukan rata-rata hasil belajar siswa berdasarkan setiap kelompok gaya belajarnya. Data
tersebut disajikan pada gambar 4.3.
Gambar 4.3
Grafik Rata-rata Hasil Belajar Berdasarkan Gaya Belajar
Berdasarkan grafik pada gambar 4.3, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata hasil belajar siswa pada setiap
kelompok gaya belajar berada pada rentang 78 – 89,
sehingga pencapaian nilai akhir siswa termasuk ke dalam kategori tinggi dan melebihi nilai ketuntasan minimal.
Berdasarkan pembahasan data hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Student
Team Achievement Division STAD pada materi hukum-
hukum dasar kimia sesuai untuk diterapkan pada siswa dengan gaya belajar yang berbeda-beda. Hal ini
dikarenakan model pembelajaran STAD dapat merangkul semua teknik yang dibutuhkan oleh setiap gaya belajar.
Seperti pada pembelajar active terbantu dengan adanya diskusi kelompok, pembelajar reflective terbantu dengan
adanya refleksi untuk meninjau ulang kembali pelajaran yang dilakukan setelah diskusi, pembelajar sensing
terbantu dengan materi yang menyajikan konsep konkret seperti penyajian data dari hasil penelitian, pembelajar
intuitive
terbantu dengan materi yang menyajikan konsep abstrak seperti teori dalam hukum-hukum dasar kimia,
pembelajar visual terbantu dengan adanya demonstrasi dan modul pembelajaran, pembelajar verbal terbantu
dengan adanya penjelasan guru dan tanya jawab, pembelajar sequential terbantu dengan cara pembelajaran
yang urut atau sistematis, dan pembelajar global terbantu dengan adanya pemberian gambaran umum mengenai
materi.
Kesesuaian model pembelajaran STAD untuk diterapkan kepada siswa dengan gaya belajar yang
berbeda juga dibuktikan melalui hasil rata-rata belajar siswa pada setiap dimensi gaya belajar yang melebihi
nilai ketuntasan minimal dan rata-rata hasil belajar pada materi
sebelumnya yang
menggunakan model
pembelajaran konvensional. Optimalisasi Gaya Belajar dan Hasil Belajar
Gaya belajar merupakan salah satu faktor keberhasilan seseorang dalam proses belajar. Setiap jenis
gaya belajar memiliki kelebihan dan kekurangan masing- masing. Tidak ada gaya belajar yang lebih baik dari gaya
belajar yang lain. Semua gaya belajar memiliki tujuan yang
sama, yaitu
membantu seseorang
untuk memperoleh hasil belajar yang maksimal. Oleh karena
itu, sangatlah perlu bagi individu untuk mengenal gaya belajarnya masing-masing. Gaya belajar Felder-
Silverman memiliki dimensi yang dapat menjelaskan bagaimana seseorang memproses, mempersepsikan,
menginput, dan memahami suatu informasi. Setiap dimensi memiliki dua gaya belajar yang tidak dapat
dipisahkan dan saling terkait. Walaupun demikian, kebanyakan individu akan lebih cenderung pada salah
satu diantara kedua gaya belajar pada setiap dimensi tersebut.
Optimalisasi gaya belajar dapat dilakukan dengan cara membuat pembelajaran sedemikian rupa sehingga
dapat merangkul dan memfasilitasi kebutuhan setiap gaya belajar. Seperti yang telah dilakukan dalam penelitian ini,
pemilihan model pembelajaran STAD pada materi hukum-hukum dasar kimia dapat mengoptimalkan gaya
belajar siswa yang berbeda-beda, hal ini dibuktikan dengan tingginya nilai hasil belajar siswa yang diperoleh.
Namun perlu diingat bahwa optimalisasi gaya belajar ini tidak akan berhasil untuk meningkatkan hasil belajar
siswa jika tidak diimbangi dengan faktor lainnya, seperti kesehatan, minat dan bakat, dan motivasi juga perlu
diperhatikan.
Dengan demikian, untuk mendapatkan hasil belajar yang maksimal perlu diperhatikan banyak faktor.
