Besarnya Pengaruh Kreativitas terhadap

ISBN 978-602-72071-1-0 DAFTAR PUSTAKA Anik, Pamilu. 2007. Mengembangkan Kreativitas Dan Kecerdasan Anak . Jakarta: Buku kita. Brady, J. E. 1999. Kimia Universitas Asas dan Struktur . Bandung: Binarupa Aksara. Campbell, David. 1986. Mengembangkan Kreativitas . Yogyakarta: Anggota IKAPI. Chang, Raymond. 2005. Kimia Dasar Konsep- konsep Inti. Edisi Ketiga Jilid 2.Jakarta: Erlangga Darsono, Max. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Semarang : IKIP Semarang Press. Djamarah dan Zain Aswan. 2002. Strategi Belajar Mengajar . Jakarta: Rineka Cipta Ibrahim, M dan Nana Syaodih. 2003. Perencanaan Pengajaran. Jakarta : Rineka Cipta. Munandar, Utami. 2009. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta: PT Gramedia. Munandar, Utami. 2012. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: PT Rineka Cipta Purba, Michael. 2006. Kimia Untuk SMA Kelas XI, Jakarta; Penerbit Erlangga. Sadiman, Arif S, dkk. 2007. Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatnya . Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Santoso, T dan Sukarmin. 2013. Pengembangan Media Pembelajaran Blog Kimia Berbasis Mobile Education. UNESA Journal of Chemical Education Vol II No.1. Januari 2013. Slameto. 2005. Belajar dan Faktor- faktor yang mempengaruhinya . Jakarta: Rineka Cipta. Slameto. 2005. Belajar dan Faktor- faktor yang mempengaruhinya . Jakarta: Rineka Cipta. Suharnan. 2005. Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi. ISBN 978-602-72071-1-0 VALIDITAS MODEL BERTANYA KRITIS BERBASIS INKUIRI UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS MAHASISWA CALON GURU KIMIA Tri Santoso 1 Leny Yuanita 2 Soeparman Kardi 3 1 Program Studi Pendidikan Kimia PMIPA FKIP Universitas Tadulako 2,3 Program Studi Pendidikan Sains, Universitas Negeri Surabaya Email: tri_paluyahoo.co.id ABSTRAK Kurikulum 2013 merekomendasikan agar pembelajaran dilakukan dengan pendekatan ilmiah scientific approach , conto hnya pe ndekata n i nkuir i. K unc i keb er ha si la n pe nde kat a n pembelajaran ini adalah kemampuan siswa mengajukan pertanyaan kritis. Beberapa hasil studi pembelajaran kimia terungkap bahwa pertanyaan siswa yang muncul sangat sederhana dengan frekuensi aktivitas mengajukan pertanyaan rendah Katchevich Hofstein ,2013; Eshach et al., 2014; Santoso, 2014. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, peneliti mengembangkan model pembelajaran inkuiri berorientasi bertanya kritis untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis mahasiswa calon guru kimia yang diberi nama Model Bertanya Kritis Berbasis Inkuiri BKBI. Model pembelajaran ini diperoleh dari hasil kajian teoritik. Isi dan konstruk model pembelajaran BKBI yang dikembangkan divalidasi oleh para pakar melalui Focus Group Discussion FGD. Menurut para pakar, bahwa isi dan konstruk model pembelajaran BKBI ini valid dan dapat diimplementasikan dalam pembelajaran untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Kata Kunci: validitas, model pembelajaran, keterampilan bertanya kritis, keterampilan berpikir kritis. ABSTRACT A curriculum 2013 recommended that the learning is done with a scientific approach, an example is the inquiry approach. The key to the success of this learning approach is the student ability to ask critical questioning. Some studies of chemistry learning show students have difficulty to ask critical questions Katchevich Hofstein, 2013; Eshach et al., 2014; Santoso, 2014. To overcome these problems, researchers developed a learning inquiry model oriented critical question to develop critical thinking skills of student named Model Bertanya Kritis Berbasis Inkuiri, BKBI critical question - inquiry based for learning Chemistry. This learning model is derived from theoretical studies. A content and construct of BKBI model validated by experts through Focus Group Discussions FGD. According to experts, that the contents and construct of BKBI model is valid and can be implemented in learning to develop critical thinking skills. Keywords: validity, model of learning, critical questioning skills, critical thinking skills. ISBN 978-602-72071-1-0 PENDAHULUAN Standar Kompetensi Lulusan Kurikulum 2013 memberikan tiga sasaran pembelajaran, yaitu: 1 sikap yang dapat dicapai melalui aktivitas mene-rima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan mengamalkan; 2 pengetahuan yang dapat diperoleh melalui aktivitas mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, dan mengevaluasi; dan 3 keterampilan yang dapat diperoleh melalui aktivitas mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta. Untuk mewujudkan pencapaian ketiga ranah kompetensi tersebut maka dalam proses pembelajaran perlu menggunakan pembelajaran berbasis penyingkapan pene-litian discoveryinquiry learning untuk memperkuat pendekatan ilmiah scientific dan tematik Permendikbud No. 65 Tahun 2013 . Proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang sesuai dengan tujuan pembe-lajaran Kurikulum 2013 salah satunya adalah pendekatan inkuiri. Penekanan pembelajaran inkuiri meminta siswa berpikir tentang apa yang siswa tahu, mengapa siswa tahu, dan bagaimana caranya siswa untuk tahu Carin, 1993. Jadi, kunci pembelajaran berbasis inkuiri adalah mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan tentang topik yang dipelajari dan mengeksplorasi jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Pebelajar diarah-kan menjadi seorang pengaju masalah pertanyaan problem poser dan juga sekaligus pemecah masalah problem solver Flick Lederman, 2006. Hal ini sejalan dengan Teori Bruner, siswa belajar terbaik melalui penemuan, sehingga siswa berperan sebagai pemecah masalah yang berinteraksi dengan lingkungan Koes, 2003. Beberapa hasil penelitian pembelajaran kimia berbasis inkuiri menunjukkan adanya masalah: 1 kemampuan mahasiswa mengajukan pertanyaan sangat sedikit dan terbatas pada tipe pertanyaan yang bersifat klarifikasi, sehingga menyebabkan diskusi mahasiswa tidak menggambarkan epistemik ilmiah sesungguhnya Katchevich Hofstein,2013; 2 kemampuan mahasiswa merumuskan pertanyaan atau hipotesis, menunjukkan pertanyaan-pertanyaan yang sangat sederhana atau tumpul Passmore Svoboda, 2012; Eshach et al., 2014; 3 akktivitas pebelajar mengajukan pertanyaan rendah Suryanti, 2012; dan 4 terjadi fenomena bahwa, seiring dengan bertambahnya tingkat pendidikan banyak siswa jarang mengajukan pertanyaan, bahkan telah berhenti bertanya Kaberman Dori, 2008. Menurut Thoms 1999 dan Browne Keeley 2012 permasalahan tersebut di atas semestinya tidak akan muncul karena bertanya merupakan karakter alami yang dimiliki oleh setiap pebelajar, dan pebelajar tersebut dapat mengembangkan keterampilan bertanyanya, tetapi mereka tidak dapat mengembangkan sendiri untuk menghasilkan pertanyaan kritis secara otomatis. Dalam hal ini, pendidik perlu berupaya untuk mem-bantu siswa belajar bertanya kritis . Bentuk bantuan perlu dirancang bagaimana memfasi-litasi siswa aktif mengajukan pertanyaan, sehingga menghasilkan pertanyaan kritis yang memicu rangkaian pertanyaan-pertanyaan lain. Akhirnya, rangkaian pertanyaan-pertanyaan tersebut akan mendorong pebelajar berpikir kritis sejak di awal sampai di akhir proses pembelajaran. Rancangan pembelajaran untuk memfasilitasi pebelajar mengembangkan keterampilan bertanya kritis, dapat dilakukan dengan cara memodifikasi fase-fase pembelajaran inkuiri. Hal ini dimungkinkan karena karakter pembelajaran melalui inkuiri adalah adanya kegiatan mempertanyakan di setiap fase pembelajaran. Pertanyaannya adalah bagaimanakah rancangan pembelajaran inkuiri yang dapat memfasilitasi pebelajar mengembangkan pertanyaan kritis di setiap fase pembelajaran? METODE PENELITIAN Metode pengembangan rancangan pembelajaran mengacu kepada tiga tahapan pertama dari R D Gall, Gall, Borg 2003, yaitu: studi literatur dan penelitian dalam skala Kecil reseach and information collecting, merumuskan tujuan dan mendesain draf model pembelajaran planning, dan pengembangan model pembelajaran preliminary form of product. Studi Literatur dan Penelitian dalam Skala Kecil reseach and information collecting. Pada tahapan ini dilakukan aktivitas kajian literatur untuk mengindentifikasi keunggulan dan kelemahan penerapan model pembelajaran kimia berbasis inkuiri serta mencari alternatif solusi untuk mengatasi kelemahannya. Kajian literatur selanjutnya mencari teori- teori dan hasil-hasil penelitian yang dapat digunakan untuk mendukung pengem-bangan model pembelajaran, dan terakhir melakukan observasi pendahuluan terhadap kemampuan mahasiswa meng-ajukan pertanyaan. Merumuskan Tujuan dan Mendesain Draf Model Pembelajaran planning. Kegiatan penelitian pada tahap perumusan dan perancangan draf model adalah sebagai berikut. 1. Melakukan refleksi berkaitan dengan keunggulan dan kelemahan penerapan model pembelajar-an kimia berbasis inkuiri serta mencari alternatif solusi untuk mengatasi kelemahannya. 2. Merumuskan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian, dan 3. Mengkaji literatur untuk mencari teori-teori dan hasil-hasil penelitian yang dapat digunakan untuk mendukung pengembangan model pembelajaran. Pengembangan Model Pembelajaran preliminary form of product . Kegiatan ini dimulai dari validasi draft model oleh ahli-ahli, yang masing-masing memiliki keahlian dalam bidang kimia dan keahlian dalam bidang pembelajaran sains. Kegiatan validasi dilaksankan dalam suatu forum diskusi yang biasa disebut Focus Group Discussion FGD. Lembar validasi model pembelajaran digunakan untuk memperoleh data validitas isi dan konstruk dari model pembelajaran. Lembar validasi diisi pakar yang menelaah dan menilai model pembelajaran yang dikembangkan oleh peneliti pada saat Focus Group ISBN 978-602-72071-1-0 Discussion FGD. Perhitungan reliabilitas instrumen lembar validasi model pembelajaran BKBI didasarkan pada interobserer agreement yang diperoleh dari analisis statistic percentage of agreement R Borich, 1994, yaitu: R Keterangan: R : Koefisien reliabilitas. A : Skor tertinggi dari ketiga validator. B : Skor terendah dari ketiga validator. Instrumen yang dikembangkan dikatakan reliabel jika mempunyai persentase ≥ 75 Borich, 1994. Validitas model pembelajaran BKBI ditentukan dengan mengacu pada kriteria validitas yang terdapat pada Tabel 1. Tabel 1 Kriteria penilaian validasi model pembelajaran Interval Skor Kriteria Penilaian Keterangan 3.25 P≤ 4.00 Sangat valid Dapat digunakan tanpa revisi 2.50 P≤ 3.25 Valid Dapat digunakan dengan sedikit revisi 1.75 P≤ 2.50 Kurang valid Dapat digunakan dengan banyak revisi 1.00≤ P≤ 1.75 Tidak Valid Belum dapat digunakan dan masih memerlukan konsultasi Adaptasi Ratumanan Laurens, 2006 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Pembelajaran Kimia Berbasis Inkuiri Ada dua catatan penting dikemukakan oleh Katchevich Hofstein 2013 dalam pelaksanaan pembelajaran kimia berbasis inkuiri: 1 eksperimen inkuiri memiliki potensi sebagai kerang-ka platform yang efektif untuk meru-muskan argumen karena inkuiri memiliki karakter pembelajaran yang mendukung proses argumentasi, dan 2 selama proses pembelajaran ditemukan diskusi mahasiswa tidak menggambarkan epistemik ilmiah sesungguhnya, karena pertanyaan yang muncul sangat sedikit dan terbatas pada tipe pertanyaan yang bersifat klarifikasi, dan mahasiswa melakukan pengabaian terhadap kemungkinan adanya kesalahan dalam mengamati dan mengumpulkan data. Temuan Katchevich Hofstein didukung oleh Kind et al. 2011 yang mengatakan bahwa kegiatan inkuiri di laboratorium berjalan secara monoton tahap demi tahap, mahasiswa bekerja mulai dari masalah berupa pertanyaan di awal eksperimen, jarang melakukan diskusi dan langsung mengarah ke kesimpulan akhir. Jika mahasiswa diminta untuk merumuskan pertanyaan atau hipotesis yang berkaitan dengan pengamatan atau demonstrasi, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sangat sederhana atau tumpul Passmore Svoboda, 2012; Eshach, Ziderman, Yefroimsky, 2014. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, perlu dikaji fase-fase pembelajaran pendekatan inkuiri yang dapat dimodifikasi agar keterlibatan siswa bertanyamempertanyakan berlangsung selama pembelajaran berjalan. Merujuk langkah pertama pada pembelajaran inkuiri menurut NSES NRC, 2000; BSCS, 2005; Bybee, 2006, atau langkah 1 dan 2 Kauchak Eggen, 2012, atau langkah ketiga Arends, 2012 menunjukkan aktivitas keterlibatan siswa bertanya. Langkah tersebut semestinya memberikan gambaran bagaimana men-dorong aktivitas siswa produktif membuat pertanyaan, mempertanyakan atas perta-nyaan, memilih dan menetapkan perta-nyaan sehingga menghasilkan pertanyaan kritis. Selanjutnya, aktivitas pebelajar pada langkah 2 sampai dengan 5 menurut NSES NRC, 2000; BSCS, 2005; Bybee, 2006, atau langkah 3 sampai dengan 6 Kauchak Eggen, 2012, atau 4 sampai dengan 6 Arends, 2012, merupakan kegiatan untuk menjawab pertanyaan langkah sebelumnya. Pada langkah ini seharusnya memberi gambaran berbagi sharing tanggung jawab dengan cara saling bertanya dan menjawab agar memicu pemikiran kritis dalam pencarian bukti, penjelasan, evaluasi penjelasan dan justifikasi sebagaimana yang dikehendaki oleh kegiatan epistemik ilmiah sains. Studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh Santoso 2014 menemukan bahwa kemampuan mahasiswa dalam merumuskan pertanyaan berada pada level rendah, yaitu pertanyaan hafalan 73, pemahaman 18 dan aplikasi 9. Pebelajar dapat mengembangkan bertanya dan berpikir kritis, tetapi tidak dapat mengembangkan sendiri secara otomatis dan cepat. Keterampilan ini perlu dikembangkan dengan upaya dari pendidik untuk membantu siswa belajar bertanya dan berpikir kritis Thoms, 1999. Upaya bantuan untuk mendorong siswa terampil bertanya dan berpikir kritis dapat dilakukan mendasarkan pada gagasan Vygotsky tentang zona perkem-bangan proksimal zone of proximal development, ZPD Schunk, 2012, dan metakogniisi - perancahan Scaf-folding Wood, Bruner Ross, 1976 dalam Schunk, 2012. Teori ZPD, kesalingterhubungan dengan orang lain memberi peran kepada pengaturan diri dan aktivitas mengkonstruksi pengetahuan. Demikian juga dalam bertanya dan berpikir kritis tidak bisa dilakukan seorang diri melainkan perlu melibatkan orang lain Browne Keeley, 2012. Orang lain dijadikan sebagai sumber dan mitra untuk mengelaborasi informasi, data, fakta dan opini melalui tanya jawab agar mencapai kesimpulan. Dengan demikian, teori konstruktivis mendukung siswa membuat pertanyaan sendiri dan mengajukan pertanyaan ke teman dan guru. Perancah merupakan usaha untuk menjembatani kesenjangan antara kemampuan peserta didik saat ini perkembangan aktual dan sasaran yang ingin dicapai potensi pengembangan Yu, Tsai, Wu, 2013. Ada tiga jenis perancah yang dapat digunakan sebagai pengarah untuk mengajukan pertanyaan, yaitu prosedural ISBN 978-602-72071-1-0 produktif, elaboratif, dan reflektif Ge Land, 2004. Perancah produktif adalah membimbing peserta didik untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu, mengidentifikasi dan meng-analisis fitur penting, serta membantu peserta didik memanfaatkan alat dan sumber daya yang tersedia. Perancah Elaborasi adalah membantu peserta didik untuk mengartikulasikan pikiran mereka, mengkontruksi penjelasan, membuat pembenaran, dan melakukan penalaran dengan menggunakan pertanyaan- perta-nyaan pemicu. Perancah reflektif adalah membantu peserta didik merefleksi dan mendorong mereka untuk memonitor dirinya selama proses berlangsung atau setelah proses belajar. Bertanya reflektif akan memicu pemikiran pebelajar memu-satkan pikiran untuk berdialog dengan diri mereka sendiri tentang apa yang mereka lakukan Zippay dalam Ibrahim et al., 2012. Praktek merefleksi diri termasuk aktivitas berpikir kritis dimana terjadi proses pemikiran yang cermat dan mendalam terhadap semua tindakan yang dilakukan baik yang direncanakan atau tidak Kauchak Eggen, 2012. Gagasan ZPD dan perancah dapat ditafsirkan bahwa agar pebelajar terpacu berpikir kritis sebaiknya diberikan tugas-tugas yang rumit, sulit dan realitis kemudian pebelajar diberi cukup bantuan berupa panduan perancah pertanyaan yang mengarahkan untuk penyelesaian tugas- tugas belajar. Dengan panduan perancah pertanyaan tersebut, pebelajar merumuskan dan mengajukan pertanyaan secara mandiri. Hal ini penting dilakukan karena efek mengajukan pertanyaan sendiri akan menimbulkan respon pena-laran menjadi aktif atau konflik kognitif Wiley Voss dalam Chin Osborne, 2010. Munculnya konflik kognitif dapat memicu pertanyaan kritis Choi, Land, Turgeon, 2005. Pembentukan pengetahuan yang bermakna memerlukan seperangkat kete-rampilan dan sikap yang perlu dibangun di atas rangkaian mengajukan pertanyaan kritis dan saling terpaut Browne Keeley, 2012. Keterampilan