Hasil kognitif belajar Kualitas tes model mental

ISBN 978-602-72071-1-0 Sudjana, Nana dan Rivai Achmad. 1991. Media Pengajaran . Bandung: Sinar Baru. Sudjana, Nana dan Rivai Achmad. 2002. Teknologi Pengajaran . Bandung: Sinar Baru. Sukmadinata, N. S. 2010. Metode Penelitian Pendidikan . Bandung: Remaja Rosdakarya. ISBN 978-602-72071-1-0 PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA LKS BERBASIS SAVI PADA MATERI POKOK LAJU REAKSI KELAS XI SMA Dwi Bagus Rendy A.P 1 Siti Nur Latifah 2 Fitria Dwi Lestari 3 1,2,3 Mahasiswa Jurusan Kimia FMIPA UNESA E-mail: rendiradjagmail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan penggunaan bahan ajar yang menekankan pada gaya belajar setiap siswa. Serta secara khusus menguji kelayakan Lembar Kerja Siswa LKS berbasis SAVI yang akan melatih aktivitas dan respon siswa dalam materi pokok laju reaksi. Sehingga diharapkan LKS ini dapat mewadahi dari setiap gaya belajar siswa yang ada di kelas. Perancangan pengembangan bahan ajar ini menggunakan sistem pendekatan Model 4-D yaitu Pendefinisan Define, Perancangan Design, Pengembangan Develop dan Penyebaran Disseminate. Kelayakan LKS yang dikembangkan ditinjau dari kriteria isi, penyajian, kebahasaan, dan kegrafisan berdasarkan penilaian validator dinyatakan sangat kuat sangat layak dengan persentase rata-rata kelayakan sebesar 85. Aktivitas siswa memiliki presesntase yang paling besar sesuai dengan kelompok gaya belajarnya, yaitu kelompok somatis S: 49, kelompok audio A: 48, kelompok visual V: 49, dan kelompok intelektual I: 46, Respon siswa terhadap LKS berbasis SAVI yang dikembangkan positif dengan nilai persentase sebes ar ≥ 61 untuk seluruh aspek. Kata-Kata Kunci: SAVI, gaya belajar, aktivitas siswa. ABSTRACT This study aims to improve the quality of learning with the use of teaching materials that emphasize the learning style of each student. And specifically test the feasibility of Student Worksheet LKS based SAVI that will train activity and student responses in the subject matter of the reaction rate. So expect these worksheets can accommodate learning styles of each student in the class. The design of the development of teaching materials using the system model 4-D approach is Pendefinisan Define, Design Design, Development Develop and Dissemination Disseminate. LKS feasibility criteria developed in terms of content, presentation, linguistic, and kegrafisan based assessment is expressed very strong validator very decent with an average percentage of 85 eligibility. Activity students have the greatest presesntase suit their learning style groups, namely the somatic S: 49, the audio group A: 48, visual group V: 49, and the intellectuals I: 46 , student response to the SAVI- based worksheets developed positively with percentage value ≥ 61 for all aspects Keywords : SAVI, learning style student activity . ISBN 978-602-72071-1-0 PENDAHULUAN Pendidikan merupakan komponen utama kemajuan suatu bangsa. Keberhasilan pembangunan suatu bangsa di masa yang akan datang dapat dilihat dari bagaimana pendidikan mampu membentuk sumber daya manusia yang berkualitas. Kurikulum merupakan jantungnya dunia pendidikan, untuk itu kurikulum dimasa depan perlu dirancang dan disempurnakan untuk meningkatkan mutu pendidikan secara nasional dan meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia. Dalam pengembangan kurikulum 2013 menekankan pada pembelajaran dengan tujuan proses pembelajaran ke arah kompetensi dasar yang bermuara pada penguasaan kecakapan hidup life skill yang meliputi soft skills dan hard skills yang mana dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Kompetensi lulusan yang diharapkan dengan adanya perkembangan kurikulum 2013 adalah keseimbangan antara soft skill dan hard skill yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Permasalahan dalam proses belajar mengajar dewasa ini adalah bukan semata –mata karena materi yang sulit, tetapi disebabkan oleh cara pengajaran dalam menyampaikan materi yang sulit diterima siswa atau dengan kata lain ketidaktepatan dalam penggunaan model dan perangkat pembelajaran serta strategi dalam pembelajaran. Sehingga guru dituntut lebih kreatif, inovatif, tidak merasa sebagai teacher center, menempatkan siswa tidak hanya sebagai objek belajar tetapi juga sebagai subjek belajar dan pada akhirnya bermuara pada proses pembelajaran yang menyenangkan, bergembira, demokratis dan menghargai setiap pendapat Mulyasa, E. 2011. Kimia sebagai salah satu mata pelajaran kelompok IPA, harus mampu menjelaskan berbagai fenomena proses kimia yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kimia sebagai bagian dari ilmu pengetahuan alam IPA selalu berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga kimia bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Salah satu materi pelajaran kimia adalah materi pokok Laju Reaksi. Pembelajaran dalam materi pokok Laju Reaksi melibatkan perhitungan dan konsep. Karakteristik tersebut memberikan gambaran bahwa siswa harus benar- benar konsetrasi dalam mempelajari materi tersebut. Sehingga dibutuhkan metode dan media dalam menjelaskannya. Oleh karena itu media yang digunakan seharusnya sesuai dengan gaya belajar dari anak tersebut, maka pembelajaran akan lebih efektif dan anak akan lebih antusias dalam pembelajaran karena guru menjelaskan materi sesuai dengan gaya belajar dari siswa. Setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda- beda dalam menyerap ilmu pelajaran. Gaya belajar yang dimiliki anak akan menentukan seberapa besar anak menyerap materi yang disampaikan oleh pengajar. Kesamaan metode dalam penyampaian materi dengan gaya belajar anak akan lebih memaksimalkan dalam penyerapan dan pemahaman anak. Kerena secara tidak langsung gaya belajar guru dan gaya belajar anak akan memiliki pola yang sama. Menurut Bobbi DePorter dan Mike Hernacki gaya belajar merupakan suatu kombinasi dari bagaimana seseorang menyerap, dan kemudian mengatur serta mengolah informasi DePorter, Bobbi Hernacki, Mike:2000:110-112. Gaya belajar bukan hanya berupa aspek ketika menghadapi informasi, melihat, mendengar, menulis dan berkata tetapi juga aspek pemrosesan informasi sekunsial, analitik, global atau otak kiri-otak kanan, aspek lain adalah ketika merespon sesuatu atas lingkungan belajar diserap secara abstrak dan konkret. Ini benar-benar memberikan indikasi yang sangat penting dan tidak dapat dihindari untuk orang-orang preferensi gaya belajar, serta perilaku mereka dan bekerja gaya, dan kekuatan alami mereka. Jenis-jenis kecerdasan yang dimiliki seseorang Gardner menunjukkan sebagian besar dari kita kuat dalam tiga jenis tidak hanya menunjukkan kemampuan orang, tetapi juga cara atau metode di mana mereka lebih suka belajar dan mengembangkan kekuatan mereka dan juga untuk mengembangkan kelemahan-kelemahan mereka. Anak-anak juga belajar dengan baik dan memahami bila apa yang dipelajari terkait dengan apa yang sudah diketahui dan metode pembelajaran sesuai dengan gaya belajar mereka gaya belajar mendengarkan, melihat, dan bergerak atau melakukannya dan berbagai kecerdasan yang mereka miliki seperti bahasa, musik, gerak, ddan logikaantar pribadi dan interpribadi. Metode SAVI Somatic, Auditory, Visualitattion, Intelectually menghormati dan memahami setiap gaya belajar yang dimiliki oleh siswa dalam suatu kelas. Maka pembelajaran akan lebih efektif karena sesuai dengan gaya belajar yang dimiliki oleh setiap siswa. Metode SAVI mengajak siswa untuk memanfaatkan semua indra yaitu penglihatan, pendengaran, gerak, dan fikiran. Sehingga siswa tidak hanya menjadi pendengar yang baik atau pasif, tetapi mereka diajak untuk ikut mengemukakan pendapat dan pemikiran mereka mengenai materi yang diajarkan. Keaktifan siswa dalam kelas tersebut mempengaruhhi hasil belajar yang lebih maksimal. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian dari Ersanghono, dkk 2008, bahwa melalui penerapan SAVI ini diharapkan mampu mengakomodasi karakteristik siswa yang berbeda dengan memanfaatkan seluruh indra yang dimiliki siswa. Dalam proses belajar-mengajar dalam kelas diperlukan bahan pengajaran yang dapat membantu siswa menyerap informasi yang disampaikan oleh guru. Salah satu bahan pengajaran yang dapat digunakan adalah lembar kerja siswa. Lembar Kerja Siswa LKS adalah lembaran-lembaran berisi tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik Depdiknas, 2004. Lembaran biasanya berupa petunjuk, langkah-langkah untuk menyelesaikan suatu tugas-tugas yang ada dalam Lembar Kerja Siswa LKS harus jelas dan kompetensi dasar yang akan dicapainya. Model Lembar Kerja Siswa LKS dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: Lembar Kerja Siswa LKS pengamatan dan Lembar Kerja Siswa LKS eksperimen. Lembar Kerja Siswa LKS jenis pengamatan tidak melakukan manipulasi variable tetapi ISBN 978-602-72071-1-0 hanya mendiskripsikan hasil pengamatan dan menyimpulkan.Sedangkan pada Lembar Kerja Siswa LKS eksperimen, selain melakukan kegiatan pengamatan juga melakukan kegiatan manipulasi variable. Selama ini LKS yang sudah ada kurang bisa meningkatkan hasil belajar siswa, itu terbukti siswa kesulitan dan malas dalam pembelajaran menggunakan LKS. Hal tersebut dikarenakan LKS yang ada pada siswa sangat monoton dalam pembuatannya. Seharusnya LKS yang dibuat dapat menampung semua gaya belajar yang disukai oleh siswa. Sehingga siswa akan lebih senang dalam belajar dan lebih matang dalam memahami konsep materi pada LKS. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka peneliti ingin mengembangkan media pembelajaran kimia berbasis Lembar Kerja Siswa LKS dengan judul penelitian: “PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA LKS BERBASIS SAVI PADA MATERI POKOK LAJU REAKSI KELAS XI SMA”. METODE PENELITIAN Salah satu tujuan penelitian ini adalah mengembangkan bahan ajar Kimia SMA yakni khusus untukLembar Kerja Siswa LKS berbasis SAVI pada materi pokok laju reaksi . Dengan demikian penelitin ini merupakan penelitian pengembangan yang mengembangkan Lembar Kerja Siswa LKS berbasis SAVI . Dalam penelitian ini melakukan pengamatan yang meliputi: kelayakan Lembar Kerja Siswa LKS yang dikembangkan ditinjau dari kriteria kesesuaian berbasis gaya belajar siswa, ditinjau dari kriteria materi isi, penyajian dan kegrafisan, kebahasaan, dari penilaian guru dan respon siswa yang mencakup aspek format dan kualitas Lembar Kerja Siswa LKS yang disajikan. Hal ini berarti bahwa penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian ini dilakukan di dalam kelas untuk membantu guru mewadahi berbagai macam gaya belajar yang dimiliki oleh siswanya dalam menerima materi Laju Reaksi melalui Lembar Kerja Siswa LKS. Uji coba terbatas dilakukan terhadap 19 orang siswa kelas XI IPA di SMA Widya Dharma Surabaya. Menurut Thiagarajan, Semmel, dan Semmel 1974:5 untuk merancang pengembangan bahan ajar digunakan sistem pendekatan Model 4-D Four D Model. Model ini tersusun dari 4 tahap yaitu Pendefinisan Define, Perancangan Design, Pengembangan Develop dan Penyebaran Disseminate. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh data berupa hasil telaah dan validasi LKS berbasis SAVI yang ditinjau dari kriteria isi, penyajian, kebahasaan, dan kegrafisan, hasil aktivitas siswa setelah menggunakan Lembar Kerja Siswa LKS berbasis SAVI , dan respon siswa terhadap LKS yang dikembangkan. Untuk mengetahui kelayakan LKS berbasis SAVI yang dikembangkan maka dapat ditinjau dari kriteria isi, penyajian, kebahasaan, dan kegrafisan. Untuk mengetahui kelayakan LKS ini dilakukan telaah oleh para ahli dibidangnya, satu dosen kimia dan satu guru kimia. Selain itu, telaah juga bertujuan memperoleh saran guna memperbaiki LKS yang dikembangkan. Saran perbaikan LKS berbasis SAVI mulai draf I sampai menjadi draf akhir, antara lain: dalam pengembangan LKS, perlu dibuat layout yang lebih menarik serta penggunaan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami sehingga siswa lebih semangat dan termotivasi untuk mengerjakan LKS tersebut selain itu perlu dipilih penyusunan materi yang sesuai dengan gaya belajar setiap siswa. Setelah dilakukan perbaikan selama tahap pengembangan, LKS kemudian dinilai oleh dua validator yaitu seorang guru kimia dan seorang dosen kimia. Aktivitas siswa diamati selama proses pembelajaran berlangsung, yang dibantu oleh 4 orang pengamat. Pada pembelajaran ini dibagi menjadi 4 kelompok besar yaitu kelompok somatis, audio, visual dan intelektual. Dari setiap kelompok yang dibentuk dapat diamati aktivitas setiap siswa setiap 5 menit sekali. Untuk mengetahui aktivitas siswa terhadap penggunaan LKS berbasis SAVI. Serta Angket respon siswa diberikan setelah pelaksanaan uji coba. Angket respon siswa digunakan untuk mengetahui respon siswa terhadap penggunaan LKS berbasis SAVI Pengembangan Lembar Kerja Siswa LKS berbasis SAVI ini mengacu pada model Four D 4-D Thiagarajan, Semmel, dan Semmel 1974 dalam Novitasari, 2013. Dalam pengembangan ini hanya sampai tahap ketiga, yaitu define pendefinisian, design perancangan, dan develop pengembangan. Dalam pengembangan LKS ini dilaksanakan berbagai tahapan revisi dan telaah bertujuan untuk memperbaiki LKS yang dikembangkan sehingga layak untuk diujicobakan kepada siswa. Kelayakan LKS ini diukur dengan beberapa instrumen, antara lain lembar telaah dan validasi yang digunakan oleh para ahli dalam menilai LKS yang dikembangkan, lembar pengamatan aktivitas siswa, dan angket respon siswa untuk mengetahui tanggapan siswa terhadap LKS yang dikembangkan. 1. Kelayakan LKS Berbasis SAVI Lembar Kerja Siswa LKS merupakan komponen penting yang menunjang siswa dalam kegiatan pembelajaran berbasis SAVI karena LKS yang akan menuntun siswa untuk mempelajari konsep ini sesuai dengan gaya belajar tiap siswa. Selain itu, LKS ini akan digunakan sebagai tolok ukur kemampuan siswa dalam belajar menggunakan strategi belajar SAVI, yaitu gaya belajar yang terdiri dari somatis, audio, visual dan intelektual. Dalam mengembangkan LKS ini disesuaikan dengan strategi pembelajaran yang digunakan yaitu SAVI. Oleh karena itu, LKS bermanfaat untuk menciptakan kesempatan belajar secara mandiri dengan bimbingan guru, menambah tingkat pemahaman siswa akan suatu materi pelajaran, dan aktivitas belajar yang disukai siswa Depdiknas, 2004. LKS yang dikembangkan terdiri dari satu topik yaitu faktor- faktor pada laju reaksi, yang di dalamnya terdapat 4 sub macam materi antara lain: faktor konsentarsi, luas permukaan, suhu dan katalis pada laju reaksi. Kriteria yang dinilai dari LKS ini harus memenuhi syarat yang ISBN 978-602-72071-1-0 meliputi kriteria isi, penyajian, kebahasaan, dan kegrafisan. Rata-rata skor untuk seluruh aspek yang diperoleh dari hasil validasi sebesar 85 yang berarti kategori sangat layak. Pada penilaian kriteria isi LKS, dua aspek mendapatkan kategori baik dan enam aspek mendapatkan kategori sangat baik. Hal ini karena LKS ini dikembangkan sesuai dengan dengan kurikulum 2013 serta kompetensi inti, kompetensi dasar dan juga indikator hasil belajar. Pada penilaian penyajian LKS dua aspek mendapatkan kategori baik dan tiga aspek lainnya pada kategori sangat baik. Sedangkan pada penilaian kebahasaan, satu aspek dari kebahasaan mendapat kategori baik dan empat aspek yang lainnya mendapat kategori sangat baik baik. Serta pada penilaian kegrafisan, empat aspek dari kegrafisan mendapat kategori baik dan tiga aspek yang lainnya mendapat kategori sangat baik baik. Hal ini dikarenakan oleh pengembangan LKS ini telah melalui proses revisi yang berulang-ulang berdasarkan saran dari dosen pembimbing dan guru kimia di SMA Widya Dharma Surabaya. Pada penilaian kegiatan setiap gaya belajar di LKS berbasis SAVI yang merupakan poin sangat penting. Hal tersebut sangat mempengaruhi dari semua isi dari LKS yang dikembangkan. Sehingga dalam LKS ini terdapat empat bagian tiap gaya belajarnya yaitu bagian somatis, audio, visual dan intelektual. 2. Aktivitas Siswa Aktivitas siswa diperoleh dengan melakukan pengamatan terhadap proses pembelajaran dengan menggunakan instrumen lembar pengamatan aktivitas siswa. Proses pengamatan ini dilakukan oleh 4 orang pengamat, dimana setiap orang mengamati satu kelompok besar somatis, audio, visual dan intelektual. Sehingga dalam pengamatan ini dapat mengolah data terkait aktivitas setiap siswa dalam kelompok belajarnya. Pemberian angket ini bertujuan untuk mengetahui respon siswa terhadap LKS. Pada kelompok somatis yang berjumlah 6 orang memiliki presentase aktivitas somatis yang paling besar dalam tiap pertemuannya dengan rata- rata 49 , audio 15 , visual 19, dan intelektual 15. Pada kelompok audio yang berjumlah 5 orang memiliki presentase aktivitas audio yang paling besar dalam tiap pertemuannya dengan rata-rata 48 , somatis 19 , visual 17, dan intelektual 14. Pada kelompok visual yang berjumlah 4 orang memiliki presentase aktivitas visual yang paling besar dalam tiap pertemuannya dengan rata-rata 47 , somatis 17 , audio 13, dan intelektual 22. Pada kelompok intelektual yang berjumlah 4 orang memiliki presentase aktivitas intelektual yang paling besar dalam tiap pertemuannya dengan rata-rata 46 , somatis 20, audio 17, dan visual 17. Setiap keolompok gaya belajar memiliki presenntase aktivitas terbesar sesuai dengan gaya belajarnya. Namun tidak menutup kemungkinan terdapat pula aktivitas gaya belajar lainnya yang dilakukan oleh siswa. Sehingga dengan menggunakan LKS berbasis SAVI dapat meningkatkan aktivitas siswa sesuai dengan minat gaya belajar yang mereka miliki serta dapat pula melatih gaya belajar lainnya. Karena aktiviitas siswa akan meningkat sesuai dengan gaya belajar yang mereka miliki serta pembelajaran akan semakin menarik dan menyenangkan Meier, 2010 3. Respon siswa Respon siswa diperoleh dengan memberikan angket setelah proses pembelajaran selesai. Pemberian angket ini bertujuan untuk mengetahui respon siswa terhadap LKS. LKS ini dapat membantu siswa mempelajari materi faktor-faktor pada laju reaksi. Selain itu, sebelumnya siswa belum pernah menggunakan LKS berbasis SAVI, sehingga pada awal mula mengerjakan LKS individu siswa masih merasa asing dengan LKS model ini. Sehingga untuk pertemuan pertama siswa beradaptasi terlebih dahulu terhadap LKS ini. Kemudian pada tahap selanjutnya, pengerjaan LKS kelompok, siswa sudah terbiasa menggunakan LKS berbasis SAVI. Pada kriteria kejelasan materi pada LKS berbasis SAVI, sebagian besar aspek mendapat respon positif dari siswa. Sebanyak 97 siswa menyatakan LKS ini dapat mempermudah siswa dalam memahami materi pada LKS ini. Pada kriteria ketertariakn siswa dengan menngunakan LKS berbasis SAVI, sebagian besar aspek mendapat respon positif juga dari siswa Sebanyak 92 siswa menyatakan senang dan tertarik dalam penggunaa LKS ini dalam proses pembelajaran. Sehingga didapat respon yang positif dari siswa setelah menggunakan LKS berbasis SAVI. Bagi siswa di SMA Widya Dharma Surabaya, belajar dengan menggunakan gaya belajar yang dimilikinya merupakan hal yang menarik. Peningkatan kemauan siswa untuk belajar ini sesuai dengan tujuan pengajaran strategi yaitu mengajarkan siswa untuk belajar atas kemauannya sendiri Nur, 2004. Selain itu LKS yang mencakup sebagian besar konsep yang diajarkan dengan gaya belajar masing-masing siswa dapat memaksimalkan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari. Siswa merasa senang karena LKS ini dapat memfasilitasi setiap gaya belajar mereka sehingga pembelajaran menjadi menyenangkan dan siswa menjadi aktif dalam pembelajaran. Meier, 2010. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Kelayakan LKS yang dikembangkan ditinjau dari kriteria isi, penyajian, kebahasaan, dan kegrafisan berdasarkan penilaian validator dinyatakan sangat kuat sangat layak dengan persentase rata-rata kelayakan sebesar 85 2. Aktivitas siswa memiliki presesntase yang paling besar sesuai dengan kelompok gaya belajarnya, yaitu kelompok somatis S: 49, kelompok audio A: 48, kelompok visual V: 49, dan kelompok intelektual I: 46, 3. Respon siswa terhadap LKS berbasis SAVI yang dikembangkan positif dengan nilai persentase sebesar ≥ 61 untuk seluruh aspek. Saran Berdasarkan hasil penelitian, dapat diajukan ISBN 978-602-72071-1-0 beberapa saran berikut: 1. Pembelajaran strategi SAVI perlu dikembangkan pada materi lain yang memiliki karakteristik yang sama sehingga efektivitas pembelajaran dapat teruji. 2. Pembelajaran berbasis SAVI sering diterapkan agar dapat memaksimalkan gaya belajar yang sesuai dengan keinginan siswa. 3. Penelitian ini hanya dilakukan sampai tahap pengembangan develop. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada tahap penyebaran disseminate DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2012. Pemanfaatan Lembar Kerja Siswa. Online http:WORKSHEET- lengkap.blogspot.com201202pemanfaatan- lembar-kerja-siswa-WORKSHEET.html . diakses pada tanggal 1 April 2014. BSNP. 2006. Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah: Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SMAMA. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan Depdiknas. 2008. Panduan Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas, Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasioanal. DePorter, Bobbi. 2003. Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan . Penerjemah: Alwiyah Abdurrahman. New York: Dell Publishing. Kusuma, E., Wijayati, N., dan Wibowo, LS. 2008. Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT Berbasis SAVI untuk Meningkatkan Hasil Belajar Kimia Pokok Bahasan Laju Reaksi . Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia. 21: 216-223. Lestari, Ayu. 2012. Pengembangan Science-Chemistry Student Worksheet Berorientasi Somatic, Audio, Visual, Intellectual SAVI sebagai Sarana Pengembangan Keterampilan Proses Sains Siswa pada Materi Matter Changes untuk SMP RSBI . Skripsi Tidak Dipublikasikan. Surabaya: Unesa. Maharti, Yosi Silfa Tri. 2011. Penerapan Model Pembelajaran Diskusi Kelas dengan Pendekatan Somatis, Audio, Visual, Intelektual SAVI pada Materi Pokok Perubahan Zat di Kelas VII-C SMP Laboratorium Unesa dalam Upaya Mencapai Ketuntasan Belajar . Skripsi Tidak Dipublikasikan. Surabaya: Unesa Meier, Dave. 2010. The Accelerated Learning Handbook: Panduan Kreatif dan Efektif Merancang Program Pendidikan dan Pelatihan . Penerjemah: Rahmani Astuti New York: McGraw-Hill. Mulyasa, E. 2011. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosada Karya Nur, Mohamad. 2004. Pemotivasian Siswa Untuk Belajar . Surabaya: UNESA Press. ISBN 978-602-72071-1-0 PENERAPAN MODEL INKUIRI UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK TERMOKIMIA KELAS XI IPA 5 SMAN MOJOAGUNG ISBN 978-602-72071-1-0 Achmad Fauzi 1 Rahadian Grace Amelia 2 Ulifatul Laili 3 1,2,3 Program Studi S-2 Pendidikan Sains, Universitas Negeri Surabaya, E-mail : fauzichemistrygmail.com ISBN 978-602-72071-1-0 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil belajar siswa menggunakan lembar kegiatan siswa LKS inkuiri pada materi pokok termokimia kelas XI. Jenis penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas PTK. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah siswa SMAN Mojoagung kelas XI IPA 5 yang berjumlah 30 siswa. Hasil belajar siswa melalui penerapan model pembelajaran inkuiri pada materi termokimia di Kelas XI-IPA 5 SMA Negeri Mojoagung dinyatakan tuntas dan mengalami peningakatan dari siklus I 50 dan siklus II 90. Kata kunci: Inquiri, Penelitian Tindakan Kelas PTK, hasil belajar ABSTRACT The objective of this study is to know a learning result after using student worksheet with inquiry model on thermochemistry grade XI. The kind of the research is classroom research. The subject of the research are 30 students of grade XI-IPA 5 in Public Senior High School of Mojoagung. Learning result of student by implementation of inquiry on thermochemistry lesson is defined as reach mastery and increase from cycle I as 50 and cycle II 90. Keywords : Inquiry, classroom research, learning result ISBN 978-602-72071-1-0 PENDAHULUAN Era globalisasi menuntut suatu bangsa untuk menyiapkan generasi yang mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus didukung oleh adanya sumber daya manusia yang berkualitas. Pendidikan merupakan modal utama bagi suatu bangsa dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, Indonesia berusaha meningkatkan kualitas pendidikan agar sumber daya manusia yang ada dapat mengikuti perkembangan dan teknologi. Pendidikan di Indonesia juga dirancang berdasarkan kebutuhan nyata di lapangan agar masyarakat Indonesia dapat bersaing dalam era globalisasi dan pasar bebas yang dihadapkan pada perubahan perubahan yang tidak menentu dan penuh tantangan. Desakan global inilah yang mendorong para pendidik untuk mendapatkan generasi yang unggul dan mampu bersaing. Untuk mendapatkan generasi yang unggul dan mampu bersaing, siswa diharapkan mampu belajar dari waktu ke waktu. Robbins dalam Trianto, 2009:15 berpendapat bahwa belajar merupakan proses menciptakan hubungan antara sesuatu pengetahuan yang sudah di pahami dan sesuatu pengetahuan yang baru. Senada dengan Bruner, belajar adalah suatu proses aktif di mana siswa membangun mengkonstruk pengetahuan baru berdasarkan pada pengalaman pengetahuan yang sudah dimilikinya. Siswa membutuhkan suatu bahan ajar yang memadai dalam proses pembelajaran. Bahan ajar merupakan segala bahan baik informasi, alat, maupun teks yang disusun secara sistematis, yang menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai peserta didik dan digunakan dalam proses pembelajaran dengan tujuan perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran Prastowo, 2012:23. Salah satu fungsi dari bahan ajar adalah memudahkan bagi peserta didik untuk mempelajari suatu kompetensi tertentu. Salah satu contoh bahan ajar adalah Lembar Kerja Siswa LKS. Lembar kerja siswa berisi materi ajar yang sudah dikemas sedemikian rupa, sehingga peserta didik diharapkan dapat mempelajari materi ajar tersebut secara mandiri. Lembar Kerja Siswa LKS Merupakan suatu bahan ajar cetak berupa lembar-lembar kertas yang berisi materi, ringkasan, dan petunjuk-petunjuk pelaksanaan tugas pembelajaran yang harus dikerjakan oleh peserta didik, yang mengacu pada kompetensi dasar yang harus dicapai. Selain bahan ajar yang memadahi, model pembelajaran yang digunakan juga berperan penting dalam proses belajar mengajar. Salah satu ilmu pengetahuan yang diajarkan sejak tingkat dasar adalah Ilmu Pengetahuan Alam IPA. Ilmu Pengetahuan Alam IPA berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek ISBN 978-602-72071-1-0 pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar peserta didik mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Kimia merupakan ilmu yang termasuk dalam rumpun IPA, oleh karenanya kimia mempunyai karakteristik yang sama dengan IPA. Karakteristik tersebut adalah objek ilmu kimia, cara dan proses memperoleh, serta kegunaannya. Kimia merupakan ilmu yang pada awalnya diperoleh dan dikembangkan berdasarkan percobaan induktif namun pada perkembangan selanjutnya kimia juga diperoleh dan dikembangkan berdasarkan teori deduktif. Mata pelajaran kimia perlu diajarkan untuk tujuan yang lebih khusus yaitu membekali peserta didik pengetahuan, pemahaman dan sejumlah kemampuan yang dipersyaratkan untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi serta mengembangkan ilmu dan teknologi. Pada Sekolah Menengah Atas, kimia termasuk dalam kelompok mata pelajaran peminatan matematika dan sains. Materi termokimia khususnya pada sub materi reaksi eksoterm dan reaksi endoterm merupakan materi dasar yang harus dipahami oleh siswa sebelum mempelajari perhitungan pada reaksi eksoterm dan reaksi endoterm. Bedasarkan hasil angket yang diberikan pada siswa kelas XI IPA 5 SMAN Mojoagung pada tanggal 7 September 2013, diperoleh data 70 dari 30 siswa yang diberikan angket memberikan jawaban sulit dan sedang pada materi pokok termokimia. Sisanya 30 menjawab tidak sulit pada materi pokok termokimia. Siswa kelas XI IPA 5 SMAN Mojoagung belum melaksanakan kegitan praktikum pada materi pokok termokimia reaksi eksoterm dan reaksi endoterm. Hal ini menyebabkan 40 siswa merasa mempunyai nilai kurang pada materi pokok termokimia. Kriteria ketuntasan minimal KKM yang digunakan di SMAN Mojoagung untuk mata pelajaran kimia kelas XI semester 1 adalah 77. Usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas XI IPA 5 SMAN Mojoagung pada materi pokok reaksi eksoterm dan reaksi endoterm adalah dengan menggunakan model pembelajaran inquiri. Model pembelajaran inquiri merupakan model pembelajaran yang kreatif dan dapat meningkatkan rasa ingin tahu siswa terhadap sebuah materi pelajaran khususnya dalam kegiatan percobaan. Dari uraian tersebut, maka peneliti ingin menerapkan model pembelajaran inkuiri pada materi pokok reaksi eksoterm dan reaksi endoterm. Oleh karena itu diambil judul “Penerapan Model Inkuiri Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Materi Pokok Termokimia Kelas XI IPA 5 SMAN Mojoagung ”. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas PTK. 2. Sasaran Penelitian Sasaran dalam penelitian ini adalah siswa SMAN Mojoagung kelas XI IPA 5 yang berjumlah 30 siswa. 3. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: a. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran RPP Rencana Pelaksanaan Pembelajaran RPP ini mengenai kegiatan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Inquiri. Rencana pelaksanaan pembelajaran dibuat oleh guru untuk persiapan mengajar tiap kali pertemuan atau tatap muka. b. Lembar Kerja Siswa LKS Lembar Kegiatan Siswa LKS berisi soal-soal yang mencakup semua indikator belajar yang akan dicapai pada materi bentuk molekul. Lembar kerja siswa LKS juga berisi tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik. Lembar kegiatan biasanya berupa petunjuk, langkah-langkah untuk menyelesaikan suatu tugas. c. Lembar Soal Tes Hasil Belajar Dalam penelitian ini tes yang digunakan adalah tes hasil belajar siswa yang dilaksanakan pada akhir penelitian. Hasil tes ini digunakan untuk mengetahui ketuntasan hasil belajar siswa setelah melalui proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri berupa tercapainya indikator hasil belajar dan untuk mengukur tingkat penguasaan materi yang disampaikan. 4. Prosedur Pengumpulan Data Dalam penelitian ini data yang akan digunakan adalah data nilai pada tiap-tiap tes pada tiap akhir siklus pada materi termokimia. HASIL DAN PEMBAHASAN Data yang disajikan pada bab ini adalah data hasil pengisisan angket yang merupakan respon siswa terhadap penerapan model pembelajaran inkuiri pada materi termokimial dan data nilai tes akhir pada tiap siklus. Data ini diambil dari penelitian di kelas XI-IPA 5 SMA Negeri Mojoagung yang berjumlah 30 siswa dengan 9 siswa putra dan 21 siswa putri. Setelah dilakukan proses belajar mengajar, diadakan evaluasi didapatkan data sebagai berikut: 1. Data Nilai Tes Akhir pada Tiap Siklus Kelas XI IPA 5 SMAN Mojoagung a. Siklus I Tabel 1 Hasil tes akhir pada siklus I Jumlah Mahasiswa Tuntas Tidak Tuntas 15 15 ISBN 978-602-72071-1-0 Dari data diatas dapat diketahui siswa yang tuntas berjumlah 15 siswa dan yang tidak tuntas belajar berjumlah 15 siswa. Data ketuntasan belajar siswa secara klasikal dapat diperoleh dengan menganalisis hasil tes belajar siswa menggunakan rumus: Persen ketuntasan secara klasikal = x 100 = x 100 = 50 Dari perhitungan tersebut, dapat diketahui bahwa siswa kelas XI IPA 5 SMAN Mojoagung tidak tuntas belajar secara klasikal. Hal ini terbukti dengan presentase ketuntasan belajar klasikal yang kurang dari 65 yaitu hanya 50 siswa yang telah mencapai nilai ≥ 77. Berdasarkan analisis peneliti, hasil ini dikarenakan kurangnya tingkat ketelitian siswa dalam mengerjakan soal yang diberikan oleh guru. b. Siklus II Tabel 2 Hasil tes akhir pada siklus II Jumlah Mahasiswa Tuntas Tidak Tuntas 27 3 Dari data tersebut dapat diketahui bahwa pada siklus II ini semua siswa tuntas belajar dan ketelitian siswa meningkat. Hal ini terbukti bahwa 99 siswa mencapai skor ≥ 77 serta hasil penilaian lembar Mind Mapping yang secara klasikal dikatakan bagus. Data ketuntasan belajar siswa secara klasikal dapat diperoleh dengan menganalisis hasil tes belajar siswa menggunakan rumus: Persen ketuntasan secara klasikal = x 100 = x 100 = 90 Dari perhitungan tersebut, dapat diketahui bahwa siswa kelas XI-IPA 5 SMAN Mojoagung tuntas belajar secara klasikal. Hal ini terbukti dengan presentase ketuntasan belajar klasikal yang lebih dari 65 yaitu 100 siswa yang telah mencapai nilai ≥ 77. Pembahasan Siklus I 1. Perencanaan Berdasarkan masalah yang telah diidentifikasi pada saat observasi awal maka telah direncanakan model pembelajaran pada materi “Membedakan reaksi yang melepaskan kalor eksoterm dengan reaksi yang menerima kalor endoterm ” melalui model Pembelajaran inkuiri.

2. Pelaksanaan

Pelaksanaan tindakan pada siklus I dilaksanakan sebanyak 1 kali pertemuan yang berlangsung selama 3 jam pelajaran 3 x 45 menit. Siklus I dilaksanakan pada tanggal 7 September 2013. Pelaksanaan pembelajaran pada siklus I ini mengacu pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran RPP yang telah dipersiapkan. Selama pembelajaran berlangsung guru memotivasi siswa dengan memberikan vidio fenomena aplikasi dari reaksi eksoterm dan reaksi endoterm. Setelah motivasi siswa terbangun, guru meminta siswa untuk melakukan percobaan guna membangun pengetahuan siswa. Selama pembelajaran berlangsung, aktivitas peneliti maupun siswa diamati oleh guru maupun rekan peneliti yang bertindak sebagai pengamat. Pada akhir siklus I dilakukan tes akhir yang berfungsi untuk mengukur kemampuan belajar siswa. Siswa dikatakan tuntas belajar bila ia mencapai skor ≥ 77. Dan suatu kelas dikatakan tuntas belajar secara klasikal bila di kelas tersebut terdapat 65 siswa yang telah mencapai nilai ≥ 77. Dari data pada tabel 1 tersebut dapat diketahui bahwa terdapat 15 siswa yang tidak tuntas. Jadi jumlah siswa yang tuntas belajar dalam siklus ini ada 15 siswa. Sehingga diperoleh ketuntasan belajar secara klasikal sebanyak 50. Dari perhitungan tersebut, dapat diketahui bahwa siswa kelas XI-IPA 5 SMAN Mojoagung belum tuntas belajar secara klasikal. Hal ini terbukti dengan presentase ketuntasan belajar klasikal yang kurang dari 65 yaitu hanya sekitar 50 siswa yang telah mencapai nilai ≥ 77.

3. Refleksi

Berdasarkan data-data yang telah terkumpul pada siklus I, proses pembelajaran yang berlangsung kurang efektif yang ditunjukkan dengan presentese ketuntasan belajar siswa yang hanya mencapai 50. Presentase ketuntasan masih tergolong rendah, sehingga peneliti merasa sangat perlu melakukan penelitian siklus II untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Hasil ini belum memenuhi target yang ditetapkan peneliti sehingga diperlukan suatu perbaikan dalam pembelajaran untuk siklus berikutnya. Siklus II 1. Perencanaan Dengan memperbaiki kelemahan atau kekurangan yang terjadi pada siklus I, peneliti merencanakan pembelajaran pada siklus II dengan model pembelajaran yang sama pada materi “macam-macam perubahan entalpi” yaitu model pembelajaran inkuiri.

