ISBN 978-602-72071-1-0
Sudjana, Nana dan Rivai Achmad. 1991. Media Pengajaran
. Bandung: Sinar Baru. Sudjana, Nana dan Rivai Achmad. 2002. Teknologi
Pengajaran . Bandung: Sinar Baru.
Sukmadinata, N. S. 2010. Metode Penelitian Pendidikan
. Bandung: Remaja Rosdakarya.
ISBN 978-602-72071-1-0
PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA LKS BERBASIS SAVI PADA MATERI
POKOK LAJU REAKSI KELAS XI SMA
Dwi Bagus Rendy A.P
1
Siti Nur Latifah
2
Fitria Dwi Lestari
3
1,2,3
Mahasiswa Jurusan Kimia FMIPA UNESA E-mail: rendiradjagmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan penggunaan bahan ajar yang menekankan pada gaya belajar setiap siswa. Serta secara khusus menguji kelayakan Lembar Kerja Siswa
LKS berbasis SAVI yang akan melatih aktivitas dan respon siswa dalam materi pokok laju reaksi. Sehingga diharapkan LKS ini dapat mewadahi dari setiap gaya belajar siswa yang ada di kelas.
Perancangan pengembangan bahan ajar ini menggunakan sistem pendekatan Model 4-D yaitu Pendefinisan Define, Perancangan Design, Pengembangan Develop dan Penyebaran Disseminate. Kelayakan LKS
yang dikembangkan ditinjau dari kriteria isi, penyajian, kebahasaan, dan kegrafisan berdasarkan penilaian validator dinyatakan sangat kuat sangat layak dengan persentase rata-rata kelayakan sebesar 85.
Aktivitas siswa memiliki presesntase yang paling besar sesuai dengan kelompok gaya belajarnya, yaitu kelompok somatis S: 49, kelompok audio A: 48, kelompok visual V: 49, dan kelompok
intelektual I: 46, Respon siswa terhadap LKS berbasis SAVI yang dikembangkan positif dengan nilai persentase sebes
ar ≥ 61 untuk seluruh aspek.
Kata-Kata Kunci:
SAVI, gaya belajar, aktivitas siswa.
ABSTRACT
This study aims to improve the quality of learning with the use of teaching materials that emphasize the learning style of each student. And specifically test the feasibility of Student Worksheet LKS based
SAVI that will train activity and student responses in the subject matter of the reaction rate. So expect these worksheets can accommodate learning styles of each student in the class. The design of the
development of teaching materials using the system model 4-D approach is Pendefinisan Define, Design Design, Development Develop and Dissemination Disseminate. LKS feasibility criteria
developed in terms of content, presentation, linguistic, and kegrafisan based assessment is expressed very strong validator very decent with an average percentage of 85 eligibility. Activity students
have the greatest presesntase suit their learning style groups, namely the somatic S: 49, the audio group A: 48, visual group V: 49, and the intellectuals I: 46 , student response to the SAVI-
based worksheets developed positively with percentage value ≥ 61 for all aspects Keywords : SAVI, learning style student activity
.
ISBN 978-602-72071-1-0 PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan
komponen utama
kemajuan suatu bangsa. Keberhasilan pembangunan suatu bangsa di masa yang akan datang dapat dilihat dari
bagaimana pendidikan mampu membentuk sumber daya manusia yang berkualitas. Kurikulum merupakan
jantungnya dunia pendidikan, untuk itu kurikulum dimasa depan perlu dirancang dan disempurnakan untuk
meningkatkan mutu pendidikan secara nasional dan meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia.
Dalam pengembangan kurikulum 2013 menekankan pada pembelajaran dengan tujuan proses pembelajaran ke arah
kompetensi dasar yang bermuara pada penguasaan kecakapan hidup life skill yang meliputi soft skills dan
hard skills
yang mana dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Kompetensi lulusan yang diharapkan
dengan adanya perkembangan kurikulum 2013 adalah keseimbangan antara soft skill dan hard skill yang
meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
Permasalahan dalam proses belajar mengajar dewasa ini adalah bukan semata
–mata karena materi yang sulit, tetapi disebabkan oleh cara pengajaran dalam
menyampaikan materi yang sulit diterima siswa atau dengan kata lain ketidaktepatan dalam penggunaan model
dan perangkat pembelajaran serta strategi dalam pembelajaran. Sehingga guru dituntut lebih kreatif,
inovatif, tidak merasa sebagai teacher center, menempatkan siswa tidak hanya sebagai objek belajar
tetapi juga sebagai subjek belajar dan pada akhirnya bermuara pada proses pembelajaran yang menyenangkan,
bergembira, demokratis dan menghargai setiap pendapat Mulyasa, E. 2011.
Kimia sebagai salah satu mata pelajaran kelompok IPA, harus mampu menjelaskan berbagai
fenomena proses kimia yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kimia sebagai bagian dari ilmu pengetahuan
alam IPA selalu berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga kimia bukan
hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja
tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Salah satu materi pelajaran kimia adalah materi pokok Laju Reaksi.
Pembelajaran dalam materi pokok Laju Reaksi melibatkan perhitungan dan konsep. Karakteristik
tersebut memberikan gambaran bahwa siswa harus benar- benar konsetrasi dalam mempelajari materi tersebut.
Sehingga dibutuhkan metode dan media dalam menjelaskannya. Oleh karena itu media yang digunakan
seharusnya sesuai dengan gaya belajar dari anak tersebut, maka pembelajaran akan lebih efektif dan anak akan
lebih antusias dalam pembelajaran karena guru menjelaskan materi sesuai dengan gaya belajar dari
siswa.
Setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda- beda dalam menyerap ilmu pelajaran. Gaya belajar yang
dimiliki anak akan menentukan seberapa besar anak menyerap materi yang disampaikan oleh pengajar.
Kesamaan metode dalam penyampaian materi dengan gaya belajar anak akan lebih memaksimalkan dalam
penyerapan dan pemahaman anak. Kerena secara tidak langsung gaya belajar guru dan gaya belajar anak akan
memiliki pola yang sama. Menurut Bobbi DePorter dan Mike Hernacki gaya
belajar merupakan suatu kombinasi dari bagaimana seseorang menyerap, dan kemudian mengatur serta
mengolah informasi DePorter, Bobbi Hernacki, Mike:2000:110-112. Gaya belajar bukan hanya berupa
aspek ketika menghadapi informasi, melihat, mendengar, menulis dan berkata tetapi juga aspek pemrosesan
informasi sekunsial, analitik, global atau otak kiri-otak kanan, aspek lain adalah ketika merespon sesuatu atas
lingkungan belajar diserap secara abstrak dan konkret.
Ini benar-benar memberikan indikasi yang sangat penting dan tidak dapat dihindari untuk orang-orang
preferensi gaya belajar, serta perilaku mereka dan bekerja gaya, dan kekuatan alami mereka. Jenis-jenis kecerdasan
yang dimiliki seseorang Gardner menunjukkan sebagian besar dari kita kuat dalam tiga jenis tidak hanya
menunjukkan kemampuan orang, tetapi juga cara atau metode di mana mereka lebih suka belajar dan
mengembangkan kekuatan mereka dan juga untuk mengembangkan kelemahan-kelemahan mereka.
Anak-anak juga belajar dengan baik dan memahami bila apa yang dipelajari terkait dengan apa
yang sudah diketahui dan metode pembelajaran sesuai dengan gaya belajar mereka gaya belajar mendengarkan,
melihat, dan bergerak atau melakukannya dan berbagai kecerdasan yang mereka miliki seperti bahasa, musik,
gerak, ddan logikaantar pribadi dan interpribadi. Metode SAVI Somatic, Auditory, Visualitattion, Intelectually
menghormati dan memahami setiap gaya belajar yang dimiliki oleh siswa dalam suatu kelas. Maka
pembelajaran akan lebih efektif karena sesuai dengan gaya belajar yang dimiliki oleh setiap siswa.
Metode SAVI
mengajak siswa
untuk memanfaatkan
semua indra
yaitu penglihatan,
pendengaran, gerak, dan fikiran. Sehingga siswa tidak hanya menjadi pendengar yang baik atau pasif, tetapi
mereka diajak untuk ikut mengemukakan pendapat dan pemikiran mereka mengenai materi yang diajarkan.
Keaktifan siswa dalam kelas tersebut mempengaruhhi hasil belajar yang lebih maksimal. Hal tersebut sesuai
dengan hasil penelitian dari Ersanghono, dkk 2008, bahwa melalui penerapan SAVI ini diharapkan mampu
mengakomodasi karakteristik siswa yang berbeda dengan memanfaatkan seluruh indra yang dimiliki siswa.
Dalam proses belajar-mengajar dalam kelas diperlukan bahan pengajaran yang dapat membantu siswa
menyerap informasi yang disampaikan oleh guru. Salah satu bahan pengajaran yang dapat digunakan adalah
lembar kerja siswa. Lembar Kerja Siswa LKS adalah lembaran-lembaran berisi tugas-tugas yang harus
dikerjakan oleh peserta didik Depdiknas, 2004. Lembaran biasanya berupa petunjuk, langkah-langkah
untuk menyelesaikan suatu tugas-tugas yang ada dalam Lembar Kerja Siswa LKS harus jelas dan kompetensi
dasar yang akan dicapainya. Model Lembar Kerja Siswa LKS dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: Lembar Kerja
Siswa LKS pengamatan dan Lembar Kerja Siswa LKS eksperimen. Lembar Kerja Siswa LKS jenis
pengamatan tidak melakukan manipulasi variable tetapi
ISBN 978-602-72071-1-0 hanya
mendiskripsikan hasil
pengamatan dan
menyimpulkan.Sedangkan pada Lembar Kerja Siswa LKS
eksperimen, selain
melakukan kegiatan
pengamatan juga melakukan kegiatan manipulasi variable.
Selama ini LKS yang sudah ada kurang bisa meningkatkan hasil belajar siswa, itu terbukti siswa
kesulitan dan malas dalam pembelajaran menggunakan LKS. Hal tersebut dikarenakan LKS yang ada pada siswa
sangat monoton dalam pembuatannya. Seharusnya LKS yang dibuat dapat menampung semua gaya belajar yang
disukai oleh siswa. Sehingga siswa akan lebih senang dalam belajar dan lebih matang dalam memahami konsep
materi pada LKS.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka peneliti ingin mengembangkan media pembelajaran
kimia berbasis Lembar Kerja Siswa LKS dengan judul penelitian: “PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA
SISWA LKS BERBASIS SAVI PADA MATERI POKOK LAJU REAKSI KELAS XI SMA”.
METODE PENELITIAN
Salah satu
tujuan penelitian
ini adalah
mengembangkan bahan ajar Kimia SMA yakni khusus untukLembar Kerja Siswa LKS berbasis SAVI pada
materi pokok laju reaksi . Dengan demikian penelitin ini merupakan
penelitian pengembangan
yang mengembangkan Lembar Kerja Siswa LKS berbasis
SAVI . Dalam penelitian ini melakukan pengamatan yang
meliputi: kelayakan Lembar Kerja Siswa LKS yang dikembangkan ditinjau dari kriteria kesesuaian berbasis
gaya belajar siswa, ditinjau dari kriteria materi isi, penyajian dan kegrafisan, kebahasaan, dari penilaian
guru dan respon siswa yang mencakup aspek format dan kualitas Lembar Kerja Siswa LKS yang disajikan.
Hal ini berarti bahwa penelitian ini adalah
penelitian deskriptif. Penelitian ini dilakukan di dalam kelas untuk membantu guru mewadahi berbagai macam
gaya belajar yang dimiliki oleh siswanya dalam menerima materi Laju Reaksi melalui Lembar Kerja Siswa LKS.
Uji coba terbatas dilakukan terhadap 19 orang siswa kelas XI IPA di SMA Widya Dharma Surabaya. Menurut
Thiagarajan, Semmel, dan Semmel 1974:5 untuk merancang pengembangan bahan ajar digunakan sistem
pendekatan Model 4-D Four D Model. Model ini tersusun dari 4 tahap yaitu Pendefinisan Define,
Perancangan Design, Pengembangan Develop dan Penyebaran Disseminate.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh data berupa hasil telaah dan validasi LKS
berbasis SAVI yang ditinjau dari kriteria isi, penyajian, kebahasaan, dan kegrafisan, hasil aktivitas siswa setelah
menggunakan Lembar Kerja Siswa LKS berbasis SAVI , dan respon siswa terhadap LKS yang
dikembangkan.
Untuk mengetahui kelayakan LKS berbasis SAVI yang dikembangkan maka dapat ditinjau dari kriteria isi,
penyajian, kebahasaan,
dan kegrafisan.
Untuk mengetahui kelayakan LKS ini dilakukan telaah oleh
para ahli dibidangnya, satu dosen kimia dan satu guru kimia. Selain itu, telaah juga bertujuan memperoleh
saran guna memperbaiki LKS yang dikembangkan. Saran perbaikan LKS berbasis SAVI mulai draf I
sampai menjadi draf akhir, antara lain: dalam pengembangan LKS, perlu dibuat layout yang lebih
menarik serta penggunaan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami sehingga siswa lebih semangat dan
termotivasi untuk mengerjakan LKS tersebut selain itu perlu dipilih penyusunan materi yang sesuai dengan gaya
belajar setiap siswa. Setelah dilakukan perbaikan selama tahap pengembangan, LKS kemudian dinilai oleh dua
validator yaitu seorang guru kimia dan seorang dosen kimia.
Aktivitas siswa diamati selama proses pembelajaran berlangsung, yang dibantu oleh 4 orang pengamat. Pada
pembelajaran ini dibagi menjadi 4 kelompok besar yaitu kelompok somatis, audio, visual dan intelektual. Dari
setiap kelompok yang dibentuk dapat diamati aktivitas setiap siswa setiap 5 menit sekali. Untuk mengetahui
aktivitas siswa terhadap penggunaan LKS berbasis SAVI. Serta Angket respon siswa diberikan setelah
pelaksanaan uji coba. Angket respon siswa digunakan untuk mengetahui respon siswa terhadap penggunaan
LKS berbasis SAVI
Pengembangan Lembar Kerja Siswa LKS berbasis SAVI ini mengacu pada model Four D 4-D
Thiagarajan, Semmel, dan Semmel 1974 dalam Novitasari, 2013. Dalam pengembangan ini hanya
sampai tahap ketiga, yaitu define pendefinisian, design perancangan, dan develop pengembangan. Dalam
pengembangan LKS ini dilaksanakan berbagai tahapan revisi dan telaah bertujuan untuk memperbaiki LKS yang
dikembangkan sehingga layak untuk diujicobakan kepada siswa. Kelayakan LKS ini diukur dengan
beberapa instrumen, antara lain lembar telaah dan validasi yang digunakan oleh para ahli dalam menilai
LKS yang dikembangkan, lembar pengamatan aktivitas siswa, dan angket respon siswa untuk mengetahui
tanggapan siswa terhadap LKS yang dikembangkan.
1. Kelayakan LKS Berbasis SAVI
Lembar Kerja Siswa LKS merupakan komponen penting yang menunjang siswa dalam kegiatan
pembelajaran berbasis SAVI karena LKS yang akan menuntun siswa untuk mempelajari konsep ini sesuai
dengan gaya belajar tiap siswa. Selain itu, LKS ini akan digunakan sebagai tolok ukur kemampuan siswa dalam
belajar menggunakan strategi belajar SAVI, yaitu gaya belajar yang terdiri dari somatis, audio, visual dan
intelektual. Dalam mengembangkan LKS ini disesuaikan dengan strategi pembelajaran yang digunakan yaitu
SAVI. Oleh karena itu, LKS bermanfaat untuk menciptakan kesempatan belajar secara mandiri dengan
bimbingan guru, menambah tingkat pemahaman siswa akan suatu materi pelajaran, dan aktivitas belajar yang
disukai siswa Depdiknas, 2004.
LKS yang dikembangkan terdiri dari satu topik yaitu faktor- faktor pada laju reaksi, yang di dalamnya terdapat
4 sub macam materi antara lain: faktor konsentarsi, luas permukaan, suhu dan katalis pada laju reaksi. Kriteria
yang dinilai dari LKS ini harus memenuhi syarat yang
ISBN 978-602-72071-1-0 meliputi kriteria isi, penyajian, kebahasaan, dan
kegrafisan. Rata-rata skor untuk seluruh aspek yang diperoleh dari hasil validasi sebesar 85 yang berarti
kategori sangat layak.
Pada penilaian kriteria isi LKS, dua aspek mendapatkan kategori baik dan enam aspek mendapatkan
kategori sangat baik. Hal ini karena LKS ini dikembangkan sesuai dengan dengan kurikulum 2013
serta kompetensi inti, kompetensi dasar dan juga indikator hasil belajar. Pada penilaian penyajian LKS
dua aspek mendapatkan kategori baik dan tiga aspek lainnya pada kategori sangat baik. Sedangkan pada
penilaian kebahasaan, satu aspek dari kebahasaan mendapat kategori baik dan empat aspek yang lainnya
mendapat kategori sangat baik baik. Serta pada penilaian kegrafisan, empat aspek dari kegrafisan mendapat
kategori baik dan tiga aspek yang lainnya mendapat kategori sangat baik baik. Hal ini dikarenakan oleh
pengembangan LKS ini telah melalui proses revisi yang berulang-ulang
berdasarkan saran
dari dosen
pembimbing dan guru kimia di SMA Widya Dharma Surabaya.
Pada penilaian kegiatan setiap gaya belajar di LKS berbasis SAVI yang merupakan poin sangat penting. Hal
tersebut sangat mempengaruhi dari semua isi dari LKS yang dikembangkan. Sehingga dalam LKS ini terdapat
empat bagian tiap gaya belajarnya yaitu bagian somatis, audio, visual dan intelektual.
2. Aktivitas Siswa
Aktivitas siswa diperoleh dengan melakukan pengamatan terhadap proses pembelajaran dengan
menggunakan instrumen lembar pengamatan aktivitas siswa. Proses pengamatan ini dilakukan oleh 4 orang
pengamat, dimana setiap orang mengamati satu kelompok besar somatis, audio, visual dan intelektual.
Sehingga dalam pengamatan ini dapat mengolah data terkait aktivitas setiap siswa dalam kelompok belajarnya.
Pemberian angket ini bertujuan untuk mengetahui respon siswa terhadap LKS. Pada kelompok somatis yang
berjumlah 6 orang memiliki presentase aktivitas somatis yang paling besar dalam tiap pertemuannya dengan rata-
rata 49 , audio 15 , visual 19, dan intelektual 15. Pada kelompok audio yang berjumlah 5 orang memiliki
presentase aktivitas audio yang paling besar dalam tiap pertemuannya dengan rata-rata 48 , somatis 19 ,
visual 17, dan intelektual 14. Pada kelompok visual yang berjumlah 4 orang memiliki presentase aktivitas
visual yang paling besar dalam tiap pertemuannya dengan rata-rata 47 , somatis 17 , audio 13, dan
intelektual 22. Pada kelompok intelektual yang berjumlah 4 orang memiliki presentase aktivitas
intelektual yang paling besar dalam tiap pertemuannya dengan rata-rata 46 , somatis 20, audio 17, dan
visual 17.