Keterkaitan antar faktor tidak dapat diabaikan. Mengenal gaya belajar yang ada pada diri sendiri sangat diperlukan
bagi setiap individu. Hal ini dapat mempengaruhi cepat lambatnya proses pengolahan informasi. Jika seseorang
dapat memahami gaya belajarnya dan ditangani dengan strategi yang tepat dan sesuai gaya belajarnya, maka ia
dapat berkembang dengan lebih baik dan hasil pembelajaran yang baik dapat tercapai.
PENUTUP Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :
1. Gaya Belajar siswa kelas X Analis-1 SMK Kesehatan Samarinda sebagian besar memiliki gaya
belajar yang seimbang pada setiap dimensi gaya belajar Felder-Silverman.
2. Rata-rata hasil belajar siswa kelas X Analis-1 SMK Kesehatan Samarinda tertinggi pada dimensi
pemrosesan adalah kelompok gaya belajar active kuat dengan nilai 87,00; pada dimensi persepsi
adalah gaya belajar sensing sedang dengan nilai 86,25; pada dimensi input adalah kelompok gaya
belajar visual sedang dengan nilai 87,60; dan pada dimensi pemahaman adalah kelompok gaya belajar
sequential
sedang dengan nilai 87,50. 3. Model pembelajaran Student Team Achievement
Division STAD pada materi hukum-hukum dasar
kimia sesuai untuk diterapkan pada siswa dengan gaya belajar yang berbeda-beda. Hal ini dapat
dibuktikan dengan nilai rata-rata kelas yang
ISBN 978-602-72071-1-0 termasuk kategori tinggi, yakni 83,81; dan melebihi
nilai kriteria ketuntasan minimal untuk mata pelajaran kimia.
DAFTAR PUSTAKA Aryungga, S. 2014. Gaya Belajar Siswa yang Mengalami
Miskonsepsi Resisten pada Konsep Kimia. Skripsi, UNESA, 2014
Felder, R. M. and Silverman, L. 1988. Learning and Teaching Style in Engineering Education.
Engineering Education , volume 78, nomor 7,
1998 Gunawan, A. 2003. Genius Learning Strategy: Petunjuk
Praktis untuk Menerapkan Accelerated Learning .
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Hasrul. 2009. Pemahaman Tentang Gaya Belajar. Jurnal
MEDTEK, volume 1, nomor 2, Oktober 2009 Rowinah. 2012. Gaya Pembelajaran Pelajar Diploma
dalam Mempelajari Bahasa Jerman di Institut Jerman-Malaysia GMI
. Skripsi, Universiti Malaya, 2012
Rusman. 2010.
Model-model Pembelajaran:
Mengembangkan Profesionalisme Guru . Jakarta:
Rajawali Pers Sri, R. 1998. Kelebihan dan Kekurangan Model
Pembelajaran Kooperatif . Jakarta: Rineka Cipta
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik
. Jakarta: Prestasi Pustaka.
ISBN 978-602-72071-1-0
KEMAMPUAN BERARGUMENTASI MAHASISWA PENDIDIKAN KIMIA FKIP UNIVERSITAS
MULAWARMAN
Farah Erika
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Mulawarman,
E-mail: ikarafifa14gmail.com
ABSTRAK
Keterampilan berargumentasi menjadi salah satu kompetensi yang dibutuhkan saat ini karena dengan berargumentasi, keterampilan berpikir kritis dapat berkembang. Selain itu berargumentasi juga dapat
meningkatkan kinerja dan hasil belajar sains. Kemampuan untuk mengkaitkan antara data dengan kesimpulan dalam bentuk bukti dan dukungan sangat dipelukan dalam keterampilan berargumentasi. Dalam
penelitian ini digunakan strategi competing theory-stories untuk mengukur keterampilan berargumentasi pada materi alkil halida. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan argumentasi mahasiswa masih
rendah. Sebagian besar mahasiswa hanya mampu memberikan klaim dan bukti saja, mahasiswa belum mampu memberikan sanggahan maupun kontra argumen terhadap klaim yang diajukan.
Kata kunci
: Keterampilan berargumentasi; pembelajaran kimia organik
ISBN 978-602-72071-1-0
PENDAHULUAN Ilmu kimia sangat penting dalam kehidupan manusia,
karena semua aspek yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari seperti makanan, minuman, pakaian, obat-
obatan,
perumahan, kendaraan,
dan sebagainya
berhubungan dengan ilmu kimia. Dengan demikian, kehidupan manusia pada zaman modern seperti sekarang
sangat bergantung pada bahan-bahan kimia. Disamping itu, penguasaan terhadap ilmu kimia akan mempengaruhi
kualitas hidup seseorang. Dengan mempelajari ilmu kimia, maka hidup seseorang akan lebih mudah, lebih
murah, dan lebih baik. Sebagai ilmu, kimia dapat membantu masyarakat lebih baik memahami isu-isu
keberlanjutan dan menciptakan literasi konsumen yang lebih ilmiah, parents voters dan pengambil keputusan.