2. Pelaksanaan

Pelaksanaan pembelajaran pada siklus II mengacu pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran RPP yang telah dipersiapkan. Pembelajaran pada siklus II dilaksanakan pada tanggal 11 September 2013. Prinsip pelaksanaan pembelajaran pada siklus II ini sama dengan pembelajaran pada siklus I, hanya saja kekurangan atau kelemahan yang terjadi pada ISBN 978-602-72071-1-0 siklus I lebih diperbaiki seperti lebih menekankan pemberian dan pembahasan latihan soal yang banyak dan waktu untuk berdiskusi yang lebih lama. Submateri yang diajarkan pada siklus II ini adalah “macam-macam perubahan entalpi”. Guru memberikan tugas atau soal yang harus dikerjakan secara individu dengan bimbingan guru. Pada tahap ini, siswa mengambil menganalisis data dari hasil percobaan pada minggu sebelumnya. Tahap terakhir mereka diberikan latihan lanjutan tentang materi tersebut untuk mengembangkan kemampuan mereka pada materi “macam-macam perubahan entalpi”. Selama pembelajaran aktivitas peneliti maupun siswa tetap diamati oleh guru atau pengamat. Pada akhir siklus II juga dilakukan tes akhir yang berfungsi untuk mengukur hasil belajar siswa. Dari hasil tes ini diketahui bahwa semua siswa mendapatkan nilai ≥ 77. Sehingga ketuntasan belajar secara klasikal pada siklus ini adalah 90. Dari perhitungan tersebut, dapat diketahui bahwa siswa kelas XI-IPA 5 SMAN Mojoagung tuntas belajar secara klasikal lebih dari 65 siswa yang telah mencapai nilai ≥ 77. PENUTUP Simpulan Berdasarkan data-data yang telah terkumpul pada siklus I tabel 5 dan pada siklus II tabel 6, diketahui bahwa proses pembelajaran yang berlangsung pada siklus II ini sudah lebih baik dibandingkan dengan siklus I, di mana data peningkatan hasil belajar siswa dapat dilihat pada tabel 5 serta ketelitian siswa dalam mengerjakan soal juga meningkat. Tabel 5 Data Peningkatan Hasil belajar No. Siklus Ketuntasan Belajar 1. Siklus I 50 2. Siklus II 90 Dari data pada tabel di atas dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran inkuiri dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi termokimia. Terbukti dengan adanya kenaikan hasil belajar sebanyak 40. Saran Dari penelitian di atas peneliti memberi saran bahwa perlu dilakukan penelitian pada materi pokok lainnya untuk mengatasi masalah peningkatan hasil belajar siswa. DAFTAR PUSTAKA Arends, Richard. 2008. Learning To Teach: Belajar Untuk Mengajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Prastowo, Andi. 2012. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Yogyakarta: DIVA Press Purwanto, 2008. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Trianto, 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif. Rawamangun: Kencana ISBN 978-602-72071-1-0 PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI BERBASIS KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGENALI VARIABEL, MENGUMPULKAN DAN MENGOLAH DATA, DAN MENYIMPULKAN Linda Wirianty 1 Windha Herjinda 2 Ernita Vika Aulia 3

1, 2, 3

Mahasiswa Pendidikan Sains, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya E-mail: linda.wiriantygmail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan keterampilan proses sains siswa khususnya aspek mengenali variabel, mengumpulkan dan mengolah data dan menyimpulkan setelah diterapkan model pembelajaran inkuiri berbasis kontekstual.Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain penelitian one group pretest-posttest.Sasaran penelitian ini adalah siswa SMA kelas XI MIA semester Gasal SMA tahun ajaran 2014-2015. Instrumen yang digunakan untuk mengamati keterampilan proses sains siswa yakni lembar tes keterampilan proses sains. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya pengaruh signifikan penerapan model pembelajaran tersebut terhadap peningkatan keterampilan proses sains siswa yakni keterampilan mengenali variabel dengan kategori sedang g=0,51, keterampilan mengumpulkan dan mengolah data dengan kategori sedang g=0,61 dan keterampilan menyimpulkan dengan kategori tinggi g=0,71. Kata kunci : Keterampilan Proses Sains, Inkuiri Berbasis Kontekstual ABSTRACT This study aims to k now the improvement of student’s science process skills especially in identifying variables, collecting and processing data and concluding after learning with inquiry learning model contextual based. This research is aquantitative and the design is one group pretest-posttest. The target of this research are the high school students of class XI MIA in odd semester of in 2014-2015school year. The instrument used to observe the students science process skills is science process skills test sheet. The results showed that there is significant effect of the application inquiry learning models based contextual to improve the students science process skills respectively the skills to identify variables in medium category g=0,51, the skills to collect and process data in the medium category g=0,61 and the skill to conclude with the high category g=0,71. Keywords : Science Process Skills, Inquiry-Based Contextual PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa Depdiknas, 2003. Kimia merupakan salah satu mata pelajaran peminatan Matematika dan Ilmu Alam yangdalam proses pembelajarannya tidak hanya bertujuan memahami konsep prinsip, hukum dan teori kimia namun juga keterkaitannya dan penerapannya untuk menyelesaikan masalah dalm kehidupan sehari-hari Mulyasa, 2007. Keterampilan proses sains adalah wahana penemuan dan pengembangan fakta, konsep dan prinsip ilmu pengetahuan bagi diri siswa. Fakta, konsep dan prinsip ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan siswa berperan menunjang kemampuan keterampilan proses sains pada diri siswa Dimyati, 2013. Keterampilan proses dapat dikelompokkan dan dapat dilatihkan melalui kegiatan praktikumsehingga siswa akan mendapatkan kemampuan melakukan inkuiri ilmiah yang diperlukannya kelak dalam menjalani pekerjaan dan hidupnya Romlah, 2009 Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada siswa kelas XI, diketahui skor mengenali variabel 49,52 kategori: cukup, keterampilan mengumpulkan dan mengolah data 36,19 kategori: kurang dan keterampilan menyimpulkan 40,95 kategori: cukup. Sedangkan pada hasil angket pada siswa kelas XII, skor keterampilan mengenali variabel 40 kategori: kurang, keterampilan mengumpulkan dan mengolah data 60 kategori: cukup dan keterampilan menyimpulkan 57,14 kategori: cukup Wirianty, 2015. Pencapaian keterampilan proses sains dengan metode praktikum dapat lebih optimal bila berbasis kontekstual. Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan sehari- hari Nurhadi, 2002. Salah satu model pembelajaran yang bermanfaat untuk memperkuat pendekatan ilmiah scientific, yakni pembelajaran berbasis penyingkapanpenelitian discoveryinquiry learning . Pembelajaran inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran yang menekankan proses berpikir secara kritis dan analitis untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang diajukan Sanjaya, 2013 Materi kimia yang dapat diterapkan metode praktikum berbasis kontekstual adalah Laju Reaksi khususnya pada materi pokok Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Reaksi. Hal ini sejalan dengan Kompetensi Dasar 4.7 yakni merancang, melakukan, dan menyimpulkan serta menyajikan hasil percobaan faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi dan orde reaksi. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu Bagaimana peningkatan keterampilan proses sains siswa dengan model pembelajaran inkuiri berbasis kontekstual pada materi laju reaksi? Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah mengetahui peningkatan keterampilan proses sains siswa khususnya pada aspek mengenali variabel, mengumpulkan dan mengolah data, dan menyimpulkan. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini penelitian kuantitatif. Pada penelitian ini diteliti keterampilan proses sains siswa. Sasaran penelitian ini adalah siswa SMA kelas XI-MIA. Desain penelitian yang digunakan adalah one group pretest-posttest , data digambarkan sebagai berikut : Keterangan : O1 = nilai pretestketerampilan proses sains siswa pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit O2= nilai posttestketerampilan proses sains siswa pada materi pokok faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi X = treatment yang diberikan berupa pembelajaran dengan model inkuiri berbasis kontekstual Perangkat pembelajaran yang digunakan dalam pene;itian ini antara lain 1 Silabus, 2 RPP, 3 LKS. Sedangkan instrumen yang digunakan antra lain 1 Lembar pengamatan keterlaksanaan pembelajaran, 2 Lembar tes keterampilan proses sains. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi dan metode tes. Keterampilan proses sains siswa dinilai sesuai dengan rubrik yang telah disediakan. Skor keterampilan proses sains diperoleh dengan cara: Skor keterampilan proses sains siswa = 1 Berdasarkan Riduwan 2006 skor keterampilan proses sains siswa diinterpretasikan dengan sebagai berikut : Tabel 1. Kategori Keterampilan Proses Sains Berdasarkan Skor Skor Kategori 0-20 Sangat kurang 21-40 Kurang 41-60 Cukup 61-80 Baik 81-100 Sangat baik Peningkatan keterampilan proses sains siswa dianalisis dengan menghitung selisih rata-rata nilai pretest dan posttest n-gain scoredengan rumus sebagai berikut : Hake, 1998 Keterangan: g = n-gain score Sf = Nilai rata-rata postest O 1 X O 2 ISBN 978-602-72071-1-0 Si = Nilai rata-rata pretest Hasil ini kemudian diinterpretasikan dalam kategori n- gain score berikut: Tabel 2. Kategori n-gain score Nilai g Kategori g 0,7 Tinggi 0,7 g 0,3 Sedang g 0,3 Rendah Hake, 1998 Untuk menunjang hasil keterampilan proses sains siswa maka kualitas keterlaksanaan pembelajaranjuga dianalisis menggunakan kriteria batasan pengelolaan pembelajaran sebagai berikut: Kualitas pengelolaan Pembalajaran= Berdasarkan Riduwan 2006 skor keterlaksanaan pembelajaran di interpretasikan dengan kriteria sebagai berikut: Tabel 3. Kategori Kualitas Keterlaksanaan Pembelajaran Berdasarkan Prosentase Persentase Kategori 0-20 Sangat kurang 21-40 Kurang 41-60 Cukup 61-80 Baik 81-100 Sangat baik HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pretest dan posttest keterampilan proses sains siswa disajikan sebagai berikut: Tabel 4.Hasil Analisis Pretest dan Posttest Keterampilan Proses Sains Siswa  Keterampilan Proses Sains  Hasil Pretest  Hasil Posttest  Skor  Kategori  Skor  Kategori Mengenali variable  32,48  Cukup  66,67  Baik Mengumpulkan dan Mengolah Data  46,15  Cukup  78,79  Baik Menyimpulkan Hasil Analisis Data  47,86  Cukup  84,85 Sangat Baik Keterampilan proses sains siswa yang menjadi fokus pada penelitian ini, pada saat pretest berada pada kategori cukup. Sedangkan keterampilan proses sains siswa pada saat posttest berada pada kategori baik dan sangat baik. Hasil analisis menunjukkan bahwa adanya pengaruh signifikan penerapan model pembelajaran inkuiri berbasis kontekstual terhadap peningkatan keterampilan proses sains siswa yakni keterampilan mengenali variabel dengan kategori sedang g=0,51, keterampilan mengumpulkan dan mengolah data dengan kategori sedang g=0,61 dan katerampilan menyimpulkan dengan kategori tinggi g=0,71.Hasil yang telah diperoleh menunjukkan bahwa keterampilan proses sains telah berhasil dilatihkan pada siswa.Keterampilan proses dapat dilatihkan melalui kegiatan praktikum sehingga siswa akan mendapatkan kemampuan melakukan inkuiri ilmiah Romlah, 2009 Keterampilan proses sains siswa dilatihkan dengan pengimplementasian model pembelajaran inkiri berbasis kontekstual. Model pembelajaran inkuiri melatihkan keterampilan proses sains pada siswa khususnya pada fase 4 yakni melatihkan keterampilan mengenali variabel, pada fase 5 melatihkan keterampilan mengumpulkan dan mengolah data, dan pada fase 6 melatihkanketerampilan menyimpulkan hasil analisis data. Keterlaksanaan pembelajaran dan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran diukur menggunakan lembar keterlaksanaan pembelajaran yang telah disusun berdasarkan RPP.Perbandingan Keterlaksanaan Pembelajaran Pada Pertemuan 1 dan Pertemuan 2 sebagai berikut: Gambar 1.Perbandingan Keterlaksanaan Pembelajaran Pada Pertemuan 1 dan Pertemuan 2 Pada fase 4 siswa dibimbing untuk untuk menentukan variabel-variabel yang terdapat dalam fenomena dengan caratanya jawab mengenai jenis-jenis variabel dan perbedaan dari setiap variabel. Kualitas pengelolan pembelajaran guru pada fase ini yaitu pada pertemuan 1 dan pertemuan 2, berada pada kategori baik dengan persentase 75.Pada fase 5, siswa melakukan percobaan sesuai dengan LKS yang didapatkan kemudian mencatat hasil percobaan dan menganalisis hasil yang didapatkan. Perbedaan fase ini pada kedua pertemuan yaitu pada pertemuan 1 siswa melaksanakan percobaan sesuai dengan petunjuk yang terdapat dalam LKS sedangkan pada pertemuan 2, siwa merancang sendiri percobaan yang akan mereka lakukan sesuai dengan fenomena yang disajikan dalam LKS. Kualitas pengelolan pembelajaran pada fase ini yaitu pertemuan 1 dan 2 masing-masing 83,33 dan 88,89 dengan kategori sangat baik. Pada fase 6, siswa membuat kesimpulan berdasarkan hasil percobaan dan analisisnya kemudian mempersentasikannya. Kemampuan guru mengelola pembelajaran pada fase ini sebesar 88,89 pada pertemuan 1 dan 91,67 pada pertemuan 2 dengan kategori sangat baik. Sehingga berdasarkan hasil tersebut, model pembelajaran inkuiri cocok untuk melatihkan keterampilan proses sains pada siswa. Keterlaksanaan pembelajaran dengan model inkuiri berbasis kontekstual baik pada pertemuan pertama maupun pertemuan kedua dinilai efektif oleh ketiga pengamat.Semua aspek yang telah direncanakan dalam RPP sudah terlaksana. Kualitas pengelolaan pembelajaran ISBN 978-602-72071-1-0 pada pertemuan 1 yaitu 88,33 berada pada kategori sangat baik dan kualitas pengelolaan pembelajaran pada pertemuan 2 yaitu 90,87 berada pada kategori sangat baik pula.Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran yang dilakukan efektif. Tiga indikator pencapaian efektivitas pembelajaran, antara lain kesesuaian dengan prosedur, kuantitas unjuk kerja dan kualitas hasil akhir Degeng, 1989. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil analisis data penelitian dan pembahasan, dapat dituliskan simpulan penelitian sebagai berikut: Adanya peningkatan keterampilan proses sains berdasarkan interpretasi nilai gain ternormalisasi setelah pembelajaran inkuiri berbasis kontekstual yakni keterampilan mengenali variabel dengan kategori sedang g=0,51, keterampilan mengumpulkan dan mengolah data dengan kategori sedang g=0,61 dan keterampilan menyimpulkan dengan kategori tinggi g=0,71. Saran Berdasarkan simpulan yang telah dibuat, peneliti mengajukan saran sebagai berikut : 1. Diperlukan adanya penelitian lebih lanjut mengenai penerapan model pembelajaran inkuiri berbasis kotekstual pada materi pokok lain sehingga dapat dilihat konsistensi pengaruh penerapan model pembelajaran tersebut terhadap peningkatan keterampilan proses sains siswa. 2. Kelemahan dalam penerapan model pembelajaran inkuiri yakni memerlukan alokasi waktu yang relatif panjang sehingga guru harus benar-benar memperhatikan alokasi waktu yang tersedia. Ucapan Terima Kasih Terima kasih kepada Ibu Bertha Yonata, S.Pd, M.Pd. selaku pembimbing sehingga penelitian ini dapat terselesaikan. DAFTAR PUSTAKA Degeng, I Nyoman Sudana. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable . Jakarta: Depdikbud. Depdiknas. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional . Jakarta: Depdiknas. Dimyati dan Mudjiono. 2013. Belajar dan Pembelajaran .Jakarta: PT.Rineka Cipta. Hake, R.R. 1998. Interactive Engagement Versus Traditional Methods: A Six Thousand Student Survey of Mechanics Test Data for IntroductoryPhysics Courses . American Journal Physics. Vol. 66, No. 1, Hal. 64-74. Mulyasa, E. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan .Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nurhadi. 2002. Pendekatan Kontekstual Contextual Teaching and Learning . Jakarta : Depdiknas. Riduwan.2006. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian . Bandung : Alfabeta CV. Romlah, Oom 2009. Peranan Praktikum Dalam Mengembangkan Keterampilan Proses dan Kerja Laboratorium Online http:http:file.upi.eduDirektoriFPMIPA diakses 24 Mei 2014 Sanjaya, Wina. 2013. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta : Prenada Media Group. Wirianty, Linda. 2014. Keterampilan Proses Sains Siswa Kelas XI SMAN 16 Surabaya Melalui Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri Berbasis Kontekstual Pada Materi Laju Reaksi . Skripsi pada FMIPA Unesa: tidak diterbitkan. ISBN 978-602-72071-1-0 PROFIL KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA MENGGUNAKAN LEMBAR KEGIATAN SISWA BERORIENTASI LEARNING CYCLE 7E Faridatur Rofi’ah 1 Putri Pratikno 2

1, 2

Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya E-mail : faridatur.rofiahyahoo.co.id ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melatihkan keterampilan proses sains dengan menggunakan lembar kegiatan siswa berorientasi learning cyle 7E pada materi pokok laju reaksi. Rancangan penelitian yang digunakan adalah “One Shot Case Study”. Sasaran penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 2 Madrasah Aliyah NU Sidoarjo. Instrumen penelitian yang digunakan adalah lembar pengamatan dan lembar tes keterampilan proses sains beserta rubriknya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai keterampilan proses sains siswa pada pertemuan I hingga IV berturut-turut 84,21; 87,58; 91,79; 84,00. Hal ini menjelaskan bahwa model Learning Cycle 7-E dapat membantu melatihkan keterampilan proses sains siswa. Kata Kunci: keterampilan proses sains , learning cycle 7E ABSTRACT This research is to know the student ’s science process skills using student activity sheet with learning cycle 7E orientation in main matter of rate reaction . The research design is “One Shot Case Study”. The target of this research is class XI IPA 2 Madrasah Aliyah NU Sidoarjo. The researh instruments are science process skills observation sheet and science process skills test and its criteria. The results of this research indicate that student science process skills score at the 1 st to 4 th meeting are as many as 84,21; 87,58; 91,79; 84,00. This explain that Learning Cycle 7- E model using student activity can help to train student’s science process skills. Keywords: science process skills, learning cycle 7E ISBN 978-602-72071-1-0 PENDAHULUAN Permendikbud Nomor 64 Tahun 2013 tentang Standar Isi menyatakan salah satu muatan kimia untuk kelompok peminatan matematika dan ilmu pengetahuan alam adalah merancang dan melakukan percobaan kimia yang mencakup perumusan masalah, mengajukan hipotesis, menentukan variabel, memilih instrumen, mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data, menarik kesimpulan, dan mengkomunikasikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis. Komponen-komponen keterampilan tersebut merupakan komponen keterampilan proses sains yang sangat penting untuk dilatihkan. Dalam keterampilan proses sains, siswa berusaha untuk menemukan dan mengembangkan konsep, yang nantinya akan bermanfaat untuk menunjang pengembangan kemampuan selanjutnya. Pembelajaran berbasis keterampilan proses sains dirancang agar siswa dapat menemukan fakta, konsep, dan teori yang dibarengi sikap ilmiah. Interaksi proses penemuan dan pembuktian konsep dalam proses belajar mengajar akan dapat mengembangkan kemampuan pada diri siswa, seperti kemampuan dalam memecahkan masalah serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Keterampilan proses sains belum dilatihkan dengan baik di Madrasah Aliyah NU Sidoarjo karena terbatasnya kondisi laboratorium, sehingga siswa jarang melakukan praktikum. Hal ini juga didukung dengan hasil tes pendahuluan yang menunjukkan sebanyak 95,5 siswa mampu mengumpulkan data; tetapi untuk keterampilan merumuskan masalah, hipotesis, menganalisis data, dan membuat kesimpulan tidak lebih dari 30 siswa. Bahkan hanya 12 siswa yang mengetahui definisi variabel manipulasi, variabel respon, dan variabel kontrol dengan baik. Dari fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan dalam melatihkan keterampilan proses belum sepenuhnya terjadi. Fungsi eksperimen yang dilakukan selama proses pembelajaran dalam melatih keterampilan proses siswa masih kurang, yang dapat mengakibatkan siswa kurang bisa memahami dan menghubungkan fakta yang diperoleh dari eksperimen yang dilakukan dengan konsep yang telah dipelajari. Padahal melalui eksperimen siswa diharapkan mampu menerapkan konsep dan teori yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan hasil angket, 34,4 siswa menyatakan laju reaksi merupakan materi yang sulit dipahami. Laju reaksi memiliki beberapa kompetensi dasar, yaitu 1 memahami teori tumbukan tabrakan untuk menjelaskan reaksi kimia, 2 menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi dan menentukan orde reaksi berdasarkan data hasil percobaan, 3 menyajikan hasil pemahaman terhadap teori tumbukan tabrakan untuk menjelaskan reaksi kimia, serta 4 merancang, melakukan, dan menyimpulkan serta menyajikan hasil percobaan faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi dan orde reaksi Kemendikbud, 2013. Dengan adanya kompetensi pencapaian tersebut, menunjukkan bahwa dalam laju reaksi banyak konsep yang harus dipahami dan diingat dengan baik, serta perlunya dilakukan kegiatan praktikum yang dapat dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari untuk mendukung pemahaman siswa dalam menguasai konsep. Dengan adanya praktikum, siswa dituntut untuk memiliki suatu keterampilan proses sehingga dapat menemukan fakta dari suatu konsep. Hal ini menunjukkan diperlukannya pembelajaran konstruktivis yang memungkin-kan siswa beraktivitas secara total sehingga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami konsep. Model Learning Cycle 7-E merupakan salah satu model pembelajaran yang berbasis pada paradigma konstrutivisktik. Model ini cocok diterapkan untuk materi pelajaran yang bersifat hafalan, perhitungan, eksperimen, pemahaman materi, dan materi pelajaran yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari Jannah dan Azizah, 2012. Hal ini sesuai dengan karakteristik dari materi laju reaksi. Eisenkraft 2003 mengembangkan siklus belajar mulai dari Learning Cycle 3-E ke 5-E, menjadi 7-E. Adapun fase-fase Learning Cycle 7-E meliputi Elicit mendatangkan pengetahuan awal siswa, Engage motivasi dan membangkitkan minat siswa, Explore menyelidiki, Explain menjelaskan, Elaborate menerapkan, Evaluate menilai, dan Extend memperluas. Unsur-unsur teori belajar Piaget yang meliputi fase asimilasi, akomodasi, dan organisasi mempunyai korespodensi dengan fase-fase dalam model Learning Cycle 7-E . Dasna dan Sutrisno 2005 menyatakan siswa akan dilibatkan secara aktif dalam kegiatan penelitian, sehingga mereka dapat mengembangkan pemahamannya terhadap suatu konsep dengan kegiatan mencoba sebelum diperkenalkan dengan kata-kata melalui diskusi atau memperoleh informasi dari buku. Selain itu, Learning Cycle juga dapat mengembangkan keterampilan proses siswa, memberi kesempatan kepada mereka untuk melakukan percobaan sains secara langsung, dan membuat pem-belajaran bermakna. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Susilawati dan Sornsakda yang menyatakan bahwa Learning Cycle dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa. Model pembelajaran Learning Cycle 7-E harus didukung dengan adanya perangkat pembelajaran yang sesuai agar proses belajar mengajar berjalan dengan baik, di antaranya adalah penggunaan lembar kegiatan siswa LKS. Lembar Kegiatan Siswa akan memberikan manfaat bagi guru dan siswa. Guru akan memiliki bahan ajar yang siap digunakan, sedangkan siswa akan mendapatkan pengalaman belajar mandiri dan belajar memahami tugas tertulis yang tertuang dalam LKS. Lembar Kegiatan Siswa yang telah dikembangkan Rofi’ah dan Azizah, 2014 telah memenuhi kriteria- kriteria kelayakan meliputi kriteria isi, penyajian, kebahasaan, kesesuaian dengan model Learning Cycle 7- E, dan kesesuaian dengan komponen keterampilan proses sains, sehingga dapat digunakan dalam pembelajaran untuk melatihkan keterampilan proses sains siswa. METODE PENELITIAN ISBN 978-602-72071-1-0 Rancangan penelitian yang digunakan adalah “One Shot Case Study ”. Desain penelitiannya dapat digambarkan sebagai berikut Sugiyono, 2010: Keterangan : X : perlakuan, yaitu pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan lembar kegiatan siswa berorientasi learning cycle 7E O : nilai tes keterampilan proses sains yang digunakan untuk mengetahui ketrampilan proses sains siswa setelah diterapkan pembelajaran dengan menggunakan lembar kegiatan siswa berorientasi learning cycle 7E . Sasaran penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 2 MA NU Sidoarjo yang berjumlah 25 siswa. Perangkat pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1 silabus; 2 RPP; dan 3 Lembar Kegiatan Siswa berorientasi Learning Cycle 7-E pada materi faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi. Lembar Kegiatan Siswa telah layak dan valid berdasarkan kelayakan kriteria isi, penyajian, kebahasaan, kesesuaian dengan model Learning Cycle 7-E, dan kesesuaian dengan komponen keterampilan proses sains menunjukkan persentase sebesar 92,50, 91,67, 89,06, 88,83, dan 94,05 Rofi’ah dan Azizah, 2014. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar pengamatan dan lembar tes keterampilan proses sains, beserta rubriknya Kheng, 2008. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi dan tes. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis secara deskriptif kuantitatif. Hasil pengamatan dan tes pencapaian keterampilan proses sains dianalisis dengan rumus: HASIL DAN PEMBAHASAN Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah keterampilan proses siswa. Nilai keterampilan proses siswa didapat dari penilaian terhadap tes keterampilan proses yang telah dikerjakan oleh siswa serta dari pengamatan yang dilakukan oleh dua guru. Data hasil tes ketrampilan proses siswa selama empat pertemuan disajikan sebagai berikut: Gambar 1. Nilai Ketrampilan Proses Sains Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa nilai keterampilan proses siswa pada pertemuan I hingga IV sudah mencapai nilai ketuntasan ≥ 76. Nilai keterampilan proses sains dari pertemuan I hingga III selalu mengalami kenaikan. Hal ini sesuai dengan Eisenkraft 2003 yang menjelaskan bahwa pada tahap-tahp Learning Cycle 7E siswa diberi kesempatan untuk bekerja dalam kelompok- kelompok kecil, untuk mengamati data, merekam data, mengisolasi variabel, merancang dan merencanakan eksperimen, membuat grafik, menafsirkan hasil, mengembangkan hipotesis serta mengatur temuan mereka, sehingga dapat meningkatkan keterampilan proses sains dan mendukung pemahaman siswa dalam mengkonstruk konsep dengan baik. Nilai keterampilan proses sains mengalami penurunan pada pertemuan IV. Penurunan ini disebabkan karena materi katalis merupakan konsep baru yang diterima oleh siswa sehingga membutuhkan pemahaman yang lebih daripada materi yang lain. Hasil tes ini menunjukkan Lembar Kegiatan Siswa berorientasi Learning Cycle 7-E yang digunakan dapat membantu melatihkan keterampilan proses sains dengan baik. Keterampilan mengamati dilatihkan pada fase Engage , dengan adanya ilustrasi gambar dan penjelasan yang dapat dilihat pada Gambar 2 berikut: Gambar 2 : Fase Engage pada Lembar Kegiatan Siswa Pada Gambar 2, kita dapat mengetahui bahwa ilustrasi yang disajikan berhubungan dengan kehidupan sehari-hari yang mampu merangsang kemampuan berpikir siswa, mampu membangkitkan minat dan motivasi siswa. Keterampilan merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, dan mengidentifikasi variabel dilatihkan fase Explore yang dapat dilihat pada Gambar 3 berikut: X O ISBN 978-602-72071-1-0 Gambar 3 : Fase Explore pada Lembar Kegiatan Siswa Pada Gambar 3 kita dapat mengetahui bahwa siswa dalam menentukan rumusan masalah, hipotesis dan variabel dengan mengeksplor pengetahuan yang dimilikinya melalui fenomena yang diberikan. Sedangkan keterampilan melakukan pengumpulan data, menganalisis data, dan menarik kesimpulan dilatihkan pada fase Elaborate yang dapat dilihat pada Gambar 4 berikut: Gambar 4 : Fase Elaborate pada Lembar Kegiatan Siswa Pada Gambar 4 kita dapat mengetahui bahwa siswa melakukan ketrampilan mengumpulkan data, menganalisis data dan menarik kesimpulan melalui kegiatan praktikum dengan menerapkan konsep yang telah diperoleh Rof i’ah dan Azizah, 2014. Nilai keterampilan proses sains siswa sudah mencapai nilai ketuntasan, namun masih ada aspek keterampilan proses sains yang belum mencapai nilai ketuntasan. Hal ini diketahui berdasarkan hasil pengamatan oleh dua guru dengan instrumen lembar pengamatan keterampilan proses sains. Data nilai tiap komponen keterampilan proses sains disajikan sebagai berikut: ISBN 978-602-72071-1-0 Gambar 5. Nilai Tiap Ketrampilan Proses Sains Keterangan: 1 = Mengamati 2 = Merumuskan masalah 3 = Merumuskan hipotesis 4 = Mengidentifikasi variabel 5 = Mengumpulkan data 6 = Menganalisis data 7 = Menarik kesimpulan Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui pembelajaran pada pertemuan I dengan materi pengaruh konsentrasi terhadap laju reaksi, hampir semua komponen keterampilan proses belum mencapai nilai ketuntasan, kecuali keterampilan menarik kesimpulan yang mencapai nilai 83,33. Hal ini dikarenakan pada pertemuan I ini siswa masih belum terbiasa dalam menerapkan keterampilan proses sains mereka secara sepenuhnya dalam pembelajaran, apalagi mereka juga kurang terlatih dalam beberapa komponen seperti merumuskan masalah, hipotesis, dan mengidentifikasi variabel. Pembelajaran pada pertemuan II dengan materi pengaruh luas permukaan terhadap laju reaksi, hampir semua komponen keterampilan proses sains sudah mencapai nilai ketuntasan, kecuali keterampilan merumuskan hipotesis yang mendapat nilai 72,22. Hal ini dikarenakan siswa belum terbiasa dalam mengenal dan merumuskan hipotesis dengan benar, sehingga masih banyak mengalami kesalahan dan membutuhkan bimbingan dari guru. Pembelajaran pada pertemuan III dengan materi pengaruh suhu terhadap laju reaksi, siswa mulai terlatih dalam mengembangkan dan menerapkan keterampilan proses sains dalam pembelajaran karena semua komponen yang dilatihkan sudah mencapai nilai ketuntasan. Pembelajaran pertemuan IV dengan materi pengaruh katalis terhadap laju reaksi, hampir semua komponen keterampilan proses sains mengalami penurunan, tetapi sudah mencapai nilai ketuntasan, kecuali keterampilan merumuskan hipotesis yang hanya mendapat nilai sebesar 72,22. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat disimpulkan rata-rata keterampilan proses sains siswa menggunakan Lembar Kegiatan Siswa LKS Learning Cycle 7-E pada materi pokok laju reaksi dari pertemuan I hingga pertemuan IV berturut-turut adalah sebesar 84,21; 87,58; 91,79; 84,00. Hal ini menunjukkan bahwa model Learning Cycle 7-E dapat membantu melatihkan keterampilan proses sains siswa. Saran Berdasarkan hasil pembahasan dan simpulan dapat disampaikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Waktu penerapan model dengan LKS berorientasi Learning Cycle 7-E perlu diperhatikan dan diatur dengan baik agar tidak mengganggu waktu penyelesaian materi yang lain. 2. Learning Cycle 7-E merupakan model yang berlandaskan teori konstruktivis, sehingga dapat diterapkan pada materi pelajaran lain yang sesuai untuk dapat melatihkan keterampilan proses dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Dasna, I Wayan dan Sutrisno. 2005. Model-model Pembelajaran Konstruktivistik dalam Pengajaran SainsKimia. Malang: FMIPA Kimia. Eisenkraft, Arthur 2003 Expanding the 5E Model. The Science Teacher Online, Vol. 70 Nomor 6. http:its-about- time.comhtmlsapeisenkrafttst. pdf . Diakses pada tanggal 12 Januari 2013. Jannah, Anissatul dan Azizah, Utiyah. 2012. The Development Of Chemistry Worksheet Bilingual With Learning Cycle 7-E Orientation In The Reaction Rate Topic As Supporting Learning For Pioneering International Senior High School. Unesa Journal of Chemical Education, ISSN: 2252-9454. Vol. 1, No. 1, pp.17-24 Mei 2012. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 64 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah . Jakarta: Kemendikbud. Kheng, Yeap Tok. 2008. Science Process Skill. Malaysia: Longman Pearson. Nur, Muhammad dan Wikandari. 2000. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendidikan Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabaya : Universitas Negeri Surabaya. Riduwan. 2011. Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Bandung: Alfabeta. Rofi’ah, Faridatur dan Azizah, Utiyah. 2014. Pengembangan Lembar Kegiatan Siswa Berorientasi Learning Cycle 7-E pada Materi Pokok Laju Reaksi untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sains . Unesa Journal of Chemical Education Vol 3, No 2. Susilawati, Maknun, Johar, dan Rusdiana, Dadi. 2010. Penerapan Model Siklus Belajar Hipotetikal Deduktif 7E untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains Siswa SMA pada Konsep Pembiasan Cahaya . Makalah disajikan pada Prosiding Seminar Nasional Fisika 2010. ISBN: 978-979-98010-6-7. ISBN 978-602-72071-1-0 Sornsakda, Sutee, Suksringarm, Paitool, dan Singseewo, Adisak 2009 Effects of Learning Environmental Education Using the 7E- Learning Cycle with Metacognitive Techniques and the Teacher’s Handbook Approaches on Learning Achievement, Integrated Sience Process Skills and Critical Thinking of Mathayomsuksa 5 Students with Different Learning Achievement. Pakistan Journal of Social Sciences, Vol. 6 Nomor 5 http:www.medwelljournals.com . Diakses tanggal 12 Januari 2013. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R D . Bandung: Alfabeta. ISBN 978-602-72071-1-0 IDENTIFIKASI KESULITAN BELAJAR KIMIA SISWA KELAS II PADA POKOK BAHASAN LARUTAN ASAM DAN LARUTAN BASA BERDASARKAN SUPLEMEN GBPP 1999 Diana 1 Ifsantin Silma Rizqiyah 2 Jurusan Pendidikan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Makassar Email : mipa.ac.id ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis kesulitan yang dialami oleh siswa dalam mempelajari jenis pokok bahasan larutan asam dan larutan basa berdasarkan suplemen GBPP 1999 di kelas II SMU Negeri 3 Makassar. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif berdasarkan persentase. Populasinya adalah siswa kelas II SMU Negeri 3 Makassar tahun ajaran 20002001 yang berjumlah 375 orang , yang terbagi dalam 8 kelas homogen. Pengambilan sampel dilakukan secara acak, yaitu satu kelas dari 8 kelas yang ada dengan jumlah siswa 48 orang, Instrument yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah tes bentuk essay. Data yang diperoleh dianalisis dengan statistik deskriptif berdasarkan persentase. Hasil penelitian diperoleh bahwa kesulitan belajar siswa kelas II SMU Negeri 3 makassar pada pokok bahasan larutan asam dan basa berdasarkan suplemen GBPP 1999 dikategorikan tinggi. Berdasarkan indikator dalam penelitian ini, identifikasi kesulitan belajar dalam menuliskan rumus – rumus molekul larutan asam dan basa tergolong rendah 31,33, kesulitan belajar dalam memahami konsep larutan asam dan basa tergolong rendah 35,71 , kesulitan belajar dalam menyetarakan persamaan reaksi persamaan reaksi asam dan basa tergolong tinggi 37,54, kesulitan belajar dalam menerapkan rumus-rumus perhitungan larutan asam dan basa tergolong rendah 51,92dan kesulitan belajar dalam menyelesaikan perhitungan larutan asam dan basa tergolong tinggi 56,92. Bila ditinjau dari tingkatan ranah kognitifnya, maka identifikasi kesulitan belajar dalam tingkatan ranah kognitif C 1 ingatan tergolong rendah 31,33, tingkat kognitif C 2 pemahaman tergolonng rendah 35,71, dan tingkatan ranah kognitif C 3 aplikasi tergolong sedang 48,76 Kata Kunci : Kesulitan Belajar kimia, Larutan Asam dan basa,Suplemen GBPP 1999 ABSTRACT The Identification of Second Grade Students’ Studying Difficulty in Solution Acid and Bases Subjects based on the supplement of 1999 GBPP. Skripsi. The Faculty of Mathematics and Science. Makassar State University. This research is intended to know the difficulty types which is experienced by student in learning solution acid and bases subject based on the supplement of 1999 GBPP in second grade student of SMU Negeri 3 Makassar. This research is descriptive research based on the percentage. The populations of this research are all of the second grade students in SMU Negeri 3 Makassar, 20002001 learning years which is consisted of 375 students, and that is divided in eight homogeneous classes. The sampling of research was done randomly, namely one of the eighth classes that consist of 48 students. The instrument used in collecting the data is essay test. The data finding is analyzed by using the descriptive statistics based on percentage. The result finding shows that the second g rade of SMU Negeri 3 Makassar students’ difficulty study in solution acid and bases subject based on supplement of 1999 GBPP is high categorization. Based on the indicator in this research, the identification of learning disability in writing the molecule formulations of Larutan asam and basa is in the low categorization 31, 33., the learning disability in understanding the concept of solution acid and bases in the low categorization 35, 71, the learning disability in equalizing of solution acid and bases resemblance reaction is in the low categorization 37, 54 , the earning disability in applying the formulations of solution acid and bases calculation is in the high categorization 51, 92, and the learning disability in finishing solution acid and bases calculation is in the high categorization 56, 83. In case it is observed form the level of cognitive domains thus the identification of the learnig disability in cognitive domain, C1 memory is in the low categorization 31, 33, the level of cognitive domain C2 comprehension is in the low categorization 35, 71, and the level of cognitive domain C3 application is in the middle categorization 48, 76. Keyword : Learning Disability, Solution Acid and bases, GBPP 1999 Suplemen ISBN 978-602-72071-1-0 ISBN 978-602-72071-1-0 PENDAHULUAN Berbagai usaha telah dilakukan pemerintah dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Salah satu diantaranya adalah melakukan pembaharuan kurikulum. Berdasarkan Tap N0.IVMPR1999 , penggunaan kurikulum 1994 kini mengalami penyempurnaan pada Garis-Garis Besar Program Pengajaran GBPP yang dikenal dengan suplemen GBPP 1999. Mata pelajaran kimia masuk dalam kurikulum ini yang diajarkan di tingkat SMU. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kusman Saleh 1992:48 Nilai Ebtanas Murni NEM bidang studi kimia mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA IKIP Ujung Pandang tergolong rendah. 64,67 tergolong rendah, 3,33 tergolong sedang dan 12,00 tergolong tinggi. Penelitian lain yang menyatakan bahwa pelajaran kimia di SMU tergolong sulit. Hal ini merupakan tantangan bagi guru-guru kimia dalam meningkatkan prestasi belajar kimia siswa. Salah satu kajian pelajaran kimia yang diajarkan di SMU kelas II berdasarkan suplemen GBPP 1999 yaitu pokok bahasan larutan asam dan basa. Dalam mempelajari pokok bahasan ini, siswa harus menguasai stoikiometri larutan dan penyetaraan reaksi yang telah diajarkan sebelum pokok bahasan ini. Hal ini disebabkan karena dalam mempelajari pokok bahasan larutan asam dan basa selain terdapat konsep-konsep larutan asam dan basa, penyetaraaan persamaan reaksi, juga terdapat perhitungan pH larutan, derajat ionisasi yang tidak terlepas dari perhitungan konsentrasi larutan. Jadi dalam pokok bahasan larutan asam basa, selain terdapat rumus-rumus molekul asam dan basa. Juga terdapat rumus-rumus matematika. Menurut Anas P 1998:37 bahwa prestasi belajar kimia dapat ditentukan oleh penguasaan matematika. Mempelajari larutan asam dan basa diperlukan kemampuan menghafal dan kemampuan matematika. Menurut J.Tombokan Runtukahu 1996:38, menyatakan bahwa kemampuan mengingat yaitu kemampuan untuk meningkatkan apa yang telah didengar, dilihat dan dialami waktu belajar. pada kenyataannya ada siswa yang mengerti akan konsep- konsep materi pelajaran, misalnya konsep larutan asam dan basa tetapi tidak mmampu mengaplikasikan cara menyelesaikan soal-soal perhitungannya. Ia tidak mampu mengingat kembali cara pengoprasian rumus- rumus matematika yang telah dipelajarinya. Kenyataan ini merupakan suatu kesulitan belajar yang dialami oleh siswa. Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengaji lebih dalam mengenai kesulitan belajar akademik dalam mata pelajaran kimia . Berdasarkan masalah diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: “kesulitan apa saja yang dialami oleh siswa dalam mempelajari kimia pada pokok bahasan larutan asam dan basa berdasarkan suplemen GBPP 1999” METODE PENELITIAN Populasi penelitian ini pada siswa SMU Negeri 3 Makassar kelas II. Sampel diambil secara random. Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan tes essay yang telah valid kepada sampel yang telah dipilih. Sampel diambil dari satu kelas homogen yang dipilih secara acak dari delapan kelas. Menurut Suharsimi Arikunto 1998:120 bahwa pengambilan sampel yang lebih dari 100 orang dapat diambil antara 10-15 atau 20-25 atau lebih. Dalam penelitian ini jumlah sampel yang diambil sebanyak 48 orang siswa dari satu kelas. Jadi ada 12,80 sampel yang diambil dari jumlah populasi. Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif berdasarkan persentase.Analisis validitas dan reliabilitas yang dinyatakan dengan angka koefisien korelasi Kriteria korelasi dapat dilihat pada tabel 1 berikut : Tabel 1. Kriteria koefisien korelasi Sumber : M Ngalim Purwanto, 1984:139 Suatu tes dikatakan valid, apabila memiliki anngka koefisien korelasi r antara 0,41 – 0,70 atau berada pada kategori sedang. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan statistik deskriptif berdasarkan persentase. Statistik deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran umum data yang diperoleh. Data yang dikumpul dalam penelitian ini diperoleh dengan analisis persentase yang mengacu pada kategori seperti pada tabel 2 di bawah ini. Tabel 2 . Kategori Analisis Persentase. Rentang persentase Kategori 71 - 100 51 - 75 41 - 55 Kurang dari 40 Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sumber : Suharsimi Arikunto, 1987:249 HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penyajian hasil Analisis data Data yang diperoleh dari penelitian ini diolah dengan menggunakan statistik deskriptif berdasarkan persentase. Hasil pengolahan data dengan menggunakan statistik deskriptif menyajikan karakteristik distribusi skor responden dengan bentuk soal essay menggunakan tabel frekuensi, persentase, rata-rata dan standar deviasi. 1. Karakteristik distribusi Skor Responden Indikator Tingkatan ranah kognitif Persentase Kategori 1 2 3,4,5 Ingatan C 1 Pemahaman C 2 Aplikasi C 3 31,33 35,71 48,76 Rendah Rendah Sedang ISBN 978-602-72071-1-0 Gambaran tentang karakteristik distribusi skor terhadap kesulitan belajar seperti pada tabel 3 dibawah ini. Tabel 3. karakteristik skor hasil tes kesulitan belajar siswa kelai II SMU negeri 3 Makassar Berdasarkan karakteristik skor hasil tes kesulitan belajar pada tabel 6 di atas, diketahui bahwa skor tertinggi 48,60. Skor maksimum yang diperoleh siswa yang mampu menjawab dengan tepat seluruh tes akan memperoleh skor 50. Bila skor hasil tes kesulitan ini dikonversi ke dalam nilai berskala 0 –10 seperti pada lampian C 3 . Maka diketahui bahwa skor 46,85 ke atas memperoleh nilai 10 yang merupakan nilai tertinggi dan skor 7,65 ke bawah memperoleh nilai 0 yang merupakan nilai terendah.