dan sikap yang dimaksud adalah: 1 pengetahuan akan serangkaian pertanyaan kritis yang saling terkait, 2 kemampuan melontar-kan pertanyaan kritis pada saat yang tepat, dan 3 kemauan untuk menggunakan pertanyaan kritis tersebut secara aktif Browne Keeley, 2012. Tiga dimensi tersebut berkaitan erat dengan belajar meregulasi diri self- regulated learning yang dilandasi oleh kemampuan meta-kognisi pebelajar Schraw et al., 2006; Kauchak Eggen, 2012. Peran metakognisi dalam mengaju-kan pertanyaan adalah pada proses peng-aturan kognitif seseorang dalam hal merencanakan, monitoring, memprediksi, mengevaluasi dan merevisi Schunk, 2012; Yu, Tsai, Wu, 2013. Siswa yang mengajukan pertanyaan akan menyadari keadaan pengetahuan dan kompetensi mereka sendiri sehingga mendorong siswa menjadi lebih aktif secara intelektual untuk terlibat dalam proses pembelajaran Kaberman Dori, 2009. Kesadaran akan keadaan pengetahuan dan kompe-tensi mereka sendiri mencakup juga kesadaran pada adanya kesenjangan antara pengetahuan saat ini yang dimiliki dan sasaran yang ingin dicapai Belland, Kim, Hannafin, 2013. Konsep metakognisi yang memfokuskan kajian untuk menjembatani kesenjangan antara kemampuan peserta didik saat ini dan sasaran yang ingin dicapai disebut perancah scaffolding Yu, Tsai, Wu, 2013. Model Bertanya Kritis Berbasis Inkuiri BKBI Berdasarkan uraian kajian tersebut di atas, dengan mempertimbangkan inkuiri sebagai strategi pengajaran yang menekankan semangat penyelidikan tercerminkan pada kegiatan mempertanyakan pada setiap aktifitas epistemik ilmiah sains Carin, 1993; Kelly Finlayson, 2007, maka penulis memodifikasi fase pendekatan inkuiri menurut NSES NRC, 2000; BSCS, 2005; Bybee, 2006 dengan memasukkan aktivitas bertanya dan mempertanyakan di setiap fase pembelajaran. Jenis pertanyan yang dilibatkan yaitu: pertanyaan produktif, untuk membuat memproduksi pertanyaan; pertanyaan elaborasi, untuk mengarahkan penjelasan, analisis dan evaluasi; dan pertanyaan refleksi, untuk membuat kesimpulan. Pengembangan fase pembelajaran inkuiri mengacu pada perancah bertanya produktif, elaboratif dan reflektif Ge Land, 2004. Pengembangan ini bertujuan untuk menekankan aktivitas epistemik ilmiah sains, yaitu kegiatan mempertanyakan usulan pertanyaan hipotesis, penjelasan, evaluasi, pembenaran, dan pem-bentukan pengetahuan. Keterampilan tersebut merupakan keterampilan berpikir kritis Tsui dalam Tapper, 2004; Facione, 2011. Alur berpikir, rasional pengembangan dan langkah pembelajaran disajikan pada Gambar 1. ISBN 978-602-72071-1-0 Gambar 1 Rasional sintak hipotetik Model Bertanya Kritis Berbasis Inkuiri Teori Kognitif Bruner Teori Metakognisi Teori Konstruktivisme Personal Piaget Teori Konstruktivisme Sosial Vygotsky 1. Produks i pertanyaan. 2. Elaborasi deskripsi bukti dengan mempertanyakannya 3. Elaborasi analisis penjelasan dengan mempertanyakannya 4. Elaborasi evaluasi penjelasan dengan mempertanyakan 5. Menyimpulkan dan mengkomunikasik an melalui bertanya reflektif Keterampilan berpikir kritis: bertanya, interpretasi, analisis, evaluasi, menyajikan argumen, inferensi, kesimpulan, pembenaran, dan refleksi Enis, 1996; Tsui dalam Tapper, 2004; Facione, 2011 Interaksi sosial berkontribusi pada pem- bentukan pengetahuan siswa Vygotsky dalam Schunk, 2012, bertanya dan berpikir kritis siswa Browne Keeley, 2012 Steffe: Individu aktif membangun dan mengembangkan pengetahuannya melalui interaksi de- ngan alam diseki- tarnya Yu, Tsai, Wu, 2013 Piaget: Pemben- tukan pengetahuan internal siswa melalui inter-aksi personal dengan mengajukan perta- nyaan sendiri self questioning Schunk, 2012 Pengajuan pertanyaan sebagai indikasi berpikir King, 1995, pemicu berpikir kritis Nussbaum Edwards, 2011, pengarah penyelidikan dan membimbing pembentukan konsep Golding,2011 Brown 1987: belajar memerlukan kemampuan regulasi yang melibatkan evaluasi apa yang saat ini ditahu dan menentukan apa yang masih perlu dipelajari lagi Seraphin et al., 2012 Perancah membantu pebelajar untuk mencapai tujuan pedagogis yang mereka sulit menca- painya jika tanpa bantuan Wood, Bruner, Ross dalam Yu, Tsai, Wu, 2013 MODEL BERTANYA KRTIS BERBASIS INKUIRI MBKBI ISBN 978-602-72071-1-0 Pengembangan bertanya kritis berbasis inkuiri dilandasi oleh beberapa teori. 1 Teori konstruktivisme interaksi personal, bahwa individu aktif membangun dan mengembangkan pengetahuannya melalui interaksi dengan alam disekitarnya Steffe dalam Yu, Tsai, Wu, 2013, pembentukan dan pengembangan repre- sentasi struktur pengetahuan internal siswa dilakukan melalui interaksi personal dengan mengajukan pertanyaan sendiri self questioning Piaget dalam Schunk, 2012, pengajuan pertanyaan dapat menimbulkan tantangan atau konflik kognitif Wiley Voss, 1999 dalam Chin Osborne, 2010 dan memicu pertanyaan kritis Choi, Land, Turgeon, 2005. 2 Teori Vygotsky konstruktivime interaksi sosial khusus-nya teori ZPD bahwa kesaling- terhubungan dengan orang lain memberi peran kepada pengaturan diri dan aktivitas pembentukan pengetahuan Scunk, 2012, bertanya kritis tidak bisa dilakukan seorang diri melainkan perlu melibatkan orang lain Browne Keeley, 2012. 3 Teori kognitif Bruner, siswa belajar sebaiknya diberikan kesempatan untuk menemukan aturan definisi, konsep, teori melalui berinteraksi dengan lingkungan Koes, 2003. 4 Teori metakognisi bahwa proses belajar terbaik jika siswa bertindak sebagai agen aktif pengolah konten, bersikap tanggung jawab, dan mengkontrol atas proses belajar mereka sendiri Pang Ross, 2010, berpikir kritis dan penyelidikan didasarkan pada kesadaran dan kemampuan pebelajar untuk mengambil tanggung jawab, mengkontrol dan mengkonfirmasi makna pengetahuan Akyol Garrison, 2011. Sistem Sosial Norma pembelajaran dalam pembelajaran “BKBI” bersifat demokratis dicirikan oleh peran siswa secara aktif dan kerjasama. Strategi pembelajaran ini menekankan individu membangun pengetahuan secara aktif melalui interaksi personal dan sosial sesuai dengan teori konstruktivis personal Piaget dan interaksi sosial Vygotsky. Konstruksi pengetahuan oleh pebelajar akan berlangsung efektif apabila terjadi aktivitas berbagi pengalaman dengan siswa lainnya Slavin, 2008; Woolfolk, 2009. Pengajar dan pebelajar memiliki status yang sama dihadapan masalah materi ajar dengan peranan yang berbeda. Iklim kelas ditandai dengan proses interaksi yang bersifat kola-boratif. Prinsip Kegiatan Prinsip pengelolaan kegiatan dalam penerapan pembelajaran “BKBI”, pendidik berperan sebagai fasilitator, konselor, konsultan, dan pemberi kritik yang bersahabat Joyce et al., 2009. Dalam kerangka ini pendidik membimbing melalui: a pemecahan masalah atau level tugas berkenaan dengan proses menjawab pertanyaan, apa yang menjadi hakikat masalah, dan apa saja faktor yang terlibat; b pengelolaan kelas berkaitan dengan informasi apa saja yang diperlukan saat ini, bagaimana mengorgani-sasikan kelompok untuk mencapai informasi itu; c pemaknaan secara perseorangan berkenaan dengan proses pengkaji-an bagaimana kelompok menghaya-ti kesimpulan yang dibuatnya, dan apa yang membedakan seseorang sebagai hasil dari mengikuti proses pembuatan kesimpulan kelompok. Sistem Pendukung Penerapan pembelajaran “BKBI” memerlukan sumber belajar yang mema-dai, seperti buku ajar, hand out , lembar kerja siswamahasiswa LKSLKM dan sumber informasi lainnya. Selain itu, strategi ini memerlukan dukungan peralatan dan bahan-bahan kimia untuk melaksanakan demonstrasiprak-tikum serta media pembelajaran lain, seperti molymod , poster dan lain-lain. Dampak Instruksional dan Penggiring Dampak instruksional bagi pebelajar berupa pencapaian kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan kritis, serta kepemilikan karakter pemikir kritis. Dampak pengiring, di antaranya: meng-hormati pendapat orang lain dan komit-men terhadap keanekaragaman, kebebas-an sebagai pebelajar, kehangatan dan keterikatan antar pebelajar, semangat kritis, kemandirian dalam belajar, toleran terhadap ketidaktentuan dan kemampuan-nya untuk mengkritisi permasalahan yang berkaitan dengan aplikasi kimia dalam kehidupan sehari-hari. Kevalidan Model BKBI Kevalidan validity model pembelajaran BKBI dilihat dari dua aspek, yaitu: 1 validitas rasional logis, bahwa model pembelajaran dikembangkan berdasarkan pada rasional teoritis yang kuat, dan 2 validitas konstruk, bahwa model pembelajaran harus memiliki konsistensi secara internal dari semua komponen model Nieveen,1999. Komponen model yang dimaksudkan meliputi sintaks, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem pendukung, dan dampak terhadap pebelajar. Hasil validitas dan realibilitas rasional model BKBI disajikan pada Tabel 2, sedangkan Tabel 3 menunjukan validitas dan rabilitas konstruk model BKBI. Berdasarkan Tabel 2 dan 3 tersebut menunjukkan bahwa validitas rasional dan konstruk untuk model pembelajaran BKBI yang dikembangkan berketegori sangat valid dengan realibiltas yang tinggi, yaitu 98,21 untuk rasionalitas dan 96,82 untuk konstruk. Dengan demikian model BKBI yang dikembangkan dapat diterapkan dalam pembelajaran untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis mahasiswa calon guru kimia. ISBN 978-602-72071-1-0 Tabel 2 Hasil validasi rasional model BKBI No Aspek penilaian Rata- rata Kriteria R I Tujuan 1 Tahapan model pembelajaran mencerminkan pencapaian tujuan model yang dikembangkan melatih bertanya kritis. 4 sangat valid 100 2 Tahapan model pembelajaran mencerminkan pencapaian tujuan model yang dikembangkan mengembangkan kemampuan berpikir kritis . 4 sangat valid 100 3 Tahapan model pembelajaran mencerminkan pencapaian tujuan model yang dikembangkan meningkatkan pemahaman konsep 4 sangat valid 100 Rata-rata sub: 4 sangat valid 100 II Teori Pendukung 4 Model pembelajaran BKBI sesuai dengan teori belajar konstruktivisme Piaget: interaksi personal. 4 sangat valid 100 5 Model pembelajaran BKBI sesuai dengan teori belajar konstruktivime Vygotsky: interaksi sosia l 4 sangat valid 100 6 Model pembelajaran BKBI sesuai dengan Teori kognitif Bruner. 4 sangat valid 100 7 Model pembelajaran BKBI sesuai dengan Teori metakognisi 3,5 sangat valid 85,71 Rata-rata sub: 3,88 sangat valid 96,43 III Sintaks Pembelajaran 8 Tahap-tahap pembelajaran disusun secara terurut dan jelas. 4 sangat valid 100 9 Tahap-tahap pembelajaran sudah logis dan rasional 4 sangat valid 100 10 Tahap-tahap pembelajaran memuat dengan jelas aktivitas dosen dan mahasiswa 4 sangat valid 100 11 Uraian aktivitas pembelajaran pada setiap tahap model BKBI mencerminkan alur kegiatan yang dapat dilaksanakan oleh dosen dan mahasiswa 4 sangat valid 100 Rata-rata sub: 4,00 sangat valid 100 IV Lingkungan Belajar 12 Dosen memfasilitasi berbagai sumber belajar seperti buku teks, media pembelajaran, dan sumber-sumber dari internet 3,5 sangat valid 85,71 13 Pola hubungan antara dosen dan mahasiswa menunjukkan adanya peran dosen sebagai fasilitator, konsultan, dan mediator 4 sangat valid 100 14 Perilaku dosen dalam memberikan motivasi untuk membangkitkan minat belajar mahasiswa 3 valid 100 15 Kegiatan praktikum mendukung pencapaian tujuan 4 sangat valid 100 Rata-rata sub: 3,63 sangat valid 96,43 Rata-rata total: 3,88 sangat valid 98,21 ISBN 978-602-72071-1-0 ISBN 978-602-72071-1-0 Tabel 3 Hasil Validasi konstruk model BKBI No Aspek penilaian Rata-rata Kriteria R 1 Kesesuaian antara tahapan model dengan tujuan yang ingin dicapai tidak kontradiktif 4 sangat valid 100 2 Keterkaitan teori-teori pendukung dan karakteristik kimia saling mendukung 4 sangat valid 100 3 Pemahaman prinsip dari teori-teori pendukung dengan tujuan dan karakteristik kimia tidak kontradiktif 4 sangat valid 100 4 Keterkaitan setiap tahapan pembelajaran pada model BKBI secara internal saling mendukung 4 sangat valid 100 5 Aktivitas mahasiswa dan dosen pada setiap tahapan pembelajaran pada model BKBI saling terkait 4 sangat valid 100 6 Penggunaan sumber belajar untuk pencapaian tujuan saling mendukung 3,5 sangat valid 85,71 7 Pola interaksi antara dosen dan mahasiswa saling mendukung 4 sangat valid 100 8 Perilaku dosen dalam memberikan motivasi untuk membangkitkan minat belajar mahasiswa tergambar dalam tahapan pembelajaran 3,5 sangat valid 85,71 9 Kesesuaian antara kegiatan pembelajaran dengan tujuan yang ingin dicapai tidak kontradiktif 4 sangat valid 100 Rata-rata total: 3,89 sangat valid 96,82 ISBN 978-602-72071-1-0 PENUTUP Simpulan Model pembelajaran“BKBI” yang dirancang berdasarkan atas temuan-temuan pada studi pustaka dan lapangan telah valid secara rasional 3,88 dengan realibiltasl 98,21, dan konstruk 3,88 dengan realibilitas 96,82. Dengan demikian model BKBI yang dikembangkan dapat diterapkan dalam pembelajaran untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis mahasiswa calon guru kimia, melalui fase-fase pembelajaran berikut ini. a Produksi pertanyaan, bertujuan menyiapkan pebelajar secara fisik dan mental untuk belajar, merangsang siswa berpikir melalui bertanya, dan memastikan akan terjadi belajar bermakna yang terlihat dari pertanyaan – peranyaan yang dirumuskan siswa, b Elaborasi deskripsi bukti dengan mempertanyakannya, bertujuan Melatih bertanya dan menjawab untuk menggali informasi dan latarbelakang suatu bukti sesuai dengan konteks- tualisasi masalah topik, c Elaborasi analisis penjelasan dengan mempertanyakannya, bertujuan melatih bertanya dan menjawab melalui eksplorasi hubungan bagian kepada keseluruhan terhadap bukti untuk merumuskan penjelasan secara mandiri dan diskusi, d Elaborasi evaluasi penjelasan dengan mempertanyakannya, bertujuan melatih bertanya dan menjawab penjelasan dan tanggapan alternatif, e Menyimpulkan dan mengkomunikasikan melalui bertanya reflektif, bertujuan melatih bertanya dan menjawab implikasi, solusi, kesimpulan dan rekomendasi; serta melatih menginternalisasi untuk menumbuhkan pemikiran yang cermat dan mendalam terhadap semua tindakan yang dilakukan baik yang direncanakan atau tidak. Saran Temuan validitas dan realibitas model BKBI ini merupakan pendapat para pakar, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat kepraktisan dan efektivitas pada proses pembelajaran di kelas. DAFTAR PUSTAKA Akyol, Z., Garrison, D. R. 2011. Assessing metacognition in an online community of inquiry . Internet and Higher Education , Vol. 14, pp. 183-190. Arends, R. I. 2012. Learning to Teaching. New York: Mc Graw Hill. Belland, B. R., Kim, C. M., Hannafin, M. J. 2013. A Framework for Designing Scaffolds That Improve Motivation and Cognition . EDUCATIONAL PSYCHOLOGIST , Vol. 48, No. 4, 243 –270. Borich, G. 1994. Observation skill for effective teaching . New York: Mac Millan Publishing Company. Browne, M., Keeley, S. M. 2012. Asking the Right Question: A Guide to Critical Thinking. New Jersey: Pearson Education, Inc. BSCS. 2005. Doing Science: The Process of Scientific Inquiry. New York: National Institutes of Health. Bybee, R. W. 2006. Scientific Inquiry and Scientific Teaching. Dalam L. Flic, N. Lederman, Scientific Inquiry and Nature of Science hal. pp. 1-14. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. Carin, A. A. 1993. Teaching Science Through Discovery. New York: Macmillan Publishing Company. Chin, C., Osborne, J. 2010. Students’ Questions and Discursive Interaction: Their Impact on Argumentation During Collaborative Group Discussions in Science . Journal of Research in Science Teaching , vol. 47, no. 7, pp. 883 – 908. Chin, C., Osborne, J. 2010. Supporting Argumentation Through Students’ Questions: Case Studies in Science Classrooms . The Journal of The Learning Sciences , Vol. 19, pp. 230 –284. Choi, I., Land, S. M., Turgeon, A. J. 2005. Scaffolding peer-questioning strategies to facilitate metacognition during online small group discussion. Instructional Science , Vol. 33, pp. 483 –511. Dori,Y.J., Herscovitz, O. 2005. Case-based Long term professional development of science teachers. International Journal of Science Education , Vol.27 No.12, pp. 1413- 1446. Eshach, H., Ziderman, Y. D., Yefroimsky, Y. 2014. Question Asking in the Science Classroom: Teacher Attitudes and Practices. Journal Science Education Technology , Vol. 23, pp. 67-81. Facione, P. A. 2011. Critical Thinking: What It Is and Why It Counts. Millbrae, CA: Insight Assessment, Measured Reasons and The California Academic Press. Flick, L., Lederman, N. 2006. Scientific Inquiry and Nature of Science. Chicago: Kluwer Acadmic Publishers. Gall, M., Gall, J., Borg, W. 2003. Educational Research: An Introduction. Boston: Pearson Education, Inc Ge, X., Land, S. M. 2004. A conceptual framework for scaffolding ill-structured ISBN 978-602-72071-1-0 problem-solving processes using question promptsand peer interactions. . Educational Research Technology and Development, , Vol. 52, No.2, pp. 1042-1629. Hofstein, A., Navon, O., Kipnis, M., Mamlok, N. R. 2005. Developing Students’ Ability to Ask More and Better Questions Resulting from Inquiry-Type Chemistry Laboratories. Journal of Research In Science Teaching , Vol. 42, NO. 7, pp. 791 – 806. Ibrahim, N. H., Surif, J., Yusof Arshad, M., Mokhtar, M. 2012. Self Reflection Focusing on Pedagogical Content Knowledge. Procedia - Social and Behavioral Sciences , Vol. 56, pp. 474 – 482. Joyce, B., Weil, M., Calhoun, E. 2009. Models of Teaching. New Jersey: Pearson Education, Inc. Kaberman, Z., Dori, Y. J. 2008. Metacognition in chemical Education: question posingin the case-based computerized learning environment. Springer Science Business Media B.V , Accepted 19 March 2008. Kaberman, Z., Dori, Y. J. 2009. Question Posing, Inquiry, And Modeling Skills Of Chemistry Students In The Case-Based Computerized Laboratory Environment. International Journal Of Science And Mathematics Education , vol. 7, pp. 597-625. Katchevich, D., Hofstein, A. 2013. Argumentation in the chemistry laboratory :Inquery and confirmatary experiment. International Journal of Science Education , vol. 13, pp. 317-345. Kauchak, D., Eggen, P. 2012. Learning and Teaching Research-Based Methods. Boston: Pearson Education, Inc. Kelly, O., Finlayson, O. 2007. Providing Solutions through Problem-based Learning for Undergradutae first year Chemistry Laboratory. Chemistry Education Research and Practice , Vol. 8 No. 3, pp. 347-361. Koes, S. 2003. Strategi Pembelajaran Kimia. Malang: Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Malang. Liliasari. 