Literasi masyarakat secara ilmiah dapat mendorong kimia itu sendiri untuk mengembangkan praktek-praktek yang
lebih berkelanjutan Juntunen, 2015; Sujana, dkk, 2014. Gilbert dan Treagust 2009 mengklaim bahwa banyak
aspek literasi kimia yang memiliki aplikasi langsung dalam kehidupan sehari-hari, sehingga memungkinkan
seseorang menjadi warga negara yang lebih baik dan memungkinkan seseorang untuk memahami laporan dan
mendiskusikan tentang ilmu kimia dan bahan-bahan kimia, serta dapat mengatasi berbagai isu lingkungan
dalam kehidupan sehari-hari seperti efek rumah kaca, penipisan ozon, keasaman, dan sebagainya. Selain literasi
warga negara, dunia juga masih membutuhkan literasi ahli kimia yang lebih ramah pada lingkungan yang
dibimbing oleh nilai-nilai yang berkelanjutan. Saat ini, salah satu kendala utama salah satu tantangan dalam
pendidikan kimia adalah bahwa siswa dan guru jarang menghubungkan kimia dengan keberlanjutan atau
permasalahan etika. Penerapan isu keberlanjutan dalam pelajaran kimia tampaknya agak jarang di banyak negara.
Guru kimia tampaknya kurang dalam pengetahuan tentang pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan
dan keterampilan pedagogis yang relevan. Dalam rangka mendukung kewarganegaraan yang lebih berkelanjutan,
pendidik kimia harus mencapai keterampilan lintas disiplin abad ke-21. Ini termasuk keterampilan seperti
literasi lingkungan, berpikir siklus hidup, kompetensi untuk mengambil tindakan pada isu-isu sosial-ilmiah,
kewarganegaraan aktif dan keterampilan berargumentasi World Economic Forum, 2015; P21, 2015; Juntunen,
2015. Keterampilan berargumentasi menjadi salah satu
kompetensi yang dibutuhkan dewasa ini karena dengan berargumentasi keterampilan berpikir kritis dapat
berkembang Marttunen et al., 2005. Selain itu berargumentasi juga dapat meningkatkan hasil belajar
dan kinerja. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan kinerja dan hasil belajar sains pada
siswa
yang menggunakan
argumentasi dalam
pembelajarannya Cross et al., 2008; Sampson et al., 2008; Arianne et al., 2007. Argumentasi adalah wacana
yang sangat penting dalam proses sains dan harus diajarkan dan dipelajari di kelas sains sebagai bagian dari
inkuiri dan literasi ilmiah Jimenez-Aleixandre dan Erduran, 2007; Jimenez-Aleixandre et al., 2000; Kelly
dan Takao, 2002. Argumentasi dapat digambarkan sebagai semacam wacana di mana klaim pengetahuan
secara individual dan dikonstruksi secara kolaboratif serta dievaluasi dengan bukti empiris atau teoritis
Jimenez-Aleixandre dan Erduran, 2007. Gagasan pentingnya pembekalan keterampilan berargumentasi
kepada
siswa yaitu
bahwa 1
keterampilan berargumentasi berperan penting dalam membangun
suatu eksplanasi, model, dan teori dari suatu konsep yang dipelajari Zohar dan Nemet, 2002, karena dengan
melatihkan keterampilan
berargumentasi berarti
melatihkan kemampuan kognitif dan afektif yang dapat digunakan untuk membantu memahamkan konsep-
konsep dan proses-proses dasar sains Sampson dan Gerbino, 2010; Jimenez-Aleixandre dan Erduran, 2007,
2 idealnya pembelajaran sains selain membekalkan kemampuan
kognitif juga
harus membekalkan
keterampilan berargumentasi kepada siswa Osborne et al
., 2004; Cross et al., 2008; Kuhn, 2010. Pentingnya argumentasi
dalam pendidikan
sains telah
didokumentasikan dalam banyak studi Cavagnetto, 2010; Jiménez-Aleixandre dan Erduran, 2007; Newton et