2. Karakteristik Distribusi Skor untuk Tiap

Indikator Gambaran tentang karakteristik distribusi skor untuk tiap indikator hasil tes kesulitan belajar dalam penelitian ini seperti pada tabel 4 berikut: Tabel 4. karakteristik distribusi skor untuk tiap indikator Keterangan : 1 kesulitan belajar dalam menuliskan rumus-rumus molekul asam dn basa 2 kesulitan belajar dalam memahami konsep larutan asam dan basa 3 kesulitan belajar dalam menyetarakan persamaaan reaksi larutan asam dan basa 4 kesulitan belajar dalam menerapkan rumus-rumus perhitungan larutan asam dan basa 5 kesulitan belajar dalam menyelesikan perhitungan larutan asam dan basa.

3. Karakteristik Tingkat ranah Kognitif

. pada indikator yang ada pada metode penelitian. Pada indikator tersirat tingkatan ranah kognitif ingatan C 1 , pemahaman C 2 , dan aplikasi C 3 . Hubungan tingkat ranah kognitif dengan indikator dapat dilihat pada tabel 5 berikut: Tabel 5. Karakteristik hubungan antara tingkatan ranah kognitif dengan indikator PEMBAHASAN 1. Kesulitan belajar pada pokok bahasan larutan asam dan basa Berdasarkan kategori kesulitan belajar pada tabel 4, terlihat kategori, frekuensi, dan persentase siswa yang memahami kesulitan belajar yang diperoleh dalam penelitian ini. Siswa yang mengalami kesulitan belajar pada kategori kesulitan sangat tinggi, yaitu siswa yang tidak mampu menjawab beberapa item tes dengan tepat, bahkan ada yang tidak menjawab beberapa item soal tes sama sekali. Siswa yang mengalami kesulitan belajar pada kategori kesulitan balajar pada kategori kesulitan tinggi, yaitu siswa yang tidak mampu menjawab beberapa item tes secara tepat. Siswa yang mengalami kesulitan belajar pada kategori kesulitan sedang, yaitu siswa yang mampu menyelesaikan tes kesulitan belajar dengan baik dengan tingkat kesulitan belajar sedang. Pada kategori kesulitan rendah, yaitu siswa yang mampu menyelesaikan tes belajar dengan baik, dengan tingkat kesulitan belajar rendah. Pada kategori kesulitan sangat rendah, siswa mampu menyelesaikan tes kesulitan belajar dengan tepat atau dapat dikata kan tidak menga lami kesulit an belaja r. hanya pada saat penyelesaian tes ada kekeliruan ketika menghitung. Bila siswa dikategorikan mengalami kesulitan belajar mulai kategori tinggi dan sangat tinggi maka ada 67,75 siswa yang kesulitan dalam mempelajari pokok bahasan larutan asam dan basa. Siswa yang tidask mengalami kesulitan belajar ada 31,25. Berdasarkan tabel 2, kategori analisis persentase, maka siswa yang mengalami kesulitan belajar temasuk pada kategori tinggi. 1. Kesulitan belajar berdasarkan indikator Nilai Korelasi Kriteria Korelasi 0,00 - 0,20 0,21 – 0,40 0,41 - 0,70 0,71 - 0,90 0,91 - 1,00 Sangat rendah hampir tidak ada korelasi Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi sempurna Kode Indikator skor Persentase kesulitan belajar kategori 1. 2. 3. 4. 5. 329,6 308,6 299,8 230,8 207,2 31,23 35,71 37,54 52,08 56,83 Rendah Rendah Rendah Sedang Tinggi Karakteristik Hasil tes Skor tertinggi Skor terendah Skor rata-rata Standar deviasi 48,60 12,20 28,38 8,71 ISBN 978-602-72071-1-0 Kesulitan belajar yang dialami oleh siswa kelas II pada pokok bahasan larutan asam dan basa di SMU Negeri 3 Makassar dar hasil penelitian ini tinggi. Untuk mengetahui dimana letak kesulitan belajar yang dialami oleh siswa maka dapat dilihat pada tabel 8 distribusi skor tiap indicator. Pada indikator I yaitu kesulitan belajar dalam menuliskan rumus-rumus molekul asam dan basa, walaupun dikategorikan rendah, Pada indikator 2 yaitu kesulitan belajar dalam memahami konsep larutan asam dan basa yang berada pada kategori kesulitan rendah.. Pada indikator 3 yaitu kesulitan belajar dalam menyetarakan persamaan reaksi larutan asam dan basa yang berada pada kategori kesulitan rendah,. Pada indikator 4 yaitu kesulitan belajar dalam menerapkan rumus-rumus perhitungan larutan asam dan basa yang berada pada kategori kesulitan sedang, Pada indikator 5 yaitu kesulitan belajar dalam menyelesaikan perhitungan larutan asam dan basa yang berada pada kategori kesulitan tinggi, Berdasarkan hasil penelitian, kesulitan belajar dalam indikator ini, terlihat dari siswa yang menggunakan rumus-rumus perhitungan larutan asam dan basa sehingga penyelesaian perhitungannya salah. Ada juga yang menggunakan rumus-rumus perhitungan larutan asam dan basa benar, tetapi penyelesaiannya hanya sampai setengah penyelesaian soal perhitungan saja. Hal ini dimungkinkan oleh kurangnya tingkat penguasaan matematika siswa sehingga untuk menyelesaikan perhitungan tidak terselesaikan. 2. Kesulitan belajar berdasarkan tingkatan ranah kognitif Kesulitan belajar berdasarkan tingkatan ranah kognitif didasarkan dari kesulitan belajar dalam penelitian ini. Untuk tingkatan ranah kognitif C 1 ingatan sama dengan kesulitan belajar pada indicator 1, yaitu kesulitan belajar dalam menuliskan rumus-rumus molekul asam dan basa 31,33 yang berada pada kategori rendah. Tingkatan ranah kognitif C 2 pemahaman sama dengan kesulitan belajar pada indikator 2, yaitu kesulitan belajar dalam memahami konsep larutan asam dan basa 35,71 yang berada pada kategori rendah. Tingkatan ranah kognitif aplikasi C 3 sama dengan kesulitan belajar dalam menyetarakan persamaan reaksi, penerapan rumus-rumus perhitungan dan penyelesaian perhitunngan larutan asam dan basa, dengan rata-rata persentase 48,76 yang berada pada kategori sedang. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan secara keseluruhan di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa kesulitan belajar siswa kelas II SMU Negeri 3Makassar pada pokok bahasan larutan asam dan basa menurut penelitian ini tergolong tinggi. Bila diidentifikasi berdasarkan indikator dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Indikator 1, yaitu kesulitan belajar dalam menuliskan rumus-rumus molekul aam dan basa berada pada kategori rendah. b. Indikator 2, yaitu kesulitan belajar dalam memahami konsep larutan asam dan basa berada pada kategori rendah. c. Indikator 3, yaitu kesulitan belajar dalam menyetarakan persamaan reaski larutan asam dan basa berada pada kategori rendah. d. Indikator 4, yaitu kesulitan belajar dalam menerapkan rumus-rumus perhitungan larutan asam dan basa berada pada kategori kesulitan tinggi. e. Indikator 5, yaitu kesulitan belajar dalam menyelesaikan perhitungan larutan asam dan basa berada pada kategori kesulitan tinggi. Bila diidentifikasi berdasarkan tingkatan ranah kognitif, maka kesulitan belajar yang dialami oleh siswa adalah sebagai berikut: a. Tingkatan ranah kognitif C 1 ingatan berada pada kategori rendah. b. Tingkatan ranah kognitif C 2 pemahaman berada pada kategori rendah. c. Tingkatan ranah kognitif C 3 aplikasi berada pada kategori sedang. Faktor – faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar siswa terletak pada diri pribadi siswa tersebut dan factor guru yang mengajarkan mata pelajaran. Oleh karena itu diperlukan hubungan yang baik antara siswa dengan guru agar proses belajar mengajar dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan menghasilkan suatu restasi skademik yang memuaskan. Saran Saran yang dapat dikemukakan dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kepada guru yang mengajarkan pokok bahasan larutan asam dan basa hendaknya memperbanyak latihan-latihan penyelesaian soal perhitungan dan bimbingan siswa dalam menyelesaikan soal-soal tersebut tidak dapat terselesaikan. 2. Diharapkan ada penelitian yang lain untuk meneliti kembali dengan mengembangkan metode pengajaran yang tepat untuk mengatasi kesulitan belajar siswa pada pokok bahasan larutan asam dan basa. DAFTAR PUSTAKA Anas,P. 1998. Hubungan Penguasaan Matematika dengan Prestasi Belajar Kimia Siswa Kelas SMU Negeri Watampone kab. Bone , Skripsi. Ujung pandang: PMIPA IKIP Ujunga Pandang. Arikunto , Suharsimi. 1987. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. _______. 1997. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Purwanto, Ngalim M. 1990. Prinsip – Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Saleh. Kasman. 1992. Korelasi Antara Nilai Ebtanas ISBN 978-602-72071-1-0 Murni Bidang Kimia Dengan Prestasi Belajar Kimia Dasar Mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA IKIP Ujung Pandang . Ujung Pandang: FPMIPA IKIP Ujung Pandang. ISBN 978-602-72071-1-0 PENGGUNAAN ANIMASI LABORATORIUM VIRTUAL UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI TITRASI ASAM-BASA Jefta Hendryarto 1 Eka Tina Nur Ula Tuqa 2 Meyta Rosemala Dewi 3 1,2,3 Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Aam, Universitas Negeri Surabaya Pendidikan Sains, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya, E-mail: jefta_hendryyahoo.co.id ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan animasi laboratorium virtual dalam pembelajaran materi titrasi asam-basa di kelas XI. Penelitian dilakukan dengan metode one-group pretest- posttest dengan sampel sebanyak 7 siswa kelas akselerasi SMAN 1 Probolinggo tahun pelajaran 20132014. Penelitian dikembangkan dengan prosedur meliputi pemilihan model pembelajaran, pemilihan materi pembelajaran, perencanaan waktu dan tempat, pelaksanaan kegiatan pembelajaran, pengumpulan data lapangan, dan evaluasi serta pengambilan keputusan. Instrumen yang digunakan adalah lembar soal pretest dan posttest, lembar respon siswa, dan lembar observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa animasi laboratorium virtual meningkatkan ketuntasan individu dan ketuntasan klasikal sebanyak 86. Data hasil belajar yang digunakan berupa soal pemahaman kosep berbentuk pilihan ganda. Data ini didukung oleh data respon siswa yang menunjukkan bahwa animasi laborartorium virtual secara positif dapat menunjang pembelajaran dengan aspek kebermaknaan 71, usabilitas 100, efektivitas 81, dan kemenarikan 71 yang sangat baik. Kata kunci : Animasi, laboratorium virtual, hasil belajar, titrasi asam-basa ABSTRACT The aim of research is to find out the effect on learning acid-base titration using virtual laboratorium animation in grade XI. The method used is onegroup pretest-posttest design on 7 students as sample from acceleration class in SMAN 1 Probolinggo at 20132014 programme year. The procedures are choosing learning model, choosing learning matter, planning times allocation, conducting learning activity, collecting data, evaluating and taking decision. Instrumenst used are learning result test multiple choices, students respond sheet, and observational sheet. The result shows that using virtual lab has great impact on increasing classical and individual mastery learning 86. Data test used are multiple choice to test concept mastery learning that has bee n validated. This result is supported using student’s respond at four aspects; meaningful learning 71, usability 100, effectivity 71, and design 81. All four aspects show positive support on learning matter acid-base titration. Observational result also support aspect usability of using virtual lab along learning activity. Keywords: Animation, virtual lab, learning result, acid-base titration ISBN 978-602-72071-1-0 PENDAHULUAN Perkembangan Information and Communication Technology ICT dalam beberapa dekade terakhir berjalan sangat cepat. Komputer tidak hanya digunakan sebagai alat bantu pembelajaran, namun sebagai sumber penting pengetahuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Zamfir dalam Osman, 2012: 75 yang menyatakan perlunya implementasi teknologi baru dalam proses belajar mengajar. Bahkan Dakir secara tegas menyatakan bahwa saat ini peranan guru dapat digantikan dengan media instruksional baik yang berupa media cetak maupun non cetak, terutama media elektronik, misalnya: komputer internet, satelit komunikasi, rekaman video dan sebagainya Dakir, 2004:81. Computer Technology Research CTR menyatakan bahwa seseorang mampu mengingat 20 dari apa yang dilihat dan 30 dari apa yang didengar. Tetapi seseorang mengingat 50 dari apa yang dilihat dan didengar dan 80 dari apa yang dilihat, didengar, dan diaplikasikan yang dapat dicapai salah satunya melaui media animasi. Media animasi dapat menjadi sarana visual kepada siswa dalam rangka mendorong motivasi belajar, memperjelas, dan mempermudah konsep yang kompleks dan abstrak menjadi sederhana, konkret, dan mudah dipahami. Penggunaan animasi Komputer dapat diaplikasikan dalam materi IPA seperti kimia untuk menunjang pembelajaran. Dengan adanya media pembelajaran berupa animasi, maka siswa akan mendapat pemahaman lebih pada konsep absrak sekaligus mendapat sarana berlatih konsep matematis. Tak hanya itu, animasi Komputer juga dapat menciptakan ketertarikan dan meningkatkan motivasi siswa, sehingga hasil belajar dapat meningkat. Penghadiran gambar-gambar yang bergerak animasi dalam pendeskripsian konsep kimia, disamping akan mengkonkritkan materi kimia yang bersifat abstrak, juga dapat menambah daya penguatan reinforcement serta dapat menambah minat dan perhatian siswa sepanjang proses belajar mengajar Sadiman, 2006:19. Namun berdasarkan studi literatur ditemukan beberapa ketimpangan antara fakta dan harapan, bahwa masih ditemui pelajaran kimia masih dianggap sebagai pelajaran yang sulit bagi peserta didik. Hal ini disebabkan oleh sejumlah besar materi ilmu kimia masih bersifat abstrak, harus diajarkan dalam waktu yang relatif terbatas. Salah satu materi yang masih dianggap sulit adalah titrasi asam-basa. Pada materi ini siswa kesulitan menentukan titik akhir titrasi, menentukan titran dan analit, dan menghitung konsentrasi sampel. Melalui animasi laboratorium virtual, siswa dapat mencoba sendiri praktikum titrasi asam-basa disertai gambaran visual ion-ion yang terlibat dalam titrasi serta perhitungannya. Kesalahan praktikum seperti penentuan titiak akhir titrasi, prosedur pelaksanaan titrasi, keadaan sampel yang adakalanya sulit didapat akan diatasi dengan animasi laboratorium virtual sehingga diharapkan pemahaman siswa mengenai titrasi asam-basa akan lebih baik dan siswa lebih termotivasi belajar kimia. Hal ini menguatkan dasar penelitian yang digunakan untuk merumuskan tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui pengaruh penggunaan animasi laboratorium virtual terhadap hasil belajar siswa pada materi titrasi asam-basa. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan metode one group pre-post test design yang berada di SMAN 1 Probolinggo dan dilaksanakan pada bulan Juli 2013. Hasil eksperimen sebelum dan sesudah menggunakan animasi laboratorium virtual dibandingkan. Langkah yang dilakukan adalah siswa diberikan pretest selama 10 menit, kemudian diberikan perlakuan yang berupa pembelajaran dengan menggunakan media animasi selama + 30 menit, setelah itu siswa diminta untuk mengerjakan posttest selama 10 menit. Selanjutnya diberikan angket respon siswa terhadap media yang dikembangkan selama ± 5 menit. Sasaran penelitian ini adalah siswa kelas XI IA ASMAN 1 Probolinggo Semester I tahun ajaran 20132014 dengan jumlah siswa dalam satu kelas yaitu 7 siswa kelas akselerasi. Prosedur penelitian disajikan dalam alur pada gambar 1. Gambar 1. Prosedur penelitian Prosedur penelitian dideskripsikan sebagai berikut: 1. Memilih model pembelajaran Model pembelajaran yang diterapkan dalam penelitian ini adalah pembelajaran dengan media animasi. 2. Memilih materi pembelajaran Materi pembelajaran yang dipilih adalah materi titrasi asam-basa karena karakteristiknya yang membutuhkan visualisasi, bersifat abstrak, dan banyak diperlukan penerapnnya dalam kehidupan sehari-hari 3. Merencanakan waktu dan tempat Peneliti mengalokasikan pembagian waktu dan merencanakan penggunaan media untuk kegiatan pembelajaran yang ditulis dalam RPP Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 4. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran Peneliti melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan media animasi di kelas XI 1A dalam waktu 2x25 menit. 5. Mengumpulkan data lapangan Pemilihan model pembelajaran Pelaksanaan kegiatan pembelajaran Evaluasi dan pengambilan keputusan Perencanaan waktu dan tempat Pemilihan materi pembelajaran Pengumpulan data lapangan ISBN 978-602-72071-1-0 Melakukan tes akhir untuk mengetahui seberapa besar pengetahuan siswa setelah pembelajaran titrasi asam-basa. 6. Evaluasi dan pengambilan keputusan a. Menganalisis data tes pengetahuan b. Menarik kesimpulan Data yang diperoleh dalam penelitian diolah dengan teknik deskriptif kuantitatif dan deskriptif kualitatif yang terangkum pada tabel 1. Tabel 1. Pengolahan Data Jenis Data Bentuk Instrumen Teknik Analisis Data Tes hasil belajar Lembar tes hasil belajar Deskriptif kuantitatif Respon siswa Lembar checklist respon siswa Deskriptif kuantitatif Kondisi fisik suasana pembelajaran Lembar observasi Deskriptif kualitatif Analisis data dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Analisis data tes hasil belajar Analisis dilakukan dengan rumus: 2. Analisis respon siswa Respon siswa yang dianalisis meliputi empat aspek; 1 aspek kebermaknaan, yaitu sejauh mana media yang digunakan memberikan pengaruh terhadap kemampuan siswa menyerap materi, 2 aspek usabilitas, yaitu kemudahan dalam mengoperasikan komputer, 3 aspek efektivitas, yaitu kemudahan memahami materi dalam media, dan 3 aspek motivasi yaitu sejauh mana siswa tertarik terhadap media yang digunakan. Setiap aspek dihitung persentase positif dan negatif siswa yang memilih “iya” dan “tidak”. 3. Observasi dukungan terhadap data respon siswa Observasi dilakukan untuk mengetahui kondisi fisik suasana pembelajaran. Data hasil observasi digunakan untuk mendukung aspek efektifitas dan usabilitas dari media komputer yang digunakan. HASIL DAN PEMBAHASAN Soal yang digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa berupa pretest dan posttest berbentuk soal pilihan ganda sebanyak 8 butir soal yang telah divalidasi terlebih dahulu. Tes hasil belajar siswa dilakukan oleh 7 orang siswa kelas akselerasi SMAN 1 Probolinggo. Data tes hasil belajarsiswa disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Tes Hasil Belajar Siswa Siswa ke: Nilai Pre-test Nilai Post-test 1 Nilai Ketuntasan Nilai Ketuntasan Siswa ke: Nilai Pre-test Nilai Post-test 2 37.5 Belum Tuntas 100 Tuntas 3 37.5 Belum Tuntas 100 Tuntas 4 50 Belum Tuntas 62.5 Belum Tuntas 5 50 Belum Tuntas 76 Tuntas 6 37.5 Belum Tuntas 76 Tuntas 7 37.5 Belum Tuntas 87.5 Tuntas Dari hasil tes setelah penerapan media animasi, dapat dianalisis ketuntasan klasikalnya dengan menggunakan rumus prosentase sebagai berikut: Berdasarkan perhitungan prosentase diperoleh prosestase ketuntasan kelas adalah sebesar 86. Berdasarkan Tabel tersebut media animasi memberikan respon yang baik terhadap hasil belajar siswa dengan adanya peningkatan ketuntasan belajar siswa. Siswa dikatakan tuntas dalam belajar jika telah mencapai nilai ≥ 75. Pada pretest dari 7 siswa seluruhnya belum mencapai ketuntasan belajar. Namun setelah diberikan perlakuan berupa pembelajaran dengan media animasi maka ketuntasan klasikal meningkat. Hanya 1 siswa dari total siswa saja yang belum mencapai ketuntasan. Hal ini menunjukkan bahwa media animasi berpengaruh pada peningkatan hasil belajar siswa sehingga terjadi peningkatan prestasi yang lebih baik. Berdasarkan uraian di atas, ketuntasan belajar siswa secara klasikal sebesar 86. Hal ini menunjukkan bahwa media animasi memberikan pengaruh positif dalam kegiatanpembelajaran. Tes hasil belajar siswa ini sesuai dengan hasil penelitian dari Sandford dalam Freitas, 2006 bahwa dengan media animasi 63 siswa memiliki keterampilan berfikir lebih tinggi dan 62 siswa belajar suatu pengetahuan khusus. Pengetahuan khusus yang dipelajari siswa terutama prosedur melaksanakan titrasi, menentukan titik akhir titrasi, pemilihan indikator dan sampel bahan yang adakalanya sulit diadakan di lab. Selain data tes hasil belajar, juga dianalisis data respon siswa yang didukung dengan hasil observasi. Respon siswa yang telah diolah disajikan pada gambar 2. ISBN 978-602-72071-1-0 gambar 2. Grafik hasil analisis respon siswa terhadap media animasi Data respon siswa menunjukkan bahwa animasi laboratorium virtual yang digunakan dalam pembelajaran titrasi asam-basa mendapatkan respon positif terhadap aspek kebermaknaan, usabilitas, efektivitas, dan motivasi. Respon positif ini didukung dengan hasil observasi kondisi fisik suasana pembelajaran bahwa siswa tidak mengalami kesulitan mengoperasikan laboratorium virtual dan nampak antusias belajar dalam laboratorium virtual. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dianalisis maka dapat disimpulkan bahwa dengan menerapkan media animasi laboratorium virtual pada materi titrasi asam-basa, siswa kelas XI IA ASMA Negeri 1 Probolinggo dapat mencapai ketuntasan hasil belajar siswa yang baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanyapeningkatan hasil belajar siswa kelas XI IA ASMA Negeri 1 Probolinggo pada materi titrasi asam-basa telah tuntas secara klasikal yaitu 86, karena telah mencapai lebih dari 75. Hasil belajar siswa yang meningkat didukung oleh respon siswa yang positif terhadap aspek kebermaknaan 71, efektivitas 82, usabilitas 100 , dan kemenarikan media 71. Saran Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh peneliti ada beberapa saran yang ingin disampaikan, yaitu: a. Guru diharapkan dapat memilih model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang akan diajarkan sehingga dapat memudahkan siswa menguasai dan memahami konsep materi yang diajarkan. b. Model pembelajaran dapat dimodifikasi dengan permainan atau sejenisnya untuk menarik minat dan motivasi siswa. c. Penelitian ini dapat ditindak lanjuti dengan materi yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA  Arikunto. S. 1998. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta: Rineka Cipta.  Arsyad. A. 2004. Media Pembelajaran. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.  Brigss. L. 1970. Principles of Instructional DeSignifikann . Holt. Rinehart. and Watson. New York  Dale. E. 1969. Audio Visual Methods In Teaching. The Dryden Press. New York.  Depdiknas.. 2003. Kurikulum Mata Pelajaran Kimia . Depdiknas. Jakarta.  Hamalik. O. 1994. Media Pendidikan. Penerbit Citra Aditya Bakti. Bandung.  Kemp. J.E dan Dauton. D.K. 1985. Planning dan Producing Instructional Media Fifth Edition . Harper Row. New York.  Mulyasa, E. 2003. dalam Sudrajat. A.2009. Lets Talk About Education . 8 Agustus 2013. Sumber: http:akhmadsudrajat.wordpress.com  Nur, M., Wikandari,P.R. 2000. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa danPendekatan Konstruktifis Dalam Pengajaran . Surabaya: Pusat Studi Matematika Dan IPA Sekolah Universitas Negeri Surabaya.  Osman, Kamisah Bakar, Nurul Aini.2012. Educational Komputer Games for Malaysian Classrooms: Issues and Challenges. Journal of Asian Social Science . Vol. 8, No.11  Sadiman. A. S.. Rahardjo. R.. Haryono. A.. dan Rahardjito. 2006. Media Pendidikan :Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya . Penerbit PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.   ISBN 978-602-72071-1-0 PENGARUH STRATEGI DIGITAL LEARNING MENGGUNAKAN MEDIA EDMODO TERHADAP PARTISIPASI AKTIF DAN HASIL BELAJAR SISWA Suryanto Hadi Widodo 1 Faridatur Rofi’ah 2 1, Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya Email : surpakar4gmail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh strategi digital learning menggunakan media edmodo terhadap partisipasi aktif dan hasil belajar siswa pada materi ikatan kimia. Penelitian ini merupakan quasy experiment dengan rancangan non-equivalent control group. Penelitian ini dilakukan pada satu kelas control dan satu kelas eksperimen yang masing-masing terdiri dari 40 orang kelas X SMK Farmasi Sekesal Surabaya. Instrumen penelitian yang digunakan adalah lembar tes hasil belajar siswa dan lembar angket partisipasi siswa. Data dianalisis dengan cara uji normalitas, homogenitas, dan uji hipotesis dengan uji t. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa data berdistribusi normal, bersifat homogen, dan media edmodo berpengaruh positif terhadap partisipasi aktif dan hasil belajar siswa dengan nilai t hitung berturut-turut sebesar 7,985 dan 8,134. Kata Kunci: edmodo , partisipasi aktif, hasil belajar ABSTRACT This research is to explain the effect of digital learning strategy using edmodo to the st udent’s participation dan learning achievement in chemical bonding matter. This research is quasy experiment with non-equivalent control group design. This research is apllied on a control class and an experiment one which each contain of 40 students in SMK Farmasi Sekesal Surabaya grade X. The researh instruments are learning achievement test and participation questionnaire sheet.The data are analyzed with normality test, homogenity test, and t- test. The results of this research indicate that the data have normal distribution, homogeny, and edmodo media has positive effect to the student’s active pasticipation and learning achievement with t-count are as many as 7,985 and 8,134. Keywords: edmodo, active participation, learning achievement ISBN 978-602-72071-1-0 PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi TIK yang semakin pesat, kebutuhan akan suatu konsep dan mekanisme belajar mengajar pendidikan berbasis teknologi informasi menjadi tidak terelakkan lagi. Disamping itu, dalam proses pembelajaran ilmu Kimia mencakup pembelajaran produk seperti fakta, konsep, prinsip, teori dan juga pembelajaran proses untuk memperoleh pengetahuan. Pembelajaran proses dapat dilakukan baik di laboratorium maupun di luar laboratorium, sedangkan pembelajaran produk, peserta didik diharapkan menguasai hukum, teori dan aplikasinya. Konsep-konsep yang diajarkan dengan informasi langsung akan cenderung dihafalkan dan bukan dipahami, tetapi hal tersebut akan menjadi berbeda jika metode ceramah diikuti dengan verifikasi, dan contoh-contoh sehingga menjadi bermakna. Menurut Johnson 1998, kemampuan awal turut berperan dalam hasil belajar baru. Kemampuan awal merupakan pengetahuan, kemampuan yang relevan yang harus dipunyai sebelum proses pembelajaran dimulai. Kemampuan awal menunjukkan sejauh mana pemahaman awal peserta didik terhadap materi baru sehingga guru dapat menentukan keluasan dan kedalaman materi yang akan disampaikan. Setiap peserta didik mempunyai kemampuan awal yang tidak sama karena banyak faktor yang menyebabkan kemampuan awal peserta didik tidak sama meskipun materi yang diterima sama. Bodner 1986 mengungkapkan bahwa pembelajaran akan bermakna bila peserta didik dapat menentukan hubungan konsep yang sedang dipelajari dengan konsep yang telah dipelajari sebelumnya. Metode pembelajaran melalui tatap muka antara guru dan siswa adalah metode yang sering dilakukan. Keterbatasan pembelajaran tatap muka adalah tidak cukup waktu untuk membahas semua materi pelajaran. Hal tersebut bisa disebabkan karena adanya libur nasional, kegiatan-kegiatan dari sekolah sehingga pembelajaran dihilangkan. Sehingga materi pembelajaran yang seharusnya diberikan menjadi tidak terlaksana. Jika guru hanya mengandalkan pembelajaran tatap muka menjadi kurang efektif dan efisien dalam menyampaikan materi pelajaran. Siswa sering bosan dengan pembelajaran tatap muka sehingga dibutuhkan variasi-variasi dalam pembelajaran. Pada saat ini beberapa situs jejaring sosial banyak beredar di dunia maya. Namun penggunaan dan manfaatnya beraneka ragam. Kebanyakan siswa memanfaatkan jejaring sosial hanya sekedar untuk berbincang dengan teman-temanya. Salah satu jejaring sosial yang khusus dimanfaatkan untuk pembelajaran adalah Edmodo. Edmodo merupakan jejaring sosial yang dikembangkan khusus untuk siswa dan guru dalam suatu ruangan kelas virtual. Edmodo adalah sebuah website pembejaran yang gratis dan aman yang dirancang oleh Jeff O’Hara dan Nick Borg pada tahun 2008 untuk guru, pelajar, orang tua , sekolah dan daerah. Pada jejaring sosial Edmodo siswa dapat berdiskusi dengan guru, mencari informasi dari referensi yang diberikan guru, mengerjakan latihan soal dan kuis, orang tua dapat juga memantau kegiatan anaknya. Edmodo dapat digunakan dimana saja dan kapan saja yang penting terhubung dengan jaringan internet. Adanya kelebihan edmodo tersebut dapat dimanfaatkan untuk menjadikan pembelajaran menjadi lebih menarik dan dapat mengatasi keterbatasan waktu tatap muka di kelas antara guru dan siswa. Pembelajaran ikatan kimia yang membutuhkan waktu cukup banyak untuk menyampaikan materi di dalamnya. Berdasarkan Permendikbud 2014, materi ikatan kimia memiliki beberapa kompetensi dasar, yaitu 1 membandingkan proses pembentukan ikatan ion, ikatan kovalen, ikatan kovalen koordinasi, dan ikatan logam serta interaksi antar partikel atom, ion, molekul materi dan hubungannya dengan sifat fisik materi; 2 menganalisis kepolaran senyawa; 3 mengolah dan menganalisis perbandingan proses pembentukan ikatan ion, ikatan kovalen, ikatan kovalen koordinasi, dan ikatan logam serta interaksi antar partikel atom, ion, molekul materi dan hubungannya dengan sifat fisik materi; serta 4 merancang, melakukan, dan menyimpulkan serta menyajikan hasil percobaan kepolaran senyawa.. berdasarkan uraian capaian tersebut, untuk memahami ikatan kimia, peserta didik harus memahami struktur atom, komponen-komponen penyususn atom, sifat-sifat unsur pada periodik unsur. Banyaknya konsep dan kuantitas materi yang harus disampaikan dan dipahami siswa dengan baik pada materi ikatan kimia membuat waktu tatap muka yang disediakan di sekolah kurang. Dengan adanya keterbatasan tersebut, maka penggunaan strategi digital learning menggunakan mesia edmodo akan sangat membantu. Menurut Witherspoon 2011, guru dan siswa akan dapat terhubung dan bkerjasama secara virtual menggunakan edmodo baik di dalam maupun di luar kelas. Guru dapat mengirimkan kuis dan tugas, memberikan umpan balik, menerima tugas yang diselesaikan oleh siswa, memberikan penilaian, melalukan jajak pendapat, menyimpan dan membagi materi belajar dalam bentuk file maupun tautan link, maupun mengirimkan pesan atau peringatan kepada seluruh peserta grup belajar. Sistem belajar secara virtual ini dapat diakses di mana saja dan kapan saja, sehingga diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar dan partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran. Penggunaan strategi digitl learning menggunakan Edmodo diharapkan dapat mendorong peserta siswa melakukan analisis dan evaluasi terhadap fakta-fakta ikatan kimia yang ada disekitar peserta didik sehingga partisipasi aktif siswa dan pemahaman konsep siswa meningkat. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan eksperimen semu quasy experiment dengan rancangan non-equivalent control group . Desain penelitiannya dapat digambarkan sebagai berikut Arikunto, 2010: E : O 1 x O 2 C : O 3 O 4 ISBN 978-602-72071-1-0 Keterangan : E : kelas eksperimen C : kelas kontrol X : perlakuan, yaitu pelaksanaan pembelajaran dengan dengan media edmodo O 1 dan O 3 : pretest O 2 dan O 4 : posttest Sasaran penelitian ini adalah satu kelas control dan satu kelas eksperimen yang masing-masing terdiri dari 40 siswa kelas X SMK Farmasi Sekesal Surabaya. Perangkat pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini antara lain silabus dan RPP yang telah divalidasi. Hasil peningkatan pemahaman konsep diukur dengan instrumen tes pada materi ikatan kimia. Instrumen tes untuk mengukur pemahaman konsep terdiri dari 15 butir soal dengan ranah C1-C3. Sedangkan hasil peningkatan partisipasi aktif siswa diukur dengan instrumen angket yang terdiri dari 15 butir pertanyaan. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tes dan angket. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis secara deskriptif kuantitatif. Hasil pre-test dan post-test kemudian dianalisis menggunakan program SPSS 21.0 for Windows. Selain itu, dilakukan uji prasyarat yaitu ujinormalitas dan homogenitas. Uji normalitas menggunakan prosedur One Sample Kolmogorov-Smirnov melalui software PASW statistics 18, dengan kriteia apabila nilai P value α = 0,05 maka Ho diterima, yang berarti data dinyatakan berasal dari populasi terdistribusi normal. Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui kesamaan ragam kedua data yaitu data kelas eksperimen dan data kelas control menggunakan bantuan program SPSS. 16,0 for Windows, yaitu Homogenity Of Variance Test. Dari tampilan tabel Levene’s test of quality of error variances maka dapat diketahui harga F empiric dan F value dengan kriteria : a. Apabila F hitung F table maka Ho diterima, yang berarti harga varian pada masing-masing kelompok adalah homogen Winarsunu, 2006 b. Apabila F value α = 0,05 maka Ho diterima, yang berarti data berasal dari populasi yang memiliki varian yang homogen Uyanto, 2006. Uji hipotesis dilakukan dengan uji T, untuk menyelidiki apakah ada pengaruh pembelajaran menggunakan Edmodo terhadap hasil belajar siswa dan partispasi aktif siswa. Dengan α = 0,05, nilai t tabel sebesar 2,024. Jika nilai t hitung 2,024, maka Ho diterima dan H 1 ditolak, yang berarti tidak ada pengaruh penggunaan Edmodo terhadap hasil belajar dan partisipasi aktif siswa. HASIL DAN PEMBAHASAN Data yang didapatkan dari penelitian ini adalah nilai hasil belajar dan partisipasi aktif siswa dalam pembelajaran yang disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Hasil Belajar dan Partisipasi Aktif Siswa Kelas Hasil Belajar Partisipasi Kontrol 79,1 67,2 Eksperimen 81,78 71,8 Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa rata-rata kelas eksperimen lebih tinggi dibanding kelas kontrol, menunjukkan bahwa penggunaan edmodo pada materi ikatan kimia membantu peserta didik dalam memahami materi ikatan kimia lebih baik sehingga peserta didik memiliki hasil belajar yang lebih baik. Hal ini diperkuat hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahmati dan Utomo yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan motivasi dan prestasi belajar antara peserta didik yang mengikuti pembelajaran kimia menggunakan media Edmodo berbasis kelas online dan peserta didik yang tidak menggunakan media Edmodo berbasis kelas online. Hasil perhitungan uji normalitas dengan α = 0,05 disajikan pada tabel 2. Tabel 2. Hasil Uji Normalitas Hasil Belajar Nilai Signifikansi Kontrol Eksperimen pre test 0.090 0.054 post test 0.085 0.086 Berdasarkan table tersebut, nilai signifikansi lebih besar dari 0,05, maka data berdistribusi normal. Uji homogenitas didapatkan nilai signifikansi F hitung sebesar 0,693, yang menunjukkan data bersifat homogen. Uji hipotesis dengan uji t didapatkan hasil yang disajikan pada tabel 3. Tabel 3. Hasil Uji t Variabel Nilai t Hasil belajar 8,134 Partisipasi aktif 7,985 Nilai t hitung lebih besar dari 2,024, yang menunjukkan pembelajaran menggunakan edmodo memiliki pengaruh yang positif terhadap hasil belajar maupun partisipasi aktif siswa di dalam kelas. Pada penelitian ini meningkatnya hasil belajar peserta didik yang diajar dengan pembelajaran menggunakan edmod, dikarenakan siswa mempunyai daya tarik tersendiri terhadap edmodo. Komunikasi peserta didik dengan guru bisa dilakukan di luar jam pelajaran. Guru dapat memberikan materi pelajaran, latihan soal, pemberian tugas dan soal evaluasi di luar jam pelajaran. Penggunaan waktu di luar jam pelajaran membuat siswa lebih termotivasi dalam berpikir karena dapat dilakukan dimana saja dalam keadaan rileks. Hal tersebut juga didukung penelitian yang dilakukan Council pada tahun 2007 yang mengungkapkan bahwa 69 pelajar diseluruh dunia mengatakan bahwa mereka belajar lebih efektif kalau bersosialisasi secara informal, dan pelajar yang mempunyai jaringan sosial yang kuat mempunyai performansi yang baik secara akademik. Selain itu, jejaring sosial online adalah alat komunikasi yang baik untuk membangun pengetahuan berdasarkan relasi sosial, percakapan, kerjasama dan berbagi pekerjaan C. G. Arroyo,2011. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan strategi digital learning menggunakan edmodo berpengaruh positif ISBN 978-602-72071-1-0 terhadap pastisipasi aktif dan hasil belajar siswa, dengan t hitung masing-masing sebesar 7,985 dan 8,134. Saran Berdasarkan hasil pembahasan dan simpulan, saran yang dapat disampaikan adalah perlu diteliti lebih lanjut keefektifan Edmodo dalam berbagai hal, misalnya kefektifan dalam meningkatkan motivasi dalam belajar, efektifitas dalam belajar kelompok antara kelas yang diajar dengan menggunakan Edmodo dan kelas nyata. DAFTAR PUSTAKA Antonius Aditya Hartanto dan Onno W. Purbo. 2002. E-Learning berbasis PHP dan MySQL . Jakarta: Elex Media Komputindo. Ariyawan Agung Nugroho. 2011. Pemanfaatan E- Learning Sebagai Salah Satu Bentuk Penerapan TIK Dalam Proses Pembelajaran. Artikel. Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Arikunto, S. 2010. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Arroyo, C. G., Innovative ways towards the boost of collaborative language learning. http:On-Line social Networks.com Bodner, G. M., Hunter, W., Lamba, R. S. 1998. What Happens When Discovery Labs are Integrated into the Curriculum at a Large Research University?. The Chemical Educator, Online, Vol. 3 , No. 3, http:chemed.chem.purdue.educhemedbodnerg rouppdf45_Lamba.pdf, diakses 10 Juli 2013. Dalton, A., 2009, Teaching and learning through social networks , http:www.teachingenglish.org.ukprint5411 Deni Darmawan. 2012, Inovasi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,. Johnson, M. A., Lawson, A. E. 1998. What Are the Relative Effects of Reasoning Ability and Prior Knowledge on Biology Achievement in Expository and Inquiry Classes?. Journal of Research in Science Teaching , Online, http:www.ode.state.or.usteachlearnsubjectssc iencecurriculumedresourcesexploringtab4jand lpaperjournalofrst.pdf, diakses 10 Juli 2015. Lipsett, A., 2008, A third of teachers struggle with technology . http:guardian.co.ukeducation2008jan2008sc hools.uk. Mulyasa. 2011. Manajemen Pendidikan karakter. Jakarta: Bumi Aksara,. Siahaan, S. 2004. E-learning Pembelajaran Elektronik Sebagai Salah Satu Alternatif Pembelajaran , http:www.depdiknas.go.idJurnal42 sudirman.htm 3 November 2014 Sudjana. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar , Jakarta: Rineka Cipta. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Administrasi, edisi revisi . Bandung: Alfabeta. Sujianto, A. E. 2009. Aplikasi Statistik dengan SPSS 16.0 . Jakarta: Prestasi Pustaka. Sujianto, A. E. 2010. Aplikasi Statistik dengan SPSS 16.0 . Jakarta: Prestasi Pustaka. Reddy, V.Venugopal and Manjulika ,S. 2002. From Face-to-Face to Virtual Tutoring: Exploring the Potentials of E-Learning Support. Indira Gandhi National Open University , http:press.edmodo.com Witherspoon, A. 2011. Edmodo A learning Management System . http:www.plugintotechnology.com201101ed modo a-learning-management-system.html. ISBN 978-602-72071-1-0 PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS KERANGKA BERPIKIR MORE MODEL, OBSERVE, REFLECT, EXPLAIN UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA POKOK BAHASAN LARUTAN ELEKTROLIT DAN NONELEKTROLIT Wahyu Suhari 1 Suyatno 2 1 Pendidikan Sains Program Pascasarjana Unesa 2 Dosen Universitas Negeri Surabaya E-mail: harrysuwahyugmail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kelayakan perangkat pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE Model, Observe, Reflect, Explain yang dikembangkan untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada pokok bahasan larutan elektrolit dan nonelektrolit. Pengembangan perangkat pembelajaran menggunakan model 4-D dengan rancangan penelitian one group pretest-postest design. Sampel dalam penelitian ini adalah 15 orang siswa kelas X IPA 1 SMAN Bontang Tahun Pelajaran 20152016. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah validasi, observasi, tes, dan angket. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1 validitas RPP, Buku Siswa, Lembar Kerja Siswa, dan Tes Hasil Belajar berkategori valid; 2 tingkat keterbacaan Buku Siswa dan Lembar Kerja Siswa berkategori baik; 3 keterlaksanaan RPP berkategori baik; 4 aktivitas siswa dalam pembelajaran berpusat pada siswa; 5 mayoritas respon siswa positif terhadap pembelajaran; 6 seluruh siswa mencapai kriteria ketuntasan hasil belajar aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE yang dikembangkan layak digunakan dalam proses pembelajaran.  Kata Kunci: perangkat pembelajaran, kerangka berpikir MORE, hasil belajar. ABSTRACT The purpose of this research to describe the feasibility of teaching materials based on MORE thinking frame to improve student learning achievement on the topic of electrolyte and nonelectrolytes solution. The development of teaching materials used four D Models with research design was one group pretest-postest design. Sample used in this research were 15 students of grade XI IPA 1 SMAN 3 Bontang academic year of 20152016. The technique of data collection in this research were validation, observation, test, and questionnaire. The results showed that: 1 the validity of the lesson plans, student book, worksheet, and learning achievemnt test were valid; 2 the readability level of student book and worksheet were good category; 3 learning performance were good category; 4 the students activities refers to student-centered learning; 5 majority of students gave positive response to learning process; 6 all of the students achieved learning completeness criteria on aspect of knowledge, attitudes, and skills. Based on these results could be concluded that the teaching materials based on MORE thinking frame was feasible to use in learning process. Keywords: teaching materials, MORE thinking frame, learning achievement PENDAHULUAN Pendidikan merupakan salah satu bentuk perwujudan kehidupan manusia yang dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu, perubahan atau perkembangan pendidikan yang berkaitan dengan Kurikulum di sekolah sudah selayaknya dilakukan guna memberikan pembaharuan ke arah pencapaian tujuan pendidikan yang lebih baik. Penerapan Kurikulum 2013 merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mewujudkan cita-cita pendidikan nasional. Kurikulum 2013 lebih menekankan pada pembelajaran kontruktivistik di mana: 1 siswa sebagai subjek belajar; 2 siswa diminta untuk selalu bernalar dalam belajar dengan tuntutan berpikir tingkat tinggi higher order thinking; dan 3 pembelajaran yang dikembangkan oleh guru adalah pembelajaran yang bermakna Kemendikbud, 2013. Untuk memenuhi tuntutan di atas, ada banyak hal yang dapat dilakukan oleh guru, dimulai dari merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran dan mengevaluasi pembelajaran. Upaya guru dalam mengatur dan memberdayakan berbagai variabel pembelajaran, merupakan bagian penting dalam keberhasilan siswa mencapai tujuan yang direncanakan. Karena itu, pemilihan model, strategi, pendekatan, dan metode pembelajaran yang cocok dengan kemampuan berpikir siswa dan materi yang diajarkan sangat berguna dalam menciptakan iklim pembelajaran yang bermakna Amri, 2013. Larutan elektrolit dan nonelektrolit merupakan salah satu bahasan dalam ilmu kimia yang di dalamnya terdapat konsep-konsep abstrak yang sulit untuk dipahami oleh siswa, terutama mengenai teori ion Svante Arrhenius tentang pergerakan ion-ion dari penguraian larutan elektrolit sehingga dapat menghantarkan arus listrik. Disamping konsep lainnya, seperti konsep elektrolit senyawa ion dan senyawa kovalen dan perbedaan elektrolit lemah dan elektrolit kuat Tresnawati dan Dwiyanti, 2013. Hal ini menyebabkan siswa masih mengalami kesulitan dalam memahami konsep larutan elektrolit dan nonelektrolit, sehingga berdampak pada rendahnya hasil belajar siswa pada pokok bahasan tersebut. Kesulitan siswa dalam memahami konsep, dikarenakan guru tidak mengaitkan konsep larutan elektrolit dan nonelektrolit pada ketiga level representasi makroskopik, mikroskopik, dan simbolik dalam proses pembelajaran. Sebagian besar guru hanya menekankan pembelajaran konsep pada level makroskopik, sedangkan pada level mikroskopik tidak dikembangkan dengan baik, akibatnya siswa hanya secara parsial memahami konsep yang diajarkan Robinson, 2003. Pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE Model, Observe, Reflect, Explain merupakan salah satu pilihan yang dapat digunakan oleh guru untuk mengajarkan konsep larutan elektrolit dan nonelektrolit. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Culsum, dkk. 2013, pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE merupakan salah satu model pembelajaran yang cocok diajarkan pada pokok bahasan yang di dalamnya menuntut siswa untuk melakukan penyelidikan eksperimen. Selain itu, pokok bahasan larutan elektrolit dan nonelektrolit banyak melibatkan perilaku partikel atom, ion, molekul dan proses-proses kimia dalam penjabarannya. Selain sesuai dengan karakteristik materi ajar, pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE cocok diterapkan dalam kurikulum 2013. Hal ini dikarenakan pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE memiliki karakteristik pembelajaran yang diharapkan dalam kurikulum 2013, yaitu: 1 pembelajaran berpusat pada siswa student centered; 2 adanya pendekatan saintifik dalam pembelajarannya; dan 3 siswa dituntut untuk berpikir tingkat tinggi dalam belajar. PEMBAHASAN Perangkat pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE yang telah disusun oleh peneliti divalidasi oleh para ahli validator. Perangkat yang telah divalidasi kemudian direvisi dan hasilnya diimplementasikan dalam uji coba terbatas terhadap 15 siswa kelas X IPA 1 SMAN 3. Hasil Validasi Berdasarkan model pengembangan 4-D, rancangan perangkat pembelajaran yang terdiri atas RPP, Buku Siswa, LKS, dan Tes Hasil Belajar yang telah disusun, divalidasi oleh para ahli yang berkompeten untuk menyempurnakan perangkat pembelajaran yang telah disusun. Hasil validasi RPP, Buku Siswa, LKS, dan Tes Hasil Belajar disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Hasil Validasi Perangkat Skor Kategori RPP 3,8 Valid Buku Siswa 3,75 Valid LKS 3,81 Valid Tes Hasil Belajar 3,75 Valid Tabel di atas menunjukkan bahwa perangkat yang dikembangkan sudah layak digunakan dalam pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE. Keterlaksanaan RPP Penyusunan dan Keterlaksanaan RPP merupakan bagian penting dalam keberhasilan siswa mencapai tujuan pembelajaran yang direncanakan maupun keberhasilan guru dalam menerapkan tahap- tahap pembelajaran. Keterlaksanaan RPP diukur dengan menggunakan lembar pengamatan yang diisi oleh dua orang pengamat selama pembelajaran berlangsung. Hasil Penilaian disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Keterlaksanaan RPP Aspek yang dinilai Skor Kategori Pendahuluan 3,69 Baik Inti 3,4 Baik Aspek yang dinilai Skor Kategori Penutup 3,58 Baik Pengelolaan Kelas 3,29 Baik Tabel di atas menunjukkan bahwa guru berhasil melaksanakan langkah-langkah kegiatan pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE dengan baik. Aktivitas Siswa Aktivitas siswa merupakan faktor yang sangat penting dalam proses belajar mengajar kimia terutama di bawah naungan teori Piaget, Vgostsky, dan Bruner yang mewakili konstruktivisme. Diagram aktivitas siswa dalam pembelajaran MORE disajikan dalam Gambar 1. Gambar 1. Aktivitas siswa Gambar 1. Aktivitas Siswa Berdasarkan diagram di atas, pembelajaran MORE melibatkan siswa secara aktif student centered dalam pembelajaran MORE . Respon Siswa Respon siswa terhadap pembelajaran sangat mempengaruhi proses hasil belajar siswa. Apabila siswa tidak memberikan respon yang baik terhadap pembelajaran, maka tidak dapat diharapkan akan berhasil dengan baik mempelajari suatu konsep. Sebaliknya, apabila siswa merespon dengan baik suatu pembelajaran, maka diharapkan hasilnya akan menjadi lebih baik. Sehingga efektivitas pembelajaran dapat diukur dengan melihat respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran. Gambar 2. Respon Siswa Berdasarkan Gambar 2, dapat dinyatakan bahwa siswa memberikan respon yang positif terhadap perangkat maupun kegiatan pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE. Hasil Belajar Penilaian hasil belajar siswa mengacu pada Permendikbud No. 104 Tahun 2014, yang menyatakan bahwa penilaian hasil belajar merupakan proses pengumpulan informasibukti tentang capaian pembelajaran siswa dalam aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dilakukan secara terencana dan sistematis selama dan setelah proses pembelajaran. Adapun nilai hasil belajar untuk aspek pengetahuan disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Nilai Hasil Belajar Aspek Pengetahuan Sesuai Permendikbud No.104, nilai ketuntasan hasil belajar minimal untuk aspek pengetahuan ditetapkan sebesar 2,67. Tabel 3 menunjukkan bahwa tidak ada siswa yang mencapai nilai tuntas pada saat pretest, karena semua siswa memperoleh nilai tes kurang dari 2,67. Akan tetapi pada saat postest semua siswa memperoleh nilai tes lebih dari 2,67 yang berarti semua siswa telah mencapai nilai tuntas untuk hasil belajar aspek pengetahuan. Pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE efektif dalam meningkatkan hasil belajar siswa, dikarenakan tahapan-tahapan yang ditawarkan dalam kegiatan pembelajaran disesuaikan dengan taraf perkembangan kognitif siswa yaitu tahap operasional formal, suatu tahap dimana siswa sudah dapat berpikir secara abstraksimbolik dan menyelesaikan masalah dengan menggunakan eksperimen. Menurut Piaget, pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan dengan menyesuaikan kemampuan dan karakteristik siswa akan menjadi lebih bermakna Slavin, 2008. Pembelajaran yang bermakna bagi siswa berdampak positif terhadap kemajuan belajar. Sejalan dengan teori Piaget, Vygotsky menyatakan bahwa suatu pembelajaran dapat terlaksana dengan baik apabila siswa bekerja atau belajar menangani tugas-tugas atau masalah kompleks yang masih berada pada jangkauan kognitif siswa atau tugas-tugas tersebut berada pada daerah perkembangan terdekatnya zone of proximal develepment . Dalam pembelajaran guru semestinya menyajikan permasalahan-permasalahan untuk diselesaikan oleh siswa yang berada di antara kemampuan aktual dan kemampuan potensial siswa Yohanes, 2010. Pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE merupakan salah satu alternatif model yang cocok diterapkan dalam rangka menciptkan pembelajaran yang baik. Menurut Pienta, et al. 2009, Pembelajaran MORE terdiri dari empat tahap yaitu tahap model, observe, reflect, dan explain. Tahap model merupakan suata tahapan dalam pembelajaran MORE dimana siswa dituntut untuk membuat model awal mengenai sistem kimia yang diselidiki. Dalam merumuskan model awal, siswa didorong untuk menggunakan deskripsi di tingkat makroskopik apa yang diamati dengan mata telanjang dan mikroskopik dalam kata-kata atau gambar. Tahap model sejalan dengan teori dua kode karena melibatkan representasi makroskipik dan mikroskopik dalam pendeskripsiannya. Menurut teori dua kode, siswa menggunakan secara bersamaan kode-kode visual dan kode-kode verbal untuk merepresentasikan sebuah informasi Sternberg, 2008. Adanya bimbingan dan arahan teman yang lebih kompeten dalam satu kelompok pada tahap model sesuai dengan teori Vygotsky yang menyatakan bahwa adanya bimbingan dari teman sebaya yang lebih kompeten scaffolding dapat membantu siswa untuk mencapai daerah perkembangan terdekatnya. Tahap selanjutnya dalam pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE yaitu tahap observe, suatu tahap dimana siswa membuktikan kebenaran model awal yang dibuat dengan melakukan eksperimen. Kegiatan eksperimen yang dilakukan pada tahap observe merupakan salah satu bentuk pengumpulan informasi melalui representasi makroskopik. Selain itu, pada tahap observe siswa saling bekerjasama antara anggota dalam satu kelompok dalam rangka menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Berdasarkan hal tersebut dapat dinyatakan bahwa tahap observe sesuai dengan teori Bruner, Piaget, Vygotsky, dan dua kode. Tahap reflect merupakan tahap dimana siswa dituntut untuk melakukan refleksi terhadap model awal yang telah dibuat. Pada tahap ini siswa didorong untuk memperbaiki model awal berdasarkan bukti eksprimen serta membandingkannya dengan model akhir yang dibuat. Tahap reflect sejalan dengan teori dua kode, Piaget, dan Vygotsky. Tahap selanjutnya dalam pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE adalah tahap explain. Pada tahap ini, siswa diminta untuk menjelaskan model akhir pemahamannya tentang sistem kimia yang diselidiki dengan bahasa yang komunikatif Pienta, et al., 2009. Penyajian model akhir pemahaman siswa mengenai konsep larutan elektrolit dan nonelektrolit di depan kelas memungkinkan terjadinya interaksi antara siswa dengan siswa maupun siswa dengan guru. Hal ini sejalan dengan teori Vygotsky, yang menyatakan bahwa adanya interaksi dapat membantu siswa memahami sebuah konsep. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dijelaskan bahwa pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE efektif diterapkan dalam pembelajaran kimia karena sesuai dengan tuntutan pembelajaran konstruktivistik yang diajukan dalam kurikulum 2013. Keefektifan pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE terhadap pembelajaran kimia didukung oleh penelitian yang telah dilakukan oleh Culsum, dkk. 2013, Rickey, et al. 2009, Tien, et al. 2007, dan Blair, et al. 2012 yang menemukan bahwa melalui pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE siswa dapat memaksimalkan perilaku belajarnya di dalam pembelajaran kimia dikarenakan siswa dituntut untuk dapat menghubungkan pengamatan di tingkat makroskopik dan molekuler serta merevisi ide-ide mengenai konsep kimia berdasarkan bukti eksperimen. Sementara itu, ketuntasan hasil belajar untuk aspek sikap berdasarkan Permendikbud No.104 Tahun 2014 ditentukan dengan nilai modus sebesar 3,00 dengan predikat Baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua siswa telah mencapai ketuntasan hasil belajar untuk aspek sikap karena memperoleh nilai akhir sikap di rentang 3,00 – 4,00. Penilaian untuk aspek keterampilan dilakukan dengan pengamatan seperti halnya penilaian aspek sikap. Penilaian keterampilan dilakukan dengan cara mengamati kegiatan siswa pada saat melakukan tahap observe pada pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE. Nilai akhir untuk aspek keterampilan berdasarkan Permendikbud No.104 Tahun 2014 ditentukan dengan capaian optimal. Nilai ketuntasan untuk aspek keterampilan ditentukan dengan capaian optimum sebesar 2,67. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai hasil belajar siswa untuk aspek keterampilan berada dalam capaian optimum 2,67. Hal ini berarti semua siswa mencapai ketuntasan hasil belajar untuk aspek keterampilan. PENUTUP Simpulan Perangkat pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE yang dikembangkan layak digunakan dalam proses pembelajaran. Saran 1. Pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE dalam mengajarkan konsep larutan elektrolit dan nonelektrolit memerlukan pengaturan waktu yang efektif dan efisien agar dapat terlaksana sesuai dengan sintaks model pembelajaran tersebut. 2. Penggunaan model pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE hendaknya disesuaikan dengan karakteristik materi kimia yang dipelajari agar tujuan pembelajaran yang direncankan dalam pembelajaran dapat tercapai. 3. Pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE melibatkan kegiatan eksperimen di dalam tahapan pembelajarannya, untuk itu diperlukan alat dan bahan percobaan yang memadai sehingga pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE berlangsung efektif. DAFTAR PUSTAKA Amri, S. 2013. Pengembangan dan Model Pembelajaran dalam Kurikulum 2013 . Jakarta : Prestasi Pustakaraya. Culsum, U., Farida, I. Helsy, I. 2013. “Kemampuan Siswa Menghubungkan Tiga Level Representasi Melalui Model MORE model, Observe, Reflect dan Explain ”. Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 . Tanggal 3-4 Juli 2013. Bandung. Kemendikbud. 2013. Permen No.65 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta. Kemendikbud. 2014. Permen No. 104 tentang Penilaian Hasil Belajar Oleh Pendidik pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.Tresnawati, R. Dwiyanti, G. 2013. “Pengembangan Prosedur Praktikum Kimia SMA Pada Topik Larutan Elektrolit dan Nonelektrolit”. Jurnal Riset dan Praktik Pendidikan Kimia. 1 1, 37-43. Pienta, J.N., Cooper, M.M., Greenbowe, J.T. 2009. Chemist Guide to Effective Teaching. New Jersey : Pearson Education Inc. Robinson, W.R. 2003. Chemistry Problem Solving: Symbol, Macro, Micro, and Process Aspects. Journal of Chemical Education . 80 9, 978. Slavin, E.R. 2006. Educational Psychology Theory and Practice. Eighth Edition. Boston : Pearson. Sternberg, J.R. 2008. Psikologi Kognitif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Yohanes, S.R. 2010. “Teori Vygotsky dan Implikasinya dalam Pembelajaran Matematika”. Jurnal Ilmiah Widya Warta. 2, 127-135. ISBN 978-602-72071-1-0 PENGARUH KREATIVITAS TERHADAP HASIL BELAJAR MAHASISWA DALAM PEMBELAJARAN BENTUK MOLEKUL MENGGUNAKAN MEDIA BUATAN DAN MOLYMOD Faderina Komisia Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Unwira Kupang, NTT E-mail: federinakomisiagmail.com ABSTRAK Tujuan penelitian ini untuk 1 Mengetahui hubungan antara kreativitas terhadap hasil belajar mahasiswa dalam pembelajaran bentuk molekul menggunakan media buatan dan molymod. 2 Mengetahui ada tidaknya pengaruh antara kreativitas terhadap hasil belajar mahasiswa dalam pembelajaran bentuk molekul menggunakan media buatan dan molymod. 3 Mengetahui besarnya pengaruh kreativitas terhadap hasil belajar mahasiswa dalam pembelajaran bentuk molekul menggunakan media buatan dan molymod. Sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa semester 3 tiga Program Studi Pendidikan Kimia Universitas Katolik Widya Mandira Kupang tahun ajaran 20152016 yang berjumlah 20 dua puluh orang. Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar tes hasil belajar dan lembar angket kreativitas mahasiswa. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu rancangan penelitian One-Shot Case Study. Teknik analisis data dianalisis dengan menggunakan program SPSS 16 dengan melakukan uji regresi linear sederhana pada taraf signifikansi 5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1 Hubungan antara kreativitas mahasiswa dengan hasil belajar dalam pembelajaran bentuk molekul dengan menggunakan media buatan dan molymod memiliki hubungan yang kuat dengan nilai R= 0,652. 2 Ada pengaruh kreativitas terhadap hasil belajar mahasiswa dalam pembelajaran bentuk molekul menggunakan media buatan dan molymod dengan nilai t hitung t tabel 3,652 2,101. 3 Besarnya pengaruh kreativitas terhadap hasil belajar mahasiswa dalam pembelajaran bentuk molekul menggunakan media buatan dan molymod sebesar 42,6. Kata Kunci: Hasil Belajar Mahasiswa, Kreativitas Mahasiswa, Media Buatan, dan Media Molymod. ABSTRACT The purpose of this research was to 1 Know the relationship between the creativity of the student results in learning the form of the molecule using artificial media and molymod . 2 Determine whether there is influence between the creativity of the student results in learning the form of the molecule using artificial media and molymod . 3 Knowing the influence of creativity to the learning outcomes of students in learning the form of the molecule using artificial media and molymod . The sample in this study is the semester students three 3 of hemical Education Program Widya Mandira Catholic University Kupang academic year 20152016 , amounting to 20 twenty people . Data collection instruments used in this study is the achievement test sheet and questionnaire sheet student creativity. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu rancangan penelitian One-Shot Case Study. Data analysis techniques were analyzed using SPSS 16 by performing a simple linear regression test at a significance level of 5 . The results showed that 1 The relationship between the creativity of students with learning outcomes in learning molecular form by using artificial media and molymod have a strong relationship with the value of R = 0.652 . 2 There is an effect on the results of students creativity in teaching molecular form using artificial media and molymod with tcount t table 3.652 2.101 . 3 The amount of influence on the results of students creativity in teaching molecular form using artificial media and molymod of 42.6 . Keywords : Results of Student Learning , Student Creativity , Media Made and Media Molymod ISBN 978-602-72071-1-0 PENDAHULUAN Kimia merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam yang sering dikatakan sebagai mata pelajaran yang sukar untuk dimengerti dan dipelajari, sehingga untuk memberikan pemahaman konsep maka harus diberikan suatu cara pembelajaran yang tepat terhadap peserta didik. Peserta didik kurang tertarik untuk mempelajari kimia khusunya pada materi bentuk molekul, karena dalam mempelajarinya lebih menekankan konsep-konsep kimia dari pada fakta-fakta kimia, maka tidaklah heran jika pembelajaran kimia banyak diberikan dalam bentuk hafalan. Cara pengajaran yang monoton akan membuat peserta didik pasif dalam belajar, mereka akan menganggap bahwa belajar hanya rutinitas sehari-hari. Karakteristik materi bentuk molekul ialah bersifat abstrak serta gabungan antara pemahaman konsep dan aplikasi. Ketika mempelajari bentuk molekul seperti tetrahedral, trigonal bipiramida, oktahedral, dan lain- lain yang digambarkan dalam bidang dua dimensi, maka bentuknya masih abstrak dan sulit untuk dibayangkan. Sebagai contoh, jika rumus tipe molekul adalah AB 2 maka bentuk molekulnya adalah linear, jika notasinya AB 3 maka bentuk molekulnya adalah segitiga datar. Dalam suatu proses belajar mengajar, dua unsur yang penting adalah metode mengajar dan media pembelajaran. Salah satu fungsi utama media pembelajaran adalah sebagai alat bantu mengajar yang turut mempengaruhi iklim, kondisi, dan lingkungan belajar yang ditata dan diciptakan oleh guru. Ibrahim dan Syaodih 2003:112 menyatakan bahwa media pengajaran diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk menyalurkan pesan atau isi pelajaran, merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan siswa, sehingga dapat mendorong kegiatan belajar mengajar. Media atau alat yang tepat untuk diterapkan dalam proses pembelajaran akan menjadikan siswa lebih aktif dalam belajar. Sejauh ini masih banyak guru yang menggunakan media papan tulis dalam pembelajaran yang biasanya akan membuat peserta didik merasa bosan dan jenuh. Dengan demikian peserta didik bersikap pasif dan tidak konsentrasi sehingga keberhasilan kegiatan belajar mengajar tidak akan tercapai sesuai harapan pendidik. Guru sebagai fasilitator dalam kegiatan pembelajaran sudah seharusnyalah dapat menciptakan atau menggunakan media yang sudah ada. Media buatan dan molymod juga dapat digunakan pada materi bentuk molekul. Penggunaan media buatan dan molymod ini dalam pembelajaran kimia dapat memberikan peserta didik penjelasan yang lebih mendalam karena pada proses pembelajarannya peserta didik dibantu dengan media, sehingga peserta didik akan terampil menggunakan daya imajinasi serta kreativitasnya untuk menggunakan media buatan dan molymod. Pada proses pencapaian prestasi belajar yang baik, diperlukan juga suatu latihan dan ulangan terhadap suatu pelajaran tertentu. Dengan pembelajaran menggunakan media buatan dan mollymood, kreativitas peserta didik dapat terbentuk, hal ini disebabkan karena seringnya peserta didik berlatih akan menjadikan ia semakin menguasai Kreativitas dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan belajar. Namun sebenarnya setiap orang adalah kreatif. Untuk mendapatkan orang yang demikian perlu adanya latihan dan bimbingan dari orang tua, dan pendidik. Menurut Suharnan 2005:375, kreativitas tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang memang pekerjaannya menuntut pemikiran kreatif sebagai suatu profesi, tetapi juga dapat dilakukan oleh orang- orang biasa di dalam menyelesaikan tugas-tugas dan mengatasi masalah. Kreativitas juga merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata. Mengingat pentingnya kreativitas belajar siswa, maka dalam kegiatan belajar mengajar hendaknya lebih banyak melibatkan peserta didik. Sedangkan peserta didik itu sendiri hendaknya dapat memotivasi dirinya sendiri untuk ikut kreatif dalam kegiatan belajar mengajar. Prestasi belajar merupakan cerminan dari usaha belajar, semakin baik usaha belajarnya, maka semakin baik pula prestasi yang diraih. Peserta didik diharapkan memiliki kreativitas yang berpengaruh terhadap hasil belajar peserta didik tersebut. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Kreativitas terhadap Hasil Belajar Mahasiswa dalam Pembelajaran Bentuk Molekul Menggunakan Media Buatan dan Molymod .” METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental. Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar tes hasil belajar dan lembar angket kreativitas mahasiswa. Sampel dalam penelitian adalah mahasiswa semester 3 tiga Program Studi Pendidikan Kimia Universitas Katolik Widya Mandira Kupang tahun ajaran 20152016 yang berjumlah 20 dua puluh orang. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September, semester ganjil tahun ajaran 20152016. Penelitian ini dilaksanakan di Program Studi Pendidikan Kimia Universitas Katolik Widya Mandira Kupang. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian One-Shot Case Study dengan pola sebagai berikut: Dalam penelitian ini yang merupakan variabel bebas independen adalah kreativitas X O ISBN 978-602-72071-1-0 mahasiswa dalam dan variabel terikat dependen adalah hasil belajar. Teknik analisis data dianalisis dengan menggunakan program SPSS 16 dengan melakukan uji regresi linear sederhana pada taraf signifikansi 5. Sebelum dilakukan pengujian hipotesis dengan uji regresi linear sederhana, maka dilakukan uji normalitas data yang bertujuan untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak. Untuk pengujian normalitas data dilakukan dengan metode uji One Sample Kolmogorov Smirnov. HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil penelitian terdiri atas: 1 Kreativitas mahasiswa setelah mengikuti pembelajaran kimia menggunakan media buatan dan molymod , 2 Hasil belajar mahasiswa setelah mengikuti pembelajaran kimia menggunakan media buatan dan molymod. Dari data yang diperoleh maka selanjutnya dilakukan analisis data untuk menguji hipotesis penelitian. 1. Hubungan antara Kreativitas dengan Hasil Belajar Mahasiswa Berdasarkan hasil analisis, maka nilai R dapat dilihat pada tabel di bawah ini Tabel 1. Nilai Korelasi Sederhana R Model Summary b Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate 1 .652 a .426 .394 2.32910 a. Predictors: Constant, KREATIVITAS MAHASISWA b. Dependent Variable: HASIL BELAJAR Berdasarkan tabel 1 di atas, maka diperoleh nilai R= 0,652 yang artinya korelasi antara variabel kreativitas mahasiswa dengan hasil belajar sebesar 0,652. Hal ini berarti terjadi hubungan yang kuat antara kreativitas mahasiswa dengan hasil belajar dalam pembelajaran bemtuk molekul dengan menggunakan media buatan dan molymod. Dalam mencapai hasil belajar yang diharapkan dan terbentuknya kreatifitas mahasiswa, maka media yang digunakan adalah media yang diciptakan untuk mendukung tercapainya tujuan yang diharapkan. Media buatan dan media molymod adalah media yang tepat digunakan pada materi bentuk molekul dalam proses terbentuknya ikatan kimia. Pembelajaran bentuk molekul dengan menggunakan media buatan dan molymod ini berpotensi untuk membentuk atau menumbuhkan kreativitas mahasiswa dalam merangkai bentuk- bentuk molekul misalnya H 2 O, SF 6 dan PCl 5 sehingga mahasiswa mampu menyerap atau memahami materi yang telah diajarkan, maka kreativitas memiliki hubungan yang kuat dengan hasil belajar.

2. Pengaruh Kreativitas terhadap Hasil Belajar

Mahasiswa Berdasarkan hasil analisis, maka nilai t hitung dapat dilihat pada tabel di bawah ini Berdasarkan tabel 2 di atas, maka untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh kreativitas terhadap hasil belajar mahasiswa dalam pembelajaran bentuk molekul menggunakan media buatan dan molymod, dapat dilihat dari persamaan: = 42,242 + 0,419X. Kemudian persamaan tersebut diuji signifikansinya, maka diperoleh t hitung = 3,652 dan t tabel = 2,101 dengan dk = 18 pada taraf signifikan 5, karena t hitung t tabel , maka Ho ditolak dan Ha diterima, yang artinya bahwa ada pengaruh kreativitas terhadap hasil belajar mahasiswa dalam pembelajaran bentuk molekul menggunakan media buatan dan molymod. Berdasarkan analisis uji regresi linear sederhana menunjukkan bahwa kreativitas dalam pembelajaran bentuk molekul menggunakan media buatan dan molymod memiliki pengaruh terhadap hasil belajar mahasiswa. Hal ini dikarenakan penggunaan media pembelajaran yaitu media buatan dan molymod. Penggunaan media molymod ini dalam pembelajaran kimia dapat memberikan mahasiswa penjelasan yang lebih mendalam karena pada proses pembelajarannya mahasiswa dilatih untuk merangkai bentuk- bentuk molekul sehingga siswa akan terampil menggunakan daya imajinasi serta kreativitasnya untuk menggunakan media molymod, sehingga membuat mahasiswa semangat dalam belajar dan memiliki banyak gagasan atau pertanyaan dalam pemikirannya yang dapat melatih dan menumbuhkan serta mengembangkan kreativitasnya dalam merangkai bentuk- bentuk molekul, contohnya dalam merangkai bentuk molekul H 2 O, PCl 5 , SF 6 dan CO 2 , sehinggga mereka semakin kreatif dalam menciptakan ide- ide baru yaitu merangkai bentuk- bentuk molekul di dalam proses pembelajaran Tabel 2. Nilai t hitumg Coefficients a Model Unstandardized Coefficients Standa rdized Coeffi cients t Sig. B Std. Error Beta 1 Constant 42.242 9.805 4.308 .000 KREATI VITAS MAHASI SWA .419 .115 .652 3.652 .002 a. Dependent Variable: HASIL BELAJAR ISBN 978-602-72071-1-0 dikelas. Pada proses pencapaian prestasi belajar yang baik, diperlukan juga suatu latihan dan ulangan terhadap suatu pelajaran tertentu. Dengan pembelajaran menggunakan media buatan dan mollymood , kreativitas mahasiswa dapat terbentuk, hal ini disebabkan karena seringnya peserta didik berlatih, sehingga menjadikan mereka semakin menguasai pelajaran tersebut. Dengan demikian, hasil belajar mahasiswa juga akan semakin baik. Hal ini berarti, kreativitas memiliki pengaruh terhadap hasil belajar mahasiswa dalam pembelajaran bentuk molekul menggunakan media buatan dan molymod. Amabile dalam Munandar, 1999 mengatakan bahwa kreativitas berkenaan dengan kualitas produk atau penilaian dan respon bersifat kreatif melalui sejumlah pengamatan yang dilakukan oleh orang yang tepat. Kreatif juga melibatkan proses yang dianggap mengandung nilai- nilai kreatif. Definisi ini mengarahkan kreativitas sebagai hal yang menghasilkan ide yang baru oleh individu atau kelompok kecil. Berdasarkan penelitian Ashadi 2011 yang menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh kreativitas siswa terhadap prestasi belajar pada materi pokok Ikatan Kovalen, kreativitas siswa memberikan pengaruh yang sama pada kelompok siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran STAD dengan media Macromedia Flash Player maupun molymod , yaitu siswa dengan kreativitas tinggi akan memiliki prestasi belajar yang lebih baik.