Setiap keolompok gaya belajar memiliki presenntase aktivitas terbesar sesuai dengan gaya belajarnya. Namun
tidak menutup kemungkinan terdapat pula aktivitas gaya belajar lainnya yang dilakukan oleh siswa. Sehingga
dengan menggunakan LKS berbasis SAVI dapat meningkatkan aktivitas siswa sesuai dengan minat gaya
belajar yang mereka miliki serta dapat pula melatih gaya belajar lainnya. Karena aktiviitas siswa akan meningkat
sesuai dengan gaya belajar yang mereka miliki serta pembelajaran akan semakin menarik dan menyenangkan
Meier, 2010 3. Respon siswa
Respon siswa diperoleh dengan memberikan angket setelah proses pembelajaran selesai. Pemberian angket
ini bertujuan untuk mengetahui respon siswa terhadap LKS. LKS ini dapat membantu siswa mempelajari materi
faktor-faktor pada laju reaksi. Selain itu, sebelumnya siswa belum pernah menggunakan LKS berbasis SAVI,
sehingga pada awal mula mengerjakan LKS individu siswa masih merasa asing dengan LKS model ini.
Sehingga untuk pertemuan pertama siswa beradaptasi terlebih dahulu terhadap LKS ini. Kemudian pada tahap
selanjutnya, pengerjaan LKS kelompok, siswa sudah terbiasa menggunakan LKS berbasis SAVI.
Pada kriteria kejelasan materi pada LKS berbasis SAVI, sebagian besar aspek mendapat respon
positif dari siswa. Sebanyak 97 siswa menyatakan LKS ini dapat mempermudah siswa dalam memahami materi
pada LKS ini. Pada kriteria ketertariakn siswa dengan menngunakan LKS berbasis SAVI, sebagian besar aspek
mendapat respon positif juga dari siswa Sebanyak 92 siswa menyatakan senang dan tertarik dalam penggunaa
LKS ini dalam proses pembelajaran. Sehingga didapat respon yang positif dari siswa setelah menggunakan LKS
berbasis SAVI.
Bagi siswa di SMA Widya Dharma Surabaya, belajar dengan menggunakan gaya belajar yang dimilikinya
merupakan hal yang menarik. Peningkatan kemauan siswa untuk belajar ini sesuai dengan tujuan pengajaran
strategi yaitu mengajarkan siswa untuk belajar atas kemauannya sendiri Nur, 2004. Selain itu LKS yang
mencakup sebagian besar konsep yang diajarkan dengan gaya belajar masing-masing siswa dapat memaksimalkan
pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari. Siswa merasa senang karena LKS ini dapat memfasilitasi setiap
gaya belajar mereka sehingga pembelajaran menjadi menyenangkan dan siswa menjadi aktif dalam
pembelajaran. Meier, 2010. PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Kelayakan LKS yang dikembangkan ditinjau dari kriteria isi, penyajian, kebahasaan, dan kegrafisan
berdasarkan penilaian validator dinyatakan sangat kuat sangat layak dengan persentase rata-rata
kelayakan sebesar 85
2. Aktivitas siswa memiliki presesntase yang paling besar sesuai dengan kelompok gaya belajarnya, yaitu
kelompok somatis S: 49, kelompok audio A: 48, kelompok visual V: 49, dan kelompok
intelektual I: 46,
3. Respon siswa terhadap LKS berbasis SAVI yang dikembangkan positif dengan nilai persentase sebesar
≥ 61 untuk seluruh aspek.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diajukan
ISBN 978-602-72071-1-0 beberapa saran berikut:
1. Pembelajaran strategi SAVI perlu dikembangkan pada materi lain yang memiliki karakteristik yang
sama sehingga efektivitas pembelajaran dapat teruji. 2. Pembelajaran berbasis SAVI sering diterapkan agar
dapat memaksimalkan gaya belajar yang sesuai dengan keinginan siswa.
3. Penelitian ini hanya dilakukan sampai tahap pengembangan develop. Oleh karena itu, perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut pada tahap penyebaran disseminate
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2012. Pemanfaatan Lembar Kerja Siswa.
Online http:WORKSHEET-
lengkap.blogspot.com201202pemanfaatan- lembar-kerja-siswa-WORKSHEET.html
. diakses
pada tanggal 1 April 2014. BSNP. 2006. Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah: Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SMAMA.
Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan
Depdiknas. 2008. Panduan Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta:
Direktorat Pembinaan
Sekolah Menengah Atas, Direktorat Jendral Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasioanal.
DePorter, Bobbi.
2003. Quantum
Learning: Membiasakan
Belajar Nyaman
dan Menyenangkan
. Penerjemah:
Alwiyah Abdurrahman. New York: Dell Publishing.
Kusuma, E., Wijayati, N., dan Wibowo, LS. 2008. Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT Berbasis
SAVI untuk Meningkatkan Hasil Belajar Kimia Pokok Bahasan Laju Reaksi
. Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia. 21: 216-223.
Lestari, Ayu. 2012. Pengembangan Science-Chemistry Student Worksheet Berorientasi Somatic, Audio,
Visual, Intellectual SAVI sebagai Sarana Pengembangan Keterampilan Proses Sains Siswa
pada Materi Matter Changes untuk SMP RSBI .
Skripsi Tidak Dipublikasikan. Surabaya: Unesa. Maharti, Yosi Silfa Tri. 2011. Penerapan Model
Pembelajaran Diskusi Kelas dengan Pendekatan Somatis, Audio, Visual, Intelektual SAVI pada
Materi Pokok Perubahan Zat di Kelas VII-C SMP Laboratorium Unesa dalam Upaya
Mencapai Ketuntasan Belajar
. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Surabaya: Unesa
Meier, Dave. 2010. The Accelerated Learning Handbook:
Panduan Kreatif
dan Efektif
Merancang Program Pendidikan dan Pelatihan .
Penerjemah: Rahmani Astuti New York: McGraw-Hill.
Mulyasa, E. 2011. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Bandung: PT Remaja Rosada Karya Nur, Mohamad. 2004. Pemotivasian Siswa Untuk
Belajar . Surabaya: UNESA Press.
ISBN 978-602-72071-1-0
PENERAPAN MODEL INKUIRI UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK
TERMOKIMIA KELAS XI IPA 5 SMAN MOJOAGUNG
ISBN 978-602-72071-1-0
Achmad Fauzi
1
Rahadian Grace Amelia
2
Ulifatul Laili
3
1,2,3
Program Studi S-2 Pendidikan Sains, Universitas Negeri Surabaya, E-mail : fauzichemistrygmail.com
ISBN 978-602-72071-1-0 ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil belajar siswa menggunakan lembar kegiatan siswa LKS inkuiri pada materi pokok termokimia kelas XI. Jenis penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas
PTK. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah siswa SMAN Mojoagung kelas XI IPA 5 yang berjumlah 30 siswa. Hasil belajar siswa melalui penerapan model pembelajaran inkuiri pada materi
termokimia di Kelas XI-IPA 5 SMA Negeri Mojoagung dinyatakan tuntas dan mengalami peningakatan dari siklus I 50 dan siklus II 90.
Kata kunci:
Inquiri, Penelitian Tindakan Kelas PTK, hasil belajar
ABSTRACT
The objective of this study is to know a learning result after using student worksheet with inquiry model on thermochemistry grade XI. The kind of the research is classroom research. The subject of the research are
30 students of grade XI-IPA 5 in Public Senior High School of Mojoagung. Learning result of student by implementation of inquiry on thermochemistry lesson is defined as reach mastery and increase from cycle I
as 50 and cycle II 90. Keywords
: Inquiry, classroom research, learning result
ISBN 978-602-72071-1-0 PENDAHULUAN
Era globalisasi menuntut suatu bangsa untuk menyiapkan
generasi yang
mampu mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus
didukung oleh adanya sumber daya manusia yang berkualitas. Pendidikan merupakan modal utama bagi
suatu bangsa dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang ada di dalamnya. Oleh
karena itu, Indonesia berusaha meningkatkan kualitas pendidikan agar sumber daya manusia yang ada dapat
mengikuti perkembangan dan teknologi. Pendidikan di Indonesia juga dirancang berdasarkan kebutuhan nyata
di lapangan agar masyarakat Indonesia dapat bersaing dalam era globalisasi dan pasar bebas yang dihadapkan
pada perubahan perubahan yang tidak menentu dan penuh tantangan. Desakan global inilah yang
mendorong para pendidik untuk mendapatkan generasi yang unggul dan mampu bersaing. Untuk mendapatkan
generasi yang unggul dan mampu bersaing, siswa diharapkan mampu belajar dari waktu ke waktu.
Robbins dalam Trianto, 2009:15 berpendapat bahwa belajar merupakan proses menciptakan
hubungan antara sesuatu pengetahuan yang sudah di pahami dan sesuatu pengetahuan yang baru. Senada
dengan Bruner, belajar adalah suatu proses aktif di mana siswa membangun mengkonstruk pengetahuan
baru berdasarkan pada pengalaman pengetahuan yang sudah dimilikinya.
Siswa membutuhkan suatu bahan ajar yang memadai dalam proses pembelajaran. Bahan ajar
merupakan segala bahan baik informasi, alat, maupun teks
yang disusun
secara sistematis,
yang menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan
dikuasai peserta didik dan digunakan dalam proses pembelajaran
dengan tujuan
perencanaan dan
penelaahan implementasi pembelajaran Prastowo, 2012:23. Salah satu fungsi dari bahan ajar adalah
memudahkan bagi peserta didik untuk mempelajari suatu kompetensi tertentu. Salah satu contoh bahan ajar
adalah Lembar Kerja Siswa LKS. Lembar kerja siswa berisi materi ajar yang sudah dikemas sedemikian rupa,
sehingga peserta didik diharapkan dapat mempelajari materi ajar tersebut secara mandiri. Lembar Kerja
Siswa LKS Merupakan suatu bahan ajar cetak berupa lembar-lembar kertas yang berisi materi, ringkasan, dan
petunjuk-petunjuk pelaksanaan tugas pembelajaran yang harus dikerjakan oleh peserta didik, yang
mengacu pada kompetensi dasar yang harus dicapai. Selain bahan ajar yang memadahi, model pembelajaran
yang digunakan juga berperan penting dalam proses belajar mengajar.
Salah satu ilmu pengetahuan yang diajarkan sejak tingkat dasar adalah Ilmu Pengetahuan Alam
IPA. Ilmu Pengetahuan Alam IPA berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala alam secara sistematis,
sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep,
atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat
menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek
ISBN 978-602-72071-1-0 pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di
kehidupan sehari-hari.
Proses pembelajarannya
menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar peserta didik
mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk mencari tahu
dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang lebih mendalam
tentang alam sekitar.
Kimia merupakan ilmu yang termasuk dalam rumpun IPA, oleh karenanya kimia mempunyai
karakteristik yang sama dengan IPA. Karakteristik tersebut adalah objek ilmu kimia, cara dan proses
memperoleh, serta kegunaannya. Kimia merupakan ilmu yang pada awalnya diperoleh dan dikembangkan
berdasarkan
percobaan induktif
namun pada
perkembangan selanjutnya kimia juga diperoleh dan dikembangkan berdasarkan teori deduktif. Mata
pelajaran kimia perlu diajarkan untuk tujuan yang lebih khusus yaitu membekali peserta didik pengetahuan,
pemahaman
dan sejumlah
kemampuan yang
dipersyaratkan untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi serta mengembangkan ilmu dan
teknologi. Pada Sekolah Menengah Atas, kimia termasuk dalam kelompok mata pelajaran peminatan
matematika dan sains.
Materi termokimia khususnya pada sub materi reaksi eksoterm dan reaksi endoterm merupakan materi
dasar yang harus dipahami oleh siswa sebelum mempelajari perhitungan pada reaksi eksoterm dan
reaksi endoterm. Bedasarkan hasil angket yang diberikan pada siswa kelas XI IPA 5 SMAN Mojoagung
pada tanggal 7 September 2013, diperoleh data 70 dari 30 siswa yang diberikan angket memberikan jawaban
sulit dan sedang pada materi pokok termokimia. Sisanya 30 menjawab tidak sulit pada materi pokok
termokimia. Siswa kelas XI IPA 5 SMAN Mojoagung belum melaksanakan kegitan praktikum pada materi
pokok termokimia reaksi eksoterm dan reaksi endoterm. Hal ini menyebabkan 40 siswa merasa
mempunyai nilai kurang pada materi pokok termokimia. Kriteria ketuntasan minimal KKM yang digunakan di
SMAN Mojoagung untuk mata pelajaran kimia kelas XI semester 1 adalah 77.
Usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas XI IPA 5 SMAN Mojoagung
pada materi pokok reaksi eksoterm dan reaksi endoterm adalah dengan menggunakan model pembelajaran
inquiri. Model pembelajaran inquiri merupakan model pembelajaran yang kreatif dan dapat meningkatkan rasa
ingin tahu siswa terhadap sebuah materi pelajaran khususnya dalam kegiatan percobaan.
Dari uraian tersebut, maka peneliti ingin menerapkan model pembelajaran inkuiri pada materi
pokok reaksi eksoterm dan reaksi endoterm. Oleh karena itu diambil judul “Penerapan Model Inkuiri Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Materi Pokok Termokimia Kelas XI IPA 5 SMAN Mojoagung
”. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas
PTK. 2. Sasaran Penelitian
Sasaran dalam penelitian ini adalah siswa SMAN Mojoagung kelas XI IPA 5 yang berjumlah 30 siswa.
3. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
terdiri dari: a. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran RPP
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran RPP ini mengenai kegiatan pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran Inquiri. Rencana pelaksanaan pembelajaran dibuat oleh
guru untuk persiapan mengajar tiap kali pertemuan atau tatap muka.
b. Lembar Kerja Siswa LKS Lembar Kegiatan Siswa LKS berisi
soal-soal yang mencakup semua indikator belajar yang akan dicapai pada materi bentuk
molekul. Lembar kerja siswa LKS juga berisi tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik.
Lembar kegiatan biasanya berupa petunjuk, langkah-langkah untuk menyelesaikan suatu
tugas.
c. Lembar Soal Tes Hasil Belajar Dalam penelitian ini tes yang digunakan
adalah tes hasil belajar siswa yang dilaksanakan pada akhir penelitian. Hasil tes ini digunakan
untuk mengetahui ketuntasan hasil belajar siswa setelah melalui proses pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran inkuiri berupa tercapainya indikator hasil belajar dan
untuk mengukur tingkat penguasaan materi yang disampaikan.
4. Prosedur Pengumpulan Data Dalam penelitian ini data yang akan digunakan
adalah data nilai pada tiap-tiap tes pada tiap akhir siklus pada materi termokimia.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang disajikan pada bab ini adalah data hasil pengisisan angket yang merupakan respon siswa
terhadap penerapan model pembelajaran inkuiri pada materi termokimial dan data nilai tes akhir pada tiap
siklus. Data ini diambil dari penelitian di kelas XI-IPA 5 SMA Negeri Mojoagung yang berjumlah 30 siswa
dengan 9 siswa putra dan 21 siswa putri. Setelah dilakukan proses belajar mengajar, diadakan evaluasi
didapatkan data sebagai berikut: 1.
Data Nilai Tes Akhir pada Tiap Siklus Kelas XI IPA 5 SMAN
Mojoagung a.
Siklus I
Tabel 1 Hasil tes akhir pada siklus I
Jumlah Mahasiswa Tuntas
Tidak Tuntas 15
15
ISBN 978-602-72071-1-0 Dari data diatas dapat diketahui siswa yang
tuntas berjumlah 15 siswa dan yang tidak tuntas belajar berjumlah 15 siswa. Data ketuntasan
belajar siswa secara klasikal dapat diperoleh
dengan menganalisis hasil tes belajar siswa menggunakan rumus:
Persen ketuntasan secara klasikal =
x 100 = x 100
= 50
Dari perhitungan tersebut, dapat diketahui bahwa siswa kelas XI IPA 5 SMAN Mojoagung
tidak tuntas belajar secara klasikal. Hal ini terbukti dengan presentase ketuntasan belajar
klasikal yang kurang dari 65 yaitu hanya 50
siswa yang telah mencapai nilai ≥ 77. Berdasarkan
analisis peneliti,
hasil ini
dikarenakan kurangnya tingkat ketelitian siswa dalam mengerjakan soal yang diberikan oleh
guru. b.
Siklus II
Tabel 2 Hasil tes akhir pada siklus II
Jumlah Mahasiswa Tuntas
Tidak Tuntas 27
3 Dari data tersebut dapat diketahui bahwa
pada siklus II ini semua siswa tuntas belajar dan ketelitian siswa meningkat. Hal ini terbukti
bahwa 99 siswa mencapai skor ≥ 77 serta hasil
penilaian lembar Mind Mapping yang secara klasikal dikatakan bagus. Data ketuntasan
belajar siswa secara klasikal dapat diperoleh dengan menganalisis hasil tes belajar siswa
menggunakan rumus: Persen ketuntasan secara klasikal
= x 100
= x 100 = 90
Dari perhitungan
tersebut, dapat
diketahui bahwa siswa kelas XI-IPA 5 SMAN Mojoagung tuntas belajar secara klasikal. Hal ini
terbukti dengan presentase ketuntasan belajar klasikal yang lebih dari 65 yaitu 100 siswa
yang telah mencapai nilai ≥ 77.
Pembahasan Siklus I
1. Perencanaan Berdasarkan masalah yang telah diidentifikasi
pada saat observasi awal maka telah direncanakan model pembelajaran pada materi “Membedakan
reaksi yang melepaskan kalor eksoterm dengan reaksi yang menerima kalor endoterm
” melalui model Pembelajaran inkuiri.
2. Pelaksanaan
Pelaksanaan tindakan
pada siklus
I dilaksanakan sebanyak 1 kali pertemuan yang
berlangsung selama 3 jam pelajaran 3 x 45 menit. Siklus I dilaksanakan pada tanggal 7 September
2013. Pelaksanaan pembelajaran pada siklus I ini
mengacu pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran RPP yang telah dipersiapkan. Selama pembelajaran
berlangsung guru memotivasi siswa dengan memberikan vidio fenomena aplikasi dari reaksi
eksoterm dan reaksi endoterm. Setelah motivasi siswa terbangun, guru meminta siswa untuk
melakukan
percobaan guna
membangun pengetahuan siswa.