al ., 1999. Erduran et al. 2015 mengungkapkan bahwa
beberapa kurikulum
dan dokuman
kebijakan internasional telah menganjurkan untuk menggabungkan
keterampilan argumentasi dalam pendidikan sains. Pemerintah dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia hanya mengakomodir sebagian dari keterampilan berargumentasi, yaitu
kemampuan bernalar dan kemampuan berpikir logis, kritis dan sistematis. Hal ini dapat dilihat dalam lampiran
permendikbud no 69 Tahun 2013 tentang Kompetensi Dasar dan Struktur Kurikulum SMAMA yang
menyebutkan bahwa salah satu kompetensi yang harus dicapai oleh siswa SMAMA melalui pembelajaran kimia
diantaranya adalah kemampuan bernalar. Pencapaian siswa dalam kemampuan bernalar masih
rendah, hal tersebut ditunjukkan oleh hasil studi Programme for International Student Assement
PISA. Hasil studi PISA tersebut menggambarkan bahwa siswa
Indonesia masih dalam kategori memiliki pengetahuan ilmiah secara terbatas dan hanya diterapkan untuk
beberapa situasi yang umum serta hanya dapat menyajikan penjelasan ilmiah jika diberikan bukti yang
eksplisit dan jelas OECD, 2010. Hasil studi tersebut juga menggambarkan bahwa siswa Indonesia belum
memiliki kemampuan bernalar secara ilmiah dan menyusun penjelasan berdasarkan bukti dan argumen
menggunakan analisis kritis OECD, 2013. Rendahnya kemampuan bernalar siswa diduga terkait dengan proses
pembelajaran yang belum sepenuhnya melatihkan keterampilan berargumentasi. Driver et al. 2000
mengidentifikasi salah satu hambatan utama dalam pembelajaran berargumentasi di kelas adalah kurangnya
ketrampilan pedagogis guru dalam mengatur wacana argumentatif di kelas dan hal tersebut menimbulkan
konsekuensi kurangnya kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk berlatih berargumentasi di kelas.
hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan argumen guru masih terbatas Zohar, 2008. Beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa guru tidak memahami dasar-dasar epistemologis argumentasi dan
ISBN 978-602-72071-1-0 bahwa mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan
pedagogis yang terbatas dalam merancang kegiatan pembelajaran untuk mendukung keterlibatan efektif
dengan argumentasi pada siswa-siswa mereka Duschl dan Osborn, 2002; Kuhn, 2010; Simon et al, 2006; Ogan-
Bekiroglu dan Aydeniz, 2013. Beberapa hasil penelitian menunjukkan pula masih kurangnya kemampuan
argumentasi mahasiswa calon guru.
Kualitas argumentasi berdasarkan tes tertulis juga masih rendah karena hanya 10 mahasiswa yang
mengembangkan wacana argumentatif. Sementara itu dari 10 hanya 4 yang memiliki struktur argumentasi
yang cukup baik Roshayanti dan Rustaman, 2009. Keterampilan kontra argumen dan keterampilan
sanggahan masih harus dikembangkan oleh mahasiswa calon guru sains, selain itu teridentifikasi adanya
perbedaan tren ketrampilan argumentasi yang mana mahasiswa calon guru mengalami miskonsepsi dalam
konsepsi ilmiah Acar et al., 2015. Mengingat peran guru dalam pembelajaran yang sangat penting, maka
seorang
guru harus
mempunyai kemampuan
berargumentasi yang lebih dibandingkan yang lainnya, dalam meningkatkan mutu pendidikan. Bukan hanya
guru, mahasiswa calon guru juga harus memiliki keterampilan berargumentasi yang lebih baik agar nanti
pada saatnya melaksanakan tugas sebagai guru dapat me- laksanakan pembelajaran dengan sebaik-baiknya.