3. Besarnya Pengaruh Kreativitas terhadap

Hasil Belajar Mahasiswa Berdasarkan hasil analisis, maka nilai R 2 dapat dilihat pada tabel di bawah ini Tabel 3. Nilai Koefisien Determinasi R 2 Model Summary b Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate 1 .652 a .426 .394 2.32910 a. Predictors: Constant, KREATIVITAS MAHASISWA b. Dependent Variable: HASIL BELAJAR Selanjutnya, untuk mengetahui besarnya pengaruh kreativitas variabel bebas terhadap hasil belajar mahasiswa variabel terikat maka dihitung nilai koefisien determinasi dan didapat nilai koefisien determinasi R 2 sebesar 42,6. Hal ini menunjukan bahwa besarnya pengaruh kreativitas terhadap hasil belajar mahasiswa dalam pembelajaran bentuk molekul menggunakan media buatan dan molymod sebesar 42,6 dan sisanya yaitu sebesar 57,4 dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, besarnya pengaruh kreativitas terhadap hasil belajar mahasiswa dalam pembelajaran bentuk molekul menggunakan media buatan dan molymod sebesar 42,6, dan sisanya sebesar 57,4 dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Hal ini berarti media buatan dan molymod yang digunakan dalam penelitian ini dapat melatih mahasiswa menjadi kreatif dan menumbuhkan kreativitas mahasiswa dalam merangkai bentuk-bentuk molekul. Munandar 2009 mengemukakan bahwa lingkungan yang dapat mempengaruhi kreativitas individu dapat berupa lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pada lingkungan sekolah, pendidikan di setiap jenjangnya mulai dari pra sekolah hingga ke perguruan tinggi dapat berperan dalam menumbuhkan kreativitas individu. Selain itu, lingkungan sekolah harus merangsang kreativitas dengan memberikan bimbingan dan dorongan untuk menggunakan sarana yang akan mendorong kreativitas. Dengan demikian, adanya sarana pembelajaran dalam hal ini media buatan dan molymod dapat melatih mahasiswa menjadi kreatif dan menumbuhkan kreativitas mahasiswa tersebut. Kreativitas yang dimiliki mahasiswa tersebut akan mempengaruhi hasil belajar mahasiswa, yang artinya hasil belajar akan lebih baik. PENUTUP Simpulan Adapun yang menjadi kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Hubungan antara kreativitas mahasiswa dengan hasil belajar dalam pembelajaran bentuk molekul dengan menggunakan media buatan dan molymod memiliki hubungan yang kuat dengan nilai R= 0,652. 2. Ada pengaruh kreativitas terhadap hasil belajar mahasiswa dalam pembelajaran bentuk molekul menggunakan media buatan dan molymod dengan nilai t hitung t tabel 3,652 2,101. 3. Besarnya pengaruh kreativitas terhadap hasil belajar mahasiswa dalam pembelajaran bentuk molekul menggunakan media buatan dan molymod sebesar 42,6. Saran Adapun saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Dosen atau guru hendaknya cermat dalam memilih media pembelajaran di dalam proses belajar mengajar karena jika dosen atau guru menggunakan media pembelajaran yang tidak sesuai dengan materi pelajaran di kelas maka mahasiswa atau siswa akan bosan dan jenuh karena metode mengajar guru yang monoton. Karena masih ada dosen atau guru yang mengajar dengan metode ceramah dan masih ada guru yang mengajar tanpa menggunakan media pembelajaran di dalam proses belajar mengajar di kelas. 2. Bagi peneliti selanjutnya, hendaknya dapat menggunakan media pembelajaran dengan media buatan dan molymod pada pokok bahasan lain. ISBN 978-602-72071-1-0 DAFTAR PUSTAKA Anik, Pamilu. 2007. Mengembangkan Kreativitas Dan Kecerdasan Anak . Jakarta: Buku kita. Brady, J. E. 1999. Kimia Universitas Asas dan Struktur . Bandung: Binarupa Aksara. Campbell, David. 1986. Mengembangkan Kreativitas . Yogyakarta: Anggota IKAPI. Chang, Raymond. 2005. Kimia Dasar Konsep- konsep Inti. Edisi Ketiga Jilid 2.Jakarta: Erlangga Darsono, Max. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Semarang : IKIP Semarang Press. Djamarah dan Zain Aswan. 2002. Strategi Belajar Mengajar . Jakarta: Rineka Cipta Ibrahim, M dan Nana Syaodih. 2003. Perencanaan Pengajaran. Jakarta : Rineka Cipta. Munandar, Utami. 2009. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta: PT Gramedia. Munandar, Utami. 2012. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: PT Rineka Cipta Purba, Michael. 2006. Kimia Untuk SMA Kelas XI, Jakarta; Penerbit Erlangga. Sadiman, Arif S, dkk. 2007. Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatnya . Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Santoso, T dan Sukarmin. 2013. Pengembangan Media Pembelajaran Blog Kimia Berbasis Mobile Education. UNESA Journal of Chemical Education Vol II No.1. Januari 2013. Slameto. 2005. Belajar dan Faktor- faktor yang mempengaruhinya . Jakarta: Rineka Cipta. Slameto. 2005. Belajar dan Faktor- faktor yang mempengaruhinya . Jakarta: Rineka Cipta. Suharnan. 2005. Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi. ISBN 978-602-72071-1-0 VALIDITAS MODEL BERTANYA KRITIS BERBASIS INKUIRI UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS MAHASISWA CALON GURU KIMIA Tri Santoso 1 Leny Yuanita 2 Soeparman Kardi 3 1 Program Studi Pendidikan Kimia PMIPA FKIP Universitas Tadulako 2,3 Program Studi Pendidikan Sains, Universitas Negeri Surabaya Email: tri_paluyahoo.co.id ABSTRAK Kurikulum 2013 merekomendasikan agar pembelajaran dilakukan dengan pendekatan ilmiah scientific approach , conto hnya pe ndekata n i nkuir i. K unc i keb er ha si la n pe nde kat a n pembelajaran ini adalah kemampuan siswa mengajukan pertanyaan kritis. Beberapa hasil studi pembelajaran kimia terungkap bahwa pertanyaan siswa yang muncul sangat sederhana dengan frekuensi aktivitas mengajukan pertanyaan rendah Katchevich Hofstein ,2013; Eshach et al., 2014; Santoso, 2014. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, peneliti mengembangkan model pembelajaran inkuiri berorientasi bertanya kritis untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis mahasiswa calon guru kimia yang diberi nama Model Bertanya Kritis Berbasis Inkuiri BKBI. Model pembelajaran ini diperoleh dari hasil kajian teoritik. Isi dan konstruk model pembelajaran BKBI yang dikembangkan divalidasi oleh para pakar melalui Focus Group Discussion FGD. Menurut para pakar, bahwa isi dan konstruk model pembelajaran BKBI ini valid dan dapat diimplementasikan dalam pembelajaran untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Kata Kunci: validitas, model pembelajaran, keterampilan bertanya kritis, keterampilan berpikir kritis. ABSTRACT A curriculum 2013 recommended that the learning is done with a scientific approach, an example is the inquiry approach. The key to the success of this learning approach is the student ability to ask critical questioning. Some studies of chemistry learning show students have difficulty to ask critical questions Katchevich Hofstein, 2013; Eshach et al., 2014; Santoso, 2014. To overcome these problems, researchers developed a learning inquiry model oriented critical question to develop critical thinking skills of student named Model Bertanya Kritis Berbasis Inkuiri, BKBI critical question - inquiry based for learning Chemistry. This learning model is derived from theoretical studies. A content and construct of BKBI model validated by experts through Focus Group Discussions FGD. According to experts, that the contents and construct of BKBI model is valid and can be implemented in learning to develop critical thinking skills. Keywords: validity, model of learning, critical questioning skills, critical thinking skills. ISBN 978-602-72071-1-0 PENDAHULUAN Standar Kompetensi Lulusan Kurikulum 2013 memberikan tiga sasaran pembelajaran, yaitu: 1 sikap yang dapat dicapai melalui aktivitas mene-rima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan mengamalkan; 2 pengetahuan yang dapat diperoleh melalui aktivitas mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, dan mengevaluasi; dan 3 keterampilan yang dapat diperoleh melalui aktivitas mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta. Untuk mewujudkan pencapaian ketiga ranah kompetensi tersebut maka dalam proses pembelajaran perlu menggunakan pembelajaran berbasis penyingkapan pene-litian discoveryinquiry learning untuk memperkuat pendekatan ilmiah scientific dan tematik Permendikbud No. 65 Tahun 2013 . Proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang sesuai dengan tujuan pembe-lajaran Kurikulum 2013 salah satunya adalah pendekatan inkuiri. Penekanan pembelajaran inkuiri meminta siswa berpikir tentang apa yang siswa tahu, mengapa siswa tahu, dan bagaimana caranya siswa untuk tahu Carin, 1993. Jadi, kunci pembelajaran berbasis inkuiri adalah mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan tentang topik yang dipelajari dan mengeksplorasi jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Pebelajar diarah-kan menjadi seorang pengaju masalah pertanyaan problem poser dan juga sekaligus pemecah masalah problem solver Flick Lederman, 2006. Hal ini sejalan dengan Teori Bruner, siswa belajar terbaik melalui penemuan, sehingga siswa berperan sebagai pemecah masalah yang berinteraksi dengan lingkungan Koes, 2003. Beberapa hasil penelitian pembelajaran kimia berbasis inkuiri menunjukkan adanya masalah: 1 kemampuan mahasiswa mengajukan pertanyaan sangat sedikit dan terbatas pada tipe pertanyaan yang bersifat klarifikasi, sehingga menyebabkan diskusi mahasiswa tidak menggambarkan epistemik ilmiah sesungguhnya Katchevich Hofstein,2013; 2 kemampuan mahasiswa merumuskan pertanyaan atau hipotesis, menunjukkan pertanyaan-pertanyaan yang sangat sederhana atau tumpul Passmore Svoboda, 2012; Eshach et al., 2014; 3 akktivitas pebelajar mengajukan pertanyaan rendah Suryanti, 2012; dan 4 terjadi fenomena bahwa, seiring dengan bertambahnya tingkat pendidikan banyak siswa jarang mengajukan pertanyaan, bahkan telah berhenti bertanya Kaberman Dori, 2008. Menurut Thoms 1999 dan Browne Keeley 2012 permasalahan tersebut di atas semestinya tidak akan muncul karena bertanya merupakan karakter alami yang dimiliki oleh setiap pebelajar, dan pebelajar tersebut dapat mengembangkan keterampilan bertanyanya, tetapi mereka tidak dapat mengembangkan sendiri untuk menghasilkan pertanyaan kritis secara otomatis. Dalam hal ini, pendidik perlu berupaya untuk mem-bantu siswa belajar bertanya kritis . Bentuk bantuan perlu dirancang bagaimana memfasi-litasi siswa aktif mengajukan pertanyaan, sehingga menghasilkan pertanyaan kritis yang memicu rangkaian pertanyaan-pertanyaan lain. Akhirnya, rangkaian pertanyaan-pertanyaan tersebut akan mendorong pebelajar berpikir kritis sejak di awal sampai di akhir proses pembelajaran. Rancangan pembelajaran untuk memfasilitasi pebelajar mengembangkan keterampilan bertanya kritis, dapat dilakukan dengan cara memodifikasi fase-fase pembelajaran inkuiri. Hal ini dimungkinkan karena karakter pembelajaran melalui inkuiri adalah adanya kegiatan mempertanyakan di setiap fase pembelajaran. Pertanyaannya adalah bagaimanakah rancangan pembelajaran inkuiri yang dapat memfasilitasi pebelajar mengembangkan pertanyaan kritis di setiap fase pembelajaran? METODE PENELITIAN Metode pengembangan rancangan pembelajaran mengacu kepada tiga tahapan pertama dari R D Gall, Gall, Borg 2003, yaitu: studi literatur dan penelitian dalam skala Kecil reseach and information collecting, merumuskan tujuan dan mendesain draf model pembelajaran planning, dan pengembangan model pembelajaran preliminary form of product. Studi Literatur dan Penelitian dalam Skala Kecil reseach and information collecting. Pada tahapan ini dilakukan aktivitas kajian literatur untuk mengindentifikasi keunggulan dan kelemahan penerapan model pembelajaran kimia berbasis inkuiri serta mencari alternatif solusi untuk mengatasi kelemahannya. Kajian literatur selanjutnya mencari teori- teori dan hasil-hasil penelitian yang dapat digunakan untuk mendukung pengem-bangan model pembelajaran, dan terakhir melakukan observasi pendahuluan terhadap kemampuan mahasiswa meng-ajukan pertanyaan. Merumuskan Tujuan dan Mendesain Draf Model Pembelajaran planning. Kegiatan penelitian pada tahap perumusan dan perancangan draf model adalah sebagai berikut. 1. Melakukan refleksi berkaitan dengan keunggulan dan kelemahan penerapan model pembelajar-an kimia berbasis inkuiri serta mencari alternatif solusi untuk mengatasi kelemahannya. 2. Merumuskan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian, dan 3. Mengkaji literatur untuk mencari teori-teori dan hasil-hasil penelitian yang dapat digunakan untuk mendukung pengembangan model pembelajaran. Pengembangan Model Pembelajaran preliminary form of product . Kegiatan ini dimulai dari validasi draft model oleh ahli-ahli, yang masing-masing memiliki keahlian dalam bidang kimia dan keahlian dalam bidang pembelajaran sains. Kegiatan validasi dilaksankan dalam suatu forum diskusi yang biasa disebut Focus Group Discussion FGD. Lembar validasi model pembelajaran digunakan untuk memperoleh data validitas isi dan konstruk dari model pembelajaran. Lembar validasi diisi pakar yang menelaah dan menilai model pembelajaran yang dikembangkan oleh peneliti pada saat Focus Group ISBN 978-602-72071-1-0 Discussion FGD. Perhitungan reliabilitas instrumen lembar validasi model pembelajaran BKBI didasarkan pada interobserer agreement yang diperoleh dari analisis statistic percentage of agreement R Borich, 1994, yaitu: R Keterangan: R : Koefisien reliabilitas. A : Skor tertinggi dari ketiga validator. B : Skor terendah dari ketiga validator. Instrumen yang dikembangkan dikatakan reliabel jika mempunyai persentase ≥ 75 Borich, 1994. Validitas model pembelajaran BKBI ditentukan dengan mengacu pada kriteria validitas yang terdapat pada Tabel 1. Tabel 1 Kriteria penilaian validasi model pembelajaran Interval Skor Kriteria Penilaian Keterangan 3.25 P≤ 4.00 Sangat valid Dapat digunakan tanpa revisi 2.50 P≤ 3.25 Valid Dapat digunakan dengan sedikit revisi 1.75 P≤ 2.50 Kurang valid Dapat digunakan dengan banyak revisi 1.00≤ P≤ 1.75 Tidak Valid Belum dapat digunakan dan masih memerlukan konsultasi Adaptasi Ratumanan Laurens, 2006 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Pembelajaran Kimia Berbasis Inkuiri Ada dua catatan penting dikemukakan oleh Katchevich Hofstein 2013 dalam pelaksanaan pembelajaran kimia berbasis inkuiri: 1 eksperimen inkuiri memiliki potensi sebagai kerang-ka platform yang efektif untuk meru-muskan argumen karena inkuiri memiliki karakter pembelajaran yang mendukung proses argumentasi, dan 2 selama proses pembelajaran ditemukan diskusi mahasiswa tidak menggambarkan epistemik ilmiah sesungguhnya, karena pertanyaan yang muncul sangat sedikit dan terbatas pada tipe pertanyaan yang bersifat klarifikasi, dan mahasiswa melakukan pengabaian terhadap kemungkinan adanya kesalahan dalam mengamati dan mengumpulkan data. Temuan Katchevich Hofstein didukung oleh Kind et al. 2011 yang mengatakan bahwa kegiatan inkuiri di laboratorium berjalan secara monoton tahap demi tahap, mahasiswa bekerja mulai dari masalah berupa pertanyaan di awal eksperimen, jarang melakukan diskusi dan langsung mengarah ke kesimpulan akhir. Jika mahasiswa diminta untuk merumuskan pertanyaan atau hipotesis yang berkaitan dengan pengamatan atau demonstrasi, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sangat sederhana atau tumpul Passmore Svoboda, 2012; Eshach, Ziderman, Yefroimsky, 2014. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, perlu dikaji fase-fase pembelajaran pendekatan inkuiri yang dapat dimodifikasi agar keterlibatan siswa bertanyamempertanyakan berlangsung selama pembelajaran berjalan. Merujuk langkah pertama pada pembelajaran inkuiri menurut NSES NRC, 2000; BSCS, 2005; Bybee, 2006, atau langkah 1 dan 2 Kauchak Eggen, 2012, atau langkah ketiga Arends, 2012 menunjukkan aktivitas keterlibatan siswa bertanya. Langkah tersebut semestinya memberikan gambaran bagaimana men-dorong aktivitas siswa produktif membuat pertanyaan, mempertanyakan atas perta-nyaan, memilih dan menetapkan perta-nyaan sehingga menghasilkan pertanyaan kritis. Selanjutnya, aktivitas pebelajar pada langkah 2 sampai dengan 5 menurut NSES NRC, 2000; BSCS, 2005; Bybee, 2006, atau langkah 3 sampai dengan 6 Kauchak Eggen, 2012, atau 4 sampai dengan 6 Arends, 2012, merupakan kegiatan untuk menjawab pertanyaan langkah sebelumnya. Pada langkah ini seharusnya memberi gambaran berbagi sharing tanggung jawab dengan cara saling bertanya dan menjawab agar memicu pemikiran kritis dalam pencarian bukti, penjelasan, evaluasi penjelasan dan justifikasi sebagaimana yang dikehendaki oleh kegiatan epistemik ilmiah sains. Studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh Santoso 2014 menemukan bahwa kemampuan mahasiswa dalam merumuskan pertanyaan berada pada level rendah, yaitu pertanyaan hafalan 73, pemahaman 18 dan aplikasi 9. Pebelajar dapat mengembangkan bertanya dan berpikir kritis, tetapi tidak dapat mengembangkan sendiri secara otomatis dan cepat. Keterampilan ini perlu dikembangkan dengan upaya dari pendidik untuk membantu siswa belajar bertanya dan berpikir kritis Thoms, 1999. Upaya bantuan untuk mendorong siswa terampil bertanya dan berpikir kritis dapat dilakukan mendasarkan pada gagasan Vygotsky tentang zona perkem-bangan proksimal zone of proximal development, ZPD Schunk, 2012, dan metakogniisi - perancahan Scaf-folding Wood, Bruner Ross, 1976 dalam Schunk, 2012. Teori ZPD, kesalingterhubungan dengan orang lain memberi peran kepada pengaturan diri dan aktivitas mengkonstruksi pengetahuan. Demikian juga dalam bertanya dan berpikir kritis tidak bisa dilakukan seorang diri melainkan perlu melibatkan orang lain Browne Keeley, 2012. Orang lain dijadikan sebagai sumber dan mitra untuk mengelaborasi informasi, data, fakta dan opini melalui tanya jawab agar mencapai kesimpulan. Dengan demikian, teori konstruktivis mendukung siswa membuat pertanyaan sendiri dan mengajukan pertanyaan ke teman dan guru. Perancah merupakan usaha untuk menjembatani kesenjangan antara kemampuan peserta didik saat ini perkembangan aktual dan sasaran yang ingin dicapai potensi pengembangan Yu, Tsai, Wu, 2013. Ada tiga jenis perancah yang dapat digunakan sebagai pengarah untuk mengajukan pertanyaan, yaitu prosedural ISBN 978-602-72071-1-0 produktif, elaboratif, dan reflektif Ge Land, 2004. Perancah produktif adalah membimbing peserta didik untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu, mengidentifikasi dan meng-analisis fitur penting, serta membantu peserta didik memanfaatkan alat dan sumber daya yang tersedia. Perancah Elaborasi adalah membantu peserta didik untuk mengartikulasikan pikiran mereka, mengkontruksi penjelasan, membuat pembenaran, dan melakukan penalaran dengan menggunakan pertanyaan- perta-nyaan pemicu. Perancah reflektif adalah membantu peserta didik merefleksi dan mendorong mereka untuk memonitor dirinya selama proses berlangsung atau setelah proses belajar. Bertanya reflektif akan memicu pemikiran pebelajar memu-satkan pikiran untuk berdialog dengan diri mereka sendiri tentang apa yang mereka lakukan Zippay dalam Ibrahim et al., 2012. Praktek merefleksi diri termasuk aktivitas berpikir kritis dimana terjadi proses pemikiran yang cermat dan mendalam terhadap semua tindakan yang dilakukan baik yang direncanakan atau tidak Kauchak Eggen, 2012. Gagasan ZPD dan perancah dapat ditafsirkan bahwa agar pebelajar terpacu berpikir kritis sebaiknya diberikan tugas-tugas yang rumit, sulit dan realitis kemudian pebelajar diberi cukup bantuan berupa panduan perancah pertanyaan yang mengarahkan untuk penyelesaian tugas- tugas belajar. Dengan panduan perancah pertanyaan tersebut, pebelajar merumuskan dan mengajukan pertanyaan secara mandiri. Hal ini penting dilakukan karena efek mengajukan pertanyaan sendiri akan menimbulkan respon pena-laran menjadi aktif atau konflik kognitif Wiley Voss dalam Chin Osborne, 2010. Munculnya konflik kognitif dapat memicu pertanyaan kritis Choi, Land, Turgeon, 2005. Pembentukan pengetahuan yang bermakna memerlukan seperangkat kete-rampilan dan sikap yang perlu dibangun di atas rangkaian mengajukan pertanyaan kritis dan saling terpaut Browne Keeley, 2012. Keterampilan dan sikap yang dimaksud adalah: 1 pengetahuan akan serangkaian pertanyaan kritis yang saling terkait, 2 kemampuan melontar-kan pertanyaan kritis pada saat yang tepat, dan 3 kemauan untuk menggunakan pertanyaan kritis tersebut secara aktif Browne Keeley, 2012. Tiga dimensi tersebut berkaitan erat dengan belajar meregulasi diri self- regulated learning yang dilandasi oleh kemampuan meta-kognisi pebelajar Schraw et al., 2006; Kauchak Eggen, 2012. Peran metakognisi dalam mengaju-kan pertanyaan adalah pada proses peng-aturan kognitif seseorang dalam hal merencanakan, monitoring, memprediksi, mengevaluasi dan merevisi Schunk, 2012; Yu, Tsai, Wu, 2013. Siswa yang mengajukan pertanyaan akan menyadari keadaan pengetahuan dan kompetensi mereka sendiri sehingga mendorong siswa menjadi lebih aktif secara intelektual untuk terlibat dalam proses pembelajaran Kaberman Dori, 2009. Kesadaran akan keadaan pengetahuan dan kompe-tensi mereka sendiri mencakup juga kesadaran pada adanya kesenjangan antara pengetahuan saat ini yang dimiliki dan sasaran yang ingin dicapai Belland, Kim, Hannafin, 2013. Konsep metakognisi yang memfokuskan kajian untuk menjembatani kesenjangan antara kemampuan peserta didik saat ini dan sasaran yang ingin dicapai disebut perancah scaffolding Yu, Tsai, Wu, 2013. Model Bertanya Kritis Berbasis Inkuiri BKBI Berdasarkan uraian kajian tersebut di atas, dengan mempertimbangkan inkuiri sebagai strategi pengajaran yang menekankan semangat penyelidikan tercerminkan pada kegiatan mempertanyakan pada setiap aktifitas epistemik ilmiah sains Carin, 1993; Kelly Finlayson, 2007, maka penulis memodifikasi fase pendekatan inkuiri menurut NSES NRC, 2000; BSCS, 2005; Bybee, 2006 dengan memasukkan aktivitas bertanya dan mempertanyakan di setiap fase pembelajaran. Jenis pertanyan yang dilibatkan yaitu: pertanyaan produktif, untuk membuat memproduksi pertanyaan; pertanyaan elaborasi, untuk mengarahkan penjelasan, analisis dan evaluasi; dan pertanyaan refleksi, untuk membuat kesimpulan. Pengembangan fase pembelajaran inkuiri mengacu pada perancah bertanya produktif, elaboratif dan reflektif Ge Land, 2004. Pengembangan ini bertujuan untuk menekankan aktivitas epistemik ilmiah sains, yaitu kegiatan mempertanyakan usulan pertanyaan hipotesis, penjelasan, evaluasi, pembenaran, dan pem-bentukan pengetahuan. Keterampilan tersebut merupakan keterampilan berpikir kritis Tsui dalam Tapper, 2004; Facione, 2011. Alur berpikir, rasional pengembangan dan langkah pembelajaran disajikan pada Gambar 1. ISBN 978-602-72071-1-0 Gambar 1 Rasional sintak hipotetik Model Bertanya Kritis Berbasis Inkuiri Teori Kognitif Bruner Teori Metakognisi Teori Konstruktivisme Personal Piaget Teori Konstruktivisme Sosial Vygotsky 1. Produks i pertanyaan. 2. Elaborasi deskripsi bukti dengan mempertanyakannya 3. Elaborasi analisis penjelasan dengan mempertanyakannya 4. Elaborasi evaluasi penjelasan dengan mempertanyakan 5. Menyimpulkan dan mengkomunikasik an melalui bertanya reflektif Keterampilan berpikir kritis: bertanya, interpretasi, analisis, evaluasi, menyajikan argumen, inferensi, kesimpulan, pembenaran, dan refleksi Enis, 1996; Tsui dalam Tapper, 2004; Facione, 2011 Interaksi sosial berkontribusi pada pem- bentukan pengetahuan siswa Vygotsky dalam Schunk, 2012, bertanya dan berpikir kritis siswa Browne Keeley, 2012 Steffe: Individu aktif membangun dan mengembangkan pengetahuannya melalui interaksi de- ngan alam diseki- tarnya Yu, Tsai, Wu, 2013 Piaget: Pemben- tukan pengetahuan internal siswa melalui inter-aksi personal dengan mengajukan perta- nyaan sendiri self questioning Schunk, 2012 Pengajuan pertanyaan sebagai indikasi berpikir King, 1995, pemicu berpikir kritis Nussbaum Edwards, 2011, pengarah penyelidikan dan membimbing pembentukan konsep Golding,2011 Brown 1987: belajar memerlukan kemampuan regulasi yang melibatkan evaluasi apa yang saat ini ditahu dan menentukan apa yang masih perlu dipelajari lagi Seraphin et al., 2012 Perancah membantu pebelajar untuk mencapai tujuan pedagogis yang mereka sulit menca- painya jika tanpa bantuan Wood, Bruner, Ross dalam Yu, Tsai, Wu, 2013 MODEL BERTANYA KRTIS BERBASIS INKUIRI MBKBI ISBN 978-602-72071-1-0 Pengembangan bertanya kritis berbasis inkuiri dilandasi oleh beberapa teori. 1 Teori konstruktivisme interaksi personal, bahwa individu aktif membangun dan mengembangkan pengetahuannya melalui interaksi dengan alam disekitarnya Steffe dalam Yu, Tsai, Wu, 2013, pembentukan dan pengembangan repre- sentasi struktur pengetahuan internal siswa dilakukan melalui interaksi personal dengan mengajukan pertanyaan sendiri self questioning Piaget dalam Schunk, 2012, pengajuan pertanyaan dapat menimbulkan tantangan atau konflik kognitif Wiley Voss, 1999 dalam Chin Osborne, 2010 dan memicu pertanyaan kritis Choi, Land, Turgeon, 2005. 2 Teori Vygotsky konstruktivime interaksi sosial khusus-nya teori ZPD bahwa kesaling- terhubungan dengan orang lain memberi peran kepada pengaturan diri dan aktivitas pembentukan pengetahuan Scunk, 2012, bertanya kritis tidak bisa dilakukan seorang diri melainkan perlu melibatkan orang lain Browne Keeley, 2012. 3 Teori kognitif Bruner, siswa belajar sebaiknya diberikan kesempatan untuk menemukan aturan definisi, konsep, teori melalui berinteraksi dengan lingkungan Koes, 2003. 4 Teori metakognisi bahwa proses belajar terbaik jika siswa bertindak sebagai agen aktif pengolah konten, bersikap tanggung jawab, dan mengkontrol atas proses belajar mereka sendiri Pang Ross, 2010, berpikir kritis dan penyelidikan didasarkan pada kesadaran dan kemampuan pebelajar untuk mengambil tanggung jawab, mengkontrol dan mengkonfirmasi makna pengetahuan Akyol Garrison, 2011. Sistem Sosial Norma pembelajaran dalam pembelajaran “BKBI” bersifat demokratis dicirikan oleh peran siswa secara aktif dan kerjasama. Strategi pembelajaran ini menekankan individu membangun pengetahuan secara aktif melalui interaksi personal dan sosial sesuai dengan teori konstruktivis personal Piaget dan interaksi sosial Vygotsky. Konstruksi pengetahuan oleh pebelajar akan berlangsung efektif apabila terjadi aktivitas berbagi pengalaman dengan siswa lainnya Slavin, 2008; Woolfolk, 2009. Pengajar dan pebelajar memiliki status yang sama dihadapan masalah materi ajar dengan peranan yang berbeda. Iklim kelas ditandai dengan proses interaksi yang bersifat kola-boratif. Prinsip Kegiatan Prinsip pengelolaan kegiatan dalam penerapan pembelajaran “BKBI”, pendidik berperan sebagai fasilitator, konselor, konsultan, dan pemberi kritik yang bersahabat Joyce et al., 2009. Dalam kerangka ini pendidik membimbing melalui: a pemecahan masalah atau level tugas berkenaan dengan proses menjawab pertanyaan, apa yang menjadi hakikat masalah, dan apa saja faktor yang terlibat; b pengelolaan kelas berkaitan dengan informasi apa saja yang diperlukan saat ini, bagaimana mengorgani-sasikan kelompok untuk mencapai informasi itu; c pemaknaan secara perseorangan berkenaan dengan proses pengkaji-an bagaimana kelompok menghaya-ti kesimpulan yang dibuatnya, dan apa yang membedakan seseorang sebagai hasil dari mengikuti proses pembuatan kesimpulan kelompok. Sistem Pendukung Penerapan pembelajaran “BKBI” memerlukan sumber belajar yang mema-dai, seperti buku ajar, hand out , lembar kerja siswamahasiswa LKSLKM dan sumber informasi lainnya. Selain itu, strategi ini memerlukan dukungan peralatan dan bahan-bahan kimia untuk melaksanakan demonstrasiprak-tikum serta media pembelajaran lain, seperti molymod , poster dan lain-lain. Dampak Instruksional dan Penggiring Dampak instruksional bagi pebelajar berupa pencapaian kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan kritis, serta kepemilikan karakter pemikir kritis. Dampak pengiring, di antaranya: meng-hormati pendapat orang lain dan komit-men terhadap keanekaragaman, kebebas-an sebagai pebelajar, kehangatan dan keterikatan antar pebelajar, semangat kritis, kemandirian dalam belajar, toleran terhadap ketidaktentuan dan kemampuan-nya untuk mengkritisi permasalahan yang berkaitan dengan aplikasi kimia dalam kehidupan sehari-hari. Kevalidan Model BKBI Kevalidan validity model pembelajaran BKBI dilihat dari dua aspek, yaitu: 1 validitas rasional logis, bahwa model pembelajaran dikembangkan berdasarkan pada rasional teoritis yang kuat, dan 2 validitas konstruk, bahwa model pembelajaran harus memiliki konsistensi secara internal dari semua komponen model Nieveen,1999. Komponen model yang dimaksudkan meliputi sintaks, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem pendukung, dan dampak terhadap pebelajar. Hasil validitas dan realibilitas rasional model BKBI disajikan pada Tabel 2, sedangkan Tabel 3 menunjukan validitas dan rabilitas konstruk model BKBI. Berdasarkan Tabel 2 dan 3 tersebut menunjukkan bahwa validitas rasional dan konstruk untuk model pembelajaran BKBI yang dikembangkan berketegori sangat valid dengan realibiltas yang tinggi, yaitu 98,21 untuk rasionalitas dan 96,82 untuk konstruk. Dengan demikian model BKBI yang dikembangkan dapat diterapkan dalam pembelajaran untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis mahasiswa calon guru kimia. ISBN 978-602-72071-1-0 Tabel 2 Hasil validasi rasional model BKBI No Aspek penilaian Rata- rata Kriteria R I Tujuan 1 Tahapan model pembelajaran mencerminkan pencapaian tujuan model yang dikembangkan melatih bertanya kritis. 4 sangat valid 100 2 Tahapan model pembelajaran mencerminkan pencapaian tujuan model yang dikembangkan mengembangkan kemampuan berpikir kritis . 4 sangat valid 100 3 Tahapan model pembelajaran mencerminkan pencapaian tujuan model yang dikembangkan meningkatkan pemahaman konsep 4 sangat valid 100 Rata-rata sub: 4 sangat valid 100 II Teori Pendukung 4 Model pembelajaran BKBI sesuai dengan teori belajar konstruktivisme Piaget: interaksi personal. 4 sangat valid 100 5 Model pembelajaran BKBI sesuai dengan teori belajar konstruktivime Vygotsky: interaksi sosia l 4 sangat valid 100 6 Model pembelajaran BKBI sesuai dengan Teori kognitif Bruner. 4 sangat valid 100 7 Model pembelajaran BKBI sesuai dengan Teori metakognisi 3,5 sangat valid 85,71 Rata-rata sub: 3,88 sangat valid 96,43 III Sintaks Pembelajaran 8 Tahap-tahap pembelajaran disusun secara terurut dan jelas. 4 sangat valid 100 9 Tahap-tahap pembelajaran sudah logis dan rasional 4 sangat valid 100 10 Tahap-tahap pembelajaran memuat dengan jelas aktivitas dosen dan mahasiswa 4 sangat valid 100 11 Uraian aktivitas pembelajaran pada setiap tahap model BKBI mencerminkan alur kegiatan yang dapat dilaksanakan oleh dosen dan mahasiswa 4 sangat valid 100 Rata-rata sub: 4,00 sangat valid 100 IV Lingkungan Belajar 12 Dosen memfasilitasi berbagai sumber belajar seperti buku teks, media pembelajaran, dan sumber-sumber dari internet 3,5 sangat valid 85,71 13 Pola hubungan antara dosen dan mahasiswa menunjukkan adanya peran dosen sebagai fasilitator, konsultan, dan mediator 4 sangat valid 100 14 Perilaku dosen dalam memberikan motivasi untuk membangkitkan minat belajar mahasiswa 3 valid 100 15 Kegiatan praktikum mendukung pencapaian tujuan 4 sangat valid 100 Rata-rata sub: 3,63 sangat valid 96,43 Rata-rata total: 3,88 sangat valid 98,21 ISBN 978-602-72071-1-0 ISBN 978-602-72071-1-0 Tabel 3 Hasil Validasi konstruk model BKBI No Aspek penilaian Rata-rata Kriteria R 1 Kesesuaian antara tahapan model dengan tujuan yang ingin dicapai tidak kontradiktif 4 sangat valid 100 2 Keterkaitan teori-teori pendukung dan karakteristik kimia saling mendukung 4 sangat valid 100 3 Pemahaman prinsip dari teori-teori pendukung dengan tujuan dan karakteristik kimia tidak kontradiktif 4 sangat valid 100 4 Keterkaitan setiap tahapan pembelajaran pada model BKBI secara internal saling mendukung 4 sangat valid 100 5 Aktivitas mahasiswa dan dosen pada setiap tahapan pembelajaran pada model BKBI saling terkait 4 sangat valid 100 6 Penggunaan sumber belajar untuk pencapaian tujuan saling mendukung 3,5 sangat valid 85,71 7 Pola interaksi antara dosen dan mahasiswa saling mendukung 4 sangat valid 100 8 Perilaku dosen dalam memberikan motivasi untuk membangkitkan minat belajar mahasiswa tergambar dalam tahapan pembelajaran 3,5 sangat valid 85,71 9 Kesesuaian antara kegiatan pembelajaran dengan tujuan yang ingin dicapai tidak kontradiktif 4 sangat valid 100 Rata-rata total: 3,89 sangat valid 96,82 ISBN 978-602-72071-1-0 PENUTUP Simpulan Model pembelajaran“BKBI” yang dirancang berdasarkan atas temuan-temuan pada studi pustaka dan lapangan telah valid secara rasional 3,88 dengan realibiltasl 98,21, dan konstruk 3,88 dengan realibilitas 96,82. Dengan demikian model BKBI yang dikembangkan dapat diterapkan dalam pembelajaran untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis mahasiswa calon guru kimia, melalui fase-fase pembelajaran berikut ini. a Produksi pertanyaan, bertujuan menyiapkan pebelajar secara fisik dan mental untuk belajar, merangsang siswa berpikir melalui bertanya, dan memastikan akan terjadi belajar bermakna yang terlihat dari pertanyaan – peranyaan yang dirumuskan siswa, b Elaborasi deskripsi bukti dengan mempertanyakannya, bertujuan Melatih bertanya dan menjawab untuk menggali informasi dan latarbelakang suatu bukti sesuai dengan konteks- tualisasi masalah topik, c Elaborasi analisis penjelasan dengan mempertanyakannya, bertujuan melatih bertanya dan menjawab melalui eksplorasi hubungan bagian kepada keseluruhan terhadap bukti untuk merumuskan penjelasan secara mandiri dan diskusi, d Elaborasi evaluasi penjelasan dengan mempertanyakannya, bertujuan melatih bertanya dan menjawab penjelasan dan tanggapan alternatif, e Menyimpulkan dan mengkomunikasikan melalui bertanya reflektif, bertujuan melatih bertanya dan menjawab implikasi, solusi, kesimpulan dan rekomendasi; serta melatih menginternalisasi untuk menumbuhkan pemikiran yang cermat dan mendalam terhadap semua tindakan yang dilakukan baik yang direncanakan atau tidak. Saran Temuan validitas dan realibitas model BKBI ini merupakan pendapat para pakar, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat kepraktisan dan efektivitas pada proses pembelajaran di kelas. DAFTAR PUSTAKA Akyol, Z., Garrison, D. R. 2011. Assessing metacognition in an online community of inquiry . Internet and Higher Education , Vol. 14, pp. 183-190. Arends, R. I. 2012. Learning to Teaching. New York: Mc Graw Hill. Belland, B. R., Kim, C. M., Hannafin, M. J. 2013. A Framework for Designing Scaffolds That Improve Motivation and Cognition . EDUCATIONAL PSYCHOLOGIST , Vol. 48, No. 4, 243 –270. Borich, G. 1994. Observation skill for effective teaching . New York: Mac Millan Publishing Company. Browne, M., Keeley, S. M. 2012. Asking the Right Question: A Guide to Critical Thinking. New Jersey: Pearson Education, Inc. BSCS. 2005. Doing Science: The Process of Scientific Inquiry. New York: National Institutes of Health. Bybee, R. W. 2006. Scientific Inquiry and Scientific Teaching. Dalam L. Flic, N. Lederman, Scientific Inquiry and Nature of Science hal. pp. 1-14. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. Carin, A. A. 1993. Teaching Science Through Discovery. New York: Macmillan Publishing Company. Chin, C., Osborne, J. 2010. Students’ Questions and Discursive Interaction: Their Impact on Argumentation During Collaborative Group Discussions in Science . Journal of Research in Science Teaching , vol. 47, no. 7, pp. 883 – 908. Chin, C., Osborne, J. 2010. Supporting Argumentation Through Students’ Questions: Case Studies in Science Classrooms . The Journal of The Learning Sciences , Vol. 19, pp. 230 –284. Choi, I., Land, S. M., Turgeon, A. J. 2005. Scaffolding peer-questioning strategies to facilitate metacognition during online small group discussion. Instructional Science , Vol. 33, pp. 483 –511. Dori,Y.J., Herscovitz, O. 2005. Case-based Long term professional development of science teachers. International Journal of Science Education , Vol.27 No.12, pp. 1413- 1446. Eshach, H., Ziderman, Y. D., Yefroimsky, Y. 2014. Question Asking in the Science Classroom: Teacher Attitudes and Practices. Journal Science Education Technology , Vol. 23, pp. 67-81. Facione, P. A. 2011. Critical Thinking: What It Is and Why It Counts. Millbrae, CA: Insight Assessment, Measured Reasons and The California Academic Press. Flick, L., Lederman, N. 2006. Scientific Inquiry and Nature of Science. Chicago: Kluwer Acadmic Publishers. Gall, M., Gall, J., Borg, W. 2003. Educational Research: An Introduction. Boston: Pearson Education, Inc Ge, X., Land, S. M. 2004. A conceptual framework for scaffolding ill-structured ISBN 978-602-72071-1-0 problem-solving processes using question promptsand peer interactions. . Educational Research Technology and Development, , Vol. 52, No.2, pp. 1042-1629. Hofstein, A., Navon, O., Kipnis, M., Mamlok, N. R. 2005. Developing Students’ Ability to Ask More and Better Questions Resulting from Inquiry-Type Chemistry Laboratories. Journal of Research In Science Teaching , Vol. 42, NO. 7, pp. 791 – 806. Ibrahim, N. H., Surif, J., Yusof Arshad, M., Mokhtar, M. 2012. Self Reflection Focusing on Pedagogical Content Knowledge. Procedia - Social and Behavioral Sciences , Vol. 56, pp. 474 – 482. Joyce, B., Weil, M., Calhoun, E. 2009. Models of Teaching. New Jersey: Pearson Education, Inc. Kaberman, Z., Dori, Y. J. 2008. Metacognition in chemical Education: question posingin the case-based computerized learning environment. Springer Science Business Media B.V , Accepted 19 March 2008. Kaberman, Z., Dori, Y. J. 2009. Question Posing, Inquiry, And Modeling Skills Of Chemistry Students In The Case-Based Computerized Laboratory Environment. International Journal Of Science And Mathematics Education , vol. 7, pp. 597-625. Katchevich, D., Hofstein, A. 2013. Argumentation in the chemistry laboratory :Inquery and confirmatary experiment. International Journal of Science Education , vol. 13, pp. 317-345. Kauchak, D., Eggen, P. 2012. Learning and Teaching Research-Based Methods. Boston: Pearson Education, Inc. Kelly, O., Finlayson, O. 2007. Providing Solutions through Problem-based Learning for Undergradutae first year Chemistry Laboratory. Chemistry Education Research and Practice , Vol. 8 No. 3, pp. 347-361. Koes, S. 2003. Strategi Pembelajaran Kimia. Malang: Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Malang. Liliasari. 2003. Peningkatan Mutu Guru Dalam Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Melalui Model Pembelajaran Kapita Selekta Kimia Sekolah Lanjutan. Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains , Edisi 3 Tahun VIII, 174-181. Liliasari. 2011, January 30. Berpikir Kritis Dalam Pembelajaran Sains Kimia Menuju Profesionalitas Guru. Bandung: Program Studi Pendidikan IPA, Sekolah Pascasarjana UPI. National reasearch Council. 2000. Inquiry and the National Science Education Standards: A guide for Teaching and learning. Washington D.C: National Academy Press. National Research Council. 