Selama pembelajaran berlangsung, aktivitas peneliti maupun siswa diamati oleh guru maupun
rekan peneliti yang bertindak sebagai pengamat. Pada akhir siklus I dilakukan tes akhir yang
berfungsi untuk mengukur kemampuan belajar siswa.
Siswa dikatakan tuntas belajar bila ia mencapai skor
≥ 77. Dan suatu kelas dikatakan tuntas belajar secara klasikal bila di kelas tersebut terdapat 65
siswa yang telah mencapai nilai ≥ 77. Dari data pada tabel 1 tersebut dapat diketahui bahwa terdapat 15
siswa yang tidak tuntas. Jadi jumlah siswa yang tuntas belajar dalam siklus ini ada 15 siswa.
Sehingga diperoleh ketuntasan belajar secara klasikal sebanyak 50. Dari perhitungan tersebut, dapat
diketahui bahwa siswa kelas XI-IPA 5 SMAN Mojoagung belum tuntas belajar secara klasikal. Hal
ini terbukti dengan presentase ketuntasan belajar klasikal yang kurang dari 65 yaitu hanya sekitar
50
siswa yang telah mencapai nilai ≥ 77.
3. Refleksi
Berdasarkan data-data yang telah terkumpul pada siklus I, proses pembelajaran yang berlangsung
kurang efektif yang ditunjukkan dengan presentese ketuntasan belajar siswa yang hanya mencapai 50.
Presentase ketuntasan masih tergolong rendah, sehingga peneliti merasa sangat perlu melakukan
penelitian siklus II untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Hasil ini belum memenuhi target yang
ditetapkan peneliti sehingga diperlukan suatu perbaikan dalam pembelajaran untuk siklus
berikutnya.
Siklus II 1. Perencanaan
Dengan memperbaiki
kelemahan atau
kekurangan yang terjadi pada siklus I, peneliti merencanakan pembelajaran pada siklus II dengan
model pembelajaran yang sama pada materi “macam-macam perubahan entalpi” yaitu model
pembelajaran inkuiri.
2. Pelaksanaan
Pelaksanaan pembelajaran pada siklus II mengacu pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
RPP yang telah dipersiapkan. Pembelajaran pada siklus II dilaksanakan pada tanggal 11 September
2013. Prinsip pelaksanaan pembelajaran pada siklus II ini sama dengan pembelajaran pada siklus I, hanya
saja kekurangan atau kelemahan yang terjadi pada
ISBN 978-602-72071-1-0 siklus I lebih diperbaiki seperti lebih menekankan
pemberian dan pembahasan latihan soal yang banyak dan waktu untuk berdiskusi yang lebih lama.
Submateri yang diajarkan pada siklus II ini adalah
“macam-macam perubahan entalpi”. Guru memberikan tugas atau soal yang harus dikerjakan
secara individu dengan bimbingan guru. Pada tahap ini, siswa mengambil menganalisis data dari hasil
percobaan pada minggu sebelumnya. Tahap terakhir mereka diberikan latihan lanjutan tentang materi
tersebut untuk mengembangkan kemampuan mereka pada materi
“macam-macam perubahan entalpi”. Selama pembelajaran aktivitas peneliti
maupun siswa tetap diamati oleh guru atau pengamat. Pada akhir siklus II juga dilakukan tes
akhir yang berfungsi untuk mengukur hasil belajar siswa. Dari hasil tes ini diketahui bahwa semua siswa
mendapatkan nilai
≥ 77. Sehingga ketuntasan belajar secara klasikal pada siklus ini adalah 90. Dari
perhitungan tersebut, dapat diketahui bahwa siswa kelas XI-IPA 5 SMAN Mojoagung tuntas belajar
secara klasikal lebih dari 65 siswa yang telah mencapai nilai
≥ 77. PENUTUP
Simpulan Berdasarkan data-data yang telah terkumpul pada
siklus I tabel 5 dan pada siklus II tabel 6, diketahui bahwa proses pembelajaran yang berlangsung pada
siklus II ini sudah lebih baik dibandingkan dengan siklus I, di mana data peningkatan hasil belajar siswa dapat
dilihat pada tabel 5 serta ketelitian siswa dalam mengerjakan soal juga meningkat.
Tabel 5 Data Peningkatan Hasil belajar
No. Siklus
Ketuntasan Belajar 1.
Siklus I 50
2. Siklus II
90 Dari data pada tabel di atas dapat disimpulkan
bahwa penerapan model pembelajaran inkuiri dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi
termokimia. Terbukti dengan adanya kenaikan hasil belajar sebanyak 40.
Saran
Dari penelitian di atas peneliti memberi saran bahwa perlu dilakukan penelitian pada materi pokok
lainnya untuk mengatasi masalah peningkatan hasil belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA Arends, Richard. 2008. Learning To Teach: Belajar
Untuk Mengajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Prastowo, Andi. 2012. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif.
Yogyakarta: DIVA Press Purwanto, 2008. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Trianto, 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif
Progresif. Rawamangun: Kencana
ISBN 978-602-72071-1-0
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI BERBASIS KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN
KETERAMPILAN MENGENALI VARIABEL, MENGUMPULKAN DAN MENGOLAH DATA,
DAN MENYIMPULKAN
Linda Wirianty
1
Windha Herjinda
2
Ernita Vika Aulia
3
1, 2, 3
Mahasiswa Pendidikan Sains, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya E-mail:
linda.wiriantygmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan keterampilan proses sains siswa khususnya aspek mengenali variabel, mengumpulkan dan mengolah data dan menyimpulkan setelah diterapkan model
pembelajaran inkuiri berbasis kontekstual.Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain penelitian one group pretest-posttest.Sasaran penelitian ini adalah siswa SMA kelas XI MIA semester
Gasal SMA tahun ajaran 2014-2015. Instrumen yang digunakan untuk mengamati keterampilan proses sains siswa yakni lembar tes keterampilan proses sains. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya
pengaruh signifikan penerapan model pembelajaran tersebut terhadap peningkatan keterampilan proses sains siswa yakni keterampilan mengenali variabel dengan kategori sedang g=0,51, keterampilan
mengumpulkan dan mengolah data dengan kategori sedang g=0,61 dan keterampilan menyimpulkan dengan kategori tinggi g=0,71.
Kata kunci
: Keterampilan Proses Sains, Inkuiri Berbasis Kontekstual
ABSTRACT
This study aims to k now the improvement of student’s science process skills especially in identifying variables,
collecting and processing data and concluding after learning with inquiry learning model contextual based. This research is aquantitative and the design is one group pretest-posttest. The target of this research are the high
school students of class XI MIA in odd semester of in 2014-2015school year. The instrument used to observe the students science process skills is science process skills test sheet. The results showed that there is significant
effect of the application inquiry learning models based contextual to improve the students science process skills respectively the skills to identify variables in medium category g=0,51, the skills to collect and process data
in the medium category g=0,61 and the skill to conclude with the high category g=0,71. Keywords
: Science Process Skills, Inquiry-Based Contextual
PENDAHULUAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan
dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa Depdiknas, 2003.
Kimia merupakan salah satu mata pelajaran peminatan Matematika dan Ilmu Alam yangdalam proses
pembelajarannya tidak hanya bertujuan memahami konsep prinsip, hukum dan teori kimia namun juga
keterkaitannya dan penerapannya untuk menyelesaikan masalah dalm kehidupan sehari-hari Mulyasa, 2007.
Keterampilan proses sains adalah wahana penemuan dan pengembangan fakta, konsep dan prinsip ilmu
pengetahuan bagi diri siswa. Fakta, konsep dan prinsip ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan
siswa berperan menunjang kemampuan keterampilan proses sains pada diri siswa Dimyati, 2013.
Keterampilan proses dapat dikelompokkan dan dapat dilatihkan melalui kegiatan praktikumsehingga siswa akan
mendapatkan kemampuan melakukan inkuiri ilmiah yang diperlukannya kelak dalam menjalani pekerjaan dan
hidupnya Romlah, 2009
Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada siswa kelas XI, diketahui skor mengenali variabel 49,52 kategori:
cukup, keterampilan mengumpulkan dan mengolah data 36,19 kategori: kurang dan keterampilan menyimpulkan
40,95 kategori: cukup. Sedangkan pada hasil angket pada siswa kelas XII, skor keterampilan mengenali
variabel
40 kategori:
kurang, keterampilan
mengumpulkan dan mengolah data 60 kategori: cukup dan keterampilan menyimpulkan 57,14 kategori: cukup
Wirianty, 2015. Pencapaian keterampilan proses sains dengan metode
praktikum dapat lebih optimal bila berbasis kontekstual. Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan sehari-
hari Nurhadi, 2002.
Salah satu model pembelajaran yang bermanfaat untuk memperkuat pendekatan ilmiah scientific, yakni
pembelajaran berbasis
penyingkapanpenelitian discoveryinquiry
learning .
Pembelajaran inkuiri
merupakan kegiatan pembelajaran yang menekankan proses berpikir secara kritis dan analitis untuk
menemukan jawaban dari permasalahan yang diajukan Sanjaya, 2013
Materi kimia yang dapat diterapkan metode praktikum berbasis kontekstual adalah Laju Reaksi khususnya pada
materi pokok Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Reaksi. Hal ini sejalan dengan Kompetensi Dasar 4.7
yakni merancang, melakukan, dan menyimpulkan serta menyajikan
hasil percobaan
faktor-faktor yang
mempengaruhi laju reaksi dan orde reaksi. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat
dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu Bagaimana peningkatan keterampilan proses sains siswa dengan
model pembelajaran inkuiri berbasis kontekstual pada materi laju reaksi? Berdasarkan permasalahan di atas,
tujuan penelitian ini adalah mengetahui peningkatan keterampilan proses sains siswa khususnya pada aspek
mengenali variabel, mengumpulkan dan mengolah data, dan menyimpulkan.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini penelitian kuantitatif. Pada penelitian ini diteliti keterampilan proses sains siswa.
Sasaran penelitian ini adalah siswa SMA kelas XI-MIA. Desain penelitian yang digunakan adalah one group
pretest-posttest , data digambarkan sebagai berikut :
Keterangan : O1 = nilai pretestketerampilan proses sains siswa pada
materi larutan elektrolit dan non elektrolit O2= nilai posttestketerampilan proses sains siswa
pada materi
pokok faktor-faktor
yang mempengaruhi laju reaksi
X = treatment yang diberikan berupa pembelajaran dengan model inkuiri berbasis kontekstual
Perangkat pembelajaran yang digunakan dalam pene;itian ini antara lain 1 Silabus, 2 RPP, 3 LKS.
Sedangkan instrumen yang digunakan antra lain 1 Lembar pengamatan keterlaksanaan pembelajaran, 2
Lembar tes keterampilan proses sains.
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi dan metode tes.
Keterampilan proses sains siswa dinilai sesuai dengan rubrik yang telah disediakan. Skor keterampilan proses
sains diperoleh dengan cara: Skor keterampilan proses sains siswa =
1 Berdasarkan Riduwan 2006 skor keterampilan
proses sains siswa diinterpretasikan dengan sebagai berikut :
Tabel 1. Kategori Keterampilan Proses Sains Berdasarkan Skor
Skor Kategori
0-20 Sangat kurang
21-40 Kurang
41-60 Cukup
61-80 Baik
81-100 Sangat baik
Peningkatan keterampilan proses sains siswa dianalisis dengan menghitung selisih rata-rata nilai pretest
dan posttest n-gain scoredengan rumus sebagai berikut :
Hake, 1998 Keterangan:
g = n-gain score Sf = Nilai rata-rata postest
O
1
X O
2
ISBN 978-602-72071-1-0
Si = Nilai rata-rata pretest Hasil ini kemudian diinterpretasikan dalam kategori n-
gain score berikut:
Tabel 2. Kategori n-gain score
Nilai g Kategori
g 0,7 Tinggi
0,7 g 0,3 Sedang
g 0,3 Rendah
Hake, 1998 Untuk menunjang hasil keterampilan proses sains
siswa maka kualitas keterlaksanaan pembelajaranjuga dianalisis menggunakan kriteria batasan pengelolaan
pembelajaran sebagai berikut: Kualitas pengelolaan Pembalajaran=
Berdasarkan Riduwan 2006 skor keterlaksanaan pembelajaran di interpretasikan dengan kriteria sebagai
berikut: Tabel 3. Kategori Kualitas Keterlaksanaan Pembelajaran
Berdasarkan Prosentase
Persentase Kategori
0-20 Sangat kurang
21-40 Kurang
41-60 Cukup
61-80 Baik
81-100 Sangat baik
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pretest dan posttest keterampilan proses sains siswa disajikan sebagai berikut:
Tabel 4.Hasil Analisis Pretest dan Posttest Keterampilan Proses Sains Siswa
Keterampilan Proses Sains
Hasil Pretest
Hasil Posttest
Skor
Kategori
Skor
Kategori
Mengenali variable
32,48
Cukup
66,67
Baik
Mengumpulkan dan
Mengolah Data
46,15
Cukup
78,79
Baik
Menyimpulkan Hasil
Analisis Data
47,86
Cukup
84,85
Sangat Baik
Keterampilan proses sains siswa yang menjadi fokus pada penelitian ini, pada saat pretest berada pada kategori
cukup. Sedangkan keterampilan proses sains siswa pada saat posttest berada pada kategori baik dan sangat baik.
Hasil analisis menunjukkan bahwa adanya pengaruh signifikan penerapan model pembelajaran inkuiri berbasis
kontekstual terhadap peningkatan keterampilan proses sains siswa yakni keterampilan mengenali variabel
dengan kategori sedang g=0,51, keterampilan mengumpulkan dan mengolah data dengan kategori
sedang g=0,61 dan katerampilan menyimpulkan dengan kategori tinggi g=0,71.Hasil yang telah
diperoleh menunjukkan bahwa keterampilan proses sains telah berhasil dilatihkan pada siswa.Keterampilan proses
dapat dilatihkan melalui kegiatan praktikum sehingga siswa akan mendapatkan kemampuan melakukan inkuiri
ilmiah Romlah, 2009 Keterampilan proses sains siswa dilatihkan dengan
pengimplementasian model pembelajaran inkiri berbasis kontekstual. Model pembelajaran inkuiri melatihkan
keterampilan proses sains pada siswa khususnya pada fase 4 yakni melatihkan keterampilan mengenali variabel, pada
fase 5 melatihkan keterampilan mengumpulkan dan mengolah data, dan pada fase 6 melatihkanketerampilan
menyimpulkan hasil analisis data.
Keterlaksanaan pembelajaran dan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran diukur menggunakan
lembar keterlaksanaan pembelajaran yang telah disusun berdasarkan
RPP.Perbandingan Keterlaksanaan
Pembelajaran Pada Pertemuan 1 dan Pertemuan 2 sebagai berikut:
Gambar 1.Perbandingan Keterlaksanaan Pembelajaran Pada Pertemuan 1 dan Pertemuan 2
Pada fase 4 siswa dibimbing untuk untuk menentukan variabel-variabel yang terdapat dalam fenomena dengan
caratanya jawab mengenai jenis-jenis variabel dan perbedaan dari setiap variabel. Kualitas pengelolan
pembelajaran guru pada fase ini yaitu pada pertemuan 1 dan pertemuan 2, berada pada kategori baik dengan
persentase 75.Pada fase 5, siswa melakukan percobaan sesuai dengan LKS yang didapatkan kemudian mencatat
hasil percobaan dan menganalisis hasil yang didapatkan. Perbedaan fase ini pada kedua pertemuan yaitu pada
pertemuan 1 siswa melaksanakan percobaan sesuai dengan petunjuk yang terdapat dalam LKS sedangkan
pada pertemuan 2, siwa merancang sendiri percobaan yang akan mereka lakukan sesuai dengan fenomena yang
disajikan dalam LKS. Kualitas pengelolan pembelajaran pada fase ini yaitu pertemuan 1 dan 2 masing-masing
83,33 dan 88,89 dengan kategori sangat baik. Pada fase 6, siswa membuat kesimpulan berdasarkan hasil
percobaan
dan analisisnya
kemudian mempersentasikannya. Kemampuan guru mengelola
pembelajaran pada fase ini sebesar 88,89 pada pertemuan 1 dan 91,67 pada pertemuan 2 dengan
kategori sangat baik. Sehingga berdasarkan hasil tersebut, model pembelajaran inkuiri cocok untuk melatihkan
keterampilan proses sains pada siswa.
Keterlaksanaan pembelajaran dengan model inkuiri berbasis kontekstual baik pada pertemuan pertama
maupun pertemuan kedua dinilai efektif oleh ketiga pengamat.Semua aspek yang telah direncanakan dalam
RPP sudah terlaksana. Kualitas pengelolaan pembelajaran
ISBN 978-602-72071-1-0
pada pertemuan 1 yaitu 88,33 berada pada kategori sangat baik dan kualitas pengelolaan pembelajaran pada
pertemuan 2 yaitu 90,87 berada pada kategori sangat baik pula.Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran yang
dilakukan efektif. Tiga indikator pencapaian efektivitas pembelajaran, antara lain kesesuaian dengan prosedur,
kuantitas unjuk kerja dan kualitas hasil akhir Degeng, 1989.
PENUTUP Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data penelitian dan pembahasan, dapat dituliskan simpulan penelitian sebagai
berikut: Adanya
peningkatan keterampilan
proses sains
berdasarkan interpretasi nilai gain ternormalisasi setelah pembelajaran inkuiri berbasis kontekstual yakni
keterampilan mengenali variabel dengan kategori sedang g=0,51, keterampilan mengumpulkan dan mengolah
data dengan kategori sedang g=0,61 dan keterampilan menyimpulkan dengan kategori tinggi g=0,71.
Saran
Berdasarkan simpulan yang telah dibuat, peneliti mengajukan saran sebagai berikut :
1. Diperlukan adanya penelitian lebih lanjut mengenai penerapan model pembelajaran inkuiri berbasis
kotekstual pada materi pokok lain sehingga dapat dilihat konsistensi pengaruh penerapan model
pembelajaran tersebut
terhadap peningkatan
keterampilan proses sains siswa. 2. Kelemahan dalam penerapan model pembelajaran
inkuiri yakni memerlukan alokasi waktu yang relatif panjang
sehingga guru
harus benar-benar
memperhatikan alokasi waktu yang tersedia.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih kepada Ibu Bertha Yonata, S.Pd, M.Pd. selaku pembimbing sehingga penelitian ini dapat
terselesaikan. DAFTAR PUSTAKA
Degeng, I Nyoman Sudana. 1989. Ilmu Pengajaran
Taksonomi Variable . Jakarta: Depdikbud.
Depdiknas. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional . Jakarta: Depdiknas.