Berdasarkan kondisi di atas dan mengingat pentingnya keterampilan berargumentasi maka perlu adanya usaha
untuk mengembangkan dan melatihkan keterampilan tersebut dalam proses pembelajaran, diantaranya melalui
penerapan strategi pembelajaran yang tepat. METODE PENELITIAN
Responden penelitian
adalah mahasiswa
Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Mulawarman sebanyak 30orang. Pengumpulan data
keterampilan berargumentasi ilmiah digunakan teknik tes. Untuk menilai kemampuan argumentasi, digunakan
tes yang melibatkan strategi Competing Theories
–Story Osborne, et al., 2004. Mahasiswa diberikan competing
theory tentang isi materi pembelajaran yang dikaitkan
dengan suatu cerita dan responden ditugaskan untuk memberikan klaim bukti dan penjelasan atas bukti untuk
menjustifikasi bukti tersebut. Mahasiswa juga diminta untuk memberikan sanggahan dan kemungkinan suatu
counter argument
. Keterampilan argumentasi mahasiswa dinilai untuk materi alkil halida.
Sebelum memberikan tes argumentasi, perlu dirumuskan beberapa definisi operasional yang meliputi
istilah argumentasi, argumen, justifikasi, counter argumen
, bantahan. Argumentasi didefinisikan sebagai proses berdebat antara beberapa pandangan alternatif.
Argumentasi dapat menjadi argumen antar orang yang memiliki pandangan yang berbeda serta dapat menjadi
argumen individu ketika berdebat antara berbagai alternatif. Argumen didefinisikan sebagai pola penalaran
yang ditawarkan oleh Toulmin 1958. Menurut pola ini, komponen penting dari argumen adalah data, bukti, dan
klaim. Dalam argumen yang lebih kompleks, dukungan, sanggahan, dan kualifikasi dapat diamati. Justifikasi
didefinisikan sebagai kaitan logis yang menghubungkan data ke klaim dalam argumen. Justifikasi termasuk bukti
dan dukungan yang merupakan kaitan dari data ke klaim sesuai dengan pola argumentasi Toulmin. Counter-
argumen
adalah perdebatan pada suatu teori alternatif dalam situasi dimana orang yang berargumen tidak
mendukung tetapi memiliki penjelasan yang baik. Dalam counter-argumen
terdapat beberapa alternatif teori yang menjelaskan suatu fenomena. Bantahan merupakan
pernyataan yang
bertujuan untuk
memberikan keterbatasan teori alternatif.
Aspek keterampilan berargumentasi yang diukur meliputi ketepatan dan kualitas mahasiswa dalam memberikan
bukti dan justifikasi terhadap argumen, kontra argumen, dan sanggahan Acar dan Patton, 2012. Keterampilan
berargumentasi merujuk pada rubrik yang dikembangkan oleh Osborne et al., 2004 sebagaimana ditunjukkan
pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Analisis Kualitas Argumen berdasarkan bukti
dan pembenaran Osborne, et al., 2004 Level
1 Argumentasi berisi argumen dengan
satu klaim sederhana melawan suatu klaim
yang melawan
klaim bertentangan lainnya
Level
2 Argumentasi berisi argumen dari suatu
klaim melawan klaim lain dengan data pendukung namun tidak berisi sanggahan
Level
3 Argumentasi berisi suatu rangkaian klaim
atau klaim berlawanan dengan data pendukung dan sedikit sanggahan
Level
4 Argumentasi
menunjukan argumen
dengan suatu sanggahan yang jelas serta memiliki
beberapa klaim
dan counterclaim
Level
5 Argumentasi menyajikan argumen yang
diperluas dengan lebih dari satu sanggahan
Pada tes argumentasi untuk materi alkil halida, responden diberikan suatu permasalahan mengenai reaksi senyawa
sikloheksil klorida dengan metanol. Disini responden diberi pilihan, apakah reaksi berjalan melalui reaksi
subtitusi SN1SN2 ataukah melalui reaksi eliminasi E1E2 atau apakah bisa melalui baik reaksi subtitusi
maupun eliminasi. Responden yang memilih jalur reaksi SN1 diminta untuk menyatakan klaimnya disertai bukti,
kemudian
menggunakan bukti
tersebut untuk
menjustifikasi klaim yang sudah diajukan. Begitu pula halnya dengan yang memilih jalur reaksi E1 ataupun
yang memilih kedua jalur reaksi. Responden juga
ISBN 978-602-72071-1-0 diberikan kesempatan untuk memberikan sanggahan
terhadap klaim yang diajukan temannya ataupun kemungkinan kontra argumen.
HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk menjawab permasalahan diharapkan responden
lebih memperhatikan dua jenis reaksi dari alkil halida, yaitu reaksi substitusi dan reaksi eliminasi. Reaksi
subtitusi nukleofilik yang terdiri dari dua tipe reaksi yaitu, reaksi subtitusi unimolekular SN1 dan reaksi
subtitusi bimolekular SN2. Reaksi SN1 merupakan reaksi penggantian spesi kimia dua langkah. Langkah
pertama adalah ionisasi untuk membentuk karbokation dan langkah kedua adalah reaksi karbokation dengan
nukleofil. Reaksi SN2 adalah sebuah reaksi bimolekular perpindahan serentak dari satu spesi kimia dengan yang
lain pada atom karbon yang terhibridisasi sp
3
. Dua reaksi utama lainnya dari alkil halida adalah reaksi eliminasi,
tipe reaksi orde satu E1 dan reaksi orde dua E2. Reaksi E1 adalah eliminasi multistep, dimana gugus
pergi lepas pada tahap ionisasi yang berjalan lambat dan kemudia proton lepas pada tahap kedua. Pembentukan
produk alkena yang lebih tersubtitusi lebih disukai. Reaksi E2 adalah reaksi eliminasi serentak yang
melibatkan keadaan transisi dimana basa kehilangan protonnya pada waktu yang bersamaan dengan lepasnya
gugus pergi Solomon, 1998. Responden juga harus memperhatikan substrat yang digunakan adalah alkil
halida sekunder yang memiliki peluang mengalami empat mekanisme seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
tidak seperti alkil halida primer dan alkil halida tersier, yang tidak memiliki kemungkinan menjalani keempat
mekanisme tersebut. Hasil tes argumentasi menunjukkan bahwa hanya sekitar
10 responden 33 yang mampu memberikan klaim dan bukti, sedangkan 20 responden 67 lainnya hanya
mampu memberikan klaim saja. Secara keseluruhan responden hanya mampu memberikan klaim dan bukti
saja. Argumentasi responden kebanyakan hanya berisi argumen dengan satu klaim sederhana melawan suatu
klaim yang melawan klaim bertentangan lainnya atau berada pada level 1.
Responden belum mampu menggunakan bukti yang ada untuk menjustifikasi klaim yang diajukan. Responden
juga belum bisa memberikan sanggahan maupun kontra argumen terhadap klaim yang diajukan.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya kesenjangan dalam pemahaman dan prinsip-prinsip
warrants yang tidak benar pada mahasiswa dalam menyelesaikan soal kimia organik yang berkaitan dengan
materi alkil halida. Mahasiswa belum dapat mengklasifikasikan substansinya apakah termasuk basa
yang dapat kehilangan proton dalam reaksi eliminasi ataukah termasuk nukleofil yang dapat bereaksi dengan
atom karbon dalam reaksi subtitusi nukleofilik, termasuk kemampuan untuk membedakan antara kebasaan dan
nukleofilitas. Sangat penting untuk memiliki kemampuan untuk menilai kekuatan basa dan nukleofil
dengan membuat perbedaan antara spesi yang kuat dan lemah.
PENUTUP Simpulan
Keterampilan berargumentasi adalah hal yang penting yang perlu dikembangkan pada pembelajaran
kimia. Kemampuan argumentasi mahasiswa dalam pembelajaran kimia organik dapat diukur menggunakan
instrumen tes argumentasi. Hasil tes menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa hanya mampu
memberikan klaim dan bukti saja, mahasiswa belum mampu memberikan sanggahan maupun kontra argumen
terhadap klaim yang diajukan. Dengan mengaplikasikan model argumentasi, kesenjangan dalam pemahaman dan
prinsip-prinsip yang tidak benar pada mahasiswa, yang menyebabkan mahasiswa membuat kesalahan dalam
menjawab soal kimia organik dapat diidentifikasi. Mengingat pentingnya keterampilan berargumentasi
maka perlu adanya usaha untuk mengembangkan keterampilan tersebut dalam proses pembelajaran,
diantaranya melalui penerapan model ataupun strategi pembelajaran yang tepat. Peran guru dalam pembela-
jaran yang sangat penting, maka seorang guru harus mempunyai kemampuan berargumentasi yang lebih
dibandingkan
kemampuan yang
lainnya, dalam
meningkatkan mutu pendidikan. Bukan hanya guru, mahasiswa calon guru juga harus memiliki keterampilan
berargumentasi yang lebih baik agar nanti mampu melaksanakan tugas sebagai guru sehingga dapat me-
laksanakan pembelajaran dengan sebaik-baiknya. DAFTAR PUSTAKA
Acar, Ö
., dan Patton, B. R. 2012. “Argumentation and formal reasoning skills in an argumentation
based guided inquiry course”. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 46. 4756
– 4760. Acar, Ö., Patton, B. R., dan White, A. L. 2015.