2003. Peningkatan Mutu Guru Dalam Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Melalui Model Pembelajaran Kapita Selekta Kimia Sekolah Lanjutan. Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains , Edisi 3 Tahun VIII, 174-181. Liliasari. 2011, January 30. Berpikir Kritis Dalam Pembelajaran Sains Kimia Menuju Profesionalitas Guru. Bandung: Program Studi Pendidikan IPA, Sekolah Pascasarjana UPI. National reasearch Council. 2000. Inquiry and the National Science Education Standards: A guide for Teaching and learning. Washington D.C: National Academy Press. National Research Council. 2012. Education for Life and Work: Developing Transferable Knowledge and Skills in the 21st Century. Committee on Defining Deeper Learning and 21st Century Skills, J.W. Pellegrino and M.L. Hilton, Editors. Washington, DC. Nieveen, N. 1999. Prototyping to reach product quality. In Nieveen, N., McKenney, S., Van den Akker 2007. Educational Design Research dalam Educational Design Research . New York: Routledge. Nieveen, N., McKenney, S., van d. Akker 2007. “Educational design research” dalam Educational design research . New York : Routledge Pang, K., Ross, C. 2010. Assessing the Integration of Embedded Metacognitive Strategies in College Subjects for Improved Learning Outcomes: A New Model of Learning Activity . The Journal of Effective Teaching , Vol. 10, No. 1, pp. 79-97. Passmore, C. M., Svoboda, J. 2012. Exploring Opportunities for Argumentation in Modelling Classrooms. International Journal of Science Education , Vol. 34, No. 10, pp. 1535-1554. Permendikbud. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ratumanan, G. T. dan Laurens. 2006. Evaluasi hasil yang relevan dengan memecahkan problematika belajar dan mengajar . Bandung:CV Alfabeta Santoso, T. 2014. Pembelajaran Penalaran Argumen Berbasis Peta Konsep Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Kimia. Seminar Nasional Kimia 2014, Peningkatan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam Dalam Pendidikan Kimia dan Kimia untuk Kemandirian Bangsa hal. 134-143. Surabaya: Fakultas MIPA, Universitas Negeri Surabaya. Schraw, G., Moshman, D. 1995. Metacognitive Theories . Educational Psychology Review , Vol. 7, No. 4, pp. 351 –371. Schraw, G., Crippen, K. J., Hartley, K. 2006. Promoting self-regulation in science education: Metacognition as part of a broader perspective in learning. Research in Science Education , Vol. 36, pp. 111-139. Schunk, D. H. 2012. Learning theories an educational perspective. Singapura: Pearson Education, Inc. Slavin, R. E. 2008. Psikologi Pendidikan : Teori dan Praktek Terjemahan Samosir, M dkk: Educational Psycology: Theory Pratice, Edisi 8. Jakarta: PT Indeks. ISBN 978-602-72071-1-0 Suryanti. 2012. Model Pembelajaran untuk Mengajarkan Keterampilan Mengambil Keputusan dan Penguasaan Konsep IPA bagi Siswa Sekolah Dasar. Surabya: Disertasi tidak dipublikasikan, Pasca Sarjana Universita Negeri Surabaya. Tapper, J. 2004. Student perceptions of how critical thinking is embedded in a degree program. Higher Education Research Development. , Vol. 23, No.2, pp.199-222. Thoms, K. J.-9. 1999. Critical Thinking Requires Critical Questioning . Essays on Teaching Excellence Toward the Best in the Academy , Volume 10, Number3. Woolfolk, A. 2009. Educational Psychology. Boston: Allyn Bacon. Yu, F. Y., Tsai, H. C., Wu, H. L. 2013. Effects of online procedural scaffolds and the timing of scaffolding provision on elementary Taiwanese students question-generation in a science class. Australasian Journal of Educational Technology , Vol. 29, No. 3, pp. 416-433. Yu, F.-Y., Wu, C.-P. 2012. Student Question- Generation: The Learning Processes Involved and Their Relationships with Students’ Perceived Value. Journal of Research in Education Sciences , Vol. 57, No.4, 135-162. ISBN 978-602-72071-1-0 UPAYA MENINGKATKAN MINAT BELAJAR KIMIA MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TGT TEAMS GAMES TOURNAMENT Nurhidayati 1 Ninik Nigusti Ayu Sunardi 2 Winda Tri Lestari 3 1,2,3 Mahasiswa Pendidikan Sains, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya E-mail: nurhidayatigmail.com ABSTRAK Ilmu kimia merupakan bagian yang penting untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia dalam menunjang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian proses pembelajaran kimia di dalam kelas harus berkualitas dan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan dan mampu meningkatkan bakat dan minat siswa. Namun kenyataannya di MAN Bangkalan minat siswa dalam belajar kimia sangat kurang, karena strategi pembelajaran yang digunakan cenderung bersifat tradisional ceramah. Untuk mendapatkan solusi dari permasalahan tersebut maka dilakukan penelitian tindakan kelas dengan menggunakan suatu model pembelajaran kooperatif tipe TGT dalam pembelajaran reaksi redoks. Penelitian tindakan kelas ini dilakukan dalam dua siklus pembelajaran masing-masing siklus terdiri atas empat langkah yaitu 1 Perencanaan, 2 Tindakan pembelajaran kooperatif tipe TGT, 3 Observasi, 4 Refleksi. Subjek penelitian adalah siswa kelas X MIA-1 MAN Bangkalan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan minat dan ketuntasan belajar siswa dalam pembelajaran kimia. Kata Kunci: Pembelajaran kooperatif tipe TGT, minat, ketuntaan belajar ABSTRACT Chemistry is an important part of improving human resources in supporting the advancement of science and technology. Thereby process study of chemistry in class have to with quality and carried out by interaktif, inspiratif, pleasing and can improve student enthusiasm and talent. But in contrass in MAN Bangkalan students interest in learning chemistry is lacking, besides learning strategies used tend to be traditional lecture. To get the solution of the problem of classroom action research conducted by using a model of cooperative learning of TGT in learning oxidation-reduction reactions. This classroom action research study was conducted in two cycles each cycle consists of four steps: 1 planning, 2 Actions cooperative learning, 3 observation, 4 Reflection. The subjects were students of class X MIA-1 MAN Bangkalan. The results show that there is an increased interest and increase in learning completeness students in learning chemistry. Keywords : Cooperative learning, interest, mastery learning ISBN 978-602-72071-1-0 PENDAHULUAN Kurikulum yang sekarang dilaksanakan di Indonesia adalah Kurikulum 2013. Menurut Permendikbud 2013, tujuan pendidikan IPA menekankan pada pemahaman tentang lingkungan dan alam sekitar beserta kekayaan yang dimilikinya yang perlu dilestarikan dan dijaga dalam perspektif biologi, fisika, dan kimia Berbagai kegiatan telah dilakukan guna mendukung keberhasilan implementasi kurikulum 2013. Mulai dari pembangunan sarana dan prasarana sampai pada perubahan pola pengembangan proses belajar mengajar di dalam kelas. Ini sejalan dengan standar proses pendidikan PP No. 32 Tahun 2013 pasal 19 ayat 1 yang menyatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kimia sebagai bagian dari ilmu pengetahuan alam memegang peran yang sangat penting dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk menunjang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian proses pembelajaran kimia di dalam kelas harus berkualitas dan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan dan mampu meningkatkan bakat dan minat siswa. Oleh karena itu peran aktif semua pihak yang terlibat di dalam pendidikan sangat dibutuhkan khususnya guru, agar siswa berminat untuk belajar Kimia. Salah satu indikator keberhasilan di bidang pengajaran adalah perolehan nilai yang baik dari hasil belajar dan minat siswa dalam mempelajari Kimia. Sejalan dengan itu maka dalam proses belajar mengajar guru harus memiliki strategi agar siswa termotivasi dan memiliki minat untuk belajar kimia. Proses belajar mengajar perlu diupayakan secara maksimal, agar lebih menarik dan berkesan dalam benak siswa, sehingga minat belajar siswa meningkat, siswa merasa senang dan materi yang dipelajari dikuasai oleh siswa. Suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan minat siswa salah satunya adalah model pembelajaran kooperatif. Unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif meliputi beberapa aspek yaitu sehidup sepenanggungan bersama, bertanggung jawab atas segala sesuatunya di dalam kelompok seperti milik sendiri, semua anggota dalam kelompok memiliki tujuan yang sama, membagi tugas dan tanggung jawab yang sama dalam kelompok, evaluasihadiahpenghargaan untuk kelompok, berbagi kepemimpinan, mempertanggungjawabkan secara individual di dalam kelompok kooperatif. Secara umum kesulitan belajar secara individu dirasakan oleh siswa, untuk itu diperlukan tutor sebaya sehingga terjadi interaksi dengan orang lain dalam membangun pemahaman pengetahuannya. Sifat kompetisi secara individu ditiadakan tetapi kompetisi kelompok tetap dilakukan untuk memacu mencapai keberhasilan bersama. Pembelajaran kooperatif dapat membantu siswa dalam pembelajaran akademis. Teknik-teknik pembelajaran kooperatif lebih unggul dalam meningkatkan hasil dibandingkan dengan pengalaman individual atau kompetitif. Siswa lebih banyak belajar dari satu teman yang lain diantara sesama siswa daripada belajar dari guru. Dalam pembelajaran kooperatif motivasi terletak pada bagaimana bentuk hadiah atau struktur pencapaian tujuan saat siswa melaksanakan kegiatan Model pembelajaran kooperatif tipe TGT merupakan suatu model pembelajaran yang memadukan antara belajar dan turnamen di dalamnya. Model pembelajaran kooperatif tipe TGT membuat siswa menjadi lebih senang dalam mengikuti pelajaran karena ada kegiatan permainan berupa tournamen. Pada model pembelajaran kooperatif tipe TGT siswa lebih bersemangat dalam mengikuti pelajaran, karena dalam pembelajaran guru menjanjikan sebuah penghargaan pada siswa atau kelompok terbaik sehingga dapat menggugah minat siswa untuk belajar. Menurut Slameto 2010:180, minat adalah rasa suka dan ketertarikan pada suatu aktifitas tanpa ada yang menyuruh. Sedangkan menurut Gie 2002 minat adalah rasa ketertarikan pada suatu kegiatan karena sadar akan pentingnya kegiatan itu sehingga ia akan terlibat penuh didalamnya. Dalam upaya membangkitkan minat siswa dalam belajar kimia, seorang guru dituntut untuk pandai mengadakan variasi dalam mengajar. Variasi dalam kegiatan pembelajaran dapat dilakukan menggunakan beberapa cara yaitu variasi dalam penggunaan metode pembelajaran, variasi dalam penggunaan media dan sumber belajar, variasi dalam pemberian contoh dan ilustrasi, serta variasi dalam interaksi dan kegiatan peserta didik. Sementara itu Djaali 2011 mengatakan bahwa minat pada dasarnya adalah penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Untuk itu semakin kuat atau dekat hubungan tersebut maka semakin besar minatnya, jika seorang siswa memiliki minat untuk berperan aktif di lingkungan sekolah maka minat akan timbul perasaan aktif dalam diri siswa untuk mengikuti kegiatan- kegiatan kelas atau sekolah. Hal ini sejalan dengan pendapat Utomo 1991 mengatakan, jika seseorang ingin berhasil dalam belajar, maka ia harus aktif belajar, dan untuk keaktifannya, minat harus ditimbulkan semaksimal mungkin. Menurut Usman 2005, perubahan tingkah laku meliputi 3 tiga aspek, yaitu aspek pengetahuan Kognitif, yaitu dari tidak tahu menjadi mengetahui dan dari tidak mengerti menjadi mengerti, aspek keterampilan Psikomotor, yaitu dari tidak biasa menjadi biasa dan dari tidak terampil menjadi terampil; aspek sikap Afektif, yaitu dari ragu-ragu ISBN 978-602-72071-1-0 menjadi yakin, dari tidak sopan menjadi sopan, dari kurang ajar menjadi terpelajar. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam belajar, dapat dilakukan melalui tes hasil belajar atau tugas-tugas yang lain. Hasil belajar adalah pola-pola perubahan tingkah laku seseorang yang meliputi aspek kognitif, afektif danatau psikomotor setelah menempuh kegiatan belajar tertentu yang tingkat kualitas perubahannya sangat ditentukan oleh faktor- faktor yang ada dalam diri siswa dan lingkungan sosial yang mempengaruhinya. Dengan demikian diadakan suatu penelitian mengenai pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe TGT dalam meningkatkan minat dan hasil belajar siswa. Tujuan dari penelitian ini adalah meningkatnya minat belajar kimia pada siswa SMA, ketuntasan belajar siswa serta kompetensi guru dalam pengelolaan Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT. METODE PENELITIAN Pada tahap persiapan penelitian, yang perlu dipersiapkan sebelum melakukan penelitian ini meliputi pembuatan soal-soal pre tes dan post tes, kuosioner untuk mengumpulkan data minat siswa dalam mempelajari reaksi redoks, lembar kerja siswa yang berkaitan dengan materi, kartu soal dan kartu point, setelah itu membagi siswa dalam kelompok- kelompok dengan tiap kelompok terdiri dari 5 orang. Kriteria keberhasilan penelitian ini adalah adanya peningkatan minat siswa dalam pembelajaran Kimia khususnya materi reaksi redoks. Indikator siswa yang memiliki minat tinggi adalah mengikuti kegiatan pembelajaran dengan penuh perhatian dan keseriusan yang dapat dilihat dari lembar observasi, hal ini juga dipakai sebagai acuan penilaian segi afektif, untuk proses pembelajaran di dalam kelas, apakah mereka senangpuas, inisiatif bertanya dan mengembangkan materi pembelajaran, dapat dilihat dari hasil pengamatan dan hasil penilaian tugas-tugas, meningkatnya nilai tes akhir siswa dibanding nilai pre tes. Langkah dalam penelitian ini menggunakan dua siklus. Siklus 1 terdiri dari beberapa tahapan meliputi tahapan perencanaan, tahap pelaksanaan dan observasi, serta tahap refleksi. Kemudian dilanjutkan dengan siklus 2 yang meliputi tahap perencanaan, tahap pelaksanaan dan observasi, tahap refleksi, analisis dan evaluasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Implementasi Perangkat pembelajaran di MAN Bangkalan dengan subyek penelitian sejumlah 30 siswa kelas X MIA-1 MAN Bangkalan. Peneliti bertindak sebagai guru selama penelitian tersebut. Analisis terhadap hasil penelitian menggunakan statistik deskriptif yang umumnya berupa deskripsi skor rata-rata dan prosentase. Tabel 1. Minat siswa dalam belajar kimia dengan pembelajaran kooperatif tipe TGT. N o. Uraian Kegiatan Belajar Mengajar Respon Siswa Skor Rata- Rata Kategori Siklu s 1 Siklu s 2 I Pendapat senang tidaknya diajar dengan model pembelajar ankooperati f tipe TGT 60 62 61 Senang berminat II Pendapat terhadap komponen kegiatan belajar mengajar barutidak baru 60 60 60 Kompo- nen KBM baru III Respon minat dan keinginan diajar kembali dengan model pembelajar an kooperatif tipe TGT 35 35 35 Berminat Dari data yang ditunjukkan pada Tabel 1, skor rata-rata untuk masing-masing kategori pengamatan terhadap komponen kegiatan belajar mengajar adalah senangberminat. Siswa secara umum sangat respon mengikuti pembelajaran, terlebih lagi pada saat pelaksanaan turnamen. Siswa sangat antusias karena masing-masing siswa berkompetisi untuk mengangkat nilai poin untuk kelompoknya. Suasana kelas sangat menyenangkan pada saat pemberian penghargaan terhadap masing-masing kelompok turnamen. Tabel 2. Penilaian pengelolaan pembelajaran melalui kooperatif tipe TGT N o. Aspek Yang Diamati Skor Tiap siklus Skor Rata- Rata Katego ri Siklu s 1 Siklu s 2 1 2 3 4 5 Pendahuluan Kegiatan inti Penutup Pengelolaan waktu Pengamatan suasana kelas 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 Baik Baik Baik Baik Baik ISBN 978-602-72071-1-0 Dari data di atas menunjukkan skor rata-rata untuk masing-masing kategori pengamatan KBM secara umum kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dengan pembelajaran kooperatif tipe TGT adalah baik. Siswa lebih antusias mengikuti pembelajaran karena ada kegiatan turnamen. Sedangkan untuk penilaian keberhasil belajar siswa diperoleh dari setiap individu dengan kemampuan masing-masing untuk dapat melihat tingkat kebehasilan proses pembelajaran melalui model pembelajaran kooperatif tipe TGT. Tes hasil belajar yang diberikan kepada siswa berupa ulangan harian dengan jumlah soal sebanyak 10 soal berupa uraian essay. pada siklus 1. Pada siklus 2 siswa menyelesaikan 10 soal uraian. Hasil evaluasi ini bersifat sebagai data yang kemudian diolah melalui analisis hasil ulangan disetiap siklus dan kemudian diperoleh prosentasi ketuntasan belajar berdasar proporsi menjawab benar setiap individu minimal 65 KKM = 65. Tabel 3. Prosentase ketuntasan siswa dalam KBM melalui pembelajaran kooperatif tipe TGT No. RancanganSkenari o Pembelajaran Keadaan Siswa Dalam Ketuntasan Belajar Jumlah siswa yang mengikut i Jumla h siswa yang tuntas Jumla h siswa yang tidak tuntas Prosentase ketuntasan 1 Siklus 1 30 14 16 47 2 Siklus 2 30 20 10 67 Dari data di atas nampak bahwa terjadi peningkatan ketuntasan belajar pada setiap pelaksanaan pembelajaran siswa selama dua kali kegiatan. Hal ini dapat diartikan juga bahwa siswa mulai semakin dapat menyesuaikan dengan model pembelajaran yang baru. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil analisis data penelitian perangkat pembelajaran kimia dengan materi reaksi redoks di MAN Bangkalan dengan dua siklus dapat disimpulkan antara lain: 1. Respon siswa sangat baik dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar dari kedua siklus dengan model pembelajaran kooperatif tipe TGT. 2. Kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran kooperatif tipe TGT adalah baik, semua siswa terlihat aktif sehingga pembelajaran lebih berpusat pada siswa. 3. Ketuntasan belajar siswa meningkat terus dari siklus pertama 47 menjadi 67 pada siklus kedua. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti dapat memberikan saran-saran sebagai berikut : 1. Perlu adanya penelitian dengan strategimodel pembelajaran yang lain, sehingga bisa memilih strategi mana yang lebih baik untuk dilaksanakan di sekolah, ditinjau dari segi minat dan ketuntasan belajar. 2. Perlu adanya penelitian dengan strategimodel pembelajaran yang sama tetapi untuk mengukur komponen yang berbeda misalnya motivasi dan kemampuan berpikir kritis siswa. Penelitian ini dapat ditindaklanjuti sampai siklus berikutnya sehingga diperoleh hasil pengamatan yang lebih valid. DAFTAR PUSTAKA Mulyasa, E 2005. Menjadi Guru Profesional, BAB II. Bandung : Rosda Karya Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi . Jakarta : PT. Rineka Cipta. Gie, The Liang. 2002. Cara Belajar yang Efisien. Yogyakarta: Pusat Kemajuan Studi. Johnson, D. W., Johnson R.T. 2002. Meaningful Asessment . Boston : Alin dan Bacon.u Djaali, H. 2011. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara Usman, Moh. Uzer. 2005. Menjadi Guru Profesional . Bandung : Remaja Rosdakarya. ISBN 978-602-72071-1-0 VALIDASI MODEL PEMBELAJARAN UNTUK MENUMBUHKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN PEMAHAMAN KONSEP MAHASISWA Afadil 1 Suyono 2 Sri Poedjiastoeti 3 1 Universitas Tadulako 2,3 Universitas Negeri Surabaya Email: sukarmanafadilyahoo.co.id ABSTRAK Desain penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan Research and Development dengan tujuan menghasilkan suatu model pembelajaran problem solving berbasis filosofi sains untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis dan pemahaman konsep mahasiswa yang valid, praktis, dan efektif. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka penelitian ini dilakukan dalam 3tiga tahap, yaitu; 1 studi pendahuluan define, 2 pengembangan model design, dan 3 pengujianimplementasi produk develop. Studi pendahuluan mencakup kajian teoritik dan empiris. Pada tahapan pengembangan model dilakukan penyusunan draf model pembelajaran. Kevalidan model pembelajaran dilakukan melalui FGD Focus Group Discussion bersama dengan tim ahli pendidikan. Hasil penilaian ahli melalui kegiatan FGD bahwa model yang dikembangkan memiliki rata-rata validitas isi setiap aspek penilaian sebesar 11,66 dan validasi konstruk sebesar 4,50 dan kriteria reliabilitas tinggi dengan nilai agreements 0,94. Berdasarkan hasil analisis validitas yang didukung analisis reliabilitas maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran yang dikembangkan bersifat valid dan dapat dipercaya untuk memperoleh data yang akurat dalam kegiatan pembelajaran. Kata kunci : Validitas Model Pembelajaran, Berpikir Kritis, Pemahaman Konsep ABSTRACT The study design is a research and development with the aim of producing a model of problem solving-based learning philosophy of science to foster critical thinking skills and understanding of concepts students are valid, practical and effective. To achieve these objectives, the research was conducted in three 3 phases, namely; 1 The preliminary study define, 2 development model design, and 3 testingimplementation of the product develop. Preliminary study includes theoretical and empirical studies. At the stage of the drafting of model development done learning model. The validity of the model of learning is done through the FGD Focus Group Discussion along with a team of education experts. Results of expert assessment through activities that models developed FGD has an average validity of the contents of each aspect rating of 11.66 and construct validation of 4.50 and high reliability criteria agreements with a value of 0.94. Based on the analysis of validity and reliability, it can be concluded that the learning model developed is valid and can be trusted to obtain accurate data in the learning activities. Keywords: Validity of Learning Model, Critical Thinking, Concept Understanding. ISBN 978-602-72071-1-0 PENDAHULUAN Ilmu kimia diperoleh dan dikembangkan umumnya berdasarkan eksperimen yang melibatkan keterampilan dan penalaran dalam mencari jawaban atas pertanyaan apa, bagaimana, dan untuk apa gejala-gejala alam khususnya yang berkaitan dengan komposisi, struktur, sifat, transformasi, dinamika, dan energetika zat. Bila dipandang dari sisi filsafat ilmu, konsep-konsep dalam sains termasuk kimia mengacu pada tiga pertanyaan, yaitu berkaitan dengan aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Hal ini menunjukkan bahwa untuk memahami ilmu kimia diperlukan seperangkat keterampilan berpikir tingkat tinggi Chandrasegaran, Treagust Mocerino, 2007. Kemampuan berpikir kritis merupakan keterampilan berpikir tingkat tinggi yang diperlukan mahasiswa dalam membuat keputusan yang dapat dipercaya dan bertanggung jawab. Selain itu keterampilan berpikir kritis juga merupakan inkuiri kritis sehingga mahasiswa yang berpikir kritis akan melakukan aktivitas berpikir dalam menyelidiki masalah, mengajukan pertanyaan, memberikan jawaban baru, menemukan informasi, dan menarik kesimpulan Schafersman, 1991. Oleh karena itu mahasiswa perlu meningkatkan kemampuan berpikir kritis, karena banyak mahasiswa yang gagal menggunakan penalaran yang baik dalam memecahkan suatu masalah disebabkan karena kemampuan berpikirnya rendah Halpern, 1999. Menurut Achmad 2012, yang perlu diperhatikan bahwa proses belajar mengajar kimia antara pengajar dan mahasiswa terlibat dalam sederetan kegiatan intelektual yang rumit melalui pengamatan fenomena, mempelajari fakta, memahami model dan teori, mengembangkan keterampilan penalaran, dan menguji epistemologi kimia. Menurut Ibrahim 2008 bahwa pembelajaran IPA termasuk didalamnya kimia selain terdiri dari konsep, hukum, prinsip, teori, dan fakta, informasi serta prosedur juga mengandung peristiwa, gejala atau fenomena yang berpotensi dapat dijadikan model di dalam pembelajaran untuk mencapai hasil pembelajaran sikap positif dan memahami makna kehidupan, asal direncanakan dengan cara yang benar. Oleh karena itu pengembangan model pembelajaran ini mengharapkan pemahaman mahasiswa terhadap suatu konsep hendaknya berkaitan dengan aspek filosofi sains yaitu berusaha menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Masalah mendasar dalam pembelajaran kimia yang menyebabkan tingkat pemahaman konsep yang rendah pada siswa saat ini adalah 1 diperolehnya pemahaman kimia oleh siswa yang tidak utuh, dan 2 tidak optimalnya perkembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi higher order of thinking skills = HOTS. Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk melaksanakan pembelajaran kimia yang sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013 diperlukan: 1 pemahaman materi kimia secara mendasar oleh guru 2 kemampuan guru dalam memanfaatkan materi pelajaran untuk meningkatkan karakter dan HOTS siswa, dan 3 kemampuan guru untuk memanfaatkan secara optimal TIK dalam pembelajaran. Effendy, 2014. Esensi mendasar model pembelajaran ini adalah berupa penyuguhan permasalahan kimia yang otentik dan bermakna kepada mahasiswa untuk diselesaikan melalui penyelidikan atau investigasi kelompok secara kooperatif berdasarkan kajian aspek filosofi sains untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis dan pemahaman konsep mahasiswa. Kelompok dijadikan sebagai sarana sosial dan rencana yang diputuskan oleh kelompok sebagai sarana pendorong keterlibatan maksimal mahasiswa. Model pembelajaran ini diimplementasikan dalam lingkungan pembelajaran yang mendukung dialog interpersonal dan memperhatikan dimensi sosial dalam proses pembelajaran sehingga tidak ditemukan adanya mahasiswa yang berprestasi tinggi secara akademik tidak menghargai rekannya yang memiliki prestasi lebih rendah. Karakteristik model pembelajaran ini dirumuskan berdasarkan kajian teori dan analisis pada tahap pendahuluan dan pengembangan. Model pembelajaran berbasis filosofi sains disusun dengan mengacu pada ciri-ciri suatu model pembelajaran menurut Arends 1997 yang memberikan gambaran setidak-tidaknya ada 4 empat ciri khusus dari suatu model pembelajaran yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran, yaitu; 1 rasional teoritik logis yang disusun oleh perancangnya, 2 landasan pemikiran tentang tujuan pembelajaran yang hendak dicapai dan bagaimana pembelajaran untuk mencapai tujuan tersebut, 3 aktivitas gurudosen dan siswamahasiswa yang diperlukan agar model tersebut terlaksana dengan efektif, dan 4 lingkungan belajar yang diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Kualitas rancangan model yang dihasilkan harus memenuhi 3 tiga kriteria Nieveen, 2007. Pertama adalah kevalidan, yaitu mencakup relevansi validitas isi dan konsistensi validitas konstruk. Kedua adalah kepraktisan, yaitu desain model pembelajaran yang dikembangkan dapat diterapkan secara nyata di lapangan. Ketiga adalah keefektifan, yaitu imlementasi model pembelajaran di lapangan memberikan hasil sesuai tujuan. Data kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan diperoleh melalui tahap pengembangan model pembelajaran. METODE PENELITIAN Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain penelitian dan pengembangan Research and Development yang mengacu pada langkah-langkah Borg dan Gall 1983 dan dimodifikasi oleh Sukmadinata 2012 yang terdiri dari tiga tahap, yaitu 1 studi pendahuluan define, 2 pengembangan model design, dan ISBN 978-602-72071-1-0 3 pengujian implementasi produk develop. Berdasarkan data yang diperoleh dari studi lapangan dan mengacu pada dasar teori dari hasil studi kepustakaan, selanjutnya disusun draf produk awal model pembelajaran yang akan dikembangkan. Draf model pembelajaran yang dihasilkan pada tahap studi pendahuluan selanjutnya akan divalidasi menggunakan lembar validasi. Lembar validasi model pembelajaran PBS2F disusun dengan maksud untuk memperoleh data kevalidan model. Data kevalidan model yang dibutuhkan yaitu hasil penilaian terhadap draf model yang sudah disusun, kevalidan model diperoleh dari sejumlah ahli pendidikan. Teknik yang ditempuh untuk memperoleh data kevalidan model itu adalah dengan memberikan lembar penilaian model beserta naskah buku model disertai video pembelajaran kepada tim ahli melalui FGD Focus Group Discussion . Pada lembar penilaian disediakan pula item penilaian umum dan ruang sarankomentar bagi penilai. Lembar validasi model pembelajaran divalidasi terlebih dahulu oleh tim ahli yang lain sebelum digunakan dalam kegiatan FGD. Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses analisis data kevalidan model pembelajaran PBS2F adalah sebagai berikut:  Melakukan rekapitulasi hasil penilaian ahli ke dalam tabel yang meliputi aspek yang dinilai dan hasil penilaian validator  Menentukan rata-rata hasil penilaian ahli untuk setiap aspek  Menentukan kriteria validitas setiap aspek dengan mencocokkan rata-rata aspek dengan kriteria validitas yang ditetapkan  Kriteria validitas setiap aspek ditetapkan berdasarkan kriteria penilaian yang dikemukakan oleh Rochmad 2009, yaitu: 4,5 ≤ VaM ≤ 5 sangat valid 3,5 ≤ VaM 4,5 valid 2,5 ≤ VaM 3,5 cukup valid 1,5 ≤ VaM 2,5 kurang valid 1 ≤ VaM 1,5 tidak valid Keterangan: VaM adalah rata-rata hasil penilaian ahli terhadap model pembelajaran yang dikembangkan. Kriteria yang digunakan untuk memutuskan bahwa model pembelajaran PBS2F memiliki derajat validitas yang baik adalah apabila VaM berada dalam kriteria minimal valid atau VaM ≥ 3,5. HASIL DAN PEMBAHASAN Validasi model pembelajaran PBS2F dilakukan oleh tim ahli melalui kegiatan Focus Group Discussion FGD terhadap isi dan konstruk draf model pembelajaran dengan menggunakan lembar penilaian validasi isi dan konstruk. Penilaian validasi isi dan konstruk didasarkan pada buku model yang didukung oleh video pembelajaran. Buku model berisi gambaran lengkap tentang model pembelajaran PBS2F, sedangkan video pembelajaran menggambarkan pelaksanaan sintaks model pembelajaran yang dijabarkan dalam buku model. Penilaian ahli dilakukan dengan menggunakan lembar penilaian yang diisi oleh validator dengan memberi skor yang dilengkapi dengan pemberian komentarsaran, selanjutnya skor yang diberikan oleh validator digunakan untuk menentukan kriteria validitas model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian. Namun sebelum lembar validasi isi dan lembar validasi konstruk model pembelajaran PBS2F digunakan, terlebih dahulu dilakukan validasi awal oleh 2 dua ahli lainnya. Setelah dilakukan perbaikan berdasarkan komentarsaran validator awal, maka lembar validasi isi dan konstruk selanjutnya divalidasi oleh 3 tiga ahli melalui kegiatan FGD. Tujuan penggunaan lembar validasi isi adalah untuk mendapatkan penilaian Layak Digunakan LD, Layak Digunakan dengan Perbaikan LDP, atau Tidak Layak Digunakan TLD. Hal ini merujuk defenisi validasi isi menurut Nieveen 2007 yaitu suatu model pembelajaran dikatakan memiliki validitas isi yang baik, apabila komponen-komponen model dilandasi rasional teoritis yang kuat state of the art knowledge . Data validitas isi dan konstruk model pembelajaran PBS2F dianalisis melalui perhitungan nilai rata-rata setiap aspek yang diberikan oleh validator. Kriteria yang digunakan untuk menentukan bahwa model pembelajaran memiliki derajat validitas yang baik jika kriterianya minimal valid dengan nilai VaM ≥ 3,5 Rochmad, 2009. Adapun hasil penilaian setiap aspek validasi isi dan kriteria validitasnya terdapat pada Tabel 1 Tabel 1 Hasil Penilaian Validator terhadap Validasi Isi Model Pembelajaran PBS2F No Aspek Penilaian Rata-rata Penilaian Validator Kriteria Validitas I Tujuan 4,00 Valid II Teori Pendukung 18,33 Sangat Valid III Sintaks Pembelajaran 18,33 Sangat Valid IV Lingkungan Belajar 13,33 Sangat Valid V Kesimpulan Umum Validasi 4,33 Valid Selain validitas isi, juga diukur validitas konstruk model pembelajaran PBS2F. Tujuan pengukuran validasi konstruk adalah untuk mendapatkan penilaian Layak Digunakan LD, Layak Digunakan dengan Perbaikan LDP, atau Tidak Layak Digunakan TLD. Hal ini merujuk dari defenisi validasi konstruk menurut Nieveen 2007 yaitu suatu model pembelajaran dikatakan memiliki validasi konstruk yang baik apabila terdapat konsistensi di antara komponen-komponen model secara internal internally consistent dan tidak saling ISBN 978-602-72071-1-0 kontradiktif. Penentuan dan perhitungan kriteria validitasnya menggunakan cara yang sama dengan