Dimyati dan
Mudjiono. 2013.
Belajar dan
Pembelajaran .Jakarta: PT.Rineka Cipta.
Hake, R.R. 1998. Interactive Engagement Versus Traditional Methods: A Six Thousand Student
Survey of
Mechanics Test
Data for
IntroductoryPhysics Courses . American Journal
Physics. Vol. 66, No. 1, Hal. 64-74. Mulyasa, E. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan .Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Nurhadi. 2002. Pendekatan Kontekstual Contextual Teaching and Learning
. Jakarta : Depdiknas. Riduwan.2006. Skala Pengukuran Variabel-Variabel
Penelitian . Bandung : Alfabeta CV.
Romlah, Oom 2009. Peranan Praktikum Dalam Mengembangkan Keterampilan Proses dan
Kerja Laboratorium
Online http:http:file.upi.eduDirektoriFPMIPA
diakses 24 Mei 2014 Sanjaya,
Wina. 2013.
Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar
Proses Pendidikan.
Jakarta : Prenada Media Group. Wirianty, Linda. 2014. Keterampilan Proses Sains
Siswa Kelas XI SMAN 16 Surabaya Melalui Penerapan
Model Pembelajaran
Inkuiri Berbasis Kontekstual Pada Materi Laju Reaksi
. Skripsi pada FMIPA Unesa: tidak diterbitkan.
ISBN 978-602-72071-1-0
PROFIL KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA MENGGUNAKAN LEMBAR KEGIATAN SISWA
BERORIENTASI LEARNING CYCLE 7E
Faridatur Rofi’ah
1
Putri Pratikno
2
1, 2
Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya E-mail :
faridatur.rofiahyahoo.co.id
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melatihkan keterampilan proses sains dengan menggunakan lembar kegiatan siswa berorientasi learning cyle 7E pada materi pokok laju reaksi. Rancangan penelitian yang digunakan
adalah “One Shot Case Study”. Sasaran penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 2 Madrasah Aliyah NU Sidoarjo. Instrumen penelitian yang digunakan adalah lembar pengamatan dan lembar tes keterampilan
proses sains beserta rubriknya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai keterampilan proses sains siswa pada pertemuan I hingga IV berturut-turut 84,21; 87,58; 91,79; 84,00. Hal ini menjelaskan bahwa
model Learning Cycle 7-E dapat membantu melatihkan keterampilan proses sains siswa. Kata Kunci:
keterampilan proses sains , learning cycle 7E
ABSTRACT
This research is to know the student ’s science process skills using student activity sheet with learning cycle
7E orientation in main matter of rate reaction . The research design is “One Shot Case Study”. The target
of this research is class XI IPA 2 Madrasah Aliyah NU Sidoarjo. The researh instruments are science process skills observation sheet and science process skills test and its criteria. The results of this research
indicate that student science process skills score at the 1
st
to 4
th
meeting are as many as 84,21; 87,58; 91,79; 84,00. This explain that Learning Cycle 7-
E model using student activity can help to train student’s science process skills.
Keywords:
science process skills, learning cycle 7E
ISBN 978-602-72071-1-0
PENDAHULUAN
Permendikbud Nomor 64 Tahun 2013 tentang Standar Isi menyatakan salah satu muatan kimia untuk kelompok
peminatan matematika dan ilmu pengetahuan alam adalah merancang dan melakukan percobaan kimia yang
mencakup perumusan masalah, mengajukan hipotesis, menentukan
variabel, memilih
instrumen, mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data,
menarik kesimpulan, dan mengkomunikasikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis. Komponen-komponen
keterampilan tersebut merupakan komponen keterampilan proses sains yang sangat penting untuk dilatihkan.
Dalam keterampilan proses sains, siswa berusaha untuk menemukan dan mengembangkan konsep, yang
nantinya akan
bermanfaat untuk
menunjang pengembangan kemampuan selanjutnya. Pembelajaran
berbasis keterampilan proses sains dirancang agar siswa dapat menemukan fakta, konsep, dan teori yang dibarengi
sikap ilmiah. Interaksi proses penemuan dan pembuktian konsep dalam proses belajar mengajar akan dapat
mengembangkan kemampuan pada diri siswa, seperti kemampuan
dalam memecahkan
masalah serta
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Keterampilan proses sains belum dilatihkan dengan
baik di Madrasah Aliyah NU Sidoarjo karena terbatasnya kondisi laboratorium, sehingga siswa jarang melakukan
praktikum. Hal ini juga didukung dengan hasil tes pendahuluan yang menunjukkan sebanyak 95,5 siswa
mampu mengumpulkan data; tetapi untuk keterampilan merumuskan masalah, hipotesis, menganalisis data, dan
membuat kesimpulan tidak lebih dari 30 siswa. Bahkan hanya 12 siswa yang mengetahui definisi variabel
manipulasi, variabel respon, dan variabel kontrol dengan baik.
Dari fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan dalam melatihkan keterampilan proses
belum sepenuhnya terjadi. Fungsi eksperimen yang dilakukan selama proses pembelajaran dalam melatih
keterampilan proses siswa masih kurang, yang dapat mengakibatkan siswa kurang bisa memahami dan
menghubungkan fakta yang diperoleh dari eksperimen yang dilakukan dengan konsep yang telah dipelajari.
Padahal melalui eksperimen siswa diharapkan mampu menerapkan konsep dan teori yang diperoleh dalam
kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan hasil angket, 34,4 siswa menyatakan laju reaksi merupakan materi yang sulit dipahami. Laju
reaksi memiliki beberapa kompetensi dasar, yaitu 1 memahami teori tumbukan tabrakan untuk menjelaskan
reaksi kimia, 2 menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi dan menentukan orde reaksi
berdasarkan data hasil percobaan, 3 menyajikan hasil pemahaman terhadap teori tumbukan tabrakan untuk
menjelaskan reaksi kimia, serta 4 merancang, melakukan, dan menyimpulkan serta menyajikan hasil
percobaan faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi dan orde reaksi Kemendikbud, 2013. Dengan adanya
kompetensi pencapaian tersebut, menunjukkan bahwa dalam laju reaksi banyak konsep yang harus dipahami dan
diingat dengan baik, serta perlunya dilakukan kegiatan praktikum yang dapat dihubungkan dengan kehidupan
sehari-hari untuk mendukung pemahaman siswa dalam menguasai konsep. Dengan adanya praktikum, siswa
dituntut untuk memiliki suatu keterampilan proses sehingga dapat menemukan fakta dari suatu konsep. Hal
ini
menunjukkan diperlukannya
pembelajaran konstruktivis yang memungkin-kan siswa beraktivitas
secara total sehingga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami konsep.
Model Learning Cycle 7-E merupakan salah satu model pembelajaran yang berbasis pada paradigma
konstrutivisktik. Model ini cocok diterapkan untuk materi pelajaran yang bersifat hafalan, perhitungan,
eksperimen, pemahaman materi, dan materi pelajaran yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari Jannah
dan Azizah, 2012. Hal ini sesuai dengan karakteristik dari materi laju reaksi.
Eisenkraft 2003 mengembangkan siklus belajar mulai dari Learning Cycle 3-E ke 5-E, menjadi 7-E.
Adapun fase-fase Learning Cycle 7-E meliputi Elicit mendatangkan pengetahuan awal siswa, Engage
motivasi dan membangkitkan minat siswa, Explore menyelidiki,
Explain menjelaskan,
Elaborate menerapkan,
Evaluate menilai,
dan Extend
memperluas. Unsur-unsur teori belajar Piaget yang meliputi fase asimilasi, akomodasi, dan organisasi
mempunyai korespodensi dengan fase-fase dalam model Learning Cycle 7-E
. Dasna dan Sutrisno 2005 menyatakan siswa akan
dilibatkan secara aktif dalam kegiatan penelitian, sehingga mereka dapat mengembangkan pemahamannya terhadap
suatu konsep dengan kegiatan mencoba sebelum diperkenalkan dengan kata-kata melalui diskusi atau
memperoleh informasi dari buku. Selain itu, Learning Cycle
juga dapat mengembangkan keterampilan proses siswa, memberi kesempatan kepada mereka untuk
melakukan percobaan sains secara langsung, dan membuat pem-belajaran bermakna. Hal tersebut didukung
oleh hasil penelitian Susilawati dan Sornsakda yang menyatakan bahwa Learning Cycle dapat meningkatkan
keterampilan proses sains siswa.
Model pembelajaran Learning Cycle 7-E harus didukung dengan adanya perangkat pembelajaran yang
sesuai agar proses belajar mengajar berjalan dengan baik, di antaranya adalah penggunaan lembar kegiatan siswa
LKS. Lembar Kegiatan Siswa akan memberikan manfaat bagi guru dan siswa. Guru akan memiliki bahan
ajar yang siap digunakan, sedangkan siswa akan mendapatkan pengalaman belajar mandiri dan belajar
memahami tugas tertulis yang tertuang dalam LKS. Lembar Kegiatan Siswa yang telah dikembangkan
Rofi’ah dan Azizah, 2014 telah memenuhi kriteria- kriteria kelayakan meliputi kriteria isi, penyajian,
kebahasaan, kesesuaian dengan model Learning Cycle 7- E, dan kesesuaian dengan komponen keterampilan proses
sains, sehingga dapat digunakan dalam pembelajaran untuk melatihkan keterampilan proses sains siswa.
METODE PENELITIAN
ISBN 978-602-72071-1-0
Rancangan penelitian yang digunakan adalah “One Shot
Case Study
”. Desain penelitiannya dapat digambarkan sebagai berikut Sugiyono, 2010:
Keterangan : X : perlakuan, yaitu pelaksanaan proses pembelajaran
dengan menggunakan lembar kegiatan siswa berorientasi learning cycle 7E
O : nilai tes keterampilan proses sains yang digunakan untuk mengetahui ketrampilan proses sains siswa
setelah diterapkan
pembelajaran dengan
menggunakan lembar kegiatan siswa berorientasi learning cycle 7E
. Sasaran penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 2
MA NU Sidoarjo yang berjumlah 25 siswa. Perangkat pembelajaran yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain: 1 silabus; 2 RPP; dan 3 Lembar Kegiatan Siswa berorientasi Learning Cycle 7-E
pada materi faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi. Lembar Kegiatan Siswa telah layak dan valid berdasarkan
kelayakan kriteria isi, penyajian, kebahasaan, kesesuaian dengan model Learning Cycle 7-E, dan kesesuaian
dengan
komponen keterampilan
proses sains
menunjukkan persentase sebesar 92,50, 91,67, 89,06, 88,83, dan 94,05 Rofi’ah dan Azizah,
2014. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
lembar pengamatan dan lembar tes keterampilan proses sains, beserta rubriknya Kheng, 2008. Metode
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi dan tes. Teknik analisis data
yang digunakan adalah analisis secara deskriptif kuantitatif. Hasil pengamatan dan tes pencapaian
keterampilan proses sains dianalisis dengan rumus:
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah keterampilan proses siswa. Nilai keterampilan proses
siswa didapat dari penilaian terhadap tes keterampilan proses yang telah dikerjakan oleh siswa serta dari
pengamatan yang dilakukan oleh dua guru.
Data hasil tes ketrampilan proses siswa selama empat pertemuan disajikan sebagai berikut:
Gambar 1. Nilai Ketrampilan Proses Sains Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa nilai
keterampilan proses siswa pada pertemuan I hingga IV sudah mencapai nilai ketuntasan ≥ 76. Nilai keterampilan
proses sains dari pertemuan I hingga III selalu mengalami kenaikan. Hal ini sesuai dengan Eisenkraft 2003 yang
menjelaskan bahwa pada tahap-tahp Learning Cycle 7E siswa diberi kesempatan untuk bekerja dalam kelompok-
kelompok kecil, untuk mengamati data, merekam data, mengisolasi variabel, merancang dan merencanakan
eksperimen, membuat grafik, menafsirkan hasil, mengembangkan hipotesis serta mengatur temuan
mereka, sehingga dapat meningkatkan keterampilan proses sains dan mendukung pemahaman siswa dalam
mengkonstruk konsep dengan baik. Nilai keterampilan proses sains mengalami penurunan pada pertemuan IV.
Penurunan ini disebabkan karena materi katalis merupakan konsep baru yang diterima oleh siswa
sehingga membutuhkan pemahaman yang lebih daripada materi yang lain.
Hasil tes ini menunjukkan Lembar Kegiatan Siswa berorientasi Learning Cycle 7-E yang digunakan dapat
membantu melatihkan keterampilan proses sains dengan baik. Keterampilan mengamati dilatihkan pada fase
Engage , dengan adanya ilustrasi gambar dan penjelasan
yang dapat dilihat pada Gambar 2 berikut:
Gambar 2 : Fase Engage pada Lembar Kegiatan Siswa Pada Gambar 2, kita dapat mengetahui bahwa
ilustrasi yang disajikan berhubungan dengan kehidupan sehari-hari yang mampu merangsang kemampuan berpikir
siswa, mampu membangkitkan minat dan motivasi siswa. Keterampilan
merumuskan masalah,
merumuskan hipotesis, dan mengidentifikasi variabel dilatihkan fase
Explore yang dapat dilihat pada Gambar 3 berikut:
X O
ISBN 978-602-72071-1-0
Gambar 3 : Fase Explore pada Lembar Kegiatan Siswa Pada Gambar 3 kita dapat mengetahui bahwa siswa
dalam menentukan rumusan masalah, hipotesis dan variabel dengan mengeksplor pengetahuan yang
dimilikinya melalui fenomena yang diberikan. Sedangkan keterampilan melakukan pengumpulan data, menganalisis
data, dan menarik kesimpulan dilatihkan pada fase Elaborate
yang dapat dilihat pada Gambar 4 berikut: Gambar 4 : Fase Elaborate pada Lembar Kegiatan Siswa
Pada Gambar 4 kita dapat mengetahui bahwa siswa melakukan
ketrampilan mengumpulkan
data, menganalisis data dan menarik kesimpulan melalui
kegiatan praktikum dengan menerapkan konsep yang telah diperoleh Rof
i’ah dan Azizah, 2014. Nilai keterampilan proses sains siswa sudah mencapai
nilai ketuntasan, namun masih ada aspek keterampilan proses sains yang belum mencapai nilai ketuntasan. Hal
ini diketahui berdasarkan hasil pengamatan oleh dua guru dengan instrumen lembar pengamatan keterampilan
proses sains. Data nilai tiap komponen keterampilan proses sains disajikan sebagai berikut:
ISBN 978-602-72071-1-0
Gambar 5. Nilai Tiap Ketrampilan Proses Sains Keterangan:
1 = Mengamati 2 = Merumuskan masalah
3 = Merumuskan hipotesis 4 = Mengidentifikasi variabel
5 = Mengumpulkan data 6 = Menganalisis data
7 = Menarik kesimpulan
Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui pembelajaran pada pertemuan I dengan materi pengaruh konsentrasi
terhadap laju reaksi, hampir semua komponen keterampilan proses belum mencapai nilai ketuntasan,
kecuali keterampilan menarik kesimpulan yang mencapai nilai 83,33. Hal ini dikarenakan pada pertemuan I ini
siswa masih belum terbiasa dalam menerapkan keterampilan proses sains mereka secara sepenuhnya
dalam pembelajaran, apalagi mereka juga kurang terlatih dalam beberapa komponen seperti merumuskan masalah,
hipotesis, dan mengidentifikasi variabel. Pembelajaran pada pertemuan II dengan materi pengaruh luas
permukaan terhadap laju reaksi, hampir semua komponen keterampilan proses sains sudah mencapai
nilai ketuntasan, kecuali keterampilan merumuskan hipotesis yang mendapat nilai 72,22. Hal ini dikarenakan
siswa belum terbiasa dalam mengenal dan merumuskan hipotesis dengan benar, sehingga masih banyak
mengalami kesalahan dan membutuhkan bimbingan dari guru.
Pembelajaran pada pertemuan III dengan materi pengaruh suhu terhadap laju reaksi, siswa mulai terlatih
dalam mengembangkan dan menerapkan keterampilan proses sains dalam pembelajaran karena semua komponen
yang dilatihkan sudah mencapai nilai ketuntasan. Pembelajaran pertemuan IV dengan materi pengaruh
katalis terhadap laju reaksi, hampir semua komponen keterampilan proses sains mengalami penurunan, tetapi
sudah mencapai nilai ketuntasan, kecuali keterampilan merumuskan hipotesis yang hanya mendapat nilai sebesar
72,22. PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat disimpulkan rata-rata keterampilan proses sains
siswa menggunakan Lembar Kegiatan Siswa LKS Learning Cycle 7-E
pada materi pokok laju reaksi dari pertemuan I hingga pertemuan IV berturut-turut adalah
sebesar 84,21; 87,58; 91,79; 84,00. Hal ini menunjukkan bahwa model Learning Cycle 7-E dapat membantu
melatihkan keterampilan proses sains siswa. Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dan simpulan dapat disampaikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Waktu penerapan model dengan LKS berorientasi Learning Cycle 7-E
perlu diperhatikan dan diatur dengan baik agar tidak mengganggu waktu
penyelesaian materi yang lain. 2. Learning Cycle 7-E merupakan model yang
berlandaskan teori konstruktivis, sehingga dapat diterapkan pada materi pelajaran lain yang sesuai
untuk dapat melatihkan keterampilan proses dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA Dasna, I Wayan dan Sutrisno. 2005. Model-model
Pembelajaran Konstruktivistik
dalam Pengajaran SainsKimia.
Malang: FMIPA Kimia.
Eisenkraft, Arthur 2003 Expanding the 5E Model. The Science Teacher Online,
Vol. 70 Nomor 6. http:its-about-
time.comhtmlsapeisenkrafttst. pdf . Diakses
pada tanggal 12 Januari 2013. Jannah, Anissatul dan Azizah, Utiyah. 2012. The
Development Of
Chemistry Worksheet
Bilingual With Learning Cycle 7-E Orientation In The Reaction Rate Topic As Supporting
Learning For Pioneering International Senior High School. Unesa Journal of Chemical
Education, ISSN: 2252-9454.
Vol. 1, No. 1, pp.17-24 Mei 2012.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Peraturan
Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan No. 64 tentang Standar Isi
Pendidikan Dasar dan Menengah . Jakarta:
Kemendikbud. Kheng, Yeap Tok. 2008. Science Process Skill.
Malaysia: Longman Pearson. Nur, Muhammad dan Wikandari. 2000. Pengajaran
Berpusat Kepada Siswa dan Pendidikan Konstruktivis dalam Pengajaran.
Surabaya : Universitas Negeri Surabaya.
Riduwan. 2011. Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian.
Bandung: Alfabeta. Rofi’ah, Faridatur dan Azizah, Utiyah. 2014.