“Prospective Secondary Science Teachers Argumentation Skills and the Interaction of
These Skills
with Their
Conceptual Knowledge”. Australian Journal of Teacher
Education, 40 9. 132-156.
Arianne M. D, Kemm, R.E. 2007
. “A Blended
Approach to Active Learning in a Physicology Laboratory-Based Subject Facilitated by an E-
Learning Component”. Advan Physiol Educ, 32, 65-75.
Cavagnetto, A.R. 2010. “Argument to Foster Scientific Literacy A Review of Argument Interventions in
K –12 Science Contexts”. Review of Educational
Reasearch , 80 3, 336-371.
Cross, D., Taasoobshirazi, G., Hendricks, S. dan Hickey, D. 2008. “Argumentation: A Strategy for
Improving Achievement
and Revealing
Scientific Identities”. International Journal of Science Education
, 30 68, 837-861.
ISBN 978-602-72071-1-0 Driver, R., Newton, P., dan Osborne, J. 2000.
“Establishing the Norms of Scientific Argumentation in Classrooms”. Science
Education, 84 3, 287
–312. Duschl, R. dan Osborne, J. 2002. “Supporting and
Promoting Argumentation Discourse in Science Education”. Studies in Science Education, 38,
39-72. Erduran, S., Ozdem, Y. dan Park, Jee-Young. 2015.
“Research Trends on Argumentation in Science Education: A Journal Content Analysis from
1998 –2014”. International Journal of STEM
Education , 25, 1-12.
Gilbert, J.K. dan Treagust, D. 2009. Multiple Representations
in Chemical
Education .
Springer Science+Business Media B.V. Jim’enez-Aleixander, M.P., Rodri’guez, A.B., dan
Duschl, R.A. 2000. “Doing the Lesson” or “Doing Science”: Argument in High School
Genetics”. Science
Education ,
John WileySons Inc. 758-792.
Jim’enez-Aleixandre M.P., dan Erduran, Sibel. 2007. Argumentation in Science Education: An
Overview. Argumentation in Science Education:
Perspectives from Classroom-Based Research pp 3-28. Springer Science + Business Media
B.V. Juntunen, M. 2015. Holistic and Inquiry-Based
Education for Sustainable Development in Chemistry
. Unpublished
Dissertation. University of Helsinki.
Kelly, G.J., dan Takao, A.2002. “Epistemic Levels in Argument:
An Analysis
of University
Oceanography Students’Use of Evidence in Writing.” Science education, 2002, Wiley
Periodicals Inc. 314-342. Kuhn, D. 2010. “Teaching and Learning Science as
Argument”. Science Education, 94 5, 810-824. Marttunena, M., Leena, L., Lia, L. dan Kristine, L.
2005. “Skills as Prerequisites for Collaborative Learning among Finnish, French, and English
Secondary School Students”. Educational Research and Evaluation
, 11 4. 365 –384
. Newton, P. E., Driver, R., dan Osborne, J. 1999. “The
Place of Argumentation in the Pedagogy of School Science”. International Journal of
Science Education , 215, 553-576.
OECD. 2010. PISA 2009 Results: What Students Know and Can Do-Student Performance in Reading,
Mathematics and
Science; Volume
I .
http:dx.doi.org10.17879789264091450-en OECD. 2013. PISA 2012 Results: What Students Know
and Can Do-Student Performance in Reading, Mathematics and Science, Volume I
. PISA. OECD
Publishing. http:dx.doi.org10.17879789264201118-en
Ogan-Bekiroglu, F., dan Aydeniz, M .2013. “Enhancing
Pre- service Physics Teachers’ Perceived Self-
efficacy of Argumentation-based Pedagogy through Modelling and Mastery Experiences”.
Eurasia Journal of Mathematics, Science Technology Education,