penentuan dan perhitungan kriteria validitas lembar validasi isi. Adapun hasil penilaian validator pada setiap aspek validasi konstruk dan kriteria validitasnya terdapat pada Tabel 2 Tabel 2 Hasil Penilaian Validator terhadap Validasi Konstruk Model Pembelajaran PBS2F No Aspek Penilaian Rata-rata Penilaian Validator Kriteria Validitas 1 Kesesuaian antara tahapan model dengan tujuan yang ingin dicapai tidak kontradiktif 5,00 Sangat Valid 2 Keterkaitan teori- teori pendukung dan karakteristik kimia saling mendukung 4,33 Valid 3 Pemahaman prinsip dari teori- teori pendukung dengan tujuan dan karakteristik kimia tidak kontradiktif 4,33 Valid 4 Keterkaitan setiap tahapan pembelajaran pada model pembelajaran problem solving berbasis filosofi sains secara internal saling mendukung 4,67 Sangat Valid 5 Aktivitas mahasiswa dan dosen pada setiap tahapan pembelajaran pada model problem solving berbasis filosofi sains saling terkait 4,33 Valid 6 Penggunaan sumber belajar untuk pencapaian tujuan saling mendukung 4,67 Sangat Valid 7 Pola interaksi antara dosen dan mahasiswa saling mendukung 4,33 Valid 8 Perilaku dosen dalam memberikan motivasi untuk 4,00 Valid No Aspek Penilaian Rata-rata Penilaian Validator Kriteria Validitas membangkitkan minat belajar mahasiswa tergambar dalam tahapan pembelajaran Penilaian validator terhadap validitas isi dan konstruk model pembelajaran PBS2F dalam Tabel 1 dan Tabel 2 menunjukkan bahwa penilaian ahli terhadap 4 empat aspek validasi isi model pembelajaran PBS2F dihasilkan 3tiga aspek yang dinyatakan sangat valid dan 1 satu aspek dinyatakan valid, dengan kesimpulan validitas isi bersifat valid. Sedangkan validasi konstruk terdapat 5 lima aspek dinyatakan valid dan 3 satu aspek dinyatakan sangat valid. Berdasarkan hasil penilaian tersebut, memberikan gambaran bahwa keempat karakteristik model sesuai yang dikemukakan oleh Arends 1997 yang dituangkan dalam model pembelajaran PBS2F bersifat valid. Hal ini menunjukkan bahwa desain model pembelajaran PBS2F telah didasarkan pada pengetahuan ilmiah didukung oleh landasan teoritik dan terdapat konsistensi internal di antara komponen- komponen desain model PBS2F, sehingga dapat dikatakan bahwa model pembelajaran PBS2F bersifat valid ditinjau dari aspek isi dan konstruk. Model pembelajaran yang dikembangkan terdiri dari 6 enam tahap. Tahapan model pembelajaran di awali dengan identifikasi masalahkesulitan. Pada tahapan ini, mahasiswa menuliskan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam menyelesaikan masalah. Tahap pertama dilakukan oleh mahasiswa secara individu. Selanjutnya kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh setiap mahasiswa akan dibahas bersama-sama dengan anggota kelompok pada tahap kedua yaitu merencanakan penyelesaian masalah. Pada tahap kedua ini, mahasiswa secara berkelompok mendalami kesulitan-kesulitan yang dihadapi melalui kajian konsep yang berkaitan dengan masalah yang ingin diselesaikan. Kajian konsep dilakukan berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan aspek filosofi sains, yakni pertanyaan yang berhubungan dengan pertanyaan aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Hasil kajian konsep pada tahap kedua digunakan untuk menyelesaikan masalah pada tahap implementasi rencana tahap ketiga. Pada tahap ketiga mahasiswa secara berkelompok menyelesaikan masalah berdasarkan kajian filosofi sains pada tahap kedua. Hasil implementasi rencana, selanjutnya dikomunikasikan tahap keempat dengan kelompok lain melalui diskusi kelompok untuk menyampaikan jawaban atas masalah yang telah dibahas. Pengecekan kembali tahap kelima dilakukan untuk mengoreksi jawaban yang diperoleh. Tahap kelima dilakukan terintegrasi mulai dari tahap dua, tiga dan ISBN 978-602-72071-1-0 empat model pembelajaran ini. Selain itu, pengecekan kembali juga dilakukan untuk memberikan keyakinan pada diri sendiri dan kelompok atas jawaban masalah yang diselesaikan. Tahap keenam model pembelajaran PBS2F adalah melakukan evaluasi. Evaluasi diberikan kepada setiap mahasiswa untuk mengukur kemampuan berpikir kritis berkaitan dengan topik yang dibahas. Evaluasi juga dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman konsep mahasiswa terhadap topik yang dibahas. Selain analisis validitas juga dilakukan analisis reliabilitas model pembelajaran PBS2F. Analisis reliabilitas bertujuan untuk menentukan tingkat kepercayaan terhadap model pembelajaran yang dikembangkan. Analisis reliabilitas model pembelajaran ditentukan dengan menggunakan rumus percentage agreements . Suatu modelinstrumen dikatakan reliabel dari penilai ahli apabila nilai reliabiltasnya R ≥ 0,70 Abel, Springer Kamata, 2009 . Adapun hasil analisis dan kriteria reliabilitasnya terdapat dalam Tabel 3 Tabel 3 Hasil Analisis Reliabilitas Model Pembelajaran PBS2F Ditinjau dari Validitas Isi dan Konstruk No Lembar Penilaian Rata-rata Penilaian Kriteria Reliabilitas 1 Validasi Isi 0,94 Tinggi 2 Validasi Konstruk 0,94 Tinggi Berdasarkan data Tabel 3 diperoleh nilai rata- rata hasil perhitungan agreements terhadap validasi isi dan konstruk model pembelajaran PBS2F memiliki kriteria tinggi, hasil ini menunjukkan bahwa para ahli menyatakan bahwa model pembelajaran PBS2F dapat dipercaya untuk digunakan dalam kegiatan pembelajaran. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil analisis validitas yang didukung oleh analisis reliabilitas terhadap model pembelajaran PBS2F di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran PBS2F bersifat valid dan dapat dipercaya untuk memperoleh data yang akurat dan dapat diterapkan dalam kegiatan pembelajaran. DAFTAR PUSTAKA Abel,N., Springer, D.W., Kamata,A. 2009. Developing and Validating Rapid Assesment Instrument. New York: Oxford University Press, Inc. Achmad, H., Baradja, L. 2012. Demonstrasi Sains Kimia: Kimia Deskriptif Melalui Demo Kimia . Nuansa. Bandung. Arends, R.I. 1997. Classroom Instruction And Management . USA: The Mc.Graw-Hill Companies,Inc. Borg,W.R., and Gall, M.D. 1983. Education Research An Intruduction . Fourth Edition . New York London: Longman, Inc. Chandrasegaran, Treagust Mocerino, 2007. Enhancing Students’ ude of multiple levels of representation to describe and explain chemical reactions. School Sciences Review ,88.p.325. Effendy, 2014. Pembelajaran Kimia Secara Mendasar untuk Menjawab Tantangan dan Memenuhi Harapan Kurikulum 2013. Materi Seminar Nasional Kimia Universitas Negeri Gorontalo. Halpern, D. F. 1999. Teaching , for critical thinking: Helping college students develop the skills and dispositions of a critical thinker. New directions for teaching and learning, 80, 69-74. Ibrahim, M. 2008. Model Pembelajaran Inovatif IPA Melalui Pemaknaan. Surabaya: Departemen Pendidikan Nasional Balitrbang- Puslitjaknov. Nieveen. 2007. An Introduction to Educational Design Research . SLO. Netherlands institute for curriculum developme. Rochmad. 2009. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme yang Melibatkan Penggunaan Pola Pikir Induktif-Deduktif Model PMBK-ID untuk Siswa SMPMTs. Disertasi. Unesa, Surabaya. Schafersman, S.D. 1991. Introduction to critical thinking . Diambil tanggal 12 Maret 2013, dari http:www. freeinquiry.com critical- thinking. html. Sukmadinata, N.S. 2012. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. ISBN 978-602-72071-1-0 LOG KURIKULER SEBAGAI PEMBELAJARAN ANDRAGOGI BERBASIS GAYA BELAJAR BEBAS MISKONSEPSI GUNA MEMPERSIAPKAN MAHASISWA CALON GURU BERKARYA DALAM MASYARAKAT Kurroti A’yun 1 Suyono 2

1,2

Universitas Negeri Surabaya E-mail: ayun_tlits99yahoo.com ABSTRAK Mahasiswa calon guru kimia harus bebas dari beban miskonsepsi agar siap mengabdi dan berkarya dalam masyarakat. Ditemukan bukti empiris melalui tes pendeteksi miskonsepsi bahwa mahasiswa calon guru kimia Unesa semester VII hampir seluruhnya mengalami miskonseps. Sebagian besar mahasiswa yang mengalami miskonsepsi adalah mahasiswa dengan gaya belajar dimensi pemahaman sequential-global seimbang dengan tingkat konflik kognitif yang beragam. Log kurikuler yang merupakan pengembangan dari pemetaan kurikulum ditelaah secara empiris sesuai dengan pembelajaran untuk orang dewasa andragogi. Andragogi dijadikan teori yang mendasari kerja sama tim dalam mengisi suplemen dalam log kurikuler, karena mahasiswa memiliki motivasi belajar yang berbeda dengan anak usia sekolah, dimana mahasiswa merupakan sosok manusia yang bersiap menuju usia dewasa, yang mencari ilmu tidak hanya ditujukan untuk pengetahuan semata, namun juga untuk diimplementasikan dalam karya dan pengabdian di masyarakat. Kata Kunci: log kurikuler, miskonsepsi, andragogi, gaya belajar sequential-global seimbang, tingkat konflik kognitif ABSTRACT Chemistry student teachers should be free from the burden of misconceptions to be ready to serve and work in the community. Empirical evidence through detector test misconception that chemistry student teachers Unesa at VIIth semester is almost entirely undergo misconception. Most students who have misconceptions is the students who had learning style understanding dimensions in sequential-global by varying levels of cognitive conflict. Log curricular which is the development of curriculum mapping empirically assessed according to adult learning andragogy. Andragogy used as the underlying theory of teamwork in completing the supplement in the log-curricular, because students are motivated to learn different with school-age children, where the student is a human figure that getting into the adult age, who seeks knowledge is not only intended for knowledge alone, but also to be implemented in the work and dedication in the community. Keywords: log curricular, misconceptions, andragogi, global learning style sequential-balanced, level of cognitive conflict ISBN 978-602-72071-1-0 PENDAHULUAN  Para ahli konstruktivis menyatakan bahwa sebenarnya miskonsepsi merupakan hal yang wajar dalam proses pembentukan pengetahuan oleh seseorang yang sedang belajar. Pengetahuan tidak diterima dan sekali jadi, tetapi merupakan suatu proses terus-menerus yang semakin sempurna. Bahkan dalam perkembangan mengkonstruksi pengetahuan peserta didik, dapat bermula dari konsep yang sangat kasar dan sederhana serta tidak lengkap, dan pelan-pelan dalam proses pembelajaran menjadi semakin lengkap, tepat, dan benar, namun guru harus memahami bahwa otak peserta didik tidak seperti buku kosong tabula rasa yang siap ditulisi sesuai dengan kehendak pendidik Redish, 1994. Pendidik harus menyadari bahwa di dalam otak peserta didik sudah ada semacam prakonsepsi, maka tugas guru adalah untuk menekankan konsep yang baru dan berusaha untuk mengubah prakonsepsi peserta didik yang mungkin salah.  Miskonsepsi, terutama terkait konsep kimia terjadi di berbagai tingkatan pendidikan, mulai dari tingkat sekolah sampai tingkat perguruan tinggi, bahkan juga dialami oleh guru yang identik telah menyelesaikan studi di perguruan tinggi. Miskonsepsi konsep kimia di tingkat sekolah telah banyak dilaporkan oleh berbagai peneliti, beberapa di antaranya adalah: miskonsepsi siswa pada konsep-konsep terkait dengan ikatan kimia, asam dan basa, stoikiometri, kesetimbangan kimia Barke et al. , 2012, miskonsepsi siswa pada materi asam dan basa Demircioglu et al., 2005, miskonsepsi siswa terjadi pada materi kesetimbangan kimia Cheung 2008; Camacho and Good, 1989; Bergquist and Heikkinen, 1990.  Miskonsepsi pada mahasiswa dilaporkan oleh Zoller 1990 terkait konsep kimia organik. Miskonsepsi mahasiswa calon guru kimia terkait konsep larutan dilaporkan oleh Akgun 2009, sedangkan terkait larutan, ikatan kimia, kesetimbangan kimia, dan laju reaksi dilaporkan oleh Suyono 2015. Miskonsepsi kimia pada siswa, mahasiswa, dan guru terkait konsep atom, larutan, dan asam basa dilaporkan oleh Taber 2009. Miskonsepsi yang dialami guru sains terkait konsep sains dilaporkan oleh Giamellaro 2005. Kolomuc dan Tekin 2011 menemukan bukti bahwa guru memiliki miskonsepsi pada konsep tentang laju reaksi kimia. Lemma 2013 telah menemukan adanya korelasi secara signifikan antara intensitas miskonsepsi kimia pada siswa dan pada gurunya dengan nilai indeks diskriminasi 90. Artinya miskonsepsi yang terjadi pada siswa 90 disebabkan oleh faktor miskonsepsi yang terjadi pada guru, sedangkan 10 nya adalah akibat faktor lain.  Miskonsepsi disebabkan karena faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal terjadinya miskonsepsi menurut Suparno 2005 dan Thomson, 2006. di antaranya adalah: literatur atau buku teks, konteks pembelajaran, pendidik guru atau dosen, metode pembelajaran. Aydin 2012 menambahkan 4 penyebab eksternal timbulnya miskonsepsi pada diri peserta didik, yaitu: 1 adanya ketidak-konsistenan patokan ilmiah yang dipakai, 2 adanya ketidak-samaan pemakaian bahasa sehari-hari dengan bahasa ilmiah terakait konsep yang dipelajari, 3 kegagalan penyiapan lingkungan mengajar yang sesuai dengan materi dan konsep yang dipelajari, 4 penyajian konsep-konsep dalam pembelajaran tidak diusahakan untuk membangun hubungan antara konsep yang dipelajari dengan pengetahuan yang dipahami secara umum dan tidak mengaitkan konsep yang diajarkan dengan fenomena sehari-hari.  Faktor internal penyebab miskonsepsi bersifat unik dan khusus bagi tiap-tiap peserta didik. Menurut ahli konstruktivis George Kelly yang mengembangkan teori personal construct theory, antara individu satu dengan yang lain memiliki susunan yang unik dalam membangun diri Pope dan Watts dalam Taber, 2001, sedangkan penyebab eksternal biasanya dari materi, guru, bahan ajar, buku siswa, dan metode pembelajaran yang digunakan. Kemp et al., 1994 menjelaskan bahwa karakteristik peserta didik terkait gaya belajar dan kondisitingkat konflik mempengaruhi proses pembelajaran.  Bukti-bukti empiris dan teoritits di atas menunjukkan bahwa miskonsepsi membutuhkan penangan dari pihak guru sebagai faktor eksternal terjadinya miskonsepsi pada siswa. Penelitian ini diutamakan untuk perbaikan beban miskonsepsi pada guru melalui preparasi calon guru kimia yang bebas dari beban miskonsepsi pada konsep terkait larutan kimia.  Log kurikuler sebagai modifikasi dari pemetaan kurikulum digunakan sebagai media untuk perbaikan miskonsepsi secara individu bagi mahasiswa yang memiliki gaya belajar sequential-global seimbang. Alasan digunakannya log kurikuler dalam penelitian ini adalah log kurikuler melibatkan partisipati aktif individual mahasiswa. Partisipasi aktif dalam suatu pembelajaran terbukti efektif membentuk konsepsi peserta didik Giamellaro, 2005 dan Dale, 1969  Penelitian ini menjadikan mahasiswa calon guru kimia sebagai obyek penelitian, maka dari itu program pembelajaran terhadap perbaikan beban miskonsepsi akan disesuaikan dengan sifat pembelajaran bagi calon guru, yang dalam hal ini haruslah bukan pedagogi pembelajaran untuk anak-anak lagi yang diajarkan, akan tetapi lebih condong pada andragogi pembelajaran untuk orang dewasa Pew, 2007; Knowles, 1979. METODE PENELITIAN Identifikasi Beban Miskonsepsi dan Gaya Belajar Mahasiswa  Miskonsepsi dapat dideteksi atau didiagnosis dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan three-tier diagnostic test, yang pertama kali dikembangkan oleh Eryilmaz dan Surmeli pada tahun 2002. Three-tier diagnostic test dikembangkan dari two-tier diagnostic test yang masih kurang meyakinkan untuk dapat membedakan antara miskonsepsi dan tidak tahu konsep Hasan et al. di dalam Pesman dan Erylmas, 2010. Metode three-tier diagnostic test ISBN 978-602-72071-1-0 mahasiswa tidak saja mengandalkan keyakinannya, namun untuk menguatkan keyakinannya dalam menjawab soal diperlukan alasan alternatif yang dimilikinya. Alasan-alasan tersebut terdiri dari jawaban benar dan distraktor, yang terkadang peneliti juga menyediakan tempat khusus jika ada alasan alternatif dari siswa sendiri. Jadi, two tier diagnostic test dikembangkan menjadi tiga tingkat dengan menambahkan tingkat keyakinan pada tingkat ketiga berupa confidence rating CR yang dapat mengukur tingkat kepercayaan keyakinan siswa terhadap jawabannya. Tes pendeteksi miskonsepsi digunakan dalam penelitian ini digunakan untuk memetakan bagaimana riwayat tacit knowledgenya yang mungkin ada yang miskonsepsi dan mungkin ada yang sudah benar konsepnya, bahkan mungkin ada yang tidak tahu konsep. Berikut salah satu contoh tes pendeteksi miskonsepsi yang digunakan dalam rancangan penelitian ini: Tabel 1. Tes Pendeteksi Miskonsepsi Menggunakan Three-tier Diagnostic Test N o . Indi kato r Jeni s Kon sep Butir Soal Kun ci Konstruksi J w b n a l s n 1 2 3 4 5 2 3 . Me mili h nonc onto h Non elekt rolit Manakah dari senyawa di bawah ini yang bukan merupakan non elektrolit? a. NaOH b. NH 2 2 CO c. C 2 H 5 OH d. BaOH 2 Pilihlah salah satu alasan yang sesuai dengan jawaban Anda 1. Soda 2. Urea 3. Sabun 4. Alkohol Apakah Anda yakin dengan jawaban Anda? a. Yakin b. Tidak yakin Diperoleh sebesar 79 mahasiswa yang mengalami miskonsepsi dengan gaya belajar sequential- global seimbang pada materi konsep larutan kimia. Gaya belajar adalah cara khas seseorang dalam mendekati learning belajar tentang hal yang khusus dan studying belajar secara general Woolfolk, 2009. Pritchard 2009 mendiskripsikan bahwa gaya belajar seperti berikut: 1 cara tertentu yang dilakukan seseorang saat belajar, 2 cara terbaik yang dimiliki seseorang saat berpikir, memproses informasi, dan menjelaskan informasi yang diperoleh, 3 kecenderungan seseorang untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan. Setiap peserta didik di kelas memiliki gaya belajar yang berbeda. Pendidik juga memiliki gaya mengajar yang berbeda. Hal tersebut ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Dimensi Gaya Belajar dan Mengajar Sumber: Felder Silverman 1988  Implementasi Strategi Peer Learning Sebagai Andragogi Sesuai Gaya Belajar Sequential-Global Seimbang  Pada proses belajar, pendidik akan mentransfer ilmunya kepada peserta didik. Pada proses ini jika gaya mengajar pendidik sesuai dengan gaya belajar peserta didik, maka peserta didik akan cenderung memperhatikannya, jika sebaliknya peserta didik cenderung mengabaikannya Felder, 1993.  