Pengembangan Lembar
Kegiatan Siswa
Berorientasi Learning Cycle 7-E pada Materi Pokok
Laju Reaksi
untuk Melatihkan
Keterampilan Proses Sains . Unesa Journal of
Chemical Education Vol 3, No 2.
Susilawati, Maknun, Johar, dan Rusdiana, Dadi. 2010. Penerapan Model Siklus Belajar Hipotetikal
Deduktif 7E untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains Siswa SMA pada Konsep
Pembiasan Cahaya . Makalah disajikan pada
Prosiding Seminar Nasional Fisika 2010. ISBN: 978-979-98010-6-7.
ISBN 978-602-72071-1-0
Sornsakda, Sutee, Suksringarm, Paitool, dan Singseewo, Adisak
2009 Effects
of Learning
Environmental Education Using the 7E- Learning
Cycle with
Metacognitive Techniques and the Teacher’s Handbook
Approaches on
Learning Achievement,
Integrated Sience Process Skills and Critical Thinking of Mathayomsuksa 5 Students with
Different Learning Achievement. Pakistan Journal of Social Sciences,
Vol. 6 Nomor 5 http:www.medwelljournals.com
. Diakses
tanggal 12 Januari 2013. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif
Kualitatif dan R D . Bandung: Alfabeta.
ISBN 978-602-72071-1-0
IDENTIFIKASI KESULITAN BELAJAR KIMIA SISWA KELAS II PADA POKOK BAHASAN LARUTAN ASAM DAN
LARUTAN BASA BERDASARKAN SUPLEMEN GBPP 1999
Diana
1
Ifsantin Silma Rizqiyah
2
Jurusan Pendidikan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Makassar Email : mipa.ac.id
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis kesulitan yang dialami oleh siswa dalam mempelajari jenis pokok bahasan larutan asam dan larutan basa berdasarkan suplemen GBPP 1999 di kelas II SMU Negeri 3
Makassar. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif berdasarkan persentase. Populasinya adalah siswa kelas II SMU Negeri 3 Makassar tahun ajaran 20002001 yang berjumlah 375 orang , yang terbagi dalam 8
kelas homogen. Pengambilan sampel dilakukan secara acak, yaitu satu kelas dari 8 kelas yang ada dengan jumlah siswa 48 orang, Instrument yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah tes bentuk essay. Data
yang diperoleh dianalisis dengan statistik deskriptif berdasarkan persentase. Hasil penelitian diperoleh bahwa kesulitan belajar siswa kelas II SMU Negeri 3 makassar pada pokok bahasan larutan asam dan basa
berdasarkan suplemen GBPP 1999 dikategorikan tinggi. Berdasarkan indikator dalam penelitian ini, identifikasi kesulitan belajar dalam menuliskan rumus
– rumus molekul larutan asam dan basa tergolong rendah 31,33, kesulitan belajar dalam memahami konsep larutan asam dan basa tergolong rendah
35,71 , kesulitan belajar dalam menyetarakan persamaan reaksi persamaan reaksi asam dan basa tergolong tinggi 37,54, kesulitan belajar dalam menerapkan rumus-rumus perhitungan larutan asam dan
basa tergolong rendah 51,92dan kesulitan belajar dalam menyelesaikan perhitungan larutan asam dan basa tergolong tinggi 56,92. Bila ditinjau dari tingkatan ranah kognitifnya, maka identifikasi kesulitan
belajar dalam tingkatan ranah kognitif C
1
ingatan tergolong rendah 31,33, tingkat kognitif C
2
pemahaman tergolonng rendah 35,71, dan tingkatan ranah kognitif C
3
aplikasi tergolong sedang 48,76
Kata Kunci
: Kesulitan Belajar kimia, Larutan Asam dan basa,Suplemen GBPP 1999
ABSTRACT
The Identification of Second Grade Students’ Studying Difficulty in Solution Acid and Bases Subjects based on the supplement of 1999 GBPP. Skripsi. The Faculty of Mathematics and Science. Makassar State
University. This research is intended to know the difficulty types which is experienced by student in learning solution acid and bases subject based on the supplement of 1999 GBPP in second grade student of SMU
Negeri 3 Makassar. This research is descriptive research based on the percentage. The populations of this research are all of the second grade students in SMU Negeri 3 Makassar, 20002001 learning years which
is consisted of 375 students, and that is divided in eight homogeneous classes. The sampling of research was done randomly, namely one of the eighth classes that consist of 48 students. The instrument used in
collecting the data is essay test. The data finding is analyzed by using the descriptive statistics based on percentage. The result finding shows that the second g
rade of SMU Negeri 3 Makassar students’ difficulty study in solution acid and bases subject based on supplement of 1999 GBPP is high categorization. Based
on the indicator in this research, the identification of learning disability in writing the molecule formulations of Larutan asam and basa is in the low categorization 31, 33., the learning disability in
understanding the concept of solution acid and bases in the low categorization 35, 71, the learning disability in equalizing of solution acid and bases resemblance reaction is in the low categorization 37, 54
, the earning disability in applying the formulations of solution acid and bases calculation is in the high categorization 51, 92, and the learning disability in finishing solution acid and bases calculation is in
the high categorization 56, 83. In case it is observed form the level of cognitive domains thus the identification of the learnig disability in cognitive domain, C1 memory is in the low categorization 31,
33, the level of cognitive domain C2 comprehension is in the low categorization 35, 71, and the level of cognitive domain C3 application is in the middle categorization 48, 76.
Keyword
: Learning Disability, Solution Acid and bases, GBPP 1999 Suplemen
ISBN 978-602-72071-1-0
ISBN 978-602-72071-1-0
PENDAHULUAN Berbagai usaha telah dilakukan pemerintah dalam
upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Salah satu diantaranya adalah melakukan pembaharuan
kurikulum. Berdasarkan Tap N0.IVMPR1999 , penggunaan
kurikulum 1994
kini mengalami
penyempurnaan pada Garis-Garis Besar Program Pengajaran GBPP yang dikenal dengan suplemen
GBPP 1999. Mata pelajaran kimia masuk dalam kurikulum ini yang diajarkan di tingkat SMU.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kusman Saleh 1992:48 Nilai Ebtanas Murni NEM bidang
studi kimia mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA IKIP Ujung Pandang tergolong rendah.
64,67 tergolong rendah, 3,33 tergolong sedang dan 12,00 tergolong tinggi. Penelitian lain yang
menyatakan bahwa pelajaran kimia di SMU tergolong sulit. Hal ini merupakan tantangan bagi guru-guru kimia
dalam meningkatkan prestasi belajar kimia siswa. Salah satu kajian pelajaran kimia yang diajarkan di
SMU kelas II berdasarkan suplemen GBPP 1999 yaitu pokok bahasan larutan asam dan basa. Dalam
mempelajari pokok bahasan ini, siswa harus menguasai stoikiometri larutan dan penyetaraan reaksi yang telah
diajarkan sebelum pokok bahasan ini. Hal ini disebabkan karena dalam mempelajari pokok bahasan
larutan asam dan basa selain terdapat konsep-konsep larutan asam dan basa, penyetaraaan persamaan reaksi,
juga terdapat perhitungan pH larutan, derajat ionisasi yang tidak terlepas dari perhitungan konsentrasi larutan.
Jadi dalam pokok bahasan larutan asam basa, selain terdapat rumus-rumus molekul asam dan basa. Juga
terdapat rumus-rumus matematika. Menurut Anas P 1998:37 bahwa prestasi belajar
kimia dapat ditentukan oleh penguasaan matematika. Mempelajari larutan asam dan basa diperlukan
kemampuan menghafal dan kemampuan matematika. Menurut
J.Tombokan Runtukahu
1996:38, menyatakan bahwa kemampuan mengingat yaitu
kemampuan untuk meningkatkan apa yang telah didengar, dilihat dan dialami waktu belajar. pada
kenyataannya ada siswa yang mengerti akan konsep- konsep materi pelajaran, misalnya konsep larutan asam
dan basa tetapi tidak mmampu mengaplikasikan cara menyelesaikan soal-soal perhitungannya. Ia tidak
mampu mengingat kembali cara pengoprasian rumus- rumus matematika yang telah dipelajarinya. Kenyataan
ini merupakan suatu kesulitan belajar yang dialami oleh siswa. Berdasarkan latar belakang di atas penulis
tertarik untuk mengaji lebih dalam mengenai kesulitan belajar akademik dalam mata pelajaran kimia .
Berdasarkan masalah diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
“kesulitan apa saja yang dialami oleh siswa dalam mempelajari kimia pada pokok bahasan larutan asam dan
basa berdasarkan suplemen GBPP 1999” METODE PENELITIAN
Populasi penelitian ini pada siswa SMU Negeri 3 Makassar kelas II. Sampel diambil secara random.
Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan tes essay yang telah valid kepada sampel yang telah dipilih.
Sampel diambil dari satu kelas homogen yang dipilih secara acak dari delapan kelas. Menurut Suharsimi
Arikunto 1998:120 bahwa pengambilan sampel yang lebih dari 100 orang dapat diambil antara 10-15 atau
20-25 atau lebih. Dalam penelitian ini jumlah sampel yang diambil sebanyak 48 orang siswa dari satu kelas.
Jadi ada 12,80 sampel yang diambil dari jumlah populasi.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif
berdasarkan persentase.Analisis validitas dan reliabilitas yang dinyatakan dengan angka koefisien korelasi Kriteria
korelasi dapat dilihat pada tabel 1 berikut :
Tabel 1. Kriteria koefisien korelasi
Sumber : M Ngalim Purwanto, 1984:139 Suatu tes dikatakan valid, apabila memiliki
anngka koefisien korelasi r antara 0,41 – 0,70 atau
berada pada kategori sedang. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan
statistik deskriptif berdasarkan persentase. Statistik deskriptif digunakan untuk memberikan
gambaran umum data yang diperoleh. Data yang dikumpul dalam penelitian ini diperoleh dengan analisis
persentase yang mengacu pada kategori seperti pada tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2 . Kategori Analisis Persentase.
Rentang persentase
Kategori 71 - 100
51 - 75 41 - 55
Kurang dari 40 Sangat
tinggi Tinggi
Sedang Rendah
Sumber : Suharsimi Arikunto, 1987:249
HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Penyajian hasil Analisis data
Data yang diperoleh dari penelitian ini diolah dengan menggunakan statistik deskriptif berdasarkan persentase.
Hasil pengolahan data dengan menggunakan statistik deskriptif menyajikan karakteristik distribusi skor
responden dengan bentuk soal essay menggunakan tabel frekuensi, persentase, rata-rata dan standar deviasi.
1.
Karakteristik distribusi Skor Responden Indikator
Tingkatan ranah
kognitif Persentase
Kategori
1 2
3,4,5 Ingatan C
1
Pemahaman C
2
Aplikasi C
3
31,33 35,71
48,76 Rendah
Rendah Sedang
ISBN 978-602-72071-1-0
Gambaran tentang karakteristik distribusi skor terhadap kesulitan belajar seperti pada tabel 3 dibawah
ini.
Tabel 3. karakteristik skor hasil tes kesulitan belajar siswa kelai II SMU negeri 3 Makassar
Berdasarkan karakteristik skor hasil tes kesulitan belajar pada tabel 6 di atas, diketahui bahwa skor
tertinggi 48,60. Skor maksimum yang diperoleh siswa yang mampu menjawab dengan tepat seluruh tes akan
memperoleh skor 50. Bila skor hasil tes kesulitan ini dikonversi ke dalam
nilai berskala 0
–10 seperti pada lampian C
3
. Maka diketahui bahwa skor 46,85 ke atas memperoleh nilai 10
yang merupakan nilai tertinggi dan skor 7,65 ke bawah memperoleh nilai 0 yang merupakan nilai terendah.
2. Karakteristik Distribusi Skor untuk Tiap
Indikator
Gambaran tentang karakteristik distribusi skor untuk tiap indikator hasil tes kesulitan belajar dalam penelitian
ini seperti pada tabel 4 berikut:
Tabel 4. karakteristik distribusi skor untuk tiap indikator
Keterangan : 1 kesulitan belajar dalam menuliskan rumus-rumus
molekul asam dn basa 2 kesulitan belajar dalam memahami konsep larutan
asam dan basa 3 kesulitan belajar dalam menyetarakan persamaaan
reaksi larutan asam dan basa 4 kesulitan belajar dalam menerapkan rumus-rumus
perhitungan larutan asam dan basa 5 kesulitan belajar dalam menyelesikan perhitungan
larutan asam dan basa.
3. Karakteristik Tingkat ranah Kognitif
. pada indikator yang ada pada metode penelitian. Pada indikator tersirat tingkatan ranah kognitif ingatan
C
1
, pemahaman C
2
, dan aplikasi C
3
. Hubungan tingkat ranah kognitif dengan indikator dapat dilihat pada
tabel 5 berikut:
Tabel 5. Karakteristik hubungan antara tingkatan ranah kognitif dengan indikator
PEMBAHASAN 1.
Kesulitan belajar pada pokok bahasan larutan asam dan basa
Berdasarkan kategori kesulitan belajar pada tabel 4, terlihat kategori, frekuensi, dan persentase siswa yang
memahami kesulitan belajar yang diperoleh dalam penelitian ini. Siswa yang mengalami kesulitan belajar
pada kategori kesulitan sangat tinggi, yaitu siswa yang tidak mampu menjawab beberapa item tes dengan tepat,
bahkan ada yang tidak menjawab beberapa item soal tes sama sekali. Siswa yang mengalami kesulitan belajar
pada kategori kesulitan balajar pada kategori kesulitan tinggi, yaitu siswa yang tidak mampu menjawab
beberapa item tes secara tepat. Siswa yang mengalami kesulitan belajar pada kategori kesulitan sedang, yaitu
siswa yang mampu menyelesaikan tes kesulitan belajar dengan baik dengan tingkat kesulitan belajar sedang.
Pada kategori kesulitan rendah, yaitu siswa yang mampu menyelesaikan tes belajar dengan baik, dengan tingkat
kesulitan belajar rendah. Pada kategori kesulitan sangat rendah, siswa mampu
menyelesaikan tes kesulitan belajar dengan tepat atau dapat
dikata kan
tidak menga
lami kesulit
an belaja
r. hanya pada saat penyelesaian tes ada kekeliruan ketika menghitung.
Bila siswa dikategorikan mengalami kesulitan belajar mulai kategori tinggi dan sangat tinggi maka ada 67,75
siswa yang kesulitan dalam mempelajari pokok bahasan larutan asam dan basa. Siswa yang tidask mengalami
kesulitan belajar ada 31,25. Berdasarkan tabel 2, kategori analisis persentase, maka siswa yang mengalami
kesulitan belajar temasuk pada kategori tinggi. 1.
Kesulitan belajar berdasarkan indikator
Nilai Korelasi Kriteria Korelasi 0,00 - 0,20
0,21 – 0,40
0,41 - 0,70 0,71 - 0,90
0,91 - 1,00 Sangat
rendah hampir tidak ada
korelasi Rendah
Sedang Tinggi
Sangat
tinggi sempurna
Kode Indikator
skor Persentase
kesulitan belajar
kategori 1.
2. 3.
4. 5.
329,6 308,6
299,8 230,8
207,2 31,23
35,71 37,54
52,08 56,83
Rendah Rendah
Rendah Sedang
Tinggi Karakteristik
Hasil tes Skor tertinggi
Skor terendah Skor rata-rata
Standar deviasi 48,60
12,20 28,38
8,71
ISBN 978-602-72071-1-0
Kesulitan belajar yang dialami oleh siswa kelas II pada pokok bahasan larutan asam dan basa di SMU
Negeri 3 Makassar dar hasil penelitian ini tinggi. Untuk mengetahui dimana letak kesulitan belajar yang dialami
oleh siswa maka dapat dilihat pada tabel 8 distribusi skor tiap indicator.
Pada indikator I yaitu kesulitan belajar dalam menuliskan rumus-rumus molekul asam dan basa,
walaupun dikategorikan rendah, Pada indikator 2 yaitu kesulitan belajar dalam
memahami konsep larutan asam dan basa yang berada pada kategori kesulitan rendah..
Pada indikator 3 yaitu kesulitan belajar dalam menyetarakan persamaan
reaksi larutan asam dan basa yang berada pada kategori kesulitan rendah,.
Pada indikator 4 yaitu kesulitan belajar dalam menerapkan rumus-rumus perhitungan larutan asam dan
basa yang berada pada kategori kesulitan sedang, Pada indikator 5 yaitu kesulitan belajar dalam
menyelesaikan perhitungan larutan asam dan basa yang berada pada kategori kesulitan tinggi,
Berdasarkan hasil penelitian, kesulitan belajar dalam indikator ini, terlihat dari siswa yang menggunakan
rumus-rumus perhitungan larutan asam dan basa sehingga penyelesaian perhitungannya salah. Ada juga
yang menggunakan rumus-rumus perhitungan larutan asam dan basa benar, tetapi penyelesaiannya hanya
sampai setengah penyelesaian soal perhitungan saja. Hal ini dimungkinkan oleh kurangnya tingkat penguasaan
matematika siswa sehingga untuk menyelesaikan perhitungan tidak terselesaikan.
2.
Kesulitan belajar berdasarkan tingkatan ranah kognitif
Kesulitan belajar berdasarkan tingkatan ranah kognitif didasarkan dari kesulitan belajar dalam penelitian ini.
Untuk tingkatan ranah kognitif C
1
ingatan sama dengan kesulitan belajar pada indicator 1, yaitu kesulitan belajar
dalam menuliskan rumus-rumus molekul asam dan basa 31,33 yang berada pada kategori rendah. Tingkatan
ranah kognitif C
2
pemahaman sama dengan kesulitan belajar pada indikator 2, yaitu kesulitan belajar dalam
memahami konsep larutan asam dan basa 35,71 yang berada pada kategori rendah. Tingkatan ranah kognitif
aplikasi C
3
sama dengan kesulitan belajar dalam menyetarakan persamaan reaksi, penerapan rumus-rumus
perhitungan dan penyelesaian perhitunngan larutan asam dan basa, dengan rata-rata persentase 48,76 yang
berada pada kategori sedang. PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan secara keseluruhan di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa kesulitan belajar
siswa kelas II SMU Negeri 3Makassar pada pokok bahasan larutan asam dan basa menurut penelitian ini
tergolong tinggi. Bila diidentifikasi berdasarkan indikator dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Indikator 1, yaitu kesulitan belajar dalam menuliskan rumus-rumus molekul aam dan basa berada pada
kategori rendah. b. Indikator 2, yaitu kesulitan belajar dalam memahami
konsep larutan asam dan basa berada pada kategori rendah.
c. Indikator 3, yaitu kesulitan belajar dalam menyetarakan persamaan reaski larutan asam dan
basa berada pada kategori rendah. d. Indikator 4, yaitu kesulitan belajar dalam
menerapkan rumus-rumus perhitungan larutan asam dan basa berada pada kategori kesulitan tinggi.
e. Indikator 5, yaitu kesulitan belajar dalam menyelesaikan perhitungan larutan asam dan basa
berada pada kategori kesulitan tinggi. Bila diidentifikasi berdasarkan tingkatan ranah
kognitif, maka kesulitan belajar yang dialami oleh siswa adalah sebagai berikut:
a. Tingkatan ranah kognitif C
1
ingatan berada pada kategori rendah.
b. Tingkatan ranah kognitif C
2
pemahaman berada pada kategori rendah.
c. Tingkatan ranah kognitif C
3
aplikasi berada pada kategori sedang.