2012. Education for Life and Work: Developing Transferable Knowledge and Skills in the 21st Century. Committee on Defining Deeper Learning and 21st Century Skills, J.W. Pellegrino and M.L. Hilton, Editors. Washington, DC. Nieveen, N. 1999. Prototyping to reach product quality. In Nieveen, N., McKenney, S., Van den Akker 2007. Educational Design Research dalam Educational Design Research . New York: Routledge. Nieveen, N., McKenney, S., van d. Akker 2007. “Educational design research” dalam Educational design research . New York : Routledge Pang, K., Ross, C. 2010. Assessing the Integration of Embedded Metacognitive Strategies in College Subjects for Improved Learning Outcomes: A New Model of Learning Activity . The Journal of Effective Teaching , Vol. 10, No. 1, pp. 79-97. Passmore, C. M., Svoboda, J. 2012. Exploring Opportunities for Argumentation in Modelling Classrooms. International Journal of Science Education , Vol. 34, No. 10, pp. 1535-1554. Permendikbud. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ratumanan, G. T. dan Laurens. 2006. Evaluasi hasil yang relevan dengan memecahkan problematika belajar dan mengajar . Bandung:CV Alfabeta Santoso, T. 2014. Pembelajaran Penalaran Argumen Berbasis Peta Konsep Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Kimia. Seminar Nasional Kimia 2014, Peningkatan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam Dalam Pendidikan Kimia dan Kimia untuk Kemandirian Bangsa hal. 134-143. Surabaya: Fakultas MIPA, Universitas Negeri Surabaya. Schraw, G., Moshman, D. 1995. Metacognitive Theories . Educational Psychology Review , Vol. 7, No. 4, pp. 351 –371. Schraw, G., Crippen, K. J., Hartley, K. 2006. Promoting self-regulation in science education: Metacognition as part of a broader perspective in learning. Research in Science Education , Vol. 36, pp. 111-139. Schunk, D. H. 2012. Learning theories an educational perspective. Singapura: Pearson Education, Inc. Slavin, R. E. 2008. Psikologi Pendidikan : Teori dan Praktek Terjemahan Samosir, M dkk: Educational Psycology: Theory Pratice, Edisi 8. Jakarta: PT Indeks. ISBN 978-602-72071-1-0 Suryanti. 2012. Model Pembelajaran untuk Mengajarkan Keterampilan Mengambil Keputusan dan Penguasaan Konsep IPA bagi Siswa Sekolah Dasar. Surabya: Disertasi tidak dipublikasikan, Pasca Sarjana Universita Negeri Surabaya. Tapper, J. 2004. Student perceptions of how critical thinking is embedded in a degree program. Higher Education Research Development. , Vol. 23, No.2, pp.199-222. Thoms, K. J.-9. 1999. Critical Thinking Requires Critical Questioning . Essays on Teaching Excellence Toward the Best in the Academy , Volume 10, Number3. Woolfolk, A. 2009. Educational Psychology. Boston: Allyn Bacon. Yu, F. Y., Tsai, H. C., Wu, H. L. 2013. Effects of online procedural scaffolds and the timing of scaffolding provision on elementary Taiwanese students question-generation in a science class. Australasian Journal of Educational Technology , Vol. 29, No. 3, pp. 416-433. Yu, F.-Y., Wu, C.-P. 2012. Student Question- Generation: The Learning Processes Involved and Their Relationships with Students’ Perceived Value. Journal of Research in Education Sciences , Vol. 57, No.4, 135-162. ISBN 978-602-72071-1-0 UPAYA MENINGKATKAN MINAT BELAJAR KIMIA MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TGT TEAMS GAMES TOURNAMENT Nurhidayati 1 Ninik Nigusti Ayu Sunardi 2 Winda Tri Lestari 3 1,2,3 Mahasiswa Pendidikan Sains, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya E-mail: nurhidayatigmail.com ABSTRAK Ilmu kimia merupakan bagian yang penting untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia dalam menunjang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian proses pembelajaran kimia di dalam kelas harus berkualitas dan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan dan mampu meningkatkan bakat dan minat siswa. Namun kenyataannya di MAN Bangkalan minat siswa dalam belajar kimia sangat kurang, karena strategi pembelajaran yang digunakan cenderung bersifat tradisional ceramah. Untuk mendapatkan solusi dari permasalahan tersebut maka dilakukan penelitian tindakan kelas dengan menggunakan suatu model pembelajaran kooperatif tipe TGT dalam pembelajaran reaksi redoks. Penelitian tindakan kelas ini dilakukan dalam dua siklus pembelajaran masing-masing siklus terdiri atas empat langkah yaitu 1 Perencanaan, 2 Tindakan pembelajaran kooperatif tipe TGT, 3 Observasi, 4 Refleksi. Subjek penelitian adalah siswa kelas X MIA-1 MAN Bangkalan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan minat dan ketuntasan belajar siswa dalam pembelajaran kimia. Kata Kunci: Pembelajaran kooperatif tipe TGT, minat, ketuntaan belajar ABSTRACT Chemistry is an important part of improving human resources in supporting the advancement of science and technology. Thereby process study of chemistry in class have to with quality and carried out by interaktif, inspiratif, pleasing and can improve student enthusiasm and talent. But in contrass in MAN Bangkalan students interest in learning chemistry is lacking, besides learning strategies used tend to be traditional lecture. To get the solution of the problem of classroom action research conducted by using a model of cooperative learning of TGT in learning oxidation-reduction reactions. This classroom action research study was conducted in two cycles each cycle consists of four steps: 1 planning, 2 Actions cooperative learning, 3 observation, 4 Reflection. The subjects were students of class X MIA-1 MAN Bangkalan. The results show that there is an increased interest and increase in learning completeness students in learning chemistry. Keywords : Cooperative learning, interest, mastery learning ISBN 978-602-72071-1-0 PENDAHULUAN Kurikulum yang sekarang dilaksanakan di Indonesia adalah Kurikulum 2013. Menurut Permendikbud 2013, tujuan pendidikan IPA menekankan pada pemahaman tentang lingkungan dan alam sekitar beserta kekayaan yang dimilikinya yang perlu dilestarikan dan dijaga dalam perspektif biologi, fisika, dan kimia Berbagai kegiatan telah dilakukan guna mendukung keberhasilan implementasi kurikulum 2013. Mulai dari pembangunan sarana dan prasarana sampai pada perubahan pola pengembangan proses belajar mengajar di dalam kelas. Ini sejalan dengan standar proses pendidikan PP No. 32 Tahun 2013 pasal 19 ayat 1 yang menyatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kimia sebagai bagian dari ilmu pengetahuan alam memegang peran yang sangat penting dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk menunjang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian proses pembelajaran kimia di dalam kelas harus berkualitas dan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan dan mampu meningkatkan bakat dan minat siswa. Oleh karena itu peran aktif semua pihak yang terlibat di dalam pendidikan sangat dibutuhkan khususnya guru, agar siswa berminat untuk belajar Kimia. Salah satu indikator keberhasilan di bidang pengajaran adalah perolehan nilai yang baik dari hasil belajar dan minat siswa dalam mempelajari Kimia. Sejalan dengan itu maka dalam proses belajar mengajar guru harus memiliki strategi agar siswa termotivasi dan memiliki minat untuk belajar kimia. Proses belajar mengajar perlu diupayakan secara maksimal, agar lebih menarik dan berkesan dalam benak siswa, sehingga minat belajar siswa meningkat, siswa merasa senang dan materi yang dipelajari dikuasai oleh siswa. Suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan minat siswa salah satunya adalah model pembelajaran kooperatif. Unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif meliputi beberapa aspek yaitu sehidup sepenanggungan bersama, bertanggung jawab atas segala sesuatunya di dalam kelompok seperti milik sendiri, semua anggota dalam kelompok memiliki tujuan yang sama, membagi tugas dan tanggung jawab yang sama dalam kelompok, evaluasihadiahpenghargaan untuk kelompok, berbagi kepemimpinan, mempertanggungjawabkan secara individual di dalam kelompok kooperatif. Secara umum kesulitan belajar secara individu dirasakan oleh siswa, untuk itu diperlukan tutor sebaya sehingga terjadi interaksi dengan orang lain dalam membangun pemahaman pengetahuannya. Sifat kompetisi secara individu ditiadakan tetapi kompetisi kelompok tetap dilakukan untuk memacu mencapai keberhasilan bersama. Pembelajaran kooperatif dapat membantu siswa dalam pembelajaran akademis. Teknik-teknik pembelajaran kooperatif lebih unggul dalam meningkatkan hasil dibandingkan dengan pengalaman individual atau kompetitif. Siswa lebih banyak belajar dari satu teman yang lain diantara sesama siswa daripada belajar dari guru. Dalam pembelajaran kooperatif motivasi terletak pada bagaimana bentuk hadiah atau struktur pencapaian tujuan saat siswa melaksanakan kegiatan Model pembelajaran kooperatif tipe TGT merupakan suatu model pembelajaran yang memadukan antara belajar dan turnamen di dalamnya. Model pembelajaran kooperatif tipe TGT membuat siswa menjadi lebih senang dalam mengikuti pelajaran karena ada kegiatan permainan berupa tournamen. Pada model pembelajaran kooperatif tipe TGT siswa lebih bersemangat dalam mengikuti pelajaran, karena dalam pembelajaran guru menjanjikan sebuah penghargaan pada siswa atau kelompok terbaik sehingga dapat menggugah minat siswa untuk belajar. Menurut Slameto 2010:180, minat adalah rasa suka dan ketertarikan pada suatu aktifitas tanpa ada yang menyuruh. Sedangkan menurut Gie 2002 minat adalah rasa ketertarikan pada suatu kegiatan karena sadar akan pentingnya kegiatan itu sehingga ia akan terlibat penuh didalamnya. Dalam upaya membangkitkan minat siswa dalam belajar kimia, seorang guru dituntut untuk pandai mengadakan variasi dalam mengajar. Variasi dalam kegiatan pembelajaran dapat dilakukan menggunakan beberapa cara yaitu variasi dalam penggunaan metode pembelajaran, variasi dalam penggunaan media dan sumber belajar, variasi dalam pemberian contoh dan ilustrasi, serta variasi dalam interaksi dan kegiatan peserta didik. Sementara itu Djaali 2011 mengatakan bahwa minat pada dasarnya adalah penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Untuk itu semakin kuat atau dekat hubungan tersebut maka semakin besar minatnya, jika seorang siswa memiliki minat untuk berperan aktif di lingkungan sekolah maka minat akan timbul perasaan aktif dalam diri siswa untuk mengikuti kegiatan- kegiatan kelas atau sekolah. Hal ini sejalan dengan pendapat Utomo 1991 mengatakan, jika seseorang ingin berhasil dalam belajar, maka ia harus aktif belajar, dan untuk keaktifannya, minat harus ditimbulkan semaksimal mungkin. Menurut Usman 2005, perubahan tingkah laku meliputi 3 tiga aspek, yaitu aspek pengetahuan Kognitif, yaitu dari tidak tahu menjadi mengetahui dan dari tidak mengerti menjadi mengerti, aspek keterampilan Psikomotor, yaitu dari tidak biasa menjadi biasa dan dari tidak terampil menjadi terampil; aspek sikap Afektif, yaitu dari ragu-ragu ISBN 978-602-72071-1-0 menjadi yakin, dari tidak sopan menjadi sopan, dari kurang ajar menjadi terpelajar. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam belajar, dapat dilakukan melalui tes hasil belajar atau tugas-tugas yang lain. Hasil belajar adalah pola-pola perubahan tingkah laku seseorang yang meliputi aspek kognitif, afektif danatau psikomotor setelah menempuh kegiatan belajar tertentu yang tingkat kualitas perubahannya sangat ditentukan oleh faktor- faktor yang ada dalam diri siswa dan lingkungan sosial yang mempengaruhinya. Dengan demikian diadakan suatu penelitian mengenai pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe TGT dalam meningkatkan minat dan hasil belajar siswa. Tujuan dari penelitian ini adalah meningkatnya minat belajar kimia pada siswa SMA, ketuntasan belajar siswa serta kompetensi guru dalam pengelolaan Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT. METODE PENELITIAN Pada tahap persiapan penelitian, yang perlu dipersiapkan sebelum melakukan penelitian ini meliputi pembuatan soal-soal pre tes dan post tes, kuosioner untuk mengumpulkan data minat siswa dalam mempelajari reaksi redoks, lembar kerja siswa yang berkaitan dengan materi, kartu soal dan kartu point, setelah itu membagi siswa dalam kelompok- kelompok dengan tiap kelompok terdiri dari 5 orang. Kriteria keberhasilan penelitian ini adalah adanya peningkatan minat siswa dalam pembelajaran Kimia khususnya materi reaksi redoks. Indikator siswa yang memiliki minat tinggi adalah mengikuti kegiatan pembelajaran dengan penuh perhatian dan keseriusan yang dapat dilihat dari lembar observasi, hal ini juga dipakai sebagai acuan penilaian segi afektif, untuk proses pembelajaran di dalam kelas, apakah mereka senangpuas, inisiatif bertanya dan mengembangkan materi pembelajaran, dapat dilihat dari hasil pengamatan dan hasil penilaian tugas-tugas, meningkatnya nilai tes akhir siswa dibanding nilai pre tes. Langkah dalam penelitian ini menggunakan dua siklus. Siklus 1 terdiri dari beberapa tahapan meliputi tahapan perencanaan, tahap pelaksanaan dan observasi, serta tahap refleksi. Kemudian dilanjutkan dengan siklus 2 yang meliputi tahap perencanaan, tahap pelaksanaan dan observasi, tahap refleksi, analisis dan evaluasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Implementasi Perangkat pembelajaran di MAN Bangkalan dengan subyek penelitian sejumlah 30 siswa kelas X MIA-1 MAN Bangkalan. Peneliti bertindak sebagai guru selama penelitian tersebut. Analisis terhadap hasil penelitian menggunakan statistik deskriptif yang umumnya berupa deskripsi skor rata-rata dan prosentase. Tabel 1. Minat siswa dalam belajar kimia dengan pembelajaran kooperatif tipe TGT. N o. Uraian Kegiatan Belajar Mengajar Respon Siswa Skor Rata- Rata Kategori Siklu s 1 Siklu s 2 I Pendapat senang tidaknya diajar dengan model pembelajar ankooperati f tipe TGT 60 62 61 Senang berminat II Pendapat terhadap komponen kegiatan belajar mengajar barutidak baru 60 60 60 Kompo- nen KBM baru III Respon minat dan keinginan diajar kembali dengan model pembelajar an kooperatif tipe TGT 35 35 35 Berminat Dari data yang ditunjukkan pada Tabel 1, skor rata-rata untuk masing-masing kategori pengamatan terhadap komponen kegiatan belajar mengajar adalah senangberminat. Siswa secara umum sangat respon mengikuti pembelajaran, terlebih lagi pada saat pelaksanaan turnamen. Siswa sangat antusias karena masing-masing siswa berkompetisi untuk mengangkat nilai poin untuk kelompoknya. Suasana kelas sangat menyenangkan pada saat pemberian penghargaan terhadap masing-masing kelompok turnamen. Tabel 2. Penilaian pengelolaan pembelajaran melalui kooperatif tipe TGT N o. Aspek Yang Diamati Skor Tiap siklus Skor Rata- Rata Katego ri Siklu s 1 Siklu s 2 1 2 3 4 5 Pendahuluan Kegiatan inti Penutup Pengelolaan waktu Pengamatan suasana kelas 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 Baik Baik Baik Baik Baik ISBN 978-602-72071-1-0 Dari data di atas menunjukkan skor rata-rata untuk masing-masing kategori pengamatan KBM secara umum kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dengan pembelajaran kooperatif tipe TGT adalah baik. Siswa lebih antusias mengikuti pembelajaran karena ada kegiatan turnamen. Sedangkan untuk penilaian keberhasil belajar siswa diperoleh dari setiap individu dengan kemampuan masing-masing untuk dapat melihat tingkat kebehasilan proses pembelajaran melalui model pembelajaran kooperatif tipe TGT. Tes hasil belajar yang diberikan kepada siswa berupa ulangan harian dengan jumlah soal sebanyak 10 soal berupa uraian essay. pada siklus 1. Pada siklus 2 siswa menyelesaikan 10 soal uraian. Hasil evaluasi ini bersifat sebagai data yang kemudian diolah melalui analisis hasil ulangan disetiap siklus dan kemudian diperoleh prosentasi ketuntasan belajar berdasar proporsi menjawab benar setiap individu minimal 65 KKM = 65. Tabel 3. Prosentase ketuntasan siswa dalam KBM melalui pembelajaran kooperatif tipe TGT No. RancanganSkenari o Pembelajaran Keadaan Siswa Dalam Ketuntasan Belajar Jumlah siswa yang mengikut i Jumla h siswa yang tuntas Jumla h siswa yang tidak tuntas Prosentase ketuntasan 1 Siklus 1 30 14 16 47 2 Siklus 2 30 20 10 67 Dari data di atas nampak bahwa terjadi peningkatan ketuntasan belajar pada setiap pelaksanaan pembelajaran siswa selama dua kali kegiatan. Hal ini dapat diartikan juga bahwa siswa mulai semakin dapat menyesuaikan dengan model pembelajaran yang baru. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil analisis data penelitian perangkat pembelajaran kimia dengan materi reaksi redoks di MAN Bangkalan dengan dua siklus dapat disimpulkan antara lain: 1. Respon siswa sangat baik dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar dari kedua siklus dengan model pembelajaran kooperatif tipe TGT. 2. Kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran kooperatif tipe TGT adalah baik, semua siswa terlihat aktif sehingga pembelajaran lebih berpusat pada siswa. 3. Ketuntasan belajar siswa meningkat terus dari siklus pertama 47 menjadi 67 pada siklus kedua. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti dapat memberikan saran-saran sebagai berikut : 1. Perlu adanya penelitian dengan strategimodel pembelajaran yang lain, sehingga bisa memilih strategi mana yang lebih baik untuk dilaksanakan di sekolah, ditinjau dari segi minat dan ketuntasan belajar. 2. Perlu adanya penelitian dengan strategimodel pembelajaran yang sama tetapi untuk mengukur komponen yang berbeda misalnya motivasi dan kemampuan berpikir kritis siswa. Penelitian ini dapat ditindaklanjuti sampai siklus berikutnya sehingga diperoleh hasil pengamatan yang lebih valid. DAFTAR PUSTAKA Mulyasa, E 2005. Menjadi Guru Profesional, BAB II. Bandung : Rosda Karya Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi . Jakarta : PT. Rineka Cipta. Gie, The Liang. 2002. Cara Belajar yang Efisien. Yogyakarta: Pusat Kemajuan Studi. Johnson, D. W., Johnson R.T. 2002. Meaningful Asessment . Boston : Alin dan Bacon.u Djaali, H. 2011. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara Usman, Moh. Uzer. 2005. Menjadi Guru Profesional . Bandung : Remaja Rosdakarya. ISBN 978-602-72071-1-0 VALIDASI MODEL PEMBELAJARAN UNTUK MENUMBUHKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN PEMAHAMAN KONSEP MAHASISWA Afadil 1 Suyono 2 Sri Poedjiastoeti 3 1 Universitas Tadulako 2,3 Universitas Negeri Surabaya Email: sukarmanafadilyahoo.co.id ABSTRAK Desain penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan Research and Development dengan tujuan menghasilkan suatu model pembelajaran problem solving berbasis filosofi sains untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis dan pemahaman konsep mahasiswa yang valid, praktis, dan efektif. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka penelitian ini dilakukan dalam 3tiga tahap, yaitu; 1 studi pendahuluan define, 2 pengembangan model design, dan 3 pengujianimplementasi produk develop. Studi pendahuluan mencakup kajian teoritik dan empiris. Pada tahapan pengembangan model dilakukan penyusunan draf model pembelajaran. Kevalidan model pembelajaran dilakukan melalui FGD Focus Group Discussion bersama dengan tim ahli pendidikan. Hasil penilaian ahli melalui kegiatan FGD bahwa model yang dikembangkan memiliki rata-rata validitas isi setiap aspek penilaian sebesar 11,66 dan validasi konstruk sebesar 4,50 dan kriteria reliabilitas tinggi dengan nilai agreements 0,94. Berdasarkan hasil analisis validitas yang didukung analisis reliabilitas maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran yang dikembangkan bersifat valid dan dapat dipercaya untuk memperoleh data yang akurat dalam kegiatan pembelajaran. Kata kunci : Validitas Model Pembelajaran, Berpikir Kritis, Pemahaman Konsep ABSTRACT The study design is a research and development with the aim of producing a model of problem solving-based learning philosophy of science to foster critical thinking skills and understanding of concepts students are valid, practical and effective. To achieve these objectives, the research was conducted in three 3 phases, namely; 1 The preliminary study define, 2 development model design, and 3 testingimplementation of the product develop. Preliminary study includes theoretical and empirical studies. At the stage of the drafting of model development done learning model. The validity of the model of learning is done through the FGD Focus Group Discussion along with a team of education experts. Results of expert assessment through activities that models developed FGD has an average validity of the contents of each aspect rating of 11.66 and construct validation of 4.50 and high reliability criteria agreements with a value of 0.94. Based on the analysis of validity and reliability, it can be concluded that the learning model developed is valid and can be trusted to obtain accurate data in the learning activities. Keywords: Validity of Learning Model, Critical Thinking, Concept Understanding. ISBN 978-602-72071-1-0 PENDAHULUAN Ilmu kimia diperoleh dan dikembangkan umumnya berdasarkan eksperimen yang melibatkan keterampilan dan penalaran dalam mencari jawaban atas pertanyaan apa, bagaimana, dan untuk apa gejala-gejala alam khususnya yang berkaitan dengan komposisi, struktur, sifat, transformasi, dinamika, dan energetika zat. Bila dipandang dari sisi filsafat ilmu, konsep-konsep dalam sains termasuk kimia mengacu pada tiga pertanyaan, yaitu berkaitan dengan aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Hal ini menunjukkan bahwa untuk memahami ilmu kimia diperlukan seperangkat keterampilan berpikir tingkat tinggi Chandrasegaran, Treagust Mocerino, 2007. Kemampuan berpikir kritis merupakan keterampilan berpikir tingkat tinggi yang diperlukan mahasiswa dalam membuat keputusan yang dapat dipercaya dan bertanggung jawab. Selain itu keterampilan berpikir kritis juga merupakan inkuiri kritis sehingga mahasiswa yang berpikir kritis akan melakukan aktivitas berpikir dalam menyelidiki masalah, mengajukan pertanyaan, memberikan jawaban baru, menemukan informasi, dan menarik kesimpulan Schafersman, 1991. Oleh karena itu mahasiswa perlu meningkatkan kemampuan berpikir kritis, karena banyak mahasiswa yang gagal menggunakan penalaran yang baik dalam memecahkan suatu masalah disebabkan karena kemampuan berpikirnya rendah Halpern, 1999. Menurut Achmad 2012, yang perlu diperhatikan bahwa proses belajar mengajar kimia antara pengajar dan mahasiswa terlibat dalam sederetan kegiatan intelektual yang rumit melalui pengamatan fenomena, mempelajari fakta, memahami model dan teori, mengembangkan keterampilan penalaran, dan menguji epistemologi kimia. Menurut Ibrahim 2008 bahwa pembelajaran IPA termasuk didalamnya kimia selain terdiri dari konsep, hukum, prinsip, teori, dan fakta, informasi serta prosedur juga mengandung peristiwa, gejala atau fenomena yang berpotensi dapat dijadikan model di dalam pembelajaran untuk mencapai hasil pembelajaran sikap positif dan memahami makna kehidupan, asal direncanakan dengan cara yang benar. Oleh karena itu pengembangan model pembelajaran ini mengharapkan pemahaman mahasiswa terhadap suatu konsep hendaknya berkaitan dengan aspek filosofi sains yaitu berusaha menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Masalah mendasar dalam pembelajaran kimia yang menyebabkan tingkat pemahaman konsep yang rendah pada siswa saat ini adalah 1 diperolehnya pemahaman kimia oleh siswa yang tidak utuh, dan 2 tidak optimalnya perkembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi higher order of thinking skills = HOTS. Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk melaksanakan pembelajaran kimia yang sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013 diperlukan: 1 pemahaman materi kimia secara mendasar oleh guru 2 kemampuan guru dalam memanfaatkan materi pelajaran untuk meningkatkan karakter dan HOTS siswa, dan 3 kemampuan guru untuk memanfaatkan secara optimal TIK dalam pembelajaran. Effendy, 2014. Esensi mendasar model pembelajaran ini adalah berupa penyuguhan permasalahan kimia yang otentik dan bermakna kepada mahasiswa untuk diselesaikan melalui penyelidikan atau investigasi kelompok secara kooperatif berdasarkan kajian aspek filosofi sains untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis dan pemahaman konsep mahasiswa. Kelompok dijadikan sebagai sarana sosial dan rencana yang diputuskan oleh kelompok sebagai sarana pendorong keterlibatan maksimal mahasiswa. Model pembelajaran ini diimplementasikan dalam lingkungan pembelajaran yang mendukung dialog interpersonal dan memperhatikan dimensi sosial dalam proses pembelajaran sehingga tidak ditemukan adanya mahasiswa yang berprestasi tinggi secara akademik tidak menghargai rekannya yang memiliki prestasi lebih rendah. Karakteristik model pembelajaran ini dirumuskan berdasarkan kajian teori dan analisis pada tahap pendahuluan dan pengembangan. Model pembelajaran berbasis filosofi sains disusun dengan mengacu pada ciri-ciri suatu model pembelajaran menurut Arends 1997 yang memberikan gambaran setidak-tidaknya ada 4 empat ciri khusus dari suatu model pembelajaran yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran, yaitu; 1 rasional teoritik logis yang disusun oleh perancangnya, 2 landasan pemikiran tentang tujuan pembelajaran yang hendak dicapai dan bagaimana pembelajaran untuk mencapai tujuan tersebut, 3 aktivitas gurudosen dan siswamahasiswa yang diperlukan agar model tersebut terlaksana dengan efektif, dan 4 lingkungan belajar yang diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Kualitas rancangan model yang dihasilkan harus memenuhi 3 tiga kriteria Nieveen, 2007. Pertama adalah kevalidan, yaitu mencakup relevansi validitas isi dan konsistensi validitas konstruk. Kedua adalah kepraktisan, yaitu desain model pembelajaran yang dikembangkan dapat diterapkan secara nyata di lapangan. Ketiga adalah keefektifan, yaitu imlementasi model pembelajaran di lapangan memberikan hasil sesuai tujuan. Data kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan diperoleh melalui tahap pengembangan model pembelajaran. METODE PENELITIAN Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain penelitian dan pengembangan Research and Development yang mengacu pada langkah-langkah Borg dan Gall 1983 dan dimodifikasi oleh Sukmadinata 2012 yang terdiri dari tiga tahap, yaitu 1 studi pendahuluan define, 2 pengembangan model design, dan ISBN 978-602-72071-1-0 3 pengujian implementasi produk develop. Berdasarkan data yang diperoleh dari studi lapangan dan mengacu pada dasar teori dari hasil studi kepustakaan, selanjutnya disusun draf produk awal model pembelajaran yang akan dikembangkan. Draf model pembelajaran yang dihasilkan pada tahap studi pendahuluan selanjutnya akan divalidasi menggunakan lembar validasi. Lembar validasi model pembelajaran PBS2F disusun dengan maksud untuk memperoleh data kevalidan model. Data kevalidan model yang dibutuhkan yaitu hasil penilaian terhadap draf model yang sudah disusun, kevalidan model diperoleh dari sejumlah ahli pendidikan. Teknik yang ditempuh untuk memperoleh data kevalidan model itu adalah dengan memberikan lembar penilaian model beserta naskah buku model disertai video pembelajaran kepada tim ahli melalui FGD Focus Group Discussion . Pada lembar penilaian disediakan pula item penilaian umum dan ruang sarankomentar bagi penilai. Lembar validasi model pembelajaran divalidasi terlebih dahulu oleh tim ahli yang lain sebelum digunakan dalam kegiatan FGD. Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses analisis data kevalidan model pembelajaran PBS2F adalah sebagai berikut:  Melakukan rekapitulasi hasil penilaian ahli ke dalam tabel yang meliputi aspek yang dinilai dan hasil penilaian validator  Menentukan rata-rata hasil penilaian ahli untuk setiap aspek  Menentukan kriteria validitas setiap aspek dengan mencocokkan rata-rata aspek dengan kriteria validitas yang ditetapkan  Kriteria validitas setiap aspek ditetapkan berdasarkan kriteria penilaian yang dikemukakan oleh Rochmad 2009, yaitu: 4,5 ≤ VaM ≤ 5 sangat valid 3,5 ≤ VaM 4,5 valid 2,5 ≤ VaM 3,5 cukup valid 1,5 ≤ VaM 2,5 kurang valid 1 ≤ VaM 1,5 tidak valid Keterangan: VaM adalah rata-rata hasil penilaian ahli terhadap model pembelajaran yang dikembangkan. Kriteria yang digunakan untuk memutuskan bahwa model pembelajaran PBS2F memiliki derajat validitas yang baik adalah apabila VaM berada dalam kriteria minimal valid atau VaM ≥ 3,5. HASIL DAN PEMBAHASAN Validasi model pembelajaran PBS2F dilakukan oleh tim ahli melalui kegiatan Focus Group Discussion FGD terhadap isi dan konstruk draf model pembelajaran dengan menggunakan lembar penilaian validasi isi dan konstruk. Penilaian validasi isi dan konstruk didasarkan pada buku model yang didukung oleh video pembelajaran. Buku model berisi gambaran lengkap tentang model pembelajaran PBS2F, sedangkan video pembelajaran menggambarkan pelaksanaan sintaks model pembelajaran yang dijabarkan dalam buku model. Penilaian ahli dilakukan dengan menggunakan lembar penilaian yang diisi oleh validator dengan memberi skor yang dilengkapi dengan pemberian komentarsaran, selanjutnya skor yang diberikan oleh validator digunakan untuk menentukan kriteria validitas model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian. Namun sebelum lembar validasi isi dan lembar validasi konstruk model pembelajaran PBS2F digunakan, terlebih dahulu dilakukan validasi awal oleh 2 dua ahli lainnya. Setelah dilakukan perbaikan berdasarkan komentarsaran validator awal, maka lembar validasi isi dan konstruk selanjutnya divalidasi oleh 3 tiga ahli melalui kegiatan FGD. Tujuan penggunaan lembar validasi isi adalah untuk mendapatkan penilaian Layak Digunakan LD, Layak Digunakan dengan Perbaikan LDP, atau Tidak Layak Digunakan TLD. Hal ini merujuk defenisi validasi isi menurut Nieveen 2007 yaitu suatu model pembelajaran dikatakan memiliki validitas isi yang baik, apabila komponen-komponen model dilandasi rasional teoritis yang kuat state of the art knowledge . Data validitas isi dan konstruk model pembelajaran PBS2F dianalisis melalui perhitungan nilai rata-rata setiap aspek yang diberikan oleh validator. Kriteria yang digunakan untuk menentukan bahwa model pembelajaran memiliki derajat validitas yang baik jika kriterianya minimal valid dengan nilai VaM ≥ 3,5 Rochmad, 2009. Adapun hasil penilaian setiap aspek validasi isi dan kriteria validitasnya terdapat pada Tabel 1 Tabel 1 Hasil Penilaian Validator terhadap Validasi Isi Model Pembelajaran PBS2F No Aspek Penilaian Rata-rata Penilaian Validator Kriteria Validitas I Tujuan 4,00 Valid II Teori Pendukung 18,33 Sangat Valid III Sintaks Pembelajaran 18,33 Sangat Valid IV Lingkungan Belajar 13,33 Sangat Valid V Kesimpulan Umum Validasi 4,33 Valid Selain validitas isi, juga diukur validitas konstruk model pembelajaran PBS2F. Tujuan pengukuran validasi konstruk adalah untuk mendapatkan penilaian Layak Digunakan LD, Layak Digunakan dengan Perbaikan LDP, atau Tidak Layak Digunakan TLD. Hal ini merujuk dari defenisi validasi konstruk menurut Nieveen 2007 yaitu suatu model pembelajaran dikatakan memiliki validasi konstruk yang baik apabila terdapat konsistensi di antara komponen-komponen model secara internal internally consistent dan tidak saling ISBN 978-602-72071-1-0 kontradiktif. Penentuan dan perhitungan kriteria validitasnya menggunakan cara yang sama dengan penentuan dan perhitungan kriteria validitas lembar validasi isi. Adapun hasil penilaian validator pada setiap aspek validasi konstruk dan kriteria validitasnya terdapat pada Tabel 2 Tabel 2 Hasil Penilaian Validator terhadap Validasi Konstruk Model Pembelajaran PBS2F No Aspek Penilaian Rata-rata Penilaian Validator Kriteria Validitas 1 Kesesuaian antara tahapan model dengan tujuan yang ingin dicapai tidak kontradiktif 5,00 Sangat Valid 2 Keterkaitan teori- teori pendukung dan karakteristik kimia saling mendukung 4,33 Valid 3 Pemahaman prinsip dari teori- teori pendukung dengan tujuan dan karakteristik kimia tidak kontradiktif 4,33 Valid 4 Keterkaitan setiap tahapan pembelajaran pada model pembelajaran problem solving berbasis filosofi sains secara internal saling mendukung 4,67 Sangat Valid 5 Aktivitas mahasiswa dan dosen pada setiap tahapan pembelajaran pada model problem solving berbasis filosofi sains saling terkait 4,33 Valid 6 Penggunaan sumber belajar untuk pencapaian tujuan saling mendukung 4,67 Sangat Valid 7 Pola interaksi antara dosen dan mahasiswa saling mendukung 4,33 Valid 8 Perilaku dosen dalam memberikan motivasi untuk 4,00 Valid No Aspek Penilaian Rata-rata Penilaian Validator Kriteria Validitas membangkitkan minat belajar mahasiswa tergambar dalam tahapan pembelajaran Penilaian validator terhadap validitas isi dan konstruk model pembelajaran PBS2F dalam Tabel 1 dan Tabel 2 menunjukkan bahwa penilaian ahli terhadap 4 empat aspek validasi isi model pembelajaran PBS2F dihasilkan 3tiga aspek yang dinyatakan sangat valid dan 1 satu aspek dinyatakan valid, dengan kesimpulan validitas isi bersifat valid. Sedangkan validasi konstruk terdapat 5 lima aspek dinyatakan valid dan 3 satu aspek dinyatakan sangat valid. Berdasarkan hasil penilaian tersebut, memberikan gambaran bahwa keempat karakteristik model sesuai yang dikemukakan oleh Arends 1997 yang dituangkan dalam model pembelajaran PBS2F bersifat valid. Hal ini menunjukkan bahwa desain model pembelajaran PBS2F telah didasarkan pada pengetahuan ilmiah didukung oleh landasan teoritik dan terdapat konsistensi internal di antara komponen- komponen desain model PBS2F, sehingga dapat dikatakan bahwa model pembelajaran PBS2F bersifat valid ditinjau dari aspek isi dan konstruk. Model pembelajaran yang dikembangkan terdiri dari 6 enam tahap. Tahapan model pembelajaran di awali dengan identifikasi masalahkesulitan. Pada tahapan ini, mahasiswa menuliskan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam menyelesaikan masalah. Tahap pertama dilakukan oleh mahasiswa secara individu. Selanjutnya kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh setiap mahasiswa akan dibahas bersama-sama dengan anggota kelompok pada tahap kedua yaitu merencanakan penyelesaian masalah. Pada tahap kedua ini, mahasiswa secara berkelompok mendalami kesulitan-kesulitan yang dihadapi melalui kajian konsep yang berkaitan dengan masalah yang ingin diselesaikan. Kajian konsep dilakukan berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan aspek filosofi sains, yakni pertanyaan yang berhubungan dengan pertanyaan aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Hasil kajian konsep pada tahap kedua digunakan untuk menyelesaikan masalah pada tahap implementasi rencana tahap ketiga. Pada tahap ketiga mahasiswa secara berkelompok menyelesaikan masalah berdasarkan kajian filosofi sains pada tahap kedua. Hasil implementasi rencana, selanjutnya dikomunikasikan tahap keempat dengan kelompok lain melalui diskusi kelompok untuk menyampaikan jawaban atas masalah yang telah dibahas. Pengecekan kembali tahap kelima dilakukan untuk mengoreksi jawaban yang diperoleh. Tahap kelima dilakukan terintegrasi mulai dari tahap dua, tiga dan ISBN 978-602-72071-1-0 empat model pembelajaran ini. Selain itu, pengecekan kembali juga dilakukan untuk memberikan keyakinan pada diri sendiri dan kelompok atas jawaban masalah yang diselesaikan. Tahap keenam model pembelajaran PBS2F adalah melakukan evaluasi. Evaluasi diberikan kepada setiap mahasiswa untuk mengukur kemampuan berpikir kritis berkaitan dengan topik yang dibahas. Evaluasi juga dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman konsep mahasiswa terhadap topik yang dibahas. Selain analisis validitas juga dilakukan analisis reliabilitas model pembelajaran PBS2F. Analisis reliabilitas bertujuan untuk menentukan tingkat kepercayaan terhadap model pembelajaran yang dikembangkan. Analisis reliabilitas model pembelajaran ditentukan dengan menggunakan rumus percentage agreements . Suatu modelinstrumen dikatakan reliabel dari penilai ahli apabila nilai reliabiltasnya R ≥ 0,70 Abel, Springer Kamata, 2009 . Adapun hasil analisis dan kriteria reliabilitasnya terdapat dalam Tabel 3 Tabel 3 Hasil Analisis Reliabilitas Model Pembelajaran PBS2F Ditinjau dari Validitas Isi dan Konstruk No Lembar Penilaian Rata-rata Penilaian Kriteria Reliabilitas 1 Validasi Isi 0,94 Tinggi 2 Validasi Konstruk 0,94 Tinggi Berdasarkan data Tabel 3 diperoleh nilai rata- rata hasil perhitungan agreements terhadap validasi isi dan konstruk model pembelajaran PBS2F memiliki kriteria tinggi, hasil ini menunjukkan bahwa para ahli menyatakan bahwa model pembelajaran PBS2F dapat dipercaya untuk digunakan dalam kegiatan pembelajaran. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil analisis validitas yang didukung oleh analisis reliabilitas terhadap model pembelajaran PBS2F di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran PBS2F bersifat valid dan dapat dipercaya untuk memperoleh data yang akurat dan dapat diterapkan dalam kegiatan pembelajaran. DAFTAR PUSTAKA Abel,N., Springer, D.W., Kamata,A. 2009. Developing and Validating Rapid Assesment Instrument. New York: Oxford University Press, Inc. Achmad, H., Baradja, L. 2012. Demonstrasi Sains Kimia: Kimia Deskriptif Melalui Demo Kimia . Nuansa. Bandung. Arends, R.I. 1997. Classroom Instruction And Management . USA: The Mc.Graw-Hill Companies,Inc. Borg,W.R., and Gall, M.D. 1983. Education Research An Intruduction . Fourth Edition . New York London: Longman, Inc. Chandrasegaran, Treagust Mocerino, 2007. Enhancing Students’ ude of multiple levels of representation to describe and explain chemical reactions. School Sciences Review ,88.p.325. Effendy, 2014. Pembelajaran Kimia Secara Mendasar untuk Menjawab Tantangan dan Memenuhi Harapan Kurikulum 2013. Materi Seminar Nasional Kimia Universitas Negeri Gorontalo. Halpern, D. F. 1999. Teaching , for critical thinking: Helping college students develop the skills and dispositions of a critical thinker. New directions for teaching and learning, 80, 69-74. Ibrahim, M. 2008. Model Pembelajaran Inovatif IPA Melalui Pemaknaan. Surabaya: Departemen Pendidikan Nasional Balitrbang- Puslitjaknov. Nieveen. 2007. An Introduction to Educational Design Research . SLO. Netherlands institute for curriculum developme. Rochmad. 2009. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme yang Melibatkan Penggunaan Pola Pikir Induktif-Deduktif Model PMBK-ID untuk Siswa SMPMTs. Disertasi. Unesa, Surabaya. Schafersman, S.D. 1991. Introduction to critical thinking . Diambil tanggal 12 Maret 2013, dari http:www. freeinquiry.com critical- thinking. html. Sukmadinata, N.S. 2012. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. ISBN 978-602-72071-1-0 LOG KURIKULER SEBAGAI PEMBELAJARAN ANDRAGOGI BERBASIS GAYA BELAJAR BEBAS MISKONSEPSI GUNA MEMPERSIAPKAN MAHASISWA CALON GURU BERKARYA DALAM MASYARAKAT Kurroti A’yun 1 Suyono 2