Log kurikuler digunakan sebagai media untuk pembelajaran remedial pada mahasiswa yang identik dengan pembelajaran andragogi sesuai dengan gaya belajar sequential-global seimbang.  Asumsi-asumsi dasar alasan dipakainya pembelajaran andragogi dari pada pedagogi untuk mahasiswa diungkapkan Knowles 1993, sebagai berikut: ISBN 978-602-72071-1-0  Tabel 1. Asumsi Dasar Pedagogi dan andragogi Tentang Pedagogi Andragogi Konsep diri peserta didik Pribadi yang bergantung kepada gurunya Semakin mengarahkan diri self- directing Pengalaman peserta didik Masih harus dibentuk daripada digunakan sebagai sumber belajar Sumber yang kaya untuk belajar bagi diri sendiri dan orang lain Kesiapan belajar peserta didik Seragam uniform sesuai tingkat usia dan kurikulum Berkembang dari tugas hidup dan masalah Oriensi dalam belajar Orientasi bahan ajar subject-centered Orientasi tugas dan masalah task or problem centered Motivasi bbelajar Dengan pujian, hadiah, dan hukuman Oleh dorongan dari dalam diri sendiri internal incentives, curiosity ISBN 978-602-72071-1-0  Giamellaro et al., 2011 memberikan contoh pemetaan kurikulum dalam penelitiannya untuk mengatasi miskonsepsi guru kimia SMP, yang dapat dilihat pada gambar berikut: ISBN 978-602-72071-1-0  Gambar 1. Contoh Pemetaan Kurikulum Untuk Mengatasai Miskonsepsi Pada Guru Kimia SMP ISBN 978-602-72071-1-0  Konsepsi mahasiswa setelah pelaksanaan strategi pembelajaran diketahui melalui tes pendeteksi miskonsepsi kembali.  Desain Penelitian Tipe desain penelitian ini menggunakan tipe A-B- A dengan 3 fase penelitian, yaitu A fase baseline dan B fase intervensi. Fase baseline disini adalah uji soal pendeteksi miskonsepsi, sedangkan fase intervensi adalah pemberian pembajaran remedial dengan strategi peer learning . Adanya pengukuran kondisi baseline pengukuran beban miskonsepsi mahasiswa yang kedua, pada tipe A- B-A ini mengandung arti bahwa peneliti telah melakukan kontrol untuk fase intervensi, hal ini memungkinkan untuk ditarik kesimpulan adanya hubungan fungsional antara variabel bebas yaitu pembelajaran remedial dengan variabel terikat yaitu beban miskonsepsi, gaya belajar mahasiswa. Gambar 3.4 Desain A-B-A Gambaran Desain Single- Subject Research Sumber: Fraenkel and Wallen, 2009 HASIL DAN PEMBAHASAN Hakikat kimia identik dengan hakikat sains, yaitu pengetahuan yang diperoleh dan dikembangkan berdasarkan eksperimen yang mencari jawaban atas pertanyaan apa, mengapa dan bagaimana gejala-gejala alam; khususnya yang berkaitan dengan komposisi, struktur dan sifat, transformasi, dinamika dan energetika tentang materi. Kimia sama halnya dengan sains, merupakan produk pengetahuan yang berupa fakta, teori, prinsip, hukum temuan saintis dan proses pekerjaan ilmiah. Konsep kimia terkait larutan dapat dipahami berdasar hakikat kimia. Larutan menurut sebagian besar peserta didik identik dengan larutan cair dan memiliki atribut kritis dan atribut variabel yang dapat menjebak konsepsi peserta didik, sehingga menyebabkan sulitnya memahami prinsip dan menemukan contoh maupun noncontohnya. Sifat konsep larutan dalam ilmu kimia sangat kompleks, mulai dari konkrit sampai abstrak. Miskonsepsi sering terjadi ketika mahasiswa dihadapkan pada konsep yang bersifat abstrak atau konsep yang berada pada level pemahaman submikrospik Berg, 2011. Terjadinya miskonsepsi siswa pada konsep-konsep larutan kimia telah banyak dilaporkan baik penelitian dalam maupun luar negeri. Kajian beberapa penelitian sebelumnya pada konsep larutan kimia terutama materi terkait kelarutan, difusi, dan dissolution, selain itu peserta didik dilaporkan kebanyakan memahami komponen larutan terbatas pada pelarut-zat terlarut: cair-cair dan cair-padat Akgun, 2009; Berg, 2011; dan Calik and Ayas, 2005. Studi sebelumnya melaporkan bahwa peserta didik mengalami kesulitan dalam menginterpretasi reaksi-reaksi kimia yang terjadi pada larutan kimia. Seçken 2010 menyatakan bahwa sebagian miskonsepsi peserta didik terjadi pada reaksi pembentukan larutan, terutama larutan garam. Hasil penelitian Suyono, dkk. 2015 menyatakan bahwa hampir 100 mahasiswa calon guru kimia semester VII mengalami miskonsepsi, dan 79 di antaranya memiliki gaya belajar sequential-global seimbang. Hasil penelitian Suyono, dkk. 2015, tersebut diperoleh melalui tes pendeteksi miskonsepsi menggunanakan software ionunesa Detector. Hasil tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa calon guru kimia masih terbebani miskonsepsi pada konsep larutan kimia, sehingga dikhawatirkan mahasiswa tersebut ketika lulus nanti masih membawa beban miskonsepsi dan sering membangun konsep baru yang miskonsepsi pada saat berkarya dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam dunia kerja di sekolah. Hasil tersebut menunjukkan perlunya perbaikan beban miskonsepsi yang masih dimiliki mahasiswa melalui pembelajaran remedial berdasarkan karakteristik individual terutama pada karakteristik gaya belajar sequential-global seimbang. Tips belajar dari Felder dan Silverman, 1988 untuk peserta didik bergaya belajar sequential dan global ialah memberi tugas-tugas secara berkesinambungan untuk persiapan menghadapi ujian terhadap metode dasar yang telah dipelajari sequential, tapi tidak memberi latihan yang terlalu banyak, juga menyiapkan soal-soal yang bersifat open-ended dan tugas-tugas untuk menganalisis dan mensintensis pengetahuan global. Pemberian log kurikuler sesuai dengan gaya belajar sequential dan global, sebab di dalam log kurikuler, mahasiswa diberi tugas untuk meringankan proses pembangunan pengetahuannya yang semula miskonsepsi dengan memberi akses yang luas untuk mencari sumber informasi konsep yang di bahas, dalam hal ini larutan kimia. mahasiswa juga diarahkan untuk menganalisis dan mensintnsis pengetahuannya berdasar pembelajaran andragogi melalui praktek peer learning. PENUTUP Simpulan  Program pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik individu mahasiswa dan karakteristik mengajar dosen sebagai pendidik sangat diperlukan untuk mengatasi kondisi miskonsepsi yang terjadi pada mahasiswa prodi pendidikan kimia melalui program pembelajaran yang tervalidasi. Saran 1. Penelitian ini akan menghasilkan sebuah rekomendasi bagi peneliti pada penelitian lanjutan untuk menyusun strategi pembelajaran yang tepat dan tervalidasi dalam mereduksi miskonsepsi. 2. Strategi pembelajaran yang digunakan diharapkan dapat mengatasi beban miskonsepsi yang masih dibawa pada para calon lulusan sarjana pendidikan A B A Kondis i awal baseli Kondisi akhir baselin Treatment pemb. remedial ISBN 978-602-72071-1-0 kimia semester VII masa akhir perkuliahan, sehingga tidak lagi membawa beban miskonsepsi terhadap konsep kimia sebelum meninggalkan kampus untuk berkarya di masyarakat utamanya masyarakat sekolah. DAFTAR PUSTAKA Abosalem, Y.M. 2013. The Relationship Between the Learning Styles of Students in Grades Five and Six and Their Held Misconceptions About Dividing Fractions Based on Kolb’s Model Unpublished master’s thesis. The British University. Akgun, Abuzer. 2009. The Relation between Science Student Teachers’ Misconceptions about Solution, Dissolution, Difusion and their Atitudes toward Science with their Achievement. Education and Science . 2009, Vol. 34, No 154. Aydin, Süleyman. 2012. Remediation of Misconceptions About Geometric Optics Using Conceptual Change Texts. Journal of Education Research and Behavioral Sciences Vol. 11, pp. 001-012, October, 2012 Barke., Hans-Dietter., Harsch., Gunter., Schmid, Siegebert. 2012. Essential of Chemical Education . Berlin: Springer-Verlag Heidelberg Berg, Kevin De. 2011. A Study of First-Year Chemistry Students’ Understanding of Solution Concentration at The Tertiary Level . Chem. Educ. Res. Pract., 2012, 13, 8-16. Bergquist, W., Heikkinen, H. 1990. Student ideas regarding chemical equilibrium: What written test answers do not reveal. Journal of Chemical Education 67 . Camacho, M., Good, R. 1989. Problem Solving and Chemical Equilibrium: Successful Versus Unsuccesful Performance. Journal of Research in Science Teaching 26 1989, 251. Çalık, Muammer., and Ayas, Alipaşa. 2005. A cross-age study on the understanding of chemical solutions and their components. International Education Journal , 2005, 61, 30-41. Cheung, Derek. 2008. Using Think-Aloud Protocols to Investigate Secondary School Chemistry Teacher’s Misconceptions About Chemical Equilibrium . Demircioglu, G., Ayas, A. and Demircioglu, H. 2005. Conceptual Change Achieved Through a New Teaching Program on Acids and Bases. Journal of Royal Society of Chemistry Vol. 6 No. 1. Felder, Richard M., and Silverman, Linda. 1988. Learning and Teaching Styles in Engineering Education . Engineering Education. p. 674-681. Fraenkel, Jack R., and Wallen Norman E. 2009. How to Design and Evaluate Research in Education . McGraw-Hill, an imprint of The McGraw-Hill Companies, Inc., 1221 Avenue of the Americas, New York, NY10020. Giamellaro, Michael., Lan, Ming-Chi., Ruiz-Primo, Maria Araceli., and Li, Min. 2011. Addressing Elementary Teacher Misconceptions in Science and Supporting Peer Learning Through Curriculum Mapping. Seattle: University of Washington. Ibrahim, Muslimin. 2012. Konsep Miskonsepsi dan Cara Mengatasinya . Surabaya: Unesa University Press. Kemp, J.E., Gary R.M., dan Steven M.R. 1994. Designing Effective Instruction . New York: Macmillan College Publishing Company. Knowles, Malcom S. 1980. The Modern Prcatice of Adult Education: From Pedagogy to Andragogy . N.Y.: Cambridge, The Adult Education Company. Kolomuc, Ali., Tekin, Seher. 2011. Chemistry Teachers’ Misconception Concerning Concept of Chemical Reaction Rate. Eurasian J. Phys. Chem. Educ , 32, 84-101. Limón, M. 2001. On the cognitive conflict as an instructional strategy for conceptual change: A critical appraisal. Learning and Instruction, 114 –5,357–380. Pew, Stephen. 2007. Andragogy and Pedagogy as Foundational Theory for Student Motivation in Higher Education . Texas: Park University. Pritchard, Alan. 2009. Ways of Learning: Learning theories and learning styles in the classroom . Second edition. Abingdon: Routledge. Redish, Edward F. 1994. Implications of Cognitive Studies for Teaching Physics. American Journal of Physics , 629 796-803. Seçken, Nilgün . 2010. Identifying Student’s Misconceptions about SALT. Procedia Social and Behavioral Sciences 2 2010 234 –245. Suparno, Paul. 2005. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan. Fisika. Jakarta : Grasindo Suyono dan Hariyanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran Teori dan Konsep Dasar. Bandung: PT Remaja Rosda. Suyono dan Hariyanto. 2015. Implementasi Belajar dan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosda. Suyono, 2014. Preparasi Sarjana Pendidikan Kimia Tanpa Miskonsepsi Di FMIPA UNESA. Pendidikan Kimia Universitas Negeri Surabaya. Taber, Keith S. 2009. Challenging Misconceptions in the Chemistry Classroom: Resources to Support Teachers . ISSN 2013-1755, SCQ-IEC Educació Química EduQnúmero 4 2009, p. 13-20. Woolfolk, Anita. 2009. Educational Psychology Active Learning Edition . Yogyakarta: Pustaka Peserta didik. Zoller, Uri. 1990. Students’ Misunderstanding and Misconception in College Freshman Chemistry General and Organic. Journal of Research in Science Teaching . Vol. 27, No. 10, PP. 1053- 1065. ISBN 978-602-72071-1-0 DETEKSI MISKONSEPSI DAN GAYA BELAJAR MAHASISWA CALON GURU KIMIA PADA KONSEP IKATAN KIMIA Napsin Palisoa

1,2

1 Universitas Pattimura Ambon 2 Universitas Negeri Surabaya Email: nafsin_palisoayahoo.co.id ABSTRAK Konsep ikatan kimia sering kali dipahami secara miskonsepsi oleh mahasiswa, oleh karena itu dalam penelitian ini akan diungkapkan beban miskonsepsi dan gaya belajar mahasiswa calon guru kimia. Data penelitian diperoleh melalui tes pendeteksi miskonsepsi dan gaya belajar menggunakan software pendeteksi ionunesaDetector dan dilakukan di FMIPA Jurusan Kimia Unesa. Hasil tes pemahaman konsep ikatan kimia menunjukkan; dari 88 mahasiswa yang mengikuti tes, terdapat 86 98 mahasiswa masih mengalami miskonsepsi dengan beban miskonsepsi tinggi 34 39 dan beban miskonsepsi rendah 54 61. Hasil tes gaya belajar menunjukkan, dari 88 mahasiswa yang mengikuti tes, terdapat 40 45 mahasiswa memiliki gaya belajar dimensi input visual verbal seimbang. Berdasarkan hasil tersebut menjelaskan bahwa kebanyakan mahasiswa calon guru kimia memiliki gaya belajar dimensi input visual verbal seimbang masih mengalami beban miskonsepsi pada konsep ikatan kimia, sehingga dimungkinkan mahasiswa calon guru kimia ketika lulus nanti masih membawa beban miskonsepsi dan sering membangun konsep baru yang miskonsepsi pada siswa. Kata kunci : Miskonsepsi, gaya belajar, ikatan kimia, mahasiswa calon guru kimia ABSTRACT The concept of chemical bonding is often understood misconceptions by students. Therefore in this study will be disclosed burden of misconceptions and learning styles chemistry student. The research data obtained through misconceptions and learning styles tests using ionunesaDetector software and carried out in the Department of Chemistry Unesa. The results demonstrate that the understanding of the chemical bonds concept of the 88 students who took the test, there were 86 98 of students still have misconceptions with 34 39 of student have high misconception and 54 61 of student have low misconceptions. Learning styles test results showed that there were 40 45 students have a learning style dimensions of input visual-verbal balance from 88 students who took the test. Based on these results explain that most student teachers chemistry has a learning style dimensions of input visual- verbal balance are still having loads of misconceptions on the concept of chemical bonds, so it is possible prospective student chemistry when they graduate still carry the burden of misconceptions and often building a new concept that misconceptions on students. Keywords: Misconception, learning style, chemical bonding, chemistry student teachers ISBN 978-602-72071-1-0 PENDAHULUAN Ilmu kimia memiliki konsep yang berurutan dan berjenjang Kean dan Middlecamp, 1985:5. Menurut Nakhleh 1992:191, jika siswa tidak memahami konsep dasarnya, maka siswa akan mengalami kesulitan dalam memahami konsep yang lebih kompleks. Apabila siswa mengalami miskonsepsi pada salah satu konsep dasar, maka kemungkinan munculnya miskonsepsi pada konsep yang lebih kompleks akan semakin besar. Tujuan mempelajari kimia adalah agar dapat memahami konsep- konsep yang ada dalam ilmu kimia dan selanjutnya dapat mengaplikasikan konsep-konsep tersebut untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan Bowen dan Bunce, 1997. Berdasarkan tujuan tersebut, maka pemahaman yang benar tentang konsep-konsep kimia merupakan hal yang sangat penting. Hans Barke et al., 2009 dalam bukunya misconceptions in chemistry mengemukakan beberapa konsep kimia yang masih dipahami miskonsepsi, yaitu ikatan kimia, kesetimbangan kimia, reaksi asam basa, reaksi redoks, reaksi kompleks dan energi. Konsep-konsep kimia tersebut sangat abstrak sehingga sulit dipahami dan pemahamannya masih miskonsepsi. Hal ini terjadi baik di SMA maupun di perguruan tinggi. Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan LPTK sebagai lembaga penghasil guru, memiliki tanggung jawab besar dalam mempersiapkan calon guru secara umum dan lebih khusus calon guru kimia, diharapkan ketika lulus dan berada di masyarakat sekolah tidak membawa beban miskonsepsi. Hasil penelitian Aleksovska Stojanovski 2005 menyatakan bahwa semua pernyataan yang salah dapat mengakibatkan terbentuknya miskonsepsi baru atau memperkuat miskonsepsi yang sudah ada. Siswa yang memahami konsep secara miskonsepsi akan mengalami kesulitan dalam menghubungkan konsep yang dimiliki dengan konsep-konsep selanjutnya. Oleh karena itu, guru harus mengatahui miskonsepsi yang terjadi pada siswa sehingga mampu merancang proses belajar yang sesuai dengan konsep awal yang dimiliki siswa Upaya memperbaiki konsepsi mahasiswa secara individual dengan memperhatikan karakteristik belajar, yaitu gaya belajar. Hasil penelitian Abosalem 2013 dan Sen Yilmaz 2012 menyatakan salah satu penyebab miskonsepsi pada internal siswa yaitu gaya belajar. Hal tersebut menunjukkan gaya belajar sangat mempengaruhi konsepsi siswa maupun mahasiswa terhadap konsep yang dipelajari. Menurut Sen dan Yilmaz 2012 pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajar siswa, menyebabkan terjadinya penurunan dan penyembuhan miskonsepsi. Hal yang sama menurut Felder, 1993 bahwa siswa yang memiliki gaya belajar sesuai dengan gaya pengajar cenderung menyimpan informasi lebih lama, menerapkannya secara lebih efektif, dan memiliki sikap yang lebih positif terhadap subjek, daripada siswa yang mengalami ketidaksesuaian gaya belajar dengan gaya pengajar. Teori konstruktivis menyatakan belajar sebagai proses aktif, mahasiswa mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri, dan menghendaki gagasan atau ide menjadi miliknya sendiri. Pembelajaran berdasarkan teori konstruktivis kognitif melibatkan proses perubahan konseptual, terutama bila terjadi miskonsepsi alternative conceptionI . Menurut Piaget banyak siswa mengalami pergeseran pengetahuan dan perkembangan konsep melalui konflik kognitif, atau pengalaman internal menimbulkan kontradiksi-kontradiksi yang saling bertentangan, dan sangat penting dalam pengembangan kognitif. Konflik kognitif adalah suatu kondisi perseptual dimana seseorang mengetahui perbedaan antara struktur kognitifnya dengan lingkungan informasi eksternal, atau di antara berbagai komponen. Misalnya, konsepsi, keyakinan, substruktur dan sebagainya dari struktur kognitif seseorang Lee Kwon, 2001. Teori perubahan konseptual menjelaskan konflik kognitif merupakan suatu faktor penting dalam perubahan konseptual. Teori kognitif Piaget dalam Slavin, 2006 mengacu pada pandangan konstruktivis psikologi individu, bahwa untuk membangun pengetahuan terjadi proses perubahan konseptual melalui asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Berdasarkan epistemologi, Posner, Strike, Hewson, dan Gertzog 1982 berasumsi bahwa para siswa tidak akan merubah teori alternatifnya sampai pada saat mengalami konflik kognitif yang menantang konsepsinya saat itu. Kondisi demikian dapat dilakukan pada saat struktur pengetahuan awal mahasiswa masih menyisahkan miskonsepsi, sehingga perlu menciptakan kondisi konflik kognitif, agar terjadi proses perubahan konsep, yang dapat dilakukan melalui pembelajaran remediasi. METODE PENELITIAN Identifikasi Konsepsi Mahasiswa Three-tier diagnostic test pertama kali dikembangkan oleh Eryilmaz dan Surmeli, 2002 untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa. Three-tier diagnostic test terdiri dari tiga tingkatan. Tingkat pertama first tier berupa tes pilihan ganda, tingkat kedua second tier berisi pertanyaan pilihan ganda yang menguji jawaban dengan satu alasan yang benar dan beberapa alasan alternatif, dan tingkat ketiga third tier berisi keyakinan pada kedua pertanyaan sebelumnya Pesman dan Eryilmaz, 2010; Dindar dan Geban, 2011. Metode three- tier diagnostic test siswa tidak saja mengandalkan keyakinannya, untuk menguatkan keyakinan siswa dalam menjawab soal maka perlu alasan alternatif yang dimiliki siswa. Alasan-alasan tersebut terdiri dari jawaban benar dan distraktor, terkadang peneliti juga menyediakan tempat khusus jika ada alasan alternatif dari siswa sendiri . Berikut ini adalah satu contoh three-tier diagnostic test yang diadaptasi dari Pesman dan Eryilman 2010. Kriteria pengelompokan siswa tergolong pada tahu konsep TK, tidak tahu konsep TTK, dan miskonsepsi MK berdasarkan respon jawaban siswa pada masing- masing tier terlihat pada Tabel 1.  Tabel 1. Kriteria Pengelompokan Konsepsi Siswa Berdasarkan Three-tier Diagnostic Test ISBN 978-602-72071-1-0  Tier1  Ti er2  Tier3  Kelom pok Konsepsi  Sin gktn  Jaw aban  Al asan  Keyak inan  Benar  Be nar  Yakin  Tahu konsep  T K  Benar  Be nar  Tidak yakin  Tidak tahu konsep  T TK  Benar  Sa lah  Tidak yakin  Tidak tahu konsep  T TK  Salah  Be nar  Tidak yakin  Tidak tahu konsep  T TK  Salah  Sa lah  Tidak yakin  Tidak tahu konsep  T TK  Salah  Be nar  Yakin  Miskons epsi 1  M K1  Benar  Sa lah  Yakin  Miskons epsi 2  M K2  Salah  Sa lah  Yakin  Miskons epsi 3  M K3 Sumber: Arslan et al., 2012 Mahasiswa yang dipilih dengan pertimbangan- pertimbangan sebagai berikut: 1. Mahasiswa yang dipilih adalah mahasiswa yang telah mempelajari konsep ikatan kimia pada semester sebelumnya. 2. Mahasiswa yang dipilih adalah mahasiswa yang telah mengikuti tes pendeteksi miskonsepsi dan gaya belajar menggunakan software pendeteksi miskonsepsi ionunesa Detector. 3. Mahasiswa yang dipilih adalah mahasiswa memiliki beban miskonsepsi tinggi maupun rendah dengan karakteristik gaya belajar dimensi input visual verbal seimbang pada konsep ikatan kimia. Berdasarkan tes pemahamannya terhadap sebuah konsep ikatan kimia, mahasiswa dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu mahasiswa yang tahu konsep TK, tidak tahu konsep TTK, dan miskonsepsi MK.   HASIL DAN PEMBAHASAN Konsep ikatan kimia termasuk konsep abstrak, memiliki atribut kritis dan atribut variabel yang sulit dimengerti dan dianalisis, menyebabkan sulitnya menemukan contoh dan noncontoh. Konsep ikatan kimia relatif sukar untuk diajarkan dan dipelajari oleh sebagian siswa maupun mahasiswa, karena tidak mungkin mengkomunikasikan informasi atribut kritis konsep ini melalui pengamatan langsung. Oleh karena itu, diperlukan model-model atau ilustrasi yang mewakili contoh dan noncontoh. Contoh konsep abstrak dari ikatan kimia, yaitu atom dan molekul. Konsep ikatan kimia menyatakan sifat dan nama atribut, seperti: massa, berat, muatan listrik, muatan, frekuensi, bilangan oksidasi, dan senyawa yang mudah terbakar. Terjadinya miskonsepsi siswa pada konsep-konsep ikatan kimia telah banyak dilaporkan baik penelitian dalam maupun luar negeri. Beberapa penelitian miskonsepsi ikatan kimia, melaporkan adanya miskonsepsi pada konsep ikatan kimia karena mencakup konsep-konsep abstrak. Berdasarkan kajian beberapa penelitian sebelumnya pada konsep ikatan kimia terutama materi ikatan kovalen menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki berbagai miskonsepsi tentang empat bidang penting yang berkaitan dengan ikatan kovalen, yaitu 1 jenis atau sifat- sifat atom yang membentuk ikatan kovalen, 2 bagaimana ikatan kovalen dibentuk, 3 jenis ikatan kovalen, dan 4 karakteristik stuktur kovalen raksasa. Ikatan kovalen yang dipahami sebelumnya oleh siswa masih miskonsepsi, terutama pada jenis atau sifat-sifat atom yang membentuk ikatan kovalen. Ditemukan bahwa besar kemungkinan mahasiswa memiliki miskonsepsi pada konsep terbentuknya ikatan kovalen antara atom logam dan nonlogam. Studi sebelumnya melaporkan bahwa siswa bingung tentang jenis ikatan kimia dan berpikir seakan ikatan kovalen hanya bisa dibentuk antara atom logam dan non logam. Menurut Unal et al., 2010 sebagian miskonsepsi siswa terjadi pada jenis atau sifat-sifat atom yang membentuk ikatan kovalen, dan bagaimana ikatan kovalen dibentuk. Hal tersebut menyebabkan kebingungan tentang ikatan ionik dan ikatan kovalen yang terjadi satu sama lain. Penelitian sebelumnya juga melaporkan bahwa siswa berpikir seolah-olah ikatan kovalen dibentuk melalui transfer elektron, karena mereka bingung jenis ikatan kimia. Selanjutnya kemungkinan alasan terjadinya miskonsepsi pada bagaimana ikatan kovalen terbentuk, dan bagaimana kemampuan siswa maupun mahasiswa membayangkan suatu atom, dan kapan atom tersebut berinteraksi pembentukan molekul, sehingga siswa bisa memprediksi dengan benar apakah karakteristik atom pembentukan ikatan kovalen dan bagaimana ikatan kimia dibentuk dari ikatan antara atom- atom. Selain itu hasil penelitian Unal et al., 2010 juga melaporkan bahwa siswa bingung tentang ikatan antara kovalen polar dan nonpolar. Miskonsepsi juga terjadi pada konsep elektron ikatan yang menempatkan atom dalam membentuk ikatan kovalen apakah terbentuk ikatan atau tidak antara atom yang sama. Hal yang sama juga dilaporkan dalam studi sebelumnya Unal et al., 2010 bahwa terjadinya miskonsepsi pada jenis ikatan kovalen karena kurangnya atau ketidaktahuan siswa tentang elektronegativitas. Selain itu, Sökmen et al., 2000 mengklaim kebingungan siswa tentang konsep yang diajarkan dalam sekolah memungkinkan sumber miskonsepsi tentang jenis ikatan kovalen. Instrumen pendeteksi miskonsepsi mahasiswa calon guru kimia pada topik ikatan kimia. Topik tersebut adalah materi yang telah diterima mahasiswa kimia dari semester 3. Sebelum tes pendeteksi miskonsepsi dirancang, dilakukan analisa terlebih dahulu terhadap konsep-konsep yang seringkali menimbulkan miskonsepsi. Tujuan dianalisis konsep tersebut adalah untuk memperoleh gambaran yang utuh dan benar mengenai konsep dan sebagai acuan dalam memformulasikan soal-soal yang berbasis konsep. ISBN 978-602-72071-1-0 Berdasarkan hasil penelitian Suyono dkk 2015, yaitu hasil tes pendeteksi miskonsepsi menggunanakan software ionunesa Detector , pada konsep ikatan kimia mahasiswa pendidikan kimia semester V FMIPA Unesa, dari 88 mahasiswa yang mengikuti tes terdapat 86 98 mahasiswa masih mengalami miskonsepsi dengan beban miskonsepsi tinggi 34 39 dan beban miskonsepsi rendah 54 61. Hasil tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa calon guru kimia masih terbebani miskonsepsi pada konsep ikatan kimia, sehingga dimungkinkan mahasiswa tersebut ketika lulus nanti masih membawa beban miskonsepsi dan sering membangun konsep baru yang miskonsepsi pada siswa di sekolah. Hasil tersebut menghendaki perlu perbaikan beban miskonsepsi yang masih dimiliki mahasiswa melalui pembelajaran remediasi individual berdasarkan karakteristik gaya belajarnya. Berdasarkan hasil penelitian Suyono dkk 2015 tes gaya belajar menunjukkan, dari 88 mahasiswa yang mengikuti tes terdapat 40 45 mahasiswa memiliki gaya belajar dimensi input visual verbal seimbang masih mengalami beban miskonsepsi. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa, beban miskonsepsi tertinggi dialami oleh mahasiswa dengan gaya belajar dimensi input visual verbal seimbang. Hasil tersebut menjelaskan bahwa karakter mahasiswa yang memiliki gaya belajar visual verbal seimbang, sering memiliki visaul tidak begitu kuat dan verbal juga tidak begitu kuat secara seimbang, sehingga mahasiswa tersebut mengalami beban miskonsepsi. Dengan demikian untuk memperbaiki miskonsepsi, dosen peneliti perlu memberikan perhatian pada gaya belajar dimensi input visual verbal seimbang pada saat merancang dan melaksanakan pembelajaran. PENUTUP Simpulan Tes pendeteksi miskonsepsi menggunakan software pendeteksi ionunesaDetector, menunjukkan kondisi miskonsepsi yang terjadi pada mahasiswa calon guru kimia FMIPA Jurusan Kimia pada konsep ikatan kimia yang akan dibelajarkan di sekolah perlu diatasi. Saran 3. Penelitian ini akan menghasilkan sebuah rekomendasi bagi peneliti dalam penelitian lanjutan untuk menyusun strategis pembelajaran yang tepat dalam mereduksi miskonsepsi. 4. Sebagaimana dijelaskan pada point 1, strategi pembelajaran yang digunakan, agar para lulusan sarjana pendidikan kimia tidak lagi membawa beban miskonsepsi terhadap konsep kimia sebelum meninggalkan kampus untuk berkiprah di masyarakat termasuk masyarakat sekolah. DAFTAR PUSTAKA Abosalem, Y.M. 2013. The Relationship Between the Learning Styles of Students in Grades Five and Six and Their Held Misconceptions About Dividing Fractions Based on Kolb’s Model Unpublished master’s thesis. The British University. Al-Balushi, S. M., Ambusaidi, A. K., Al-Shuaili, A.H., Taylor, N. 2012. “ Omani twelfth grade students’ most common misconceptions in chemistry”. Internasional Council of Associations for Science Education . Vol.23, No.3, September 2012. Pp. 221-240. Anderson, J.W., and Krathwohl, D.R. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching and Assessing. A Revission of Bloom’s Taxonomy of Eucational Objectives. New York: Addison Welsey Longman, Inc. Arends, R.I. 2012. Learning To Teach. 9th Edition. New York: The Mcgraw-Hill Companies. Inc. Atkinson, Rita L., Richard, C., Atkinson, Edward E Smith., Daryl J Bem. 1953 Introduction to Psycology, 11th.ed. Pengantar Psikologi, Edisi Kesebelas,Jilid 1, Batam : Interaksara. Arslan, H.O., Cigdemoglu, C., and Moseley, C. 2012. “A Three-Tier Diagnostic Test to Assess Pre- Service Teachers’ Misconceptions about Global Warming, Greenhouse Effect, Ozone Layer Depletion, and Acid Rain.” International Journal of Science Education. Vol.34 No.11, pp.1667 –1686. Barke, H.D., Al Hazari., and Yitbarek, S. 2009. Misconceptions in Chemistry . Berlin: Springer Link. Berg, K.E., and Latin, R.W. 1996. Essentials of Research Methods in Health, Physical Education, Exercise Science, and Recreation Third Edition. Cina: Lippicott Williams, a Wolters Kluwer busines. Black, A.A. 2005. An Instrument for Testing Earth Science Misconceptions and Conceptual Difficulties : Development, Field Testing and Results, in preparation for publication. Bob, Chui., and Seng, Yong. 2014. Learning Styles of Preservice Science Teachers: Implications for Teaching and Learning. Journal of Applied Research in Education. University Brunei Darussalam Chakraborty, A., and Mondal, B.C. 2012. “Misconceptions In Chemistry At IX th Grade And Their Remedial Measures”. Indian Streams Research Journal . Vol 2, Issue. 7, Aug 2012 . pp.1-9. Clerk, D., and Rutherford, M. 2000. “Langguage As a Confounding Variable in The Diagnosis of Misconceptions ”.Int. J. Sci. Educ. Vol 22. No. 7. 2000. pp. 703-717. Chong, V.D., Salleh, S.M., and AiCheong, I.P. 2013. “Using an Activity Worksheet to Remediate Students’ Alternative Conceptions of Metallic Bonding.” American International Journal of Contemporary Research . Vol.3 No.11. Dale, Edgar. 1969. Audio-Visual Methods in Teaching. New York: Dryden. Felder, R.M. 1993. Reaching the Second Tier: Learning and Teaching Styles in College Science Education.” J. College Science Teaching. Vol.2 No.5, pp.286-290. ISBN 978-602-72071-1-0 Felder, R.M., and Silverman, L. 1988. Learning and Teaching Styles in Engineering Education.” Engineering Education . pp.674-681. Gilbert J. K.., and Treagust, D. 2009. Multiple Representations in Chemical Education. Australi a: Springer Science+Business Media B.V. Gonzales, A. 2011. “Assessment of Conceptual Understanding of Atomic Structure, Covalent Bonding, and Bond Energy ”. Thesis, The Graduate School of Clemson University. Hans-Dieter., Barke Al Hazari., Yitbarek, S. 2009. Misconception in Chemistry . Addressing Perception in Chemical Education Spinger-Verlagi Berlin Haidelberg. Universitas Munster Germany and University of Tennessee USA. Hastuti, Wahyu Juli. 2013. Prevensi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks Menggunakan Model Modified Inquiry dan Remediasi Menggunakan Strategi ECIRR . Makalah. Pascasarjana Unesa. Horton, C. 2004. “Student Alternative Conception in Chemistry”. California Journal of Science Education . Vol.7 No.2, pp.1-78. Ibrahim, M. 2012. Seri Pembelajaran Inovatif: Konsep, Miskonsepsi dan Cara Pembelajarannya. Surabaya: Unesa University Press. Kolomuc, A., and Tekin, S. 2011. “Chemistry Teachers’ Misconceptions Concerning Concept of Chemical Reaction Rate.” Eurasian: Journal Physics and Chemistry Education . Vol.3 No.2, pp.84-101. Lemma, Abayneh. 2013. A Diagnostic Asessment of Eighth Grade and Their Teacher’ Misconseption About Basic Chemical Concepts. AUCE, 31, 39-59. Lien Chi-Shun. 2013. Text Coherence, Reading, Ability, And Childern’s Scientific Understanding. Bulletin of Educational Psicology . 