Faktor – faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar
siswa terletak pada diri pribadi siswa tersebut dan factor guru yang mengajarkan mata pelajaran. Oleh karena itu
diperlukan hubungan yang baik antara siswa dengan guru agar proses belajar mengajar dapat berjalan sesuai
dengan yang diharapkan dan menghasilkan suatu restasi skademik yang memuaskan.
Saran
Saran yang dapat dikemukakan dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kepada guru yang mengajarkan pokok bahasan larutan
asam dan
basa hendaknya
memperbanyak latihan-latihan penyelesaian soal perhitungan dan bimbingan siswa dalam
menyelesaikan soal-soal tersebut tidak dapat terselesaikan.
2. Diharapkan ada penelitian yang lain untuk meneliti kembali dengan mengembangkan
metode pengajaran yang tepat untuk mengatasi kesulitan belajar siswa pada pokok bahasan
larutan asam dan basa.
DAFTAR PUSTAKA Anas,P. 1998. Hubungan Penguasaan Matematika
dengan Prestasi Belajar Kimia Siswa Kelas SMU Negeri Watampone kab. Bone
, Skripsi. Ujung pandang: PMIPA IKIP Ujunga Pandang.
Arikunto , Suharsimi. 1987. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
_______. 1997. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Purwanto, Ngalim M. 1990. Prinsip – Prinsip dan
Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya. Saleh. Kasman. 1992. Korelasi Antara Nilai Ebtanas
ISBN 978-602-72071-1-0
Murni Bidang Kimia Dengan Prestasi Belajar Kimia Dasar Mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia
FPMIPA IKIP Ujung Pandang . Ujung Pandang:
FPMIPA IKIP Ujung Pandang.
ISBN 978-602-72071-1-0
PENGGUNAAN ANIMASI LABORATORIUM VIRTUAL UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA
MATERI TITRASI ASAM-BASA
Jefta Hendryarto
1
Eka Tina Nur Ula Tuqa
2
Meyta Rosemala Dewi
3
1,2,3
Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Aam, Universitas Negeri Surabaya Pendidikan Sains, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya,
E-mail: jefta_hendryyahoo.co.id
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan animasi laboratorium virtual dalam pembelajaran materi titrasi asam-basa di kelas XI. Penelitian dilakukan dengan metode one-group pretest-
posttest dengan sampel sebanyak 7 siswa kelas akselerasi SMAN 1 Probolinggo tahun pelajaran 20132014.
Penelitian dikembangkan dengan prosedur meliputi pemilihan model pembelajaran, pemilihan materi pembelajaran, perencanaan waktu dan tempat, pelaksanaan kegiatan pembelajaran, pengumpulan data
lapangan, dan evaluasi serta pengambilan keputusan. Instrumen yang digunakan adalah lembar soal pretest dan posttest, lembar respon siswa, dan lembar observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa animasi
laboratorium virtual meningkatkan ketuntasan individu dan ketuntasan klasikal sebanyak 86. Data hasil belajar yang digunakan berupa soal pemahaman kosep berbentuk pilihan ganda. Data ini didukung oleh data
respon siswa yang menunjukkan bahwa animasi laborartorium virtual secara positif dapat menunjang pembelajaran dengan aspek kebermaknaan 71, usabilitas 100, efektivitas 81, dan kemenarikan
71 yang sangat baik. Kata kunci
: Animasi, laboratorium virtual, hasil belajar, titrasi asam-basa
ABSTRACT
The aim of research is to find out the effect on learning acid-base titration using virtual laboratorium animation in grade XI. The method used is onegroup pretest-posttest design on 7 students as sample from
acceleration class in SMAN 1 Probolinggo at 20132014 programme year. The procedures are choosing learning model, choosing learning matter, planning times allocation, conducting learning activity, collecting
data, evaluating and taking decision. Instrumenst used are learning result test multiple choices, students respond sheet, and observational sheet. The result shows that using virtual lab has great impact on
increasing classical and individual mastery learning 86. Data test used are multiple choice to test concept mastery learning that has bee
n validated. This result is supported using student’s respond at four aspects; meaningful learning 71, usability 100, effectivity 71, and design 81. All four aspects show
positive support on learning matter acid-base titration. Observational result also support aspect usability of using virtual lab along learning activity.
Keywords:
Animation, virtual lab, learning result, acid-base titration
ISBN 978-602-72071-1-0
PENDAHULUAN
Perkembangan Information and Communication Technology
ICT dalam beberapa dekade terakhir berjalan sangat cepat. Komputer tidak hanya digunakan
sebagai alat bantu pembelajaran, namun sebagai sumber penting pengetahuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan
yang dikemukakan oleh Zamfir dalam Osman, 2012: 75 yang menyatakan perlunya implementasi teknologi baru
dalam proses belajar mengajar. Bahkan Dakir secara tegas menyatakan bahwa saat ini peranan guru dapat
digantikan dengan media instruksional baik yang berupa media cetak maupun non cetak, terutama media
elektronik,
misalnya: komputer
internet, satelit
komunikasi, rekaman video dan sebagainya Dakir, 2004:81.
Computer Technology
Research CTR
menyatakan bahwa seseorang mampu mengingat 20 dari apa yang dilihat dan 30 dari apa yang didengar.
Tetapi seseorang mengingat 50 dari apa yang dilihat dan didengar dan 80 dari apa yang dilihat, didengar,
dan diaplikasikan yang dapat dicapai salah satunya melaui media animasi. Media animasi dapat menjadi sarana
visual kepada siswa dalam rangka mendorong motivasi belajar, memperjelas, dan mempermudah konsep yang
kompleks dan abstrak menjadi sederhana, konkret, dan mudah dipahami.
Penggunaan animasi
Komputer dapat
diaplikasikan dalam materi IPA seperti kimia untuk menunjang pembelajaran. Dengan adanya media
pembelajaran berupa animasi, maka siswa akan mendapat pemahaman lebih pada konsep absrak sekaligus mendapat
sarana berlatih konsep matematis. Tak hanya itu, animasi Komputer juga dapat menciptakan ketertarikan dan
meningkatkan motivasi siswa, sehingga hasil belajar dapat meningkat. Penghadiran gambar-gambar yang bergerak
animasi dalam pendeskripsian konsep kimia, disamping akan mengkonkritkan materi kimia yang bersifat abstrak,
juga dapat menambah daya penguatan reinforcement serta dapat menambah minat dan perhatian siswa
sepanjang proses belajar mengajar Sadiman, 2006:19.
Namun berdasarkan studi literatur ditemukan beberapa ketimpangan antara fakta dan harapan, bahwa
masih ditemui pelajaran kimia masih dianggap sebagai pelajaran yang sulit bagi peserta didik. Hal ini disebabkan
oleh sejumlah besar materi ilmu kimia masih bersifat abstrak, harus diajarkan dalam waktu yang relatif terbatas.
Salah satu materi yang masih dianggap sulit adalah titrasi asam-basa. Pada materi ini siswa kesulitan menentukan
titik akhir titrasi, menentukan titran dan analit, dan menghitung konsentrasi sampel.
Melalui animasi laboratorium virtual, siswa dapat mencoba sendiri praktikum titrasi asam-basa
disertai gambaran visual ion-ion yang terlibat dalam titrasi serta perhitungannya. Kesalahan praktikum seperti
penentuan titiak akhir titrasi, prosedur pelaksanaan titrasi, keadaan sampel yang adakalanya sulit didapat akan
diatasi dengan animasi laboratorium virtual sehingga diharapkan pemahaman siswa mengenai titrasi asam-basa
akan lebih baik dan siswa lebih termotivasi belajar kimia. Hal ini menguatkan dasar penelitian yang digunakan
untuk merumuskan tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui pengaruh penggunaan animasi laboratorium
virtual terhadap hasil belajar siswa pada materi titrasi asam-basa.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan metode one group pre-post test design
yang berada di SMAN 1 Probolinggo dan dilaksanakan pada bulan Juli 2013.
Hasil eksperimen sebelum dan sesudah menggunakan animasi laboratorium virtual dibandingkan. Langkah yang
dilakukan adalah siswa diberikan pretest selama 10 menit, kemudian diberikan perlakuan yang berupa pembelajaran
dengan menggunakan media animasi selama + 30 menit, setelah itu siswa diminta untuk mengerjakan posttest
selama 10 menit. Selanjutnya diberikan angket respon siswa terhadap media yang dikembangkan selama ± 5
menit. Sasaran penelitian ini adalah siswa kelas XI IA ASMAN 1 Probolinggo Semester I tahun ajaran
20132014 dengan jumlah siswa dalam satu kelas yaitu 7 siswa kelas akselerasi. Prosedur penelitian disajikan
dalam alur pada gambar 1.
Gambar 1. Prosedur penelitian Prosedur penelitian dideskripsikan sebagai berikut:
1. Memilih model pembelajaran Model pembelajaran yang diterapkan
dalam penelitian ini adalah pembelajaran dengan media animasi.
2. Memilih materi pembelajaran Materi pembelajaran yang dipilih adalah
materi titrasi asam-basa karena karakteristiknya yang membutuhkan visualisasi, bersifat abstrak,
dan banyak diperlukan penerapnnya dalam kehidupan sehari-hari
3. Merencanakan waktu dan tempat Peneliti mengalokasikan pembagian waktu
dan merencanakan penggunaan media untuk kegiatan pembelajaran yang ditulis dalam RPP
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 4. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran
Peneliti melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan media animasi di kelas XI 1A dalam waktu
2x25 menit. 5. Mengumpulkan data lapangan
Pemilihan model
pembelajaran
Pelaksanaan kegiatan
pembelajaran
Evaluasi dan pengambilan
keputusan Perencanaan
waktu dan tempat
Pemilihan materi
pembelajaran
Pengumpulan data lapangan
ISBN 978-602-72071-1-0
Melakukan tes akhir untuk mengetahui seberapa besar pengetahuan siswa setelah
pembelajaran titrasi asam-basa. 6. Evaluasi dan pengambilan keputusan
a. Menganalisis data tes pengetahuan b. Menarik kesimpulan
Data yang diperoleh dalam penelitian diolah dengan teknik deskriptif kuantitatif dan deskriptif
kualitatif yang terangkum pada tabel 1. Tabel 1. Pengolahan Data
Jenis Data Bentuk
Instrumen Teknik
Analisis Data
Tes hasil
belajar Lembar tes
hasil belajar Deskriptif
kuantitatif Respon
siswa Lembar
checklist respon
siswa Deskriptif
kuantitatif
Kondisi fisik suasana
pembelajaran Lembar
observasi Deskriptif
kualitatif
Analisis data dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Analisis data tes hasil belajar
Analisis dilakukan dengan rumus:
2. Analisis respon siswa Respon siswa yang dianalisis meliputi empat
aspek; 1 aspek kebermaknaan, yaitu sejauh mana media yang digunakan memberikan
pengaruh terhadap kemampuan siswa menyerap materi, 2 aspek usabilitas, yaitu kemudahan
dalam mengoperasikan komputer, 3 aspek efektivitas, yaitu kemudahan memahami materi
dalam media, dan 3 aspek motivasi yaitu sejauh mana siswa tertarik terhadap media yang
digunakan. Setiap aspek dihitung persentase
positif dan negatif siswa yang memilih “iya” dan “tidak”.
3. Observasi dukungan terhadap data respon siswa Observasi dilakukan untuk mengetahui kondisi
fisik suasana pembelajaran. Data hasil observasi digunakan untuk mendukung aspek efektifitas
dan usabilitas dari media komputer yang digunakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Soal yang digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa berupa pretest dan posttest berbentuk soal
pilihan ganda sebanyak 8 butir soal yang telah divalidasi terlebih dahulu. Tes hasil belajar siswa dilakukan oleh 7
orang siswa kelas akselerasi SMAN 1 Probolinggo. Data tes hasil belajarsiswa disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Tes Hasil Belajar Siswa
Siswa ke:
Nilai Pre-test Nilai Post-test
1 Nilai Ketuntasan Nilai
Ketuntasan
Siswa ke:
Nilai Pre-test Nilai Post-test
2 37.5
Belum Tuntas
100 Tuntas
3 37.5
Belum Tuntas
100 Tuntas
4 50
Belum Tuntas
62.5 Belum Tuntas
5 50
Belum Tuntas
76 Tuntas
6 37.5
Belum Tuntas
76 Tuntas
7 37.5
Belum Tuntas
87.5 Tuntas
Dari hasil tes setelah penerapan media animasi, dapat dianalisis ketuntasan klasikalnya dengan menggunakan
rumus prosentase sebagai berikut:
Berdasarkan perhitungan
prosentase diperoleh
prosestase ketuntasan kelas adalah sebesar 86. Berdasarkan
Tabel tersebut
media animasi
memberikan respon yang baik terhadap hasil belajar siswa dengan adanya peningkatan ketuntasan belajar siswa.
Siswa dikatakan tuntas dalam belajar jika telah mencapai nilai ≥ 75. Pada pretest dari 7 siswa seluruhnya belum
mencapai ketuntasan belajar. Namun setelah diberikan perlakuan berupa pembelajaran dengan media animasi
maka ketuntasan klasikal meningkat. Hanya 1 siswa dari total siswa saja yang belum mencapai ketuntasan. Hal ini
menunjukkan bahwa media animasi berpengaruh pada peningkatan hasil belajar siswa sehingga terjadi
peningkatan prestasi yang lebih baik. Berdasarkan uraian di atas, ketuntasan belajar siswa secara klasikal sebesar
86. Hal ini menunjukkan bahwa media animasi memberikan
pengaruh positif
dalam kegiatanpembelajaran. Tes hasil belajar siswa ini sesuai
dengan hasil penelitian dari Sandford dalam Freitas, 2006 bahwa dengan media animasi 63 siswa memiliki
keterampilan berfikir lebih tinggi dan 62 siswa belajar suatu pengetahuan khusus. Pengetahuan khusus yang
dipelajari siswa terutama prosedur melaksanakan titrasi, menentukan titik akhir titrasi, pemilihan indikator dan
sampel bahan yang adakalanya sulit diadakan di lab.
Selain data tes hasil belajar, juga dianalisis data respon siswa yang didukung dengan hasil observasi. Respon
siswa yang telah diolah disajikan pada gambar 2.
ISBN 978-602-72071-1-0
gambar 2. Grafik hasil analisis respon siswa terhadap media animasi
Data respon siswa menunjukkan bahwa animasi laboratorium virtual yang digunakan dalam pembelajaran
titrasi asam-basa mendapatkan respon positif terhadap aspek kebermaknaan, usabilitas, efektivitas, dan motivasi.
Respon positif ini didukung dengan hasil observasi kondisi fisik suasana pembelajaran bahwa siswa tidak
mengalami kesulitan mengoperasikan laboratorium virtual dan nampak antusias belajar dalam laboratorium virtual.
PENUTUP Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dianalisis maka dapat disimpulkan bahwa dengan menerapkan
media animasi laboratorium virtual pada materi titrasi asam-basa, siswa kelas XI IA ASMA Negeri 1
Probolinggo dapat mencapai ketuntasan hasil belajar siswa yang baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan
adanyapeningkatan hasil belajar siswa kelas XI IA ASMA Negeri 1 Probolinggo pada materi titrasi asam-basa telah
tuntas secara klasikal yaitu 86, karena telah mencapai lebih dari 75. Hasil belajar siswa yang meningkat
didukung oleh respon siswa yang positif terhadap aspek kebermaknaan 71, efektivitas 82, usabilitas
100 , dan kemenarikan media 71. Saran
Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh peneliti ada beberapa saran yang ingin disampaikan,
yaitu: a.
Guru diharapkan dapat memilih model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang akan
diajarkan sehingga dapat memudahkan siswa menguasai dan memahami konsep materi yang
diajarkan.
b. Model pembelajaran dapat dimodifikasi
dengan permainan atau sejenisnya untuk menarik minat dan motivasi siswa.
c. Penelitian ini dapat ditindak lanjuti
dengan materi yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto. S. 1998. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek.
Jakarta: Rineka Cipta. Arsyad. A. 2004. Media Pembelajaran. Penerbit
Rineka Cipta. Jakarta. Brigss. L. 1970. Principles of Instructional
DeSignifikann . Holt. Rinehart. and Watson. New
York Dale. E. 1969. Audio Visual Methods In Teaching.
The Dryden Press. New York. Depdiknas.. 2003. Kurikulum Mata Pelajaran
Kimia . Depdiknas. Jakarta.
Hamalik. O. 1994. Media Pendidikan. Penerbit Citra Aditya Bakti. Bandung.
Kemp. J.E dan Dauton. D.K. 1985. Planning dan Producing Instructional Media Fifth Edition
. Harper Row. New York.
Mulyasa, E. 2003. dalam Sudrajat. A.2009. Lets Talk About Education
. 8 Agustus 2013. Sumber: http:akhmadsudrajat.wordpress.com
Nur, M., Wikandari,P.R. 2000. Pengajaran Berpusat
Kepada Siswa
danPendekatan Konstruktifis Dalam Pengajaran
. Surabaya: Pusat Studi Matematika Dan IPA Sekolah Universitas
Negeri Surabaya. Osman, Kamisah Bakar, Nurul Aini.2012.
Educational Komputer Games for Malaysian Classrooms: Issues and Challenges. Journal of
Asian Social Science . Vol. 8, No.11
Sadiman. A. S.. Rahardjo. R.. Haryono. A.. dan Rahardjito.
2006. Media
Pendidikan :Pengertian,
Pengembangan, dan
Pemanfaatannya . Penerbit PT RajaGrafindo
Persada. Jakarta.