1,2

Universitas Negeri Surabaya E-mail: ayun_tlits99yahoo.com ABSTRAK Mahasiswa calon guru kimia harus bebas dari beban miskonsepsi agar siap mengabdi dan berkarya dalam masyarakat. Ditemukan bukti empiris melalui tes pendeteksi miskonsepsi bahwa mahasiswa calon guru kimia Unesa semester VII hampir seluruhnya mengalami miskonseps. Sebagian besar mahasiswa yang mengalami miskonsepsi adalah mahasiswa dengan gaya belajar dimensi pemahaman sequential-global seimbang dengan tingkat konflik kognitif yang beragam. Log kurikuler yang merupakan pengembangan dari pemetaan kurikulum ditelaah secara empiris sesuai dengan pembelajaran untuk orang dewasa andragogi. Andragogi dijadikan teori yang mendasari kerja sama tim dalam mengisi suplemen dalam log kurikuler, karena mahasiswa memiliki motivasi belajar yang berbeda dengan anak usia sekolah, dimana mahasiswa merupakan sosok manusia yang bersiap menuju usia dewasa, yang mencari ilmu tidak hanya ditujukan untuk pengetahuan semata, namun juga untuk diimplementasikan dalam karya dan pengabdian di masyarakat. Kata Kunci: log kurikuler, miskonsepsi, andragogi, gaya belajar sequential-global seimbang, tingkat konflik kognitif ABSTRACT Chemistry student teachers should be free from the burden of misconceptions to be ready to serve and work in the community. Empirical evidence through detector test misconception that chemistry student teachers Unesa at VIIth semester is almost entirely undergo misconception. Most students who have misconceptions is the students who had learning style understanding dimensions in sequential-global by varying levels of cognitive conflict. Log curricular which is the development of curriculum mapping empirically assessed according to adult learning andragogy. Andragogy used as the underlying theory of teamwork in completing the supplement in the log-curricular, because students are motivated to learn different with school-age children, where the student is a human figure that getting into the adult age, who seeks knowledge is not only intended for knowledge alone, but also to be implemented in the work and dedication in the community. Keywords: log curricular, misconceptions, andragogi, global learning style sequential-balanced, level of cognitive conflict ISBN 978-602-72071-1-0 PENDAHULUAN  Para ahli konstruktivis menyatakan bahwa sebenarnya miskonsepsi merupakan hal yang wajar dalam proses pembentukan pengetahuan oleh seseorang yang sedang belajar. Pengetahuan tidak diterima dan sekali jadi, tetapi merupakan suatu proses terus-menerus yang semakin sempurna. Bahkan dalam perkembangan mengkonstruksi pengetahuan peserta didik, dapat bermula dari konsep yang sangat kasar dan sederhana serta tidak lengkap, dan pelan-pelan dalam proses pembelajaran menjadi semakin lengkap, tepat, dan benar, namun guru harus memahami bahwa otak peserta didik tidak seperti buku kosong tabula rasa yang siap ditulisi sesuai dengan kehendak pendidik Redish, 1994. Pendidik harus menyadari bahwa di dalam otak peserta didik sudah ada semacam prakonsepsi, maka tugas guru adalah untuk menekankan konsep yang baru dan berusaha untuk mengubah prakonsepsi peserta didik yang mungkin salah.  Miskonsepsi, terutama terkait konsep kimia terjadi di berbagai tingkatan pendidikan, mulai dari tingkat sekolah sampai tingkat perguruan tinggi, bahkan juga dialami oleh guru yang identik telah menyelesaikan studi di perguruan tinggi. Miskonsepsi konsep kimia di tingkat sekolah telah banyak dilaporkan oleh berbagai peneliti, beberapa di antaranya adalah: miskonsepsi siswa pada konsep-konsep terkait dengan ikatan kimia, asam dan basa, stoikiometri, kesetimbangan kimia Barke et al. , 2012, miskonsepsi siswa pada materi asam dan basa Demircioglu et al., 2005, miskonsepsi siswa terjadi pada materi kesetimbangan kimia Cheung 2008; Camacho and Good, 1989; Bergquist and Heikkinen, 1990.  Miskonsepsi pada mahasiswa dilaporkan oleh Zoller 1990 terkait konsep kimia organik. Miskonsepsi mahasiswa calon guru kimia terkait konsep larutan dilaporkan oleh Akgun 2009, sedangkan terkait larutan, ikatan kimia, kesetimbangan kimia, dan laju reaksi dilaporkan oleh Suyono 2015. Miskonsepsi kimia pada siswa, mahasiswa, dan guru terkait konsep atom, larutan, dan asam basa dilaporkan oleh Taber 2009. Miskonsepsi yang dialami guru sains terkait konsep sains dilaporkan oleh Giamellaro 2005. Kolomuc dan Tekin 2011 menemukan bukti bahwa guru memiliki miskonsepsi pada konsep tentang laju reaksi kimia. Lemma 2013 telah menemukan adanya korelasi secara signifikan antara intensitas miskonsepsi kimia pada siswa dan pada gurunya dengan nilai indeks diskriminasi 90. Artinya miskonsepsi yang terjadi pada siswa 90 disebabkan oleh faktor miskonsepsi yang terjadi pada guru, sedangkan 10 nya adalah akibat faktor lain.  Miskonsepsi disebabkan karena faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal terjadinya miskonsepsi menurut Suparno 2005 dan Thomson, 2006. di antaranya adalah: literatur atau buku teks, konteks pembelajaran, pendidik guru atau dosen, metode pembelajaran. Aydin 2012 menambahkan 4 penyebab eksternal timbulnya miskonsepsi pada diri peserta didik, yaitu: 1 adanya ketidak-konsistenan patokan ilmiah yang dipakai, 2 adanya ketidak-samaan pemakaian bahasa sehari-hari dengan bahasa ilmiah terakait konsep yang dipelajari, 3 kegagalan penyiapan lingkungan mengajar yang sesuai dengan materi dan konsep yang dipelajari, 4 penyajian konsep-konsep dalam pembelajaran tidak diusahakan untuk membangun hubungan antara konsep yang dipelajari dengan pengetahuan yang dipahami secara umum dan tidak mengaitkan konsep yang diajarkan dengan fenomena sehari-hari.  Faktor internal penyebab miskonsepsi bersifat unik dan khusus bagi tiap-tiap peserta didik. Menurut ahli konstruktivis George Kelly yang mengembangkan teori personal construct theory, antara individu satu dengan yang lain memiliki susunan yang unik dalam membangun diri Pope dan Watts dalam Taber, 2001, sedangkan penyebab eksternal biasanya dari materi, guru, bahan ajar, buku siswa, dan metode pembelajaran yang digunakan. Kemp et al., 1994 menjelaskan bahwa karakteristik peserta didik terkait gaya belajar dan kondisitingkat konflik mempengaruhi proses pembelajaran.  Bukti-bukti empiris dan teoritits di atas menunjukkan bahwa miskonsepsi membutuhkan penangan dari pihak guru sebagai faktor eksternal terjadinya miskonsepsi pada siswa. Penelitian ini diutamakan untuk perbaikan beban miskonsepsi pada guru melalui preparasi calon guru kimia yang bebas dari beban miskonsepsi pada konsep terkait larutan kimia.  Log kurikuler sebagai modifikasi dari pemetaan kurikulum digunakan sebagai media untuk perbaikan miskonsepsi secara individu bagi mahasiswa yang memiliki gaya belajar sequential-global seimbang. Alasan digunakannya log kurikuler dalam penelitian ini adalah log kurikuler melibatkan partisipati aktif individual mahasiswa. Partisipasi aktif dalam suatu pembelajaran terbukti efektif membentuk konsepsi peserta didik Giamellaro, 2005 dan Dale, 1969  Penelitian ini menjadikan mahasiswa calon guru kimia sebagai obyek penelitian, maka dari itu program pembelajaran terhadap perbaikan beban miskonsepsi akan disesuaikan dengan sifat pembelajaran bagi calon guru, yang dalam hal ini haruslah bukan pedagogi pembelajaran untuk anak-anak lagi yang diajarkan, akan tetapi lebih condong pada andragogi pembelajaran untuk orang dewasa Pew, 2007; Knowles, 1979. METODE PENELITIAN Identifikasi Beban Miskonsepsi dan Gaya Belajar Mahasiswa  Miskonsepsi dapat dideteksi atau didiagnosis dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan three-tier diagnostic test, yang pertama kali dikembangkan oleh Eryilmaz dan Surmeli pada tahun 2002. Three-tier diagnostic test dikembangkan dari two-tier diagnostic test yang masih kurang meyakinkan untuk dapat membedakan antara miskonsepsi dan tidak tahu konsep Hasan et al. di dalam Pesman dan Erylmas, 2010. Metode three-tier diagnostic test ISBN 978-602-72071-1-0 mahasiswa tidak saja mengandalkan keyakinannya, namun untuk menguatkan keyakinannya dalam menjawab soal diperlukan alasan alternatif yang dimilikinya. Alasan-alasan tersebut terdiri dari jawaban benar dan distraktor, yang terkadang peneliti juga menyediakan tempat khusus jika ada alasan alternatif dari siswa sendiri. Jadi, two tier diagnostic test dikembangkan menjadi tiga tingkat dengan menambahkan tingkat keyakinan pada tingkat ketiga berupa confidence rating CR yang dapat mengukur tingkat kepercayaan keyakinan siswa terhadap jawabannya. Tes pendeteksi miskonsepsi digunakan dalam penelitian ini digunakan untuk memetakan bagaimana riwayat tacit knowledgenya yang mungkin ada yang miskonsepsi dan mungkin ada yang sudah benar konsepnya, bahkan mungkin ada yang tidak tahu konsep. Berikut salah satu contoh tes pendeteksi miskonsepsi yang digunakan dalam rancangan penelitian ini: Tabel 1. Tes Pendeteksi Miskonsepsi Menggunakan Three-tier Diagnostic Test N o . Indi kato r Jeni s Kon sep Butir Soal Kun ci Konstruksi J w b n a l s n 1 2 3 4 5 2 3 . Me mili h nonc onto h Non elekt rolit Manakah dari senyawa di bawah ini yang bukan merupakan non elektrolit? a. NaOH b. NH 2 2 CO c. C 2 H 5 OH d. BaOH 2 Pilihlah salah satu alasan yang sesuai dengan jawaban Anda 1. Soda 2. Urea 3. Sabun 4. Alkohol Apakah Anda yakin dengan jawaban Anda? a. Yakin b. Tidak yakin Diperoleh sebesar 79 mahasiswa yang mengalami miskonsepsi dengan gaya belajar sequential- global seimbang pada materi konsep larutan kimia. Gaya belajar adalah cara khas seseorang dalam mendekati learning belajar tentang hal yang khusus dan studying belajar secara general Woolfolk, 2009. Pritchard 2009 mendiskripsikan bahwa gaya belajar seperti berikut: 1 cara tertentu yang dilakukan seseorang saat belajar, 2 cara terbaik yang dimiliki seseorang saat berpikir, memproses informasi, dan menjelaskan informasi yang diperoleh, 3 kecenderungan seseorang untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan. Setiap peserta didik di kelas memiliki gaya belajar yang berbeda. Pendidik juga memiliki gaya mengajar yang berbeda. Hal tersebut ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Dimensi Gaya Belajar dan Mengajar Sumber: Felder Silverman 1988  Implementasi Strategi Peer Learning Sebagai Andragogi Sesuai Gaya Belajar Sequential-Global Seimbang  Pada proses belajar, pendidik akan mentransfer ilmunya kepada peserta didik. Pada proses ini jika gaya mengajar pendidik sesuai dengan gaya belajar peserta didik, maka peserta didik akan cenderung memperhatikannya, jika sebaliknya peserta didik cenderung mengabaikannya Felder, 1993.  Log kurikuler digunakan sebagai media untuk pembelajaran remedial pada mahasiswa yang identik dengan pembelajaran andragogi sesuai dengan gaya belajar sequential-global seimbang.  Asumsi-asumsi dasar alasan dipakainya pembelajaran andragogi dari pada pedagogi untuk mahasiswa diungkapkan Knowles 1993, sebagai berikut: ISBN 978-602-72071-1-0  Tabel 1. Asumsi Dasar Pedagogi dan andragogi Tentang Pedagogi Andragogi Konsep diri peserta didik Pribadi yang bergantung kepada gurunya Semakin mengarahkan diri self- directing Pengalaman peserta didik Masih harus dibentuk daripada digunakan sebagai sumber belajar Sumber yang kaya untuk belajar bagi diri sendiri dan orang lain Kesiapan belajar peserta didik Seragam uniform sesuai tingkat usia dan kurikulum Berkembang dari tugas hidup dan masalah Oriensi dalam belajar Orientasi bahan ajar subject-centered Orientasi tugas dan masalah task or problem centered Motivasi bbelajar Dengan pujian, hadiah, dan hukuman Oleh dorongan dari dalam diri sendiri internal incentives, curiosity ISBN 978-602-72071-1-0  Giamellaro et al., 2011 memberikan contoh pemetaan kurikulum dalam penelitiannya untuk mengatasi miskonsepsi guru kimia SMP, yang dapat dilihat pada gambar berikut: ISBN 978-602-72071-1-0  Gambar 1. Contoh Pemetaan Kurikulum Untuk Mengatasai Miskonsepsi Pada Guru Kimia SMP ISBN 978-602-72071-1-0  Konsepsi mahasiswa setelah pelaksanaan strategi pembelajaran diketahui melalui tes pendeteksi miskonsepsi kembali.  Desain Penelitian Tipe desain penelitian ini menggunakan tipe A-B- A dengan 3 fase penelitian, yaitu A fase baseline dan B fase intervensi. Fase baseline disini adalah uji soal pendeteksi miskonsepsi, sedangkan fase intervensi adalah pemberian pembajaran remedial dengan strategi peer learning . Adanya pengukuran kondisi baseline pengukuran beban miskonsepsi mahasiswa yang kedua, pada tipe A- B-A ini mengandung arti bahwa peneliti telah melakukan kontrol untuk fase intervensi, hal ini memungkinkan untuk ditarik kesimpulan adanya hubungan fungsional antara variabel bebas yaitu pembelajaran remedial dengan variabel terikat yaitu beban miskonsepsi, gaya belajar mahasiswa. Gambar 3.4 Desain A-B-A Gambaran Desain Single- Subject Research Sumber: Fraenkel and Wallen, 2009 HASIL DAN PEMBAHASAN Hakikat kimia identik dengan hakikat sains, yaitu pengetahuan yang diperoleh dan dikembangkan berdasarkan eksperimen yang mencari jawaban atas pertanyaan apa, mengapa dan bagaimana gejala-gejala alam; khususnya yang berkaitan dengan komposisi, struktur dan sifat, transformasi, dinamika dan energetika tentang materi. Kimia sama halnya dengan sains, merupakan produk pengetahuan yang berupa fakta, teori, prinsip, hukum temuan saintis dan proses pekerjaan ilmiah. Konsep kimia terkait larutan dapat dipahami berdasar hakikat kimia. Larutan menurut sebagian besar peserta didik identik dengan larutan cair dan memiliki atribut kritis dan atribut variabel yang dapat menjebak konsepsi peserta didik, sehingga menyebabkan sulitnya memahami prinsip dan menemukan contoh maupun noncontohnya. Sifat konsep larutan dalam ilmu kimia sangat kompleks, mulai dari konkrit sampai abstrak. Miskonsepsi sering terjadi ketika mahasiswa dihadapkan pada konsep yang bersifat abstrak atau konsep yang berada pada level pemahaman submikrospik Berg, 2011. Terjadinya miskonsepsi siswa pada konsep-konsep larutan kimia telah banyak dilaporkan baik penelitian dalam maupun luar negeri. Kajian beberapa penelitian sebelumnya pada konsep larutan kimia terutama materi terkait kelarutan, difusi, dan dissolution, selain itu peserta didik dilaporkan kebanyakan memahami komponen larutan terbatas pada pelarut-zat terlarut: cair-cair dan cair-padat Akgun, 2009; Berg, 2011; dan Calik and Ayas, 2005. Studi sebelumnya melaporkan bahwa peserta didik mengalami kesulitan dalam menginterpretasi reaksi-reaksi kimia yang terjadi pada larutan kimia. Seçken 2010 menyatakan bahwa sebagian miskonsepsi peserta didik terjadi pada reaksi pembentukan larutan, terutama larutan garam. Hasil penelitian Suyono, dkk. 2015 menyatakan bahwa hampir 100 mahasiswa calon guru kimia semester VII mengalami miskonsepsi, dan 79 di antaranya memiliki gaya belajar sequential-global seimbang. Hasil penelitian Suyono, dkk. 2015, tersebut diperoleh melalui tes pendeteksi miskonsepsi menggunanakan software ionunesa Detector. Hasil tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa calon guru kimia masih terbebani miskonsepsi pada konsep larutan kimia, sehingga dikhawatirkan mahasiswa tersebut ketika lulus nanti masih membawa beban miskonsepsi dan sering membangun konsep baru yang miskonsepsi pada saat berkarya dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam dunia kerja di sekolah. Hasil tersebut menunjukkan perlunya perbaikan beban miskonsepsi yang masih dimiliki mahasiswa melalui pembelajaran remedial berdasarkan karakteristik individual terutama pada karakteristik gaya belajar sequential-global seimbang. Tips belajar dari Felder dan Silverman, 1988 untuk peserta didik bergaya belajar sequential dan global ialah memberi tugas-tugas secara berkesinambungan untuk persiapan menghadapi ujian terhadap metode dasar yang telah dipelajari sequential, tapi tidak memberi latihan yang terlalu banyak, juga menyiapkan soal-soal yang bersifat open-ended dan tugas-tugas untuk menganalisis dan mensintensis pengetahuan global. Pemberian log kurikuler sesuai dengan gaya belajar sequential dan global, sebab di dalam log kurikuler, mahasiswa diberi tugas untuk meringankan proses pembangunan pengetahuannya yang semula miskonsepsi dengan memberi akses yang luas untuk mencari sumber informasi konsep yang di bahas, dalam hal ini larutan kimia. mahasiswa juga diarahkan untuk menganalisis dan mensintnsis pengetahuannya berdasar pembelajaran andragogi melalui praktek peer learning. PENUTUP Simpulan  Program pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik individu mahasiswa dan karakteristik mengajar dosen sebagai pendidik sangat diperlukan untuk mengatasi kondisi miskonsepsi yang terjadi pada mahasiswa prodi pendidikan kimia melalui program pembelajaran yang tervalidasi. Saran 1. Penelitian ini akan menghasilkan sebuah rekomendasi bagi peneliti pada penelitian lanjutan untuk menyusun strategi pembelajaran yang tepat dan tervalidasi dalam mereduksi miskonsepsi. 2. Strategi pembelajaran yang digunakan diharapkan dapat mengatasi beban miskonsepsi yang masih dibawa pada para calon lulusan sarjana pendidikan A B A Kondis i awal baseli Kondisi akhir baselin Treatment pemb. remedial ISBN 978-602-72071-1-0 kimia semester VII masa akhir perkuliahan, sehingga tidak lagi membawa beban miskonsepsi terhadap konsep kimia sebelum meninggalkan kampus untuk berkarya di masyarakat utamanya masyarakat sekolah. DAFTAR PUSTAKA Abosalem, Y.M. 2013. The Relationship Between the Learning Styles of Students in Grades Five and Six and Their Held Misconceptions About Dividing Fractions Based on Kolb’s Model Unpublished master’s thesis. The British University. Akgun, Abuzer. 2009. The Relation between Science Student Teachers’ Misconceptions about Solution, Dissolution, Difusion and their Atitudes toward Science with their Achievement. Education and Science . 2009, Vol. 34, No 154. Aydin, Süleyman. 2012. Remediation of Misconceptions About Geometric Optics Using Conceptual Change Texts. Journal of Education Research and Behavioral Sciences Vol. 11, pp. 001-012, October, 2012 Barke., Hans-Dietter., Harsch., Gunter., Schmid, Siegebert. 2012. Essential of Chemical Education . Berlin: Springer-Verlag Heidelberg Berg, Kevin De. 2011. A Study of First-Year Chemistry Students’ Understanding of Solution Concentration at The Tertiary Level . Chem. Educ. Res. Pract., 2012, 13, 8-16. Bergquist, W., Heikkinen, H. 1990. Student ideas regarding chemical equilibrium: What written test answers do not reveal. Journal of Chemical Education 67 . Camacho, M., Good, R. 1989. Problem Solving and Chemical Equilibrium: Successful Versus Unsuccesful Performance. Journal of Research in Science Teaching 26 1989, 251. Çalık, Muammer., and Ayas, Alipaşa. 2005. A cross-age study on the understanding of chemical solutions and their components. International Education Journal , 2005, 61, 30-41. Cheung, Derek. 2008. Using Think-Aloud Protocols to Investigate Secondary School Chemistry Teacher’s Misconceptions About Chemical Equilibrium . Demircioglu, G., Ayas, A. and Demircioglu, H. 2005. Conceptual Change Achieved Through a New Teaching Program on Acids and Bases. Journal of Royal Society of Chemistry Vol. 6 No. 1. Felder, Richard M., and Silverman, Linda. 1988. Learning and Teaching Styles in Engineering Education . Engineering Education. p. 674-681. Fraenkel, Jack R., and Wallen Norman E. 2009. How to Design and Evaluate Research in Education . McGraw-Hill, an imprint of The McGraw-Hill Companies, Inc., 1221 Avenue of the Americas, New York, NY10020. Giamellaro, Michael., Lan, Ming-Chi., Ruiz-Primo, Maria Araceli., and Li, Min. 2011. Addressing Elementary Teacher Misconceptions in Science and Supporting Peer Learning Through Curriculum Mapping. Seattle: University of Washington. Ibrahim, Muslimin. 2012. Konsep Miskonsepsi dan Cara Mengatasinya . Surabaya: Unesa University Press. Kemp, J.E., Gary R.M., dan Steven M.R. 1994. Designing Effective Instruction . New York: Macmillan College Publishing Company. Knowles, Malcom S. 1980. The Modern Prcatice of Adult Education: From Pedagogy to Andragogy . N.Y.: Cambridge, The Adult Education Company. Kolomuc, Ali., Tekin, Seher. 2011. Chemistry Teachers’ Misconception Concerning Concept of Chemical Reaction Rate. Eurasian J. Phys. Chem. Educ , 32, 84-101. Limón, M. 2001. On the cognitive conflict as an instructional strategy for conceptual change: A critical appraisal. Learning and Instruction, 114 –5,357–380. Pew, Stephen. 2007. Andragogy and Pedagogy as Foundational Theory for Student Motivation in Higher Education . Texas: Park University. Pritchard, Alan. 2009. Ways of Learning: Learning theories and learning styles in the classroom . Second edition. Abingdon: Routledge. Redish, Edward F. 1994. Implications of Cognitive Studies for Teaching Physics. American Journal of Physics , 629 796-803. Seçken, Nilgün . 2010. Identifying Student’s Misconceptions about SALT. Procedia Social and Behavioral Sciences 2 2010 234 –245. Suparno, Paul. 2005. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan. Fisika. Jakarta : Grasindo Suyono dan Hariyanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran Teori dan Konsep Dasar. Bandung: PT Remaja Rosda. Suyono dan Hariyanto. 2015. Implementasi Belajar dan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosda. Suyono, 2014. Preparasi Sarjana Pendidikan Kimia Tanpa Miskonsepsi Di FMIPA UNESA. Pendidikan Kimia Universitas Negeri Surabaya. Taber, Keith S. 2009. Challenging Misconceptions in the Chemistry Classroom: Resources to Support Teachers . ISSN 2013-1755, SCQ-IEC Educació Química EduQnúmero 4 2009, p. 13-20. Woolfolk, Anita. 2009. Educational Psychology Active Learning Edition . Yogyakarta: Pustaka Peserta didik. Zoller, Uri. 1990. Students’ Misunderstanding and Misconception in College Freshman Chemistry General and Organic. Journal of Research in Science Teaching . Vol. 27, No. 10, PP. 1053- 1065. ISBN 978-602-72071-1-0 DETEKSI MISKONSEPSI DAN GAYA BELAJAR MAHASISWA CALON GURU KIMIA PADA KONSEP IKATAN KIMIA Napsin Palisoa