44 4. Pp. 875-904. Marina I. Stojanovska,, Bojan, T., Šoptrajanov., and, Vladimir, M. Petruševski 2012. Addressing Misconceptions about the Particulate Nature of Matter among Secondary-School and High-School Students in the Republic of Macedonia . Institute of Chemistry, Faculty of Natural Sciences and Mathematics, Ss. Cyril Methodius University, Skopje, Macedonia Academy of Sciences and Arts. Middlecamp C., and Elizabeth Kean 1985. Panduan Belajar Kimia Dasar. PT. Gramedia. Jakarta. Moreno, R. 2010. Educational Psychology. New York: Jhon Wiley Sonc, Inc. hal. 194. Muallifah, L. 2013. Prevensi dan Reduksi Miskonsepsi Kesetimbangan Kimia Siswa SMA Negeri 1 Kandangan Kediri Tesis magister pendidikan tidak dipublikasikan. Universitas Negeri Surabaya. Palappu, P. 2007. “Effect of Visual and Verbal Learning Styles on Learning .” Institute for Learning Styles Journal . Vol 1, pp.34-39. Pesman, H., and Eryilmaz, A. 2010. “Development of a Three-Tier Test to Assess Misconceptions About Simple E lectric Circuits.” The Journal of Educational Research . Vol. 103, pp.208-222. Pritchard, A. 2009. Ways of Learning: Learning Theories and Learning Styles in The Classroom . Second edition. Abingdon: Routledge. Sen, S., dan Yilmaz, A. 2012. “The effect of learning styles on students’ misconceptions and selfefficacy for learning and performance.” Procedia Social and Behavioral Sciences. Vol.46, pp.1482-1486. Sheehan M., Peter E.C., hayes, S. 2014. The Chemical Misconceptions of Pre-service Science Teachers at the University of Limerick: Do they change . Departement of Chemical and Enviromental Science National Centre for Excellence in Mathematics and Science Teaching and Learning. University of Limerick. Ireland. Suparno, P. 2005. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep Pendidikan Fisika. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Suyono, dkk. 2015. Preparasi Sarjana Pendidikan Kimia Tanpa Miskonsepsi Di FMIPA Unesa. Laporan Akhir Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi. Bidang Unggulan. Tanpa Publikasi. Slavin, E.R. 2006. Educational Psychology. Theory and Practice. USA: Pearson. Tan, K.C.D., and Treagust, D.F. 1999. “Evaluating students’ understanding of chemical bonding” School Science Review , Vol. 81. No.294. September 1999 . pp.75-84 Turker, F. 2005. Developing a Three-Tier Test to Assess High School Students’ Misconceptions Concerning Force and Motion Unpublished master’s thesis. Natural and Applied Sciences of Middle East Technical University, Istanbul. Unal S., Costu B., Ayas A. 2010. Secondary School Students’ Misconception of Covalent Bonding. Journal of Turkish Science Education . Woolfolk, A. 2009. Educational Psychology. Active Learning Edition . Edisi Kesepuluh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-602-72071-1-0 PENGEMBANGAN INSTRUMEN MODEL MENTAL MAHASISWA CALON GURU KIMIA TENTANG KORELASI STRUKTUR DAN SIFAT SENYAWA ORGANIK I Wayan Suja 1 Leny Yuanita 2 Muslimin Ibrahim 2 1,2,3 Jurusan Pendidikan Kimia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi S3 Pendidikan Sains PPs Unesa Email: suja_undikshayahoo.co.id ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan perangkat tes model mental mahasiswa calon guru kimia tentang korelasi struktur dan sifat senyawa organik. Penelitian dilakukan melalui empat tahap, mengadopsi desain penelitian pengembangan perangkat pembelajaran 4-D define, design, develop, and disseminate. Kualitas perangkat tes yang dihasilkan ditentukan berdasarkan validitas teoritis dan empiris serta reliabilitasnya. Validasi oleh tim pakar menunjukkan, perangkat tes tersebut layak digunakan untuk mengukur model mental mahasiswa tentang struktur dan sifat senyawa organik. Hasil uji coba menunjukkan, validitas butir-butir soal tersebut tergolong sangat baik r xy = 0,631 – 0,927 dan reliabilitasnya tergolong sangat tinggi r 11 = 0,931 – 0,947. Model mental mahasiswa tentang level simbolik kimia tergolong cukup baik sampai baik rerata skor 5,59 – 7,91; skor maksimal ideal 10. Tipe model mental mahasiswa berkaitan dengan interkoneksi tiga level kimia adalah sebagai berikut: tidak memiliki konsep 3,79, miskonsepsi khusus 6,82, benar sebagian 22,75, dan model ilmiah 66,67. Kata kunci : model mental, mahasiswa calon guru, struktur dan sifat. ISBN 978-602-72071-1-0 PENDAHULUAN Menurut para pakar pendidikan kimia, seperti Ben-Zvi et al. 1987, Gabel et al. 1987, Johnstone 1991, Treagust et al. 2003, dan Talanquer 2011, pembelajaran dan pengajaran kimia harus menyertakan tiga representasi level kimia, yakni: level makroskopis, level submikroskopis, dan level simbolik. Pemahaman konsep-konsep kimia hanya pada level tertentu tanpa membangun interkoneksi di antara ketiga level tersebut tidak akan bermanfaat bagi pebelajar. Kondisi itu menuntut pemahaman pebelajar tentang ketiga level kimia harus dibarengi keterampilan berpikir tingkat tinggi dengan melibatkan hubungan di antara ketiga level tersebut. Pemahaman akan ketiga level tersebut membentuk irisan interkoneksi, yang oleh Devetak et al. 2009 dilabel sebagai model mental kimia. Model mental merupakan representasi intrinsik berupa objek, ide, atau proses yang muncul selama berlangsung proses kognitif untuk memberikan alasan, menggambarkan, menjelaskan atau memprediksi sebuah fenomena Wang, 2007. Model mental juga digunakan oleh pebelajar untuk menghasilkan model dalam berbagai format, misalnya deskripsi verbal, diagram, simulasi, atau model konkrit untuk mengomunikasikan ide-ide mereka kepada orang lain atau untuk memecahkan masalah Harrison Treagust, 2000. Model mental dapat berupa model fisik, yang secara mental mewakili entitas fisik, atau model konseptual yang merupakan representasi mental dari konsep-konsep yang bersifat abstrak Coll Treagust, 2003. Franco Colinvaux dalam Wang 2007 merangkum empat karakteristik model mental. Pertama, model mental bersifat generatif, artinya dapat ditambahkan informasi baru melalui pemanfaatannya untuk memprediksi dan menghasilkan penjelasan. Kedua , model mental melibatkan pengetahuan tacit tersembunyi, artinya individu memberikan alasan dengan model mentalnya untuk memecahkan masalah atau memahami informasi baru, tetapi mereka tidak menyadari model mental yang dimilikinya dan bagaimana menggunakannya. Ketiga, model mental bersifat buatan, dinamis dan terus dimodifikasi dengan informasi baru yang dimasukkan ke dalamnya. Keempat, model mental dibatasi oleh cara pandang, artinya pengembangan dan penerapannya dipengaruhi oleh pengetahuan awal, pengalaman, dan keyakinan individu. Model mental memiliki sifat kompleks, sehingga diperlukan berbagai intrumen untuk menggalinya. Berbagai instrumen yang biasa digunakan dalam penelitian model mental adalah tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat two-tier test, pertanyaan terbuka dengan gambar dan deskripsi, wawancara dengan pertanyaan menyelidik sering dilengkapi gambar dan deskripsi dari orang yang diwawancarai, wawancara dengan model bergambar untuk memperoleh model yang disukai pebelajar, wawancara dengan penyajian masalah, dan observasi kelas Coll, 2008; Jansoon, Coll Somsook, 2009; Wang and Barrow, 2010; serta Lin Chiu, 2010. Walaupun dipandang penting untuk mengetahui model mental pebelajar, di Indonesia belum ada kelompok peneliti yang fokus pada pengembangan instrumen model mental, khususnya model mental kimia. Sehubungan dengan itu, dalam penelitian ini telah dikembangkan intrumen model mental dalam bentuk tes yang dapat digunakan untuk mengukur model mental mahasiswa calon guru tentang korelasi struktur dan sifat senyawa organik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan perangkat tes yang dapat digunakan untuk mengukur model mental mahasiswa dalam memahami struktur dan sifat senyawa organik, serta mengidentifikasi dan mendeskripsikan model mental yang dimiliki oleh mahasiswa calon guru kimia tersebut. Dengan memahami tipe model mental mahasiswa, memungkinkan bagi dosen untuk melakukan tindak lanjut berupa remidiasi secara bertahap dan berkelanjutan, serta menekan munculnya model-model mental alternatif selama proses perkuliahan. METODE Penelitian ini dirancang mengikuti alur pemikiran penelitian pengembangan perangkat pembelajaran model 4-D define, design, develop, dan disseminate oleh Thiagarajan, et al. 1974, melalui tahap-tahap berikut: 1 analisis kebutuhan, 2 penyusunan kisi-kisi soal, 3 penyusunan soal dan perangkatnya, 4 validasi ahli pakar, 5 uji coba instrumen, 6 pengumpulan data, 7 analisis data hasil penelitian, serta 8 pelaporan dan publikasi hasil penelitian. Penelitian dilaksanakan di Jurusan Pendidikan Kimia, Fakultas MIPA, UNDIKSHA, pada tahun ajaran 20142015. Subjek penelitiannya adalah mahasiswa yang sedang mengambil mata kuliah Kimia Organik I, sebanyak 22 orang. Hasil validasi oleh tim pakar terhadap draf perangkat tes model mental dianalisis berdasarkan kriteria Lawshe Cohen Swerdik, 2010, dengan validitas minimum 0,60; dihitung menggunakan rumus content validity rasio CVR. CVR = N2 N2 n e  Dalam hal ini, CVR = ratio validitas isi, n e = jumlah ahli yang menyatakan essensial setujulayak, dan N = jumlah total ahli. Validitas empiris ditentukan berdasarkan validitas internal soal, yang diukur melalui perhitungan kesesuaian antara butir soal dengan perangkat tes secara keseluruhan menggunakan rumus korelasi product moment oleh Pearson Arikunto, 2006 sebagai berikut.      x xy r 2 2 xy y Dalam hal ini, r xy = korelasi butir soal dengan tes keseluruhan, x = X - X , y = Y - Ῡ, X = skor butir soal, X = rerata X, Y= skor total, dan Ῡ = rerata Y. Harga r xy dihitung dengan program SPSS versi 17,0. Suatu butir soal dinyatakan valid jika pada kolom Corrected Item – ISBN 978-602-72071-1-0 Total Correlation pada out put SPSS menunjukkan nilai 0,30. Dalam penelitian ini, koefisien reliabilitas tergolong koefisien korelasi dihitung dari satu kali tes, berdasarkan konsistensi jawaban dalam tes tersebut. Menurut Arikunto 2006, reliabilitas instrumen dalam bentuk soal uraian dapat ditentukan dengan menggunakan rumus Alpha: r 11 = 1 1 - k k 2 t 2     b Dalam hal ini, r 11 = reliabilitas instrument, k = banyaknya butir soal, ∑σ b 2 = jumlah varian butir, dan σ t 2 = varians total. Pengolahan data dilakukan dengan SPSS versi 17,0. Penafsiran data menggunakan kriteria seperti terlihat pada Tabel 1 Sugiyono, 2008. Tabel 1. Interpretasi Koefisien Korelasi Interval Koefisien Tingkat Hubungan 0,80 r 11 ≤ 1,00 Sangat tinggi 0,60 r 11 ≤ 0,80 Tinggi 0,40 r 11 ≤ 0,60 Sedang 0,20 r 11 ≤ 0,40 Rendah 0,00 r 11 ≤ 0,20 Sangat rendah Tipe model mental kimia mengindikasikan tingkat pemahaman mahasiswa terhadap objek, ide, atau proses kimia. Menurut Sendur et al. 2010, model mental mahasiswa dapat dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu: a. Tidak ada jawabantanggapan No Response NR , jika mahasiswa tidak memberikan jawaban dan tidak membuat alasan pada tingkat molekuler, atau menjawab dengan penjelasan tidak berkaitan dengan pertanyaan. b. Miskonsepsi khusus pada hal tertentu Specific MisconceptionsSM , jika jawaban dan penjelasan tidak dapat diterima secara keilmuan. c. Benar sebagian Partially CorrectPC, jika jawaban yang diberikan oleh mahasiswa tidak menyangkut ketiga level kimia dan tidak membangun interkoneksi di antara ketiga level kimia tersebut. d. Benar secara keilmuan Scientifically CorrectSC , jika jawaban yang diberikan oleh mahasiswa menyangkut ketiga level kimia dan berhasil membangun interkoneksi di antara ketiga level kimia tersebut. Selanjutnya, tiga model mental pertama secara umum disebut sebagai model mental alternatif, sedangkan model mental keempat dilabel sebagai model ilmiah , atau model konseptual Cool Treagust, 2003; Adbo Taber, 2009; Lin Chiu, 2010. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

a. Kualitas tes model mental

Perangkat tes yang dikembangkan dalam penelitian ini terdiri dari 10 butir soal uraian, masing- masing terdiri dari 5 butir soal untuk mengukur model mental tentang level simbolik, dan lima butir soal untuk mengukur model mental mahasiswa tentang interkoneksi tiga level kimia. Draf perangkat tes yang telah disusun pada tahap perancangan design divalidasi oleh tim pakar, beranggotakan dua orang ahli yang menguasai materi, pembelajaran dan asesmen kimia organik. Kedua orang ahli memandang seluruh butir soal dalam perangkat tes tersebut layak digunakan untuk mengukur model mental mahasiswa calon guru tentang korelasi struktur dan sifat senyawa organik. Walaupun demikian, tim pakar memberikan saran revisi redaksional butir soal nomor 2 karena tidak secara eksplisit mengukur model mental ketiga level kimia dan interkoneksinya. Saran perbaikan juga diberikan untuk soal nomor 3, karena pertanyaan berstruktur yang diberikan menyebabkan butir soal 3c tergantung pada kebenaran jawaban pada butir soal 3b. Untuk itu, kedua pertanyaan tersebut digabungkan menjadi satu. Hasil uji coba lapangan berkaitan dengan validitas internal butir soal dan reliabilitasnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kualitas Teoritis dan Empiris Soal Model Mental Mahasiswa No So al Indikator Level Kimia Validi tas teori CVR Validi tas empiri s r xy Relia bi- litas r 11 1 Menggamba r rumus struktur senyawa karbon jika diberikan rumus molekulnya. Simbo lik 1 0,927 0,929 2 Membandin gkan titik didih dua isomer gugus fungsional berdasarkan struktur molekulnya Tiga level 1 0,926 0,929 3 Membandin gkan sifat fisika dua isomer geometri. Tiga level 1 0,763 0,940 4 Menentukan kelarutan senyawa berdasarkan struktur molekulnya. Tiga level 1 0,882 0,933 ISBN 978-602-72071-1-0 5 Menggamba r konformasi sikloalkana terdisubstitu si dan membandin gkan kestabilanny a Tiga level 1 0,722 0,941 6 Memprediks i mekanisme reaksi adisi alkena. Simbo lik 1 0,858 0,933 7 Memberika n nama IUPAC senyawa lengkap dengan konfigurasi absolutnya RS Simbo lik 1 0,631 0,947 8 Menyelesai kan stereokimia reaksi S N 2 Simbo lik 1 0,759 0,940 9 Menentukan tahap-tahap reaksi sintesis turunan benzena dan kondensasi aldol. Simbo lik 1 0,864 0,934 10 Mengidentif ikasi senyawa organik untuk menetapkan jenis senyawanya Tiga level 1 0,893 0,931 Data dalam Tabel 2 di atas menunjukkan, keseluruhan butir soal yang dikembangkan tergolong valid r xy = 0,631 – 0,927. Reliabilitas butir-butir soal tersebut juga tergolong sangat tinggi r 11 = 0,931 – 0,947. Dengan demikian, perangkat tes yang dikembangkan dalam penelitian ini layak digunakan untuk mengukur model mental mahasiswa calon guru tentang korelasi struktur dan sifat senyawa organik.

b. Profil tipe model mental mahasiswa calon guru

Model mental mahasiswa tentang level simbolik kimia berkaitan dengan kemampuan untuk menggambar rumus struktur senyawa, memprediksi mekanisme reaksi, memberikan nama IUPAC senyawa lengkap dengan konfigurasi absolutnya RS, menentukan stereokimia reaksi substitusi nukleofilik, dan menentukan tahap-tahap reaksi sintesis senyawa organik. Model mental mahasiswa tentang level simbolik tersebut tergolong cukup baik sampai baik rerata skor 5,59 – 7,91; skor maksimal ideal 10. Kategori terendah model mental mahasiswa berkaitan dengan level simbolik dalam berpikir analisis-sintesis tentang penentuan tahap-tahap reaksi sintesis senyawa organik turunan benzena dan kondensasi aldol. Sebaliknya, model mental level simbolik tertinggi pada kemampuan untuk memprediksi mekanisme reaksi adisi alkena rerata skor 7,91. Model mental mahasiswa tentang konsep-konsep kimia yang melibatkan interkoneksi ketiga level kimia dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Data Model Mental Interkoneksi Tiga Level Kimia N o No Soal Model Mental NR SM PC SC f f f F 1 Soal 2 1 5 68,1 8 7 31,8 2 2 Soal 3a 1 4,55 2 1 95,4 5 3 Soal 3b 5 22,7 3 3 13,6 4 7 31,8 2 7 31,8 2 4 Soal 4 2 9,09 2 90,9 1 5 Soal 5 6 27,2 7 1 4,55 1 5 68,1 8 6 Soal 10 4 18,1 8 1 8 81,8 2 Tot al 5 3,79 9 6,82 3 22,7 5 8 8 66,6 7 Data dalam Tabel 3 di atas menunjukkan pemahaman mahasiswa tentang korelasi struktur dan sifat senyawa organik, 66,67 tergolong model ilmiah; serta 33,33 sisanya termasuk model mental alternatif, yang meliputi: tidak memiliki konsep 3,79, miskonsepsi khusus 6,82, dan benar sebagian 22,75. Model mental mahasiswa untuk menjelaskan titik leleh isomer- isomer geometri soal nomor 3b tergolong terendah, yang meliputi 22,73 tidak memiliki konsep; 13,64 mengalami miskonsepsi khusus; 31,82 benar sebagian; dan hanya 31,82 tergolong model ilmiah. Hal yang sama juga terjadi pada kemampuan untuk membandingkan titik didih isomer-isomer gugus fungsional soal nomor 2, yaitu 68,18 di antaranya memiliki model mental benar sebagian. Model ilmiah tertinggi 95,45 tercapai pada kemampuan mahasiswa untuk membandingkan kelarutan asam maleat dan asam fumarat dalam air soal nomor 3a. 2. Pembahasan Konsep hubungan antara struktur dan sifat senyawa merupakan ide besar dalam kimia. Ide tersebut mengantarkan kimia organik pada jantung kesuksesannya sebagai bidang ilmu yang mampu mengekspresikan sifat dan manfaat senyawa melalui representasi struktural Graulich, 2015. Representasi intrinsik berupa objek, ide, atau proses yang muncul pada benak pebelajar selama berlangsungnya proses kognitif dikenal sebagai model mental Wang, 2007. Model mental itulah yang