ISBN 978-602-72071-1-0
PENGARUH STRATEGI DIGITAL LEARNING MENGGUNAKAN MEDIA EDMODO
TERHADAP PARTISIPASI AKTIF DAN HASIL BELAJAR SISWA
Suryanto Hadi Widodo
1
Faridatur Rofi’ah
2
1,
Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya Email : surpakar4gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh strategi digital learning menggunakan media edmodo terhadap partisipasi aktif dan hasil belajar siswa pada materi ikatan kimia. Penelitian ini merupakan quasy
experiment dengan rancangan non-equivalent control group. Penelitian ini dilakukan pada satu kelas control
dan satu kelas eksperimen yang masing-masing terdiri dari 40 orang kelas X SMK Farmasi Sekesal Surabaya. Instrumen penelitian yang digunakan adalah lembar tes hasil belajar siswa dan lembar angket partisipasi
siswa. Data dianalisis dengan cara uji normalitas, homogenitas, dan uji hipotesis dengan uji t. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa data berdistribusi normal, bersifat homogen, dan media edmodo berpengaruh positif
terhadap partisipasi aktif dan hasil belajar siswa dengan nilai t hitung berturut-turut sebesar 7,985 dan 8,134. Kata Kunci:
edmodo , partisipasi aktif, hasil belajar
ABSTRACT
This research is to explain the effect of digital learning strategy using edmodo to the st udent’s participation
dan learning achievement in chemical bonding matter. This research is quasy experiment with non-equivalent control group design. This research is apllied on a control class and an experiment one which each contain of
40 students in SMK Farmasi Sekesal Surabaya grade X. The researh instruments are learning achievement test and participation questionnaire sheet.The data are analyzed with normality test, homogenity test, and t-
test. The results of this research indicate that the data have normal distribution, homogeny, and edmodo
media has positive effect to the student’s active pasticipation and learning achievement with t-count are as many as 7,985 and 8,134.
Keywords:
edmodo, active participation, learning achievement
ISBN 978-602-72071-1-0
PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi TIK yang semakin pesat, kebutuhan
akan suatu konsep dan mekanisme belajar mengajar pendidikan berbasis teknologi informasi menjadi tidak
terelakkan lagi.
Disamping itu,
dalam proses
pembelajaran ilmu Kimia mencakup pembelajaran produk seperti fakta, konsep, prinsip, teori dan juga
pembelajaran proses untuk memperoleh pengetahuan. Pembelajaran proses dapat dilakukan baik di laboratorium
maupun di luar laboratorium, sedangkan pembelajaran produk, peserta didik diharapkan menguasai hukum, teori
dan aplikasinya.
Konsep-konsep yang diajarkan dengan informasi langsung akan cenderung dihafalkan dan bukan dipahami,
tetapi hal tersebut akan menjadi berbeda jika metode ceramah diikuti dengan verifikasi, dan contoh-contoh
sehingga menjadi bermakna. Menurut Johnson 1998, kemampuan awal turut berperan dalam hasil belajar baru.
Kemampuan awal merupakan pengetahuan, kemampuan yang relevan yang harus dipunyai sebelum proses
pembelajaran dimulai. Kemampuan awal menunjukkan sejauh mana pemahaman awal peserta didik terhadap
materi baru sehingga guru dapat menentukan keluasan dan kedalaman materi yang akan disampaikan. Setiap
peserta didik mempunyai kemampuan awal yang tidak sama karena banyak faktor yang menyebabkan
kemampuan awal peserta didik tidak sama meskipun materi
yang diterima
sama. Bodner
1986 mengungkapkan bahwa pembelajaran akan bermakna bila
peserta didik dapat menentukan hubungan konsep yang sedang dipelajari dengan konsep yang telah dipelajari
sebelumnya.
Metode pembelajaran melalui tatap muka antara guru dan siswa adalah metode yang sering dilakukan.
Keterbatasan pembelajaran tatap muka adalah tidak cukup waktu untuk membahas semua materi pelajaran. Hal
tersebut bisa disebabkan karena adanya libur nasional, kegiatan-kegiatan dari sekolah sehingga pembelajaran
dihilangkan. Sehingga materi pembelajaran yang seharusnya diberikan menjadi tidak terlaksana. Jika guru
hanya mengandalkan pembelajaran tatap muka menjadi kurang efektif dan efisien dalam menyampaikan materi
pelajaran. Siswa sering bosan dengan pembelajaran tatap muka sehingga dibutuhkan variasi-variasi dalam
pembelajaran.
Pada saat ini beberapa situs jejaring sosial banyak beredar di dunia maya. Namun penggunaan dan
manfaatnya beraneka ragam. Kebanyakan siswa memanfaatkan jejaring sosial hanya sekedar untuk
berbincang dengan teman-temanya. Salah satu jejaring sosial yang khusus dimanfaatkan untuk pembelajaran
adalah Edmodo. Edmodo merupakan jejaring sosial yang dikembangkan khusus untuk siswa dan guru dalam suatu
ruangan kelas virtual. Edmodo adalah sebuah website pembejaran yang gratis dan aman yang dirancang oleh
Jeff O’Hara dan Nick Borg pada tahun 2008 untuk guru, pelajar, orang tua , sekolah dan daerah. Pada jejaring
sosial Edmodo siswa dapat berdiskusi dengan guru, mencari informasi dari referensi yang diberikan guru,
mengerjakan latihan soal dan kuis, orang tua dapat juga memantau kegiatan anaknya. Edmodo dapat digunakan
dimana saja dan kapan saja yang penting terhubung dengan jaringan internet. Adanya kelebihan edmodo
tersebut
dapat dimanfaatkan
untuk menjadikan
pembelajaran menjadi lebih menarik dan dapat mengatasi keterbatasan waktu tatap muka di kelas antara guru dan
siswa. Pembelajaran ikatan kimia yang membutuhkan waktu
cukup banyak untuk menyampaikan materi di dalamnya. Berdasarkan Permendikbud 2014, materi ikatan kimia
memiliki beberapa kompetensi dasar, yaitu 1 membandingkan proses pembentukan ikatan ion, ikatan
kovalen, ikatan kovalen koordinasi, dan ikatan logam serta interaksi antar partikel atom, ion, molekul materi
dan hubungannya dengan sifat fisik materi; 2 menganalisis kepolaran senyawa; 3 mengolah dan
menganalisis perbandingan proses pembentukan ikatan ion, ikatan kovalen, ikatan kovalen koordinasi, dan ikatan
logam serta interaksi antar partikel atom, ion, molekul materi dan hubungannya dengan sifat fisik materi; serta
4 merancang, melakukan, dan menyimpulkan serta menyajikan hasil percobaan kepolaran senyawa..
berdasarkan uraian capaian tersebut, untuk memahami ikatan kimia, peserta didik harus memahami struktur
atom, komponen-komponen penyususn atom, sifat-sifat unsur pada periodik unsur.
Banyaknya konsep dan kuantitas materi yang harus disampaikan dan dipahami siswa dengan baik pada materi
ikatan kimia membuat waktu tatap muka yang disediakan di sekolah kurang. Dengan adanya keterbatasan tersebut,
maka penggunaan strategi digital learning menggunakan mesia edmodo akan sangat membantu. Menurut
Witherspoon 2011, guru dan siswa akan dapat terhubung dan bkerjasama secara virtual menggunakan
edmodo baik di dalam maupun di luar kelas. Guru dapat mengirimkan kuis dan tugas, memberikan umpan balik,
menerima tugas yang diselesaikan oleh siswa, memberikan penilaian, melalukan jajak pendapat,
menyimpan dan membagi materi belajar dalam bentuk file maupun tautan link, maupun mengirimkan pesan atau
peringatan kepada seluruh peserta grup belajar. Sistem belajar secara virtual ini dapat diakses di mana saja dan
kapan saja, sehingga diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar dan partisipasi aktif siswa dalam proses
pembelajaran. Penggunaan strategi digitl learning menggunakan Edmodo diharapkan dapat mendorong
peserta siswa melakukan analisis dan evaluasi terhadap fakta-fakta ikatan kimia yang ada disekitar peserta didik
sehingga partisipasi aktif siswa dan pemahaman konsep siswa meningkat.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan eksperimen semu quasy
experiment dengan rancangan non-equivalent control
group . Desain penelitiannya dapat digambarkan sebagai
berikut Arikunto, 2010:
E : O
1
x O
2
C : O
3
O
4
ISBN 978-602-72071-1-0
Keterangan : E : kelas eksperimen
C : kelas kontrol X : perlakuan, yaitu pelaksanaan pembelajaran dengan
dengan media edmodo O
1
dan O
3
: pretest O
2
dan O
4
: posttest Sasaran penelitian ini adalah satu kelas control dan
satu kelas eksperimen yang masing-masing terdiri dari 40 siswa kelas X SMK Farmasi Sekesal Surabaya. Perangkat
pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini antara lain silabus dan RPP yang telah divalidasi. Hasil
peningkatan pemahaman konsep diukur dengan instrumen tes pada materi ikatan kimia. Instrumen tes untuk
mengukur pemahaman konsep terdiri dari 15 butir soal dengan ranah C1-C3. Sedangkan hasil peningkatan
partisipasi aktif siswa diukur dengan instrumen angket yang terdiri dari 15 butir pertanyaan.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tes dan angket. Teknik
analisis data yang digunakan adalah analisis secara deskriptif kuantitatif. Hasil pre-test dan post-test
kemudian dianalisis menggunakan program SPSS 21.0 for Windows.
Selain itu, dilakukan uji prasyarat yaitu ujinormalitas dan homogenitas.
Uji normalitas menggunakan prosedur One Sample Kolmogorov-Smirnov
melalui software PASW statistics 18, dengan kriteia apabila nilai P
value
α = 0,05 maka Ho diterima, yang berarti data dinyatakan berasal dari
populasi terdistribusi normal. Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui kesamaan ragam kedua data yaitu data
kelas eksperimen dan data kelas control menggunakan bantuan program SPSS. 16,0 for Windows, yaitu Homogenity
Of Variance
Test. Dari tampilan tabel Levene’s test of quality
of error variances maka dapat diketahui harga F
empiric
dan F
value
dengan kriteria : a. Apabila F
hitung
F
table
maka Ho diterima, yang berarti harga varian pada masing-masing kelompok adalah
homogen Winarsunu, 2006 b. Apabila F
value
α = 0,05 maka Ho diterima, yang berarti data berasal dari populasi yang memiliki
varian yang homogen Uyanto, 2006. Uji hipotesis dilakukan dengan uji T, untuk
menyelidiki apakah
ada pengaruh
pembelajaran menggunakan Edmodo terhadap hasil belajar siswa dan
partispasi aktif siswa. Dengan α = 0,05, nilai t tabel sebesar
2,024. Jika nilai t hitung 2,024, maka Ho diterima dan H
1
ditolak, yang berarti tidak ada pengaruh penggunaan Edmodo terhadap hasil belajar dan partisipasi aktif siswa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang didapatkan dari penelitian ini adalah nilai hasil belajar dan partisipasi aktif siswa dalam
pembelajaran yang disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil Belajar dan Partisipasi Aktif Siswa
Kelas Hasil Belajar
Partisipasi Kontrol
79,1 67,2
Eksperimen
81,78 71,8
Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa rata-rata kelas eksperimen lebih tinggi dibanding kelas kontrol,
menunjukkan bahwa penggunaan edmodo pada materi ikatan kimia membantu peserta didik dalam memahami
materi ikatan kimia lebih baik sehingga peserta didik memiliki hasil belajar yang lebih baik. Hal ini diperkuat
hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahmati dan Utomo yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan motivasi
dan prestasi belajar antara peserta didik yang mengikuti pembelajaran kimia menggunakan media Edmodo
berbasis kelas online dan peserta didik yang tidak menggunakan media Edmodo berbasis kelas online.
Hasil perhitungan uji normalitas dengan α = 0,05
disajikan pada tabel 2.
Tabel 2. Hasil Uji Normalitas Hasil
Belajar Nilai Signifikansi
Kontrol Eksperimen
pre test 0.090
0.054 post test
0.085 0.086
Berdasarkan table tersebut, nilai signifikansi lebih besar dari 0,05, maka data berdistribusi normal. Uji
homogenitas didapatkan nilai signifikansi F hitung sebesar 0,693, yang menunjukkan data bersifat homogen.
Uji hipotesis dengan uji t didapatkan hasil yang disajikan pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil Uji t Variabel
Nilai t
Hasil belajar 8,134
Partisipasi aktif 7,985
Nilai t hitung lebih besar dari 2,024, yang menunjukkan pembelajaran menggunakan edmodo memiliki pengaruh
yang positif terhadap hasil belajar maupun partisipasi aktif siswa di dalam kelas.
Pada penelitian ini meningkatnya hasil belajar peserta didik yang diajar dengan pembelajaran menggunakan
edmod, dikarenakan siswa mempunyai daya tarik tersendiri terhadap edmodo. Komunikasi peserta didik
dengan guru bisa dilakukan di luar jam pelajaran. Guru dapat memberikan materi pelajaran, latihan soal,
pemberian tugas dan soal evaluasi di luar jam pelajaran. Penggunaan waktu di luar jam pelajaran membuat siswa
lebih termotivasi dalam berpikir karena dapat dilakukan dimana saja dalam keadaan rileks.
Hal tersebut juga didukung penelitian yang dilakukan Council pada tahun 2007 yang mengungkapkan bahwa
69 pelajar diseluruh dunia mengatakan bahwa mereka belajar lebih efektif kalau bersosialisasi secara informal,
dan pelajar yang mempunyai jaringan sosial yang kuat mempunyai performansi yang baik secara akademik.
Selain itu, jejaring sosial online adalah alat komunikasi yang baik untuk membangun pengetahuan berdasarkan
relasi sosial, percakapan, kerjasama dan berbagi pekerjaan C. G. Arroyo,2011.
PENUTUP Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan strategi digital
learning menggunakan edmodo berpengaruh positif
ISBN 978-602-72071-1-0
terhadap pastisipasi aktif dan hasil belajar siswa, dengan t hitung masing-masing sebesar 7,985 dan 8,134.
Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dan simpulan, saran yang dapat disampaikan adalah perlu diteliti lebih lanjut
keefektifan Edmodo dalam berbagai hal, misalnya kefektifan dalam meningkatkan motivasi dalam belajar,
efektifitas dalam belajar kelompok antara kelas yang diajar dengan menggunakan Edmodo dan kelas nyata.
DAFTAR PUSTAKA Antonius Aditya Hartanto dan Onno W. Purbo. 2002.
E-Learning berbasis PHP dan MySQL . Jakarta:
Elex Media Komputindo. Ariyawan Agung Nugroho. 2011. Pemanfaatan E-
Learning Sebagai Salah Satu Bentuk Penerapan TIK Dalam Proses Pembelajaran.
Artikel. Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian, Suatu
Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto, S. 2010. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Arroyo, C. G., Innovative ways towards the boost of collaborative language learning.
http:On-Line social Networks.com
Bodner, G. M., Hunter, W., Lamba, R. S. 1998. What Happens When Discovery Labs are Integrated
into the Curriculum at a Large Research University?. The Chemical Educator, Online,
Vol.
3
, No.
3, http:chemed.chem.purdue.educhemedbodnerg
rouppdf45_Lamba.pdf, diakses 10 Juli 2013. Dalton, A., 2009, Teaching and learning through social
networks , http:www.teachingenglish.org.ukprint5411
Deni Darmawan. 2012, Inovasi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,.
Johnson, M. A., Lawson, A. E. 1998. What Are the Relative Effects of Reasoning Ability and Prior
Knowledge on Biology Achievement in Expository and Inquiry Classes?. Journal of
Research in
Science Teaching
, Online, http:www.ode.state.or.usteachlearnsubjectssc
iencecurriculumedresourcesexploringtab4jand lpaperjournalofrst.pdf, diakses 10 Juli 2015.
Lipsett, A., 2008, A third of teachers struggle with technology
. http:guardian.co.ukeducation2008jan2008sc
hools.uk. Mulyasa. 2011. Manajemen Pendidikan karakter.
Jakarta: Bumi Aksara,. Siahaan,
S. 2004.
E-learning Pembelajaran
Elektronik Sebagai Salah Satu Alternatif Pembelajaran
, http:www.depdiknas.go.idJurnal42
sudirman.htm 3 November 2014 Sudjana. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar
Mengajar , Jakarta: Rineka Cipta.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Administrasi, edisi revisi
. Bandung: Alfabeta. Sujianto, A. E. 2009. Aplikasi Statistik dengan SPSS
16.0 . Jakarta: Prestasi Pustaka.
Sujianto, A. E. 2010. Aplikasi Statistik dengan SPSS 16.0
. Jakarta: Prestasi Pustaka. Reddy, V.Venugopal and Manjulika ,S. 2002. From
Face-to-Face to Virtual Tutoring: Exploring the Potentials of E-Learning Support. Indira Gandhi
National Open
University ,
http:press.edmodo.com Witherspoon, A. 2011.
Edmodo A
learning Management
System .
http:www.plugintotechnology.com201101ed modo a-learning-management-system.html.
ISBN 978-602-72071-1-0
PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS KERANGKA BERPIKIR MORE MODEL,
OBSERVE, REFLECT, EXPLAIN UNTUK
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA POKOK BAHASAN
LARUTAN ELEKTROLIT DAN NONELEKTROLIT
Wahyu Suhari
1
Suyatno
2
1
Pendidikan Sains Program Pascasarjana Unesa
2
Dosen Universitas Negeri Surabaya E-mail:
harrysuwahyugmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kelayakan perangkat pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE
Model, Observe, Reflect, Explain yang dikembangkan untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada pokok bahasan larutan elektrolit dan nonelektrolit. Pengembangan perangkat pembelajaran menggunakan
model 4-D dengan rancangan penelitian one group pretest-postest design. Sampel dalam penelitian ini adalah 15 orang siswa kelas X IPA 1 SMAN Bontang Tahun Pelajaran 20152016. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah validasi, observasi, tes, dan angket. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1 validitas RPP, Buku Siswa, Lembar Kerja Siswa, dan Tes Hasil Belajar berkategori valid; 2
tingkat keterbacaan Buku Siswa dan Lembar Kerja Siswa berkategori baik; 3 keterlaksanaan RPP berkategori baik; 4 aktivitas siswa dalam pembelajaran berpusat pada siswa; 5 mayoritas respon siswa
positif terhadap pembelajaran; 6 seluruh siswa mencapai kriteria ketuntasan hasil belajar aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa
perangkat pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE yang dikembangkan layak digunakan dalam proses pembelajaran.
Kata Kunci: perangkat pembelajaran, kerangka berpikir MORE, hasil belajar.
ABSTRACT
The purpose of this research to describe the feasibility of teaching materials based on MORE thinking frame to improve student learning achievement on the topic of electrolyte and nonelectrolytes solution. The
development of teaching materials used four D Models with research design was one group pretest-postest design. Sample used in this research were 15 students of grade XI IPA 1 SMAN 3 Bontang academic year of
20152016. The technique of data collection in this research were validation, observation, test, and questionnaire. The results showed that: 1 the validity of the lesson plans, student book, worksheet, and
learning achievemnt test were valid; 2 the readability level of student book and worksheet were good category; 3 learning performance were good category; 4 the students activities refers to student-centered
learning; 5 majority of students gave positive response to learning process; 6 all of the students achieved learning completeness criteria on aspect of knowledge, attitudes, and skills. Based on these results could be
concluded that the teaching materials based on MORE thinking frame was feasible to use in learning process.