1,2

1 Universitas Pattimura Ambon 2 Universitas Negeri Surabaya Email: nafsin_palisoayahoo.co.id ABSTRAK Konsep ikatan kimia sering kali dipahami secara miskonsepsi oleh mahasiswa, oleh karena itu dalam penelitian ini akan diungkapkan beban miskonsepsi dan gaya belajar mahasiswa calon guru kimia. Data penelitian diperoleh melalui tes pendeteksi miskonsepsi dan gaya belajar menggunakan software pendeteksi ionunesaDetector dan dilakukan di FMIPA Jurusan Kimia Unesa. Hasil tes pemahaman konsep ikatan kimia menunjukkan; dari 88 mahasiswa yang mengikuti tes, terdapat 86 98 mahasiswa masih mengalami miskonsepsi dengan beban miskonsepsi tinggi 34 39 dan beban miskonsepsi rendah 54 61. Hasil tes gaya belajar menunjukkan, dari 88 mahasiswa yang mengikuti tes, terdapat 40 45 mahasiswa memiliki gaya belajar dimensi input visual verbal seimbang. Berdasarkan hasil tersebut menjelaskan bahwa kebanyakan mahasiswa calon guru kimia memiliki gaya belajar dimensi input visual verbal seimbang masih mengalami beban miskonsepsi pada konsep ikatan kimia, sehingga dimungkinkan mahasiswa calon guru kimia ketika lulus nanti masih membawa beban miskonsepsi dan sering membangun konsep baru yang miskonsepsi pada siswa. Kata kunci : Miskonsepsi, gaya belajar, ikatan kimia, mahasiswa calon guru kimia ABSTRACT The concept of chemical bonding is often understood misconceptions by students. Therefore in this study will be disclosed burden of misconceptions and learning styles chemistry student. The research data obtained through misconceptions and learning styles tests using ionunesaDetector software and carried out in the Department of Chemistry Unesa. The results demonstrate that the understanding of the chemical bonds concept of the 88 students who took the test, there were 86 98 of students still have misconceptions with 34 39 of student have high misconception and 54 61 of student have low misconceptions. Learning styles test results showed that there were 40 45 students have a learning style dimensions of input visual-verbal balance from 88 students who took the test. Based on these results explain that most student teachers chemistry has a learning style dimensions of input visual- verbal balance are still having loads of misconceptions on the concept of chemical bonds, so it is possible prospective student chemistry when they graduate still carry the burden of misconceptions and often building a new concept that misconceptions on students. Keywords: Misconception, learning style, chemical bonding, chemistry student teachers ISBN 978-602-72071-1-0 PENDAHULUAN Ilmu kimia memiliki konsep yang berurutan dan berjenjang Kean dan Middlecamp, 1985:5. Menurut Nakhleh 1992:191, jika siswa tidak memahami konsep dasarnya, maka siswa akan mengalami kesulitan dalam memahami konsep yang lebih kompleks. Apabila siswa mengalami miskonsepsi pada salah satu konsep dasar, maka kemungkinan munculnya miskonsepsi pada konsep yang lebih kompleks akan semakin besar. Tujuan mempelajari kimia adalah agar dapat memahami konsep- konsep yang ada dalam ilmu kimia dan selanjutnya dapat mengaplikasikan konsep-konsep tersebut untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan Bowen dan Bunce, 1997. Berdasarkan tujuan tersebut, maka pemahaman yang benar tentang konsep-konsep kimia merupakan hal yang sangat penting. Hans Barke et al., 2009 dalam bukunya misconceptions in chemistry mengemukakan beberapa konsep kimia yang masih dipahami miskonsepsi, yaitu ikatan kimia, kesetimbangan kimia, reaksi asam basa, reaksi redoks, reaksi kompleks dan energi. Konsep-konsep kimia tersebut sangat abstrak sehingga sulit dipahami dan pemahamannya masih miskonsepsi. Hal ini terjadi baik di SMA maupun di perguruan tinggi. Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan LPTK sebagai lembaga penghasil guru, memiliki tanggung jawab besar dalam mempersiapkan calon guru secara umum dan lebih khusus calon guru kimia, diharapkan ketika lulus dan berada di masyarakat sekolah tidak membawa beban miskonsepsi. Hasil penelitian Aleksovska Stojanovski 2005 menyatakan bahwa semua pernyataan yang salah dapat mengakibatkan terbentuknya miskonsepsi baru atau memperkuat miskonsepsi yang sudah ada. Siswa yang memahami konsep secara miskonsepsi akan mengalami kesulitan dalam menghubungkan konsep yang dimiliki dengan konsep-konsep selanjutnya. Oleh karena itu, guru harus mengatahui miskonsepsi yang terjadi pada siswa sehingga mampu merancang proses belajar yang sesuai dengan konsep awal yang dimiliki siswa Upaya memperbaiki konsepsi mahasiswa secara individual dengan memperhatikan karakteristik belajar, yaitu gaya belajar. Hasil penelitian Abosalem 2013 dan Sen Yilmaz 2012 menyatakan salah satu penyebab miskonsepsi pada internal siswa yaitu gaya belajar. Hal tersebut menunjukkan gaya belajar sangat mempengaruhi konsepsi siswa maupun mahasiswa terhadap konsep yang dipelajari. Menurut Sen dan Yilmaz 2012 pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajar siswa, menyebabkan terjadinya penurunan dan penyembuhan miskonsepsi. Hal yang sama menurut Felder, 1993 bahwa siswa yang memiliki gaya belajar sesuai dengan gaya pengajar cenderung menyimpan informasi lebih lama, menerapkannya secara lebih efektif, dan memiliki sikap yang lebih positif terhadap subjek, daripada siswa yang mengalami ketidaksesuaian gaya belajar dengan gaya pengajar. Teori konstruktivis menyatakan belajar sebagai proses aktif, mahasiswa mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri, dan menghendaki gagasan atau ide menjadi miliknya sendiri. Pembelajaran berdasarkan teori konstruktivis kognitif melibatkan proses perubahan konseptual, terutama bila terjadi miskonsepsi alternative conceptionI . Menurut Piaget banyak siswa mengalami pergeseran pengetahuan dan perkembangan konsep melalui konflik kognitif, atau pengalaman internal menimbulkan kontradiksi-kontradiksi yang saling bertentangan, dan sangat penting dalam pengembangan kognitif. Konflik kognitif adalah suatu kondisi perseptual dimana seseorang mengetahui perbedaan antara struktur kognitifnya dengan lingkungan informasi eksternal, atau di antara berbagai komponen. Misalnya, konsepsi, keyakinan, substruktur dan sebagainya dari struktur kognitif seseorang Lee Kwon, 2001. Teori perubahan konseptual menjelaskan konflik kognitif merupakan suatu faktor penting dalam perubahan konseptual. Teori kognitif Piaget dalam Slavin, 2006 mengacu pada pandangan konstruktivis psikologi individu, bahwa untuk membangun pengetahuan terjadi proses perubahan konseptual melalui asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Berdasarkan epistemologi, Posner, Strike, Hewson, dan Gertzog 1982 berasumsi bahwa para siswa tidak akan merubah teori alternatifnya sampai pada saat mengalami konflik kognitif yang menantang konsepsinya saat itu. Kondisi demikian dapat dilakukan pada saat struktur pengetahuan awal mahasiswa masih menyisahkan miskonsepsi, sehingga perlu menciptakan kondisi konflik kognitif, agar terjadi proses perubahan konsep, yang dapat dilakukan melalui pembelajaran remediasi. METODE PENELITIAN Identifikasi Konsepsi Mahasiswa Three-tier diagnostic test pertama kali dikembangkan oleh Eryilmaz dan Surmeli, 2002 untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa. Three-tier diagnostic test terdiri dari tiga tingkatan. Tingkat pertama first tier berupa tes pilihan ganda, tingkat kedua second tier berisi pertanyaan pilihan ganda yang menguji jawaban dengan satu alasan yang benar dan beberapa alasan alternatif, dan tingkat ketiga third tier berisi keyakinan pada kedua pertanyaan sebelumnya Pesman dan Eryilmaz, 2010; Dindar dan Geban, 2011. Metode three- tier diagnostic test siswa tidak saja mengandalkan keyakinannya, untuk menguatkan keyakinan siswa dalam menjawab soal maka perlu alasan alternatif yang dimiliki siswa. Alasan-alasan tersebut terdiri dari jawaban benar dan distraktor, terkadang peneliti juga menyediakan tempat khusus jika ada alasan alternatif dari siswa sendiri . Berikut ini adalah satu contoh three-tier diagnostic test yang diadaptasi dari Pesman dan Eryilman 2010. Kriteria pengelompokan siswa tergolong pada tahu konsep TK, tidak tahu konsep TTK, dan miskonsepsi MK berdasarkan respon jawaban siswa pada masing- masing tier terlihat pada Tabel 1.  Tabel 1. Kriteria Pengelompokan Konsepsi Siswa Berdasarkan Three-tier Diagnostic Test ISBN 978-602-72071-1-0  Tier1  Ti er2  Tier3  Kelom pok Konsepsi  Sin gktn  Jaw aban  Al asan  Keyak inan  Benar  Be nar  Yakin  Tahu konsep  T K  Benar  Be nar  Tidak yakin  Tidak tahu konsep  T TK  Benar  Sa lah  Tidak yakin  Tidak tahu konsep  T TK  Salah  Be nar  Tidak yakin  Tidak tahu konsep  T TK  Salah  Sa lah  Tidak yakin  Tidak tahu konsep  T TK  Salah  Be nar  Yakin  Miskons epsi 1  M K1  Benar  Sa lah  Yakin  Miskons epsi 2  M K2  Salah  Sa lah  Yakin  Miskons epsi 3  M K3 Sumber: Arslan et al., 2012 Mahasiswa yang dipilih dengan pertimbangan- pertimbangan sebagai berikut: 1. Mahasiswa yang dipilih adalah mahasiswa yang telah mempelajari konsep ikatan kimia pada semester sebelumnya. 2. Mahasiswa yang dipilih adalah mahasiswa yang telah mengikuti tes pendeteksi miskonsepsi dan gaya belajar menggunakan software pendeteksi miskonsepsi ionunesa Detector. 3. Mahasiswa yang dipilih adalah mahasiswa memiliki beban miskonsepsi tinggi maupun rendah dengan karakteristik gaya belajar dimensi input visual verbal seimbang pada konsep ikatan kimia. Berdasarkan tes pemahamannya terhadap sebuah konsep ikatan kimia, mahasiswa dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu mahasiswa yang tahu konsep TK, tidak tahu konsep TTK, dan miskonsepsi MK.   HASIL DAN PEMBAHASAN Konsep ikatan kimia termasuk konsep abstrak, memiliki atribut kritis dan atribut variabel yang sulit dimengerti dan dianalisis, menyebabkan sulitnya menemukan contoh dan noncontoh. Konsep ikatan kimia relatif sukar untuk diajarkan dan dipelajari oleh sebagian siswa maupun mahasiswa, karena tidak mungkin mengkomunikasikan informasi atribut kritis konsep ini melalui pengamatan langsung. Oleh karena itu, diperlukan model-model atau ilustrasi yang mewakili contoh dan noncontoh. Contoh konsep abstrak dari ikatan kimia, yaitu atom dan molekul. Konsep ikatan kimia menyatakan sifat dan nama atribut, seperti: massa, berat, muatan listrik, muatan, frekuensi, bilangan oksidasi, dan senyawa yang mudah terbakar. Terjadinya miskonsepsi siswa pada konsep-konsep ikatan kimia telah banyak dilaporkan baik penelitian dalam maupun luar negeri. Beberapa penelitian miskonsepsi ikatan kimia, melaporkan adanya miskonsepsi pada konsep ikatan kimia karena mencakup konsep-konsep abstrak. Berdasarkan kajian beberapa penelitian sebelumnya pada konsep ikatan kimia terutama materi ikatan kovalen menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki berbagai miskonsepsi tentang empat bidang penting yang berkaitan dengan ikatan kovalen, yaitu 1 jenis atau sifat- sifat atom yang membentuk ikatan kovalen, 2 bagaimana ikatan kovalen dibentuk, 3 jenis ikatan kovalen, dan 4 karakteristik stuktur kovalen raksasa. Ikatan kovalen yang dipahami sebelumnya oleh siswa masih miskonsepsi, terutama pada jenis atau sifat-sifat atom yang membentuk ikatan kovalen. Ditemukan bahwa besar kemungkinan mahasiswa memiliki miskonsepsi pada konsep terbentuknya ikatan kovalen antara atom logam dan nonlogam. Studi sebelumnya melaporkan bahwa siswa bingung tentang jenis ikatan kimia dan berpikir seakan ikatan kovalen hanya bisa dibentuk antara atom logam dan non logam. Menurut Unal et al., 2010 sebagian miskonsepsi siswa terjadi pada jenis atau sifat-sifat atom yang membentuk ikatan kovalen, dan bagaimana ikatan kovalen dibentuk. Hal tersebut menyebabkan kebingungan tentang ikatan ionik dan ikatan kovalen yang terjadi satu sama lain. Penelitian sebelumnya juga melaporkan bahwa siswa berpikir seolah-olah ikatan kovalen dibentuk melalui transfer elektron, karena mereka bingung jenis ikatan kimia. Selanjutnya kemungkinan alasan terjadinya miskonsepsi pada bagaimana ikatan kovalen terbentuk, dan bagaimana kemampuan siswa maupun mahasiswa membayangkan suatu atom, dan kapan atom tersebut berinteraksi pembentukan molekul, sehingga siswa bisa memprediksi dengan benar apakah karakteristik atom pembentukan ikatan kovalen dan bagaimana ikatan kimia dibentuk dari ikatan antara atom- atom. Selain itu hasil penelitian Unal et al., 2010 juga melaporkan bahwa siswa bingung tentang ikatan antara kovalen polar dan nonpolar. Miskonsepsi juga terjadi pada konsep elektron ikatan yang menempatkan atom dalam membentuk ikatan kovalen apakah terbentuk ikatan atau tidak antara atom yang sama. Hal yang sama juga dilaporkan dalam studi sebelumnya Unal et al., 2010 bahwa terjadinya miskonsepsi pada jenis ikatan kovalen karena kurangnya atau ketidaktahuan siswa tentang elektronegativitas. Selain itu, Sökmen et al., 2000 mengklaim kebingungan siswa tentang konsep yang diajarkan dalam sekolah memungkinkan sumber miskonsepsi tentang jenis ikatan kovalen. Instrumen pendeteksi miskonsepsi mahasiswa calon guru kimia pada topik ikatan kimia. Topik tersebut adalah materi yang telah diterima mahasiswa kimia dari semester 3. Sebelum tes pendeteksi miskonsepsi dirancang, dilakukan analisa terlebih dahulu terhadap konsep-konsep yang seringkali menimbulkan miskonsepsi. Tujuan dianalisis konsep tersebut adalah untuk memperoleh gambaran yang utuh dan benar mengenai konsep dan sebagai acuan dalam memformulasikan soal-soal yang berbasis konsep. ISBN 978-602-72071-1-0 Berdasarkan hasil penelitian Suyono dkk 2015, yaitu hasil tes pendeteksi miskonsepsi menggunanakan software ionunesa Detector , pada konsep ikatan kimia mahasiswa pendidikan kimia semester V FMIPA Unesa, dari 88 mahasiswa yang mengikuti tes terdapat 86 98 mahasiswa masih mengalami miskonsepsi dengan beban miskonsepsi tinggi 34 39 dan beban miskonsepsi rendah 54 61. Hasil tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa calon guru kimia masih terbebani miskonsepsi pada konsep ikatan kimia, sehingga dimungkinkan mahasiswa tersebut ketika lulus nanti masih membawa beban miskonsepsi dan sering membangun konsep baru yang miskonsepsi pada siswa di sekolah. Hasil tersebut menghendaki perlu perbaikan beban miskonsepsi yang masih dimiliki mahasiswa melalui pembelajaran remediasi individual berdasarkan karakteristik gaya belajarnya. Berdasarkan hasil penelitian Suyono dkk 2015 tes gaya belajar menunjukkan, dari 88 mahasiswa yang mengikuti tes terdapat 40 45 mahasiswa memiliki gaya belajar dimensi input visual verbal seimbang masih mengalami beban miskonsepsi. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa, beban miskonsepsi tertinggi dialami oleh mahasiswa dengan gaya belajar dimensi input visual verbal seimbang. Hasil tersebut menjelaskan bahwa karakter mahasiswa yang memiliki gaya belajar visual verbal seimbang, sering memiliki visaul tidak begitu kuat dan verbal juga tidak begitu kuat secara seimbang, sehingga mahasiswa tersebut mengalami beban miskonsepsi. Dengan demikian untuk memperbaiki miskonsepsi, dosen peneliti perlu memberikan perhatian pada gaya belajar dimensi input visual verbal seimbang pada saat merancang dan melaksanakan pembelajaran. PENUTUP Simpulan Tes pendeteksi miskonsepsi menggunakan software pendeteksi ionunesaDetector, menunjukkan kondisi miskonsepsi yang terjadi pada mahasiswa calon guru kimia FMIPA Jurusan Kimia pada konsep ikatan kimia yang akan dibelajarkan di sekolah perlu diatasi. Saran 3. Penelitian ini akan menghasilkan sebuah rekomendasi bagi peneliti dalam penelitian lanjutan untuk menyusun strategis pembelajaran yang tepat dalam mereduksi miskonsepsi. 4. Sebagaimana dijelaskan pada point 1, strategi pembelajaran yang digunakan, agar para lulusan sarjana pendidikan kimia tidak lagi membawa beban miskonsepsi terhadap konsep kimia sebelum meninggalkan kampus untuk berkiprah di masyarakat termasuk masyarakat sekolah. DAFTAR PUSTAKA Abosalem, Y.M. 2013. The Relationship Between the Learning Styles of Students in Grades Five and Six and Their Held Misconceptions About Dividing Fractions Based on Kolb’s Model Unpublished master’s thesis. The British University. Al-Balushi, S. M., Ambusaidi, A. K., Al-Shuaili, A.H., Taylor, N. 2012. “ Omani twelfth grade students’ most common misconceptions in chemistry”. Internasional Council of Associations for Science Education . Vol.23, No.3, September 2012. Pp. 221-240. Anderson, J.W., and Krathwohl, D.R. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching and Assessing. A Revission of Bloom’s Taxonomy of Eucational Objectives. New York: Addison Welsey Longman, Inc. Arends, R.I. 2012. Learning To Teach. 9th Edition. New York: The Mcgraw-Hill Companies. Inc. Atkinson, Rita L., Richard, C., Atkinson, Edward E Smith., Daryl J Bem. 1953 Introduction to Psycology, 11th.ed. Pengantar Psikologi, Edisi Kesebelas,Jilid 1, Batam : Interaksara. Arslan, H.O., Cigdemoglu, C., and Moseley, C. 2012. “A Three-Tier Diagnostic Test to Assess Pre- Service Teachers’ Misconceptions about Global Warming, Greenhouse Effect, Ozone Layer Depletion, and Acid Rain.” International Journal of Science Education. Vol.34 No.11, pp.1667 –1686. Barke, H.D., Al Hazari., and Yitbarek, S. 2009. Misconceptions in Chemistry . Berlin: Springer Link. Berg, K.E., and Latin, R.W. 1996. Essentials of Research Methods in Health, Physical Education, Exercise Science, and Recreation Third Edition. Cina: Lippicott Williams, a Wolters Kluwer busines. Black, A.A. 2005. An Instrument for Testing Earth Science Misconceptions and Conceptual Difficulties : Development, Field Testing and Results, in preparation for publication. Bob, Chui., and Seng, Yong. 2014. Learning Styles of Preservice Science Teachers: Implications for Teaching and Learning. Journal of Applied Research in Education. University Brunei Darussalam Chakraborty, A., and Mondal, B.C. 2012. “Misconceptions In Chemistry At IX th Grade And Their Remedial Measures”. Indian Streams Research Journal . Vol 2, Issue. 7, Aug 2012 . pp.1-9. Clerk, D., and Rutherford, M. 2000. “Langguage As a Confounding Variable in The Diagnosis of Misconceptions ”.Int. J. Sci. Educ. Vol 22. No. 7. 2000. pp. 703-717. Chong, V.D., Salleh, S.M., and AiCheong, I.P. 2013. “Using an Activity Worksheet to Remediate Students’ Alternative Conceptions of Metallic Bonding.” American International Journal of Contemporary Research . Vol.3 No.11. Dale, Edgar. 1969. Audio-Visual Methods in Teaching. New York: Dryden. Felder, R.M. 1993. Reaching the Second Tier: Learning and Teaching Styles in College Science Education.” J. College Science Teaching. Vol.2 No.5, pp.286-290. ISBN 978-602-72071-1-0 Felder, R.M., and Silverman, L. 1988. Learning and Teaching Styles in Engineering Education.” Engineering Education . pp.674-681. Gilbert J. K.., and Treagust, D. 2009. Multiple Representations in Chemical Education. Australi a: Springer Science+Business Media B.V. Gonzales, A. 2011. “Assessment of Conceptual Understanding of Atomic Structure, Covalent Bonding, and Bond Energy ”. Thesis, The Graduate School of Clemson University. Hans-Dieter., Barke Al Hazari., Yitbarek, S. 2009. Misconception in Chemistry . Addressing Perception in Chemical Education Spinger-Verlagi Berlin Haidelberg. Universitas Munster Germany and University of Tennessee USA. Hastuti, Wahyu Juli. 2013. Prevensi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks Menggunakan Model Modified Inquiry dan Remediasi Menggunakan Strategi ECIRR . Makalah. Pascasarjana Unesa. Horton, C. 2004. “Student Alternative Conception in Chemistry”. California Journal of Science Education . Vol.7 No.2, pp.1-78. Ibrahim, M. 2012. Seri Pembelajaran Inovatif: Konsep, Miskonsepsi dan Cara Pembelajarannya. Surabaya: Unesa University Press. Kolomuc, A., and Tekin, S. 2011. “Chemistry Teachers’ Misconceptions Concerning Concept of Chemical Reaction Rate.” Eurasian: Journal Physics and Chemistry Education . Vol.3 No.2, pp.84-101. Lemma, Abayneh. 2013. A Diagnostic Asessment of Eighth Grade and Their Teacher’ Misconseption About Basic Chemical Concepts. AUCE, 31, 39-59. Lien Chi-Shun. 2013. Text Coherence, Reading, Ability, And Childern’s Scientific Understanding. Bulletin of Educational Psicology . 44 4. Pp. 875-904. Marina I. Stojanovska,, Bojan, T., Šoptrajanov., and, Vladimir, M. Petruševski 2012. Addressing Misconceptions about the Particulate Nature of Matter among Secondary-School and High-School Students in the Republic of Macedonia . Institute of Chemistry, Faculty of Natural Sciences and Mathematics, Ss. Cyril Methodius University, Skopje, Macedonia Academy of Sciences and Arts. Middlecamp C., and Elizabeth Kean 1985. Panduan Belajar Kimia Dasar. PT. Gramedia. Jakarta. Moreno, R. 2010. Educational Psychology. New York: Jhon Wiley Sonc, Inc. hal. 194. Muallifah, L. 2013. Prevensi dan Reduksi Miskonsepsi Kesetimbangan Kimia Siswa SMA Negeri 1 Kandangan Kediri Tesis magister pendidikan tidak dipublikasikan. Universitas Negeri Surabaya. Palappu, P. 2007. “Effect of Visual and Verbal Learning Styles on Learning .” Institute for Learning Styles Journal . Vol 1, pp.34-39. Pesman, H., and Eryilmaz, A. 2010. “Development of a Three-Tier Test to Assess Misconceptions About Simple E lectric Circuits.” The Journal of Educational Research . Vol. 103, pp.208-222. Pritchard, A. 2009. Ways of Learning: Learning Theories and Learning Styles in The Classroom . Second edition. Abingdon: Routledge. Sen, S., dan Yilmaz, A. 2012. “The effect of learning styles on students’ misconceptions and selfefficacy for learning and performance.” Procedia Social and Behavioral Sciences. Vol.46, pp.1482-1486. Sheehan M., Peter E.C., hayes, S. 2014. The Chemical Misconceptions of Pre-service Science Teachers at the University of Limerick: Do they change . Departement of Chemical and Enviromental Science National Centre for Excellence in Mathematics and Science Teaching and Learning. University of Limerick. Ireland. Suparno, P. 2005. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep Pendidikan Fisika. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Suyono, dkk. 2015. Preparasi Sarjana Pendidikan Kimia Tanpa Miskonsepsi Di FMIPA Unesa. Laporan Akhir Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi. Bidang Unggulan. Tanpa Publikasi. Slavin, E.R. 2006. Educational Psychology. Theory and Practice. USA: Pearson. Tan, K.C.D., and Treagust, D.F. 1999. “Evaluating students’ understanding of chemical bonding” School Science Review , Vol. 81. No.294. September 1999 . pp.75-84 Turker, F. 2005. Developing a Three-Tier Test to Assess High School Students’ Misconceptions Concerning Force and Motion Unpublished master’s thesis. Natural and Applied Sciences of Middle East Technical University, Istanbul. Unal S., Costu B., Ayas A. 2010. Secondary School Students’ Misconception of Covalent Bonding. Journal of Turkish Science Education . Woolfolk, A. 2009. Educational Psychology. Active Learning Edition . Edisi Kesepuluh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-602-72071-1-0 PENGEMBANGAN INSTRUMEN MODEL MENTAL MAHASISWA CALON GURU KIMIA TENTANG KORELASI STRUKTUR DAN SIFAT SENYAWA ORGANIK I Wayan Suja 1 Leny Yuanita 2 Muslimin Ibrahim 2 1,2,3 Jurusan Pendidikan Kimia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi S3 Pendidikan Sains PPs Unesa Email: suja_undikshayahoo.co.id ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan perangkat tes model mental mahasiswa calon guru kimia tentang korelasi struktur dan sifat senyawa organik. Penelitian dilakukan melalui empat tahap, mengadopsi desain penelitian pengembangan perangkat pembelajaran 4-D define, design, develop, and disseminate. Kualitas perangkat tes yang dihasilkan ditentukan berdasarkan validitas teoritis dan empiris serta reliabilitasnya. Validasi oleh tim pakar menunjukkan, perangkat tes tersebut layak digunakan untuk mengukur model mental mahasiswa tentang struktur dan sifat senyawa organik. Hasil uji coba menunjukkan, validitas butir-butir soal tersebut tergolong sangat baik r xy = 0,631 – 0,927 dan reliabilitasnya tergolong sangat tinggi r 11 = 0,931 – 0,947. Model mental mahasiswa tentang level simbolik kimia tergolong cukup baik sampai baik rerata skor 5,59 – 7,91; skor maksimal ideal 10. Tipe model mental mahasiswa berkaitan dengan interkoneksi tiga level kimia adalah sebagai berikut: tidak memiliki konsep 3,79, miskonsepsi khusus 6,82, benar sebagian 22,75, dan model ilmiah 66,67. Kata kunci : model mental, mahasiswa calon guru, struktur dan sifat. ISBN 978-602-72071-1-0 PENDAHULUAN Menurut para pakar pendidikan kimia, seperti Ben-Zvi et al. 1987, Gabel et al. 1987, Johnstone 1991, Treagust et al. 2003, dan Talanquer 2011, pembelajaran dan pengajaran kimia harus menyertakan tiga representasi level kimia, yakni: level makroskopis, level submikroskopis, dan level simbolik. Pemahaman konsep-konsep kimia hanya pada level tertentu tanpa membangun interkoneksi di antara ketiga level tersebut tidak akan bermanfaat bagi pebelajar. Kondisi itu menuntut pemahaman pebelajar tentang ketiga level kimia harus dibarengi keterampilan berpikir tingkat tinggi dengan melibatkan hubungan di antara ketiga level tersebut. Pemahaman akan ketiga level tersebut membentuk irisan interkoneksi, yang oleh Devetak et al. 2009 dilabel sebagai model mental kimia. Model mental merupakan representasi intrinsik berupa objek, ide, atau proses yang muncul selama berlangsung proses kognitif untuk memberikan alasan, menggambarkan, menjelaskan atau memprediksi sebuah fenomena Wang, 2007. Model mental juga digunakan oleh pebelajar untuk menghasilkan model dalam berbagai format, misalnya deskripsi verbal, diagram, simulasi, atau model konkrit untuk mengomunikasikan ide-ide mereka kepada orang lain atau untuk memecahkan masalah Harrison Treagust, 2000. Model mental dapat berupa model fisik, yang secara mental mewakili entitas fisik, atau model konseptual yang merupakan representasi mental dari konsep-konsep yang bersifat abstrak Coll Treagust, 2003. Franco Colinvaux dalam Wang 2007 merangkum empat karakteristik model mental. Pertama, model mental bersifat generatif, artinya dapat ditambahkan informasi baru melalui pemanfaatannya untuk memprediksi dan menghasilkan penjelasan. Kedua , model mental melibatkan pengetahuan tacit tersembunyi, artinya individu memberikan alasan dengan model mentalnya untuk memecahkan masalah atau memahami informasi baru, tetapi mereka tidak menyadari model mental yang dimilikinya dan bagaimana menggunakannya. Ketiga, model mental bersifat buatan, dinamis dan terus dimodifikasi dengan informasi baru yang dimasukkan ke dalamnya. Keempat, model mental dibatasi oleh cara pandang, artinya pengembangan dan penerapannya dipengaruhi oleh pengetahuan awal, pengalaman, dan keyakinan individu. Model mental memiliki sifat kompleks, sehingga diperlukan berbagai intrumen untuk menggalinya. Berbagai instrumen yang biasa digunakan dalam penelitian model mental adalah tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat two-tier test, pertanyaan terbuka dengan gambar dan deskripsi, wawancara dengan pertanyaan menyelidik sering dilengkapi gambar dan deskripsi dari orang yang diwawancarai, wawancara dengan model bergambar untuk memperoleh model yang disukai pebelajar, wawancara dengan penyajian masalah, dan observasi kelas Coll, 2008; Jansoon, Coll Somsook, 2009; Wang and Barrow, 2010; serta Lin Chiu, 2010. Walaupun dipandang penting untuk mengetahui model mental pebelajar, di Indonesia belum ada kelompok peneliti yang fokus pada pengembangan instrumen model mental, khususnya model mental kimia. Sehubungan dengan itu, dalam penelitian ini telah dikembangkan intrumen model mental dalam bentuk tes yang dapat digunakan untuk mengukur model mental mahasiswa calon guru tentang korelasi struktur dan sifat senyawa organik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan perangkat tes yang dapat digunakan untuk mengukur model mental mahasiswa dalam memahami struktur dan sifat senyawa organik, serta mengidentifikasi dan mendeskripsikan model mental yang dimiliki oleh mahasiswa calon guru kimia tersebut. Dengan memahami tipe model mental mahasiswa, memungkinkan bagi dosen untuk melakukan tindak lanjut berupa remidiasi secara bertahap dan berkelanjutan, serta menekan munculnya model-model mental alternatif selama proses perkuliahan. METODE Penelitian ini dirancang mengikuti alur pemikiran penelitian pengembangan perangkat pembelajaran model 4-D define, design, develop, dan disseminate oleh Thiagarajan, et al. 1974, melalui tahap-tahap berikut: 1 analisis kebutuhan, 2 penyusunan kisi-kisi soal, 3 penyusunan soal dan perangkatnya, 4 validasi ahli pakar, 5 uji coba instrumen, 6 pengumpulan data, 7 analisis data hasil penelitian, serta 8 pelaporan dan publikasi hasil penelitian. Penelitian dilaksanakan di Jurusan Pendidikan Kimia, Fakultas MIPA, UNDIKSHA, pada tahun ajaran 20142015. Subjek penelitiannya adalah mahasiswa yang sedang mengambil mata kuliah Kimia Organik I, sebanyak 22 orang. Hasil validasi oleh tim pakar terhadap draf perangkat tes model mental dianalisis berdasarkan kriteria Lawshe Cohen Swerdik, 2010, dengan validitas minimum 0,60; dihitung menggunakan rumus content validity rasio CVR. CVR = N2 N2 n e  Dalam hal ini, CVR = ratio validitas isi, n e = jumlah ahli yang menyatakan essensial setujulayak, dan N = jumlah total ahli. Validitas empiris ditentukan berdasarkan validitas internal soal, yang diukur melalui perhitungan kesesuaian antara butir soal dengan perangkat tes secara keseluruhan menggunakan rumus korelasi product moment oleh Pearson Arikunto, 2006 sebagai berikut.      x xy r 2 2 xy y Dalam hal ini, r xy = korelasi butir soal dengan tes keseluruhan, x = X - X , y = Y - Ῡ, X = skor butir soal, X = rerata X, Y= skor total, dan Ῡ = rerata Y. Harga r xy dihitung dengan program SPSS versi 17,0. Suatu butir soal dinyatakan valid jika pada kolom Corrected Item – ISBN 978-602-72071-1-0 Total Correlation pada out put SPSS menunjukkan nilai 0,30. Dalam penelitian ini, koefisien reliabilitas tergolong koefisien korelasi dihitung dari satu kali tes, berdasarkan konsistensi jawaban dalam tes tersebut. Menurut Arikunto 2006, reliabilitas instrumen dalam bentuk soal uraian dapat ditentukan dengan menggunakan rumus Alpha: r 11 = 1 1 - k k 2 t 2     b Dalam hal ini, r 11 = reliabilitas instrument, k = banyaknya butir soal, ∑σ b 2 = jumlah varian butir, dan σ t 2 = varians total. Pengolahan data dilakukan dengan SPSS versi 17,0. Penafsiran data menggunakan kriteria seperti terlihat pada Tabel 1 Sugiyono, 2008. Tabel 1. Interpretasi Koefisien Korelasi Interval Koefisien Tingkat Hubungan 0,80 r 11 ≤ 1,00 Sangat tinggi 0,60 r 11 ≤ 0,80 Tinggi 0,40 r 11 ≤ 0,60 Sedang 0,20 r 11 ≤ 0,40 Rendah 0,00 r 11 ≤ 0,20 Sangat rendah Tipe model mental kimia mengindikasikan tingkat pemahaman mahasiswa terhadap objek, ide, atau proses kimia. Menurut Sendur et al. 2010, model mental mahasiswa dapat dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu: a. Tidak ada jawabantanggapan No Response NR , jika mahasiswa tidak memberikan jawaban dan tidak membuat alasan pada tingkat molekuler, atau menjawab dengan penjelasan tidak berkaitan dengan pertanyaan. b. Miskonsepsi khusus pada hal tertentu Specific MisconceptionsSM , jika jawaban dan penjelasan tidak dapat diterima secara keilmuan. c. Benar sebagian Partially CorrectPC, jika jawaban yang diberikan oleh mahasiswa tidak menyangkut ketiga level kimia dan tidak membangun interkoneksi di antara ketiga level kimia tersebut. d. Benar secara keilmuan Scientifically CorrectSC , jika jawaban yang diberikan oleh mahasiswa menyangkut ketiga level kimia dan berhasil membangun interkoneksi di antara ketiga level kimia tersebut. Selanjutnya, tiga model mental pertama secara umum disebut sebagai model mental alternatif, sedangkan model mental keempat dilabel sebagai model ilmiah , atau model konseptual Cool Treagust, 2003; Adbo Taber, 2009; Lin Chiu, 2010. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

a. Kualitas tes model mental

Perangkat tes yang dikembangkan dalam penelitian ini terdiri dari 10 butir soal uraian, masing- masing terdiri dari 5 butir soal untuk mengukur model mental tentang level simbolik, dan lima butir soal untuk mengukur model mental mahasiswa tentang interkoneksi tiga level kimia. Draf perangkat tes yang telah disusun pada tahap perancangan design divalidasi oleh tim pakar, beranggotakan dua orang ahli yang menguasai materi, pembelajaran dan asesmen kimia organik. Kedua orang ahli memandang seluruh butir soal dalam perangkat tes tersebut layak digunakan untuk mengukur model mental mahasiswa calon guru tentang korelasi struktur dan sifat senyawa organik. Walaupun demikian, tim pakar memberikan saran revisi redaksional butir soal nomor 2 karena tidak secara eksplisit mengukur model mental ketiga level kimia dan interkoneksinya. Saran perbaikan juga diberikan untuk soal nomor 3, karena pertanyaan berstruktur yang diberikan menyebabkan butir soal 3c tergantung pada kebenaran jawaban pada butir soal 3b. Untuk itu, kedua pertanyaan tersebut digabungkan menjadi satu. Hasil uji coba lapangan berkaitan dengan validitas internal butir soal dan reliabilitasnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kualitas Teoritis dan Empiris Soal Model Mental Mahasiswa No So al Indikator Level Kimia Validi tas teori CVR Validi tas empiri s r xy Relia bi- litas r 11 1 Menggamba r rumus struktur senyawa karbon jika diberikan rumus molekulnya. Simbo lik 1 0,927 0,929 2 Membandin gkan titik didih dua isomer gugus fungsional berdasarkan struktur molekulnya Tiga level 1 0,926 0,929 3 Membandin gkan sifat fisika dua isomer geometri. Tiga level 1 0,763 0,940 4 Menentukan kelarutan senyawa berdasarkan struktur molekulnya. Tiga level 1 0,882 0,933 ISBN 978-602-72071-1-0 5 Menggamba r konformasi sikloalkana terdisubstitu si dan membandin gkan kestabilanny a Tiga level 1 0,722 0,941 6 Memprediks i mekanisme reaksi adisi alkena. Simbo lik 1 0,858 0,933 7 Memberika n nama IUPAC senyawa lengkap dengan konfigurasi absolutnya RS Simbo lik 1 0,631 0,947 8 Menyelesai kan stereokimia reaksi S N 2 Simbo lik 1 0,759 0,940 9 Menentukan tahap-tahap reaksi sintesis turunan benzena dan kondensasi aldol. Simbo lik 1 0,864 0,934 10 Mengidentif ikasi senyawa organik untuk menetapkan jenis senyawanya Tiga level 1 0,893 0,931 Data dalam Tabel 2 di atas menunjukkan, keseluruhan butir soal yang dikembangkan tergolong valid r xy = 0,631 – 0,927. Reliabilitas butir-butir soal tersebut juga tergolong sangat tinggi r 11 = 0,931 – 0,947. Dengan demikian, perangkat tes yang dikembangkan dalam penelitian ini layak digunakan untuk mengukur model mental mahasiswa calon guru tentang korelasi struktur dan sifat senyawa organik.

b. Profil tipe model mental mahasiswa calon guru

Model mental mahasiswa tentang level simbolik kimia berkaitan dengan kemampuan untuk menggambar rumus struktur senyawa, memprediksi mekanisme reaksi, memberikan nama IUPAC senyawa lengkap dengan konfigurasi absolutnya RS, menentukan stereokimia reaksi substitusi nukleofilik, dan menentukan tahap-tahap reaksi sintesis senyawa organik. Model mental mahasiswa tentang level simbolik tersebut tergolong cukup baik sampai baik rerata skor 5,59 – 7,91; skor maksimal ideal 10. Kategori terendah model mental mahasiswa berkaitan dengan level simbolik dalam berpikir analisis-sintesis tentang penentuan tahap-tahap reaksi sintesis senyawa organik turunan benzena dan kondensasi aldol. Sebaliknya, model mental level simbolik tertinggi pada kemampuan untuk memprediksi mekanisme reaksi adisi alkena rerata skor 7,91. Model mental mahasiswa tentang konsep-konsep kimia yang melibatkan interkoneksi ketiga level kimia dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Data Model Mental Interkoneksi Tiga Level Kimia N o No Soal Model Mental NR SM PC SC f f f F 1 Soal 2 1 5 68,1 8 7 31,8 2 2 Soal 3a 1 4,55 2 1 95,4 5 3 Soal 3b 5 22,7 3 3 13,6 4 7 31,8 2 7 31,8 2 4 Soal 4 2 9,09 2 90,9 1 5 Soal 5 6 27,2 7 1 4,55 1 5 68,1 8 6 Soal 10 4 18,1 8 1 8 81,8 2 Tot al 5 3,79 9 6,82 3 22,7 5 8 8 66,6 7 Data dalam Tabel 3 di atas menunjukkan pemahaman mahasiswa tentang korelasi struktur dan sifat senyawa organik, 66,67 tergolong model ilmiah; serta 33,33 sisanya termasuk model mental alternatif, yang meliputi: tidak memiliki konsep 3,79, miskonsepsi khusus 6,82, dan benar sebagian 22,75. Model mental mahasiswa untuk menjelaskan titik leleh isomer- isomer geometri soal nomor 3b tergolong terendah, yang meliputi 22,73 tidak memiliki konsep; 13,64 mengalami miskonsepsi khusus; 31,82 benar sebagian; dan hanya 31,82 tergolong model ilmiah. Hal yang sama juga terjadi pada kemampuan untuk membandingkan titik didih isomer-isomer gugus fungsional soal nomor 2, yaitu 68,18 di antaranya memiliki model mental benar sebagian. Model ilmiah tertinggi 95,45 tercapai pada kemampuan mahasiswa untuk membandingkan kelarutan asam maleat dan asam fumarat dalam air soal nomor 3a. 2. Pembahasan Konsep hubungan antara struktur dan sifat senyawa merupakan ide besar dalam kimia. Ide tersebut mengantarkan kimia organik pada jantung kesuksesannya sebagai bidang ilmu yang mampu mengekspresikan sifat dan manfaat senyawa melalui representasi struktural Graulich, 2015. Representasi intrinsik berupa objek, ide, atau proses yang muncul pada benak pebelajar selama berlangsungnya proses kognitif dikenal sebagai model mental Wang, 2007. Model mental itulah yang ISBN 978-602-72071-1-0 digunakan oleh pebelajar untuk menjelaskan atau memprediksi sebuah fenomena. Menurut Michael 2004, pembelajaran akan bermakna jika melibatkan pemahaman yang diperoleh melalui pembentukan model mental yang tepat model ilmiah dan menggunakannya untuk memecahkan masalah. Walaupun menjadi penentu kesuksesan seseorang dalam memahami materi kimia, pengembangan instrumen model mental mahasiswa tentang tiga level kimia dan interkoneksinya, khususnya dalam bidang kimia organik, belum banyak dikerjakan oleh para peneliti. Instrumen model mental mahasiswa tentang korelasi struktur dan sifat senyawa organik yang dikembangkan dalam penelitian ini terdiri dari 10 butir soal uraian. Secara substansi, kesepuluh butir soal tersebut mencakup lima butir soal berkaitan dengan model mental kimia level simbolik, dan lima butir soal model mental tentang tiga level kimia dan interkoneksinya. Dalam kaitan dengan konteks berpikir tingkat tinggi, soal nomor satu mengukur keterampilan berpikir kreatif, sedangkan sembilan soal berikutnya mengukur keterampilan berpikir kreatif, yang meliputi keterampilan berpikir sebab-akibat, berpikir sintesis- analisis, berpikir prediktif, dan penalaran deduktif- induktif. Kesepuluh butir soal tersebut memiliki validitas dan reliabilitas yang layak digunakan sebagai alat ukur. Temuan penelitian ini menunjukkan model mental mahasiswa tentang level simbolik tergolong cukup baik sampai baik rerata skor 5,59 – 7,91; skor maksimal ideal 10. Temuan tersebut mengindikasikan strategi pembelajaran yang diterapkan oleh dosen dalam mengajarkan rumus struktur senyawa-senyawa organik tergolong efektif. Untuk mengajarkan struktur molekul organik, dosen menggunakan media model molekul molymod, dibantu dengan program ChemDraw dan Chem3D , serta dibantu dengan berbagai analogi. Perlakuan tersebut dapat memvisualisasikan hubungan spasial molekul dengan sifat senyawanya. Berkaitan dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi pada level simbolik, kemampuan berpikir kreatif mahasiswa tergolong tinggi rerata skor 7,78; skor maksimal idel 10. Tingginya keterampilan berpikir kreatif mahasiswa disebabkan mereka banyak berlatih merancang struktur molekul senyawa organik. Di sisi lain, keterampilan berpikir kritis mahasiswa tergolong cukup tinggi rerata skor 6,72; skor maksimal ideal 10, dengan keterampilan berpikir analisis-sintesis dan berpikir prediktif masing-masing mendapat rerata skor terendah dan tertinggi, yaitu 5,59 dan 7,91. Dalam penelitian ini, keterampilan berpikir analisis-sintesis berhubungan dengan kemampuan untuk merancang reaksi pembuatan senyawa organik, yang di dalamnya menuntut kemampuan intelektual untuk berpikir logis, imajinatif, dan kreatif. Profil model mental mahasiswa calon guru kimia ditentukan dari jawaban mereka terhadap soal-soal yang melibatkan kemampuan untuk melakukan interkoneksi di antara ketiga level kimia. Kemampuan tersebut melibatkan keterampilan untuk menjelaskan fenomena kimia pada level makroskopis berdasarkan struktur molekulnya pada level submikroskopis dengan menggunakan bahasa verbal dan simbolik rumus struktur. Temuan penelitian ini menunjukkan, model mental mahasiswa tentang korelasi struktur dan sifat senyawa organik tergolong cukup baik 66,67 tergolong model ilmiah. Cukup tingginya model mental mahasiswa calon guru untuk menjelaskan sifat senyawa berdasarkan struktur molekulnya didukung oleh tepatnya strategi yang diterapkan oleh dosen dalam mengajarkan konsep-konsep kimia organik, yaitu melalui strategi observing-reasoning-modeling-explanating . Strategi tersebut sejalan dengan pandangan Chittleborough 2004, yang menyatakan bahwa model mental kimia pebelajar dapat dibangun melalui pengamatan , penafsiran dan penjelasan yang mereka gunakan untuk menggambarkan pemahamannya tentang level submikroskopis kimia. Hasil penelitian ini menunjukkan kemajuan dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya berkaitan dengan model mental mahasiswa calon guru kimia dalam memahami bahan kajian stereokimia. Penelitian yang dilakukan pada tahun ajaran 20132014 di Jurusan Kimia Undiksha, dengan menjadikan peserta kuliah Kimia Organik III sebagai subjek penelitian, menunjukkan bahwa model mental mahasiswa calon guru kimia dalam memahami bahan kajian stereokimia, meliputi: 20,71 tidak ada konsep; 33,04 miskonsepsi spesifik; 12,50 benar sebagian; dan 33,75 benar secara ilmiah Suja, 2015. Temuan tersebut sejalan dengan hasil penelitian Wiji 2014 di Jurusan Pendidikan Kimia UPI, yang menunjukkan profil model mental mahasiswa calon guru kimia didominasi oleh model mental tidak utuh model mental alternatif. Metode pembelajaran yang diterapkan pada saat itu meliputi kegiatan ceramah dan diskusi, sehingga kurang efektif digunakan untuk membangun model mental mahasiswa tentang struktur dan sifat senyawa organik. Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian Cooper et al. dalam Graulic, 2015 yang menunjukkan, bahwa hanya sedikit mahasiswa mampu menjelaskan tujuan penulisan struktur Lewis terhadap sifat senyawanya. Pemahaman mahasiswa calon guru kimia tentang hubungan struktur molekul dengan titik didihnya sebagian besar 68,1 tergolong model mental benar sebagian model mental alternatif. Kondisi itu disebabkan kekeliruan mahasiswa dalam menggambarkan terjadinya ikatan hidrogen antar molekul-molekul etanol. Mereka mampu memberikan penjelasan secara verbal, namun gagal menggambarnya dalam bentuk struktur molekulnya lengkap dengan interaksi antar molekul-molekulnya. Kondisi itu sejalan dengan hasil penelitian Henderleiter et al. dalam Graulic, 2015, bahwa mahasiswa kelas kimia organik ternyata masih memiliki konsepsi alternatif berkaitan dengan ikatan hidrogen, sehingga tidak mampu menjelaskan perbedaan titik didih dan berbagai efek pada spektroskopi NMR dan IR, serta pengaruhnya pada berbagai reaksi kimia organik, misalnya berkaitan dengan halangan sterik. Model mental mahasiswa untuk menjelaskan titik leleh asam maleat dan asam fumarat soal nomor 3b