Keywords:
teaching materials, MORE thinking frame, learning achievement
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu bentuk perwujudan kehidupan manusia yang dinamis dan
sarat perkembangan. Oleh karena itu, perubahan atau perkembangan pendidikan yang berkaitan dengan
Kurikulum di sekolah sudah selayaknya dilakukan guna memberikan pembaharuan ke arah pencapaian
tujuan pendidikan yang lebih baik. Penerapan Kurikulum 2013 merupakan salah satu upaya
pemerintah untuk mewujudkan cita-cita pendidikan nasional. Kurikulum 2013 lebih menekankan pada
pembelajaran kontruktivistik di mana: 1 siswa sebagai subjek belajar; 2 siswa diminta untuk selalu
bernalar dalam belajar dengan tuntutan berpikir tingkat tinggi higher order thinking; dan 3
pembelajaran yang dikembangkan oleh guru adalah pembelajaran yang bermakna Kemendikbud, 2013.
Untuk memenuhi tuntutan di atas, ada banyak hal yang dapat dilakukan oleh guru, dimulai dari
merencanakan pembelajaran,
melaksanakan pembelajaran dan mengevaluasi pembelajaran. Upaya
guru dalam mengatur dan memberdayakan berbagai variabel pembelajaran, merupakan bagian penting
dalam keberhasilan siswa mencapai tujuan yang direncanakan. Karena itu, pemilihan model, strategi,
pendekatan, dan metode pembelajaran yang cocok dengan kemampuan berpikir siswa dan materi yang
diajarkan sangat berguna dalam menciptakan iklim pembelajaran yang bermakna Amri, 2013.
Larutan elektrolit dan nonelektrolit merupakan salah satu bahasan dalam ilmu kimia yang di
dalamnya terdapat konsep-konsep abstrak yang sulit untuk dipahami oleh siswa, terutama mengenai teori
ion Svante Arrhenius tentang pergerakan ion-ion dari penguraian larutan elektrolit sehingga dapat
menghantarkan arus listrik. Disamping konsep lainnya, seperti konsep elektrolit senyawa ion dan
senyawa kovalen dan perbedaan elektrolit lemah dan elektrolit kuat Tresnawati dan Dwiyanti, 2013.
Hal ini menyebabkan siswa masih mengalami kesulitan dalam memahami konsep larutan elektrolit
dan nonelektrolit, sehingga berdampak pada rendahnya hasil belajar siswa pada pokok bahasan
tersebut. Kesulitan siswa dalam memahami konsep, dikarenakan guru tidak mengaitkan konsep larutan
elektrolit dan nonelektrolit pada ketiga level representasi
makroskopik, mikroskopik,
dan simbolik dalam proses pembelajaran. Sebagian besar
guru hanya menekankan pembelajaran konsep pada level
makroskopik, sedangkan
pada level
mikroskopik tidak dikembangkan dengan baik, akibatnya siswa hanya secara parsial memahami
konsep yang diajarkan Robinson, 2003. Pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE
Model, Observe, Reflect, Explain merupakan salah
satu pilihan yang dapat digunakan oleh guru untuk mengajarkan
konsep larutan
elektrolit dan
nonelektrolit. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Culsum, dkk. 2013, pembelajaran berbasis kerangka
berpikir MORE merupakan salah satu model pembelajaran yang cocok diajarkan pada pokok
bahasan yang di dalamnya menuntut siswa untuk melakukan penyelidikan eksperimen. Selain itu,
pokok bahasan larutan elektrolit dan nonelektrolit banyak melibatkan perilaku partikel atom, ion,
molekul
dan proses-proses
kimia dalam
penjabarannya. Selain sesuai dengan karakteristik materi ajar,
pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE cocok diterapkan dalam kurikulum 2013. Hal ini
dikarenakan pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE
memiliki karakteristik pembelajaran yang diharapkan dalam kurikulum 2013, yaitu: 1
pembelajaran berpusat pada siswa student centered; 2
adanya pendekatan
saintifik dalam
pembelajarannya; dan 3 siswa dituntut untuk berpikir tingkat tinggi dalam belajar.
PEMBAHASAN Perangkat pembelajaran berbasis kerangka berpikir
MORE
yang telah disusun oleh peneliti divalidasi oleh para ahli validator. Perangkat yang telah
divalidasi kemudian
direvisi dan
hasilnya diimplementasikan dalam uji coba terbatas terhadap
15 siswa kelas X IPA 1 SMAN 3. Hasil Validasi
Berdasarkan model
pengembangan 4-D,
rancangan perangkat pembelajaran yang terdiri atas RPP, Buku Siswa, LKS, dan Tes Hasil Belajar yang
telah disusun, divalidasi oleh para ahli yang berkompeten untuk menyempurnakan perangkat
pembelajaran yang telah disusun. Hasil validasi RPP, Buku Siswa, LKS, dan Tes Hasil Belajar disajikan
dalam Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Validasi
Perangkat
Skor Kategori
RPP 3,8
Valid Buku Siswa
3,75 Valid
LKS 3,81
Valid Tes Hasil Belajar
3,75 Valid
Tabel di atas menunjukkan bahwa perangkat yang dikembangkan sudah layak digunakan dalam
pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE.
Keterlaksanaan RPP
Penyusunan dan
Keterlaksanaan RPP
merupakan bagian penting dalam keberhasilan siswa mencapai tujuan pembelajaran yang direncanakan
maupun keberhasilan guru dalam menerapkan tahap- tahap pembelajaran. Keterlaksanaan RPP diukur
dengan menggunakan lembar pengamatan yang diisi oleh dua orang pengamat selama pembelajaran
berlangsung. Hasil Penilaian disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Keterlaksanaan RPP
Aspek yang dinilai
Skor Kategori
Pendahuluan 3,69
Baik Inti
3,4 Baik
Aspek yang dinilai
Skor Kategori
Penutup 3,58
Baik Pengelolaan
Kelas 3,29
Baik
Tabel di atas menunjukkan bahwa guru berhasil melaksanakan
langkah-langkah kegiatan
pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE dengan baik.
Aktivitas Siswa
Aktivitas siswa merupakan faktor yang sangat penting dalam proses belajar mengajar kimia
terutama di bawah naungan teori Piaget, Vgostsky, dan Bruner yang mewakili konstruktivisme. Diagram
aktivitas siswa dalam pembelajaran MORE disajikan dalam Gambar 1.
Gambar 1. Aktivitas siswa
Gambar 1. Aktivitas Siswa Berdasarkan diagram di atas, pembelajaran
MORE melibatkan siswa secara aktif student
centered dalam pembelajaran MORE .
Respon Siswa
Respon siswa terhadap pembelajaran sangat mempengaruhi proses hasil belajar siswa. Apabila
siswa tidak memberikan respon yang baik terhadap pembelajaran, maka tidak dapat diharapkan akan
berhasil dengan baik mempelajari suatu konsep. Sebaliknya, apabila siswa merespon dengan baik
suatu pembelajaran, maka diharapkan hasilnya akan menjadi lebih baik. Sehingga efektivitas pembelajaran
dapat diukur dengan melihat respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran.
Gambar 2. Respon Siswa Berdasarkan Gambar 2, dapat dinyatakan bahwa
siswa memberikan respon yang positif terhadap perangkat maupun kegiatan pembelajaran berbasis
kerangka berpikir MORE.
Hasil Belajar
Penilaian hasil belajar siswa mengacu pada Permendikbud No. 104 Tahun 2014, yang
menyatakan bahwa penilaian hasil belajar merupakan proses pengumpulan informasibukti tentang capaian
pembelajaran siswa dalam aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dilakukan secara terencana
dan
sistematis selama
dan setelah
proses pembelajaran.
Adapun nilai hasil belajar untuk aspek pengetahuan disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Hasil Belajar Aspek Pengetahuan
Sesuai Permendikbud No.104, nilai ketuntasan hasil belajar minimal untuk aspek pengetahuan
ditetapkan sebesar 2,67. Tabel 3 menunjukkan bahwa tidak ada siswa yang mencapai nilai tuntas pada saat
pretest, karena semua siswa memperoleh nilai tes
kurang dari 2,67. Akan tetapi pada saat postest semua siswa memperoleh nilai tes lebih dari 2,67 yang
berarti semua siswa telah mencapai nilai tuntas untuk hasil belajar aspek pengetahuan.
Pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE efektif dalam meningkatkan hasil belajar siswa,
dikarenakan tahapan-tahapan yang ditawarkan dalam kegiatan pembelajaran disesuaikan dengan taraf
perkembangan kognitif siswa yaitu tahap operasional formal, suatu tahap dimana siswa sudah dapat
berpikir secara abstraksimbolik dan menyelesaikan masalah dengan menggunakan eksperimen. Menurut
Piaget,
pembelajaran yang
dirancang dan
dilaksanakan dengan menyesuaikan kemampuan dan karakteristik siswa akan menjadi lebih bermakna
Slavin, 2008. Pembelajaran yang bermakna bagi siswa berdampak positif terhadap kemajuan belajar.
Sejalan dengan teori Piaget, Vygotsky menyatakan bahwa suatu pembelajaran dapat
terlaksana dengan baik apabila siswa bekerja atau belajar menangani tugas-tugas atau masalah
kompleks yang masih berada pada jangkauan kognitif siswa atau tugas-tugas tersebut berada pada daerah
perkembangan terdekatnya zone of proximal develepment
. Dalam pembelajaran guru semestinya menyajikan
permasalahan-permasalahan untuk
diselesaikan oleh siswa yang berada di antara kemampuan aktual dan kemampuan potensial siswa
Yohanes, 2010. Pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE merupakan salah satu alternatif
model yang cocok diterapkan dalam rangka menciptkan pembelajaran yang baik.
Menurut Pienta, et al. 2009, Pembelajaran MORE
terdiri dari empat tahap yaitu tahap model, observe, reflect,
dan explain. Tahap model merupakan suata tahapan dalam pembelajaran MORE
dimana siswa dituntut untuk membuat model awal mengenai sistem kimia yang diselidiki. Dalam
merumuskan model awal, siswa didorong untuk menggunakan deskripsi di tingkat makroskopik apa
yang diamati dengan mata telanjang dan mikroskopik dalam kata-kata atau gambar.
Tahap model sejalan dengan teori dua kode karena melibatkan representasi makroskipik dan
mikroskopik dalam pendeskripsiannya. Menurut teori dua kode, siswa menggunakan secara bersamaan
kode-kode visual dan kode-kode verbal untuk merepresentasikan sebuah informasi Sternberg,
2008.
Adanya bimbingan dan arahan teman yang lebih kompeten dalam satu kelompok pada tahap model
sesuai dengan teori Vygotsky yang menyatakan bahwa adanya bimbingan dari teman sebaya yang
lebih kompeten scaffolding dapat membantu siswa untuk mencapai daerah perkembangan terdekatnya.
Tahap selanjutnya dalam pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE yaitu tahap observe, suatu
tahap dimana siswa membuktikan kebenaran model awal yang dibuat dengan melakukan eksperimen.
Kegiatan eksperimen yang dilakukan pada tahap observe
merupakan salah satu bentuk pengumpulan informasi melalui representasi makroskopik. Selain
itu, pada tahap observe siswa saling bekerjasama antara anggota dalam satu kelompok dalam rangka
menyelesaikan permasalahan
yang dihadapi.
Berdasarkan hal tersebut dapat dinyatakan bahwa tahap observe sesuai dengan teori Bruner, Piaget,
Vygotsky, dan dua kode. Tahap reflect merupakan tahap dimana siswa
dituntut untuk melakukan refleksi terhadap model awal yang telah dibuat. Pada tahap ini siswa didorong
untuk memperbaiki model awal berdasarkan bukti eksprimen serta membandingkannya dengan model
akhir yang dibuat. Tahap reflect sejalan dengan teori dua kode, Piaget, dan Vygotsky.
Tahap selanjutnya dalam pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE adalah tahap explain. Pada
tahap ini, siswa diminta untuk menjelaskan model akhir pemahamannya tentang sistem kimia yang
diselidiki dengan bahasa yang komunikatif Pienta, et al.,
2009. Penyajian model akhir pemahaman siswa mengenai konsep larutan elektrolit dan nonelektrolit
di depan kelas memungkinkan terjadinya interaksi antara siswa dengan siswa maupun siswa dengan
guru. Hal ini sejalan dengan teori Vygotsky, yang menyatakan bahwa adanya interaksi dapat membantu
siswa memahami sebuah konsep.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dijelaskan bahwa pembelajaran berbasis kerangka berpikir
MORE efektif diterapkan dalam pembelajaran kimia
karena sesuai dengan tuntutan pembelajaran konstruktivistik yang diajukan dalam kurikulum
2013. Keefektifan pembelajaran berbasis kerangka
berpikir MORE terhadap pembelajaran kimia didukung oleh penelitian yang telah dilakukan oleh
Culsum, dkk. 2013, Rickey, et al. 2009, Tien, et al.
2007, dan Blair, et al. 2012 yang menemukan bahwa melalui pembelajaran berbasis kerangka
berpikir MORE siswa dapat memaksimalkan perilaku belajarnya di dalam pembelajaran kimia dikarenakan
siswa dituntut untuk dapat menghubungkan pengamatan di tingkat makroskopik dan molekuler
serta merevisi ide-ide mengenai konsep kimia berdasarkan bukti eksperimen.
Sementara itu, ketuntasan hasil belajar untuk aspek sikap berdasarkan Permendikbud No.104
Tahun 2014 ditentukan dengan nilai modus sebesar 3,00 dengan predikat Baik. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa semua siswa telah mencapai ketuntasan hasil belajar untuk aspek sikap karena
memperoleh nilai akhir sikap di rentang 3,00
– 4,00. Penilaian untuk aspek keterampilan dilakukan
dengan pengamatan seperti halnya penilaian aspek sikap. Penilaian keterampilan dilakukan dengan cara
mengamati kegiatan siswa pada saat melakukan tahap observe
pada pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE. Nilai akhir untuk aspek keterampilan
berdasarkan Permendikbud No.104 Tahun 2014 ditentukan dengan capaian optimal. Nilai ketuntasan
untuk aspek keterampilan ditentukan dengan capaian optimum sebesar 2,67. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa nilai hasil belajar siswa untuk aspek keterampilan berada dalam capaian optimum 2,67.
Hal ini berarti semua siswa mencapai ketuntasan hasil belajar untuk aspek keterampilan.
PENUTUP Simpulan
Perangkat pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE yang dikembangkan layak digunakan
dalam proses pembelajaran. Saran
1. Pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE
dalam mengajarkan konsep larutan elektrolit dan nonelektrolit memerlukan pengaturan waktu
yang efektif dan efisien agar dapat terlaksana
sesuai dengan sintaks model pembelajaran tersebut.
2. Penggunaan model pembelajaran berbasis
kerangka berpikir
MORE hendaknya
disesuaikan dengan karakteristik materi kimia yang dipelajari agar tujuan pembelajaran yang
direncankan dalam pembelajaran dapat tercapai. 3.
Pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE melibatkan kegiatan eksperimen di dalam
tahapan pembelajarannya, untuk itu diperlukan alat dan bahan percobaan yang memadai
sehingga pembelajaran berbasis kerangka berpikir MORE berlangsung efektif.
DAFTAR PUSTAKA Amri, S. 2013. Pengembangan dan Model
Pembelajaran dalam Kurikulum 2013 . Jakarta
: Prestasi Pustakaraya. Culsum, U., Farida, I. Helsy, I. 2013.
“Kemampuan Siswa Menghubungkan Tiga Level Representasi Melalui Model MORE
model, Observe, Reflect dan Explain ”.
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013
. Tanggal 3-4 Juli 2013. Bandung.
Kemendikbud. 2013. Permen No.65 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan
Menengah. Jakarta.
Kemendikbud. 2014. Permen No. 104 tentang Penilaian Hasil Belajar Oleh Pendidik pada
Pendidikan Dasar
dan Menengah.
Jakarta.Tresnawati, R. Dwiyanti, G. 2013. “Pengembangan Prosedur Praktikum Kimia
SMA Pada Topik Larutan Elektrolit dan Nonelektrolit”. Jurnal Riset dan Praktik
Pendidikan Kimia. 1 1, 37-43.
Pienta, J.N., Cooper, M.M., Greenbowe, J.T. 2009. Chemist Guide to Effective Teaching.
New Jersey : Pearson Education Inc. Robinson, W.R. 2003. Chemistry Problem Solving:
Symbol, Macro, Micro, and Process Aspects. Journal of Chemical Education
. 80 9, 978. Slavin, E.R. 2006. Educational Psychology Theory
and Practice. Eighth Edition. Boston :
Pearson. Sternberg,
J.R. 2008.
Psikologi Kognitif.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Yohanes, S.R. 2010. “Teori Vygotsky dan
Implikasinya dalam
Pembelajaran Matematika”. Jurnal Ilmiah Widya Warta. 2,
127-135.
ISBN 978-602-72071-1-0
PENGARUH KREATIVITAS TERHADAP HASIL BELAJAR MAHASISWA DALAM PEMBELAJARAN BENTUK
MOLEKUL MENGGUNAKAN MEDIA BUATAN DAN MOLYMOD
Faderina Komisia
Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Unwira Kupang, NTT E-mail: federinakomisiagmail.com
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk 1 Mengetahui hubungan antara kreativitas terhadap hasil belajar mahasiswa dalam pembelajaran bentuk molekul menggunakan media buatan dan molymod. 2 Mengetahui ada tidaknya
pengaruh antara kreativitas terhadap hasil belajar mahasiswa dalam pembelajaran bentuk molekul menggunakan media buatan dan molymod. 3 Mengetahui besarnya pengaruh kreativitas terhadap hasil belajar
mahasiswa dalam pembelajaran bentuk molekul menggunakan media buatan dan molymod. Sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa semester 3 tiga Program Studi Pendidikan Kimia Universitas Katolik Widya
Mandira Kupang tahun ajaran 20152016 yang berjumlah 20 dua puluh orang. Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar tes hasil belajar dan lembar angket kreativitas mahasiswa.
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu rancangan penelitian One-Shot Case Study. Teknik analisis data dianalisis dengan menggunakan program SPSS 16 dengan melakukan uji regresi linear
sederhana pada taraf signifikansi 5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1 Hubungan antara kreativitas mahasiswa dengan hasil belajar dalam pembelajaran bentuk molekul dengan menggunakan media buatan dan
molymod
memiliki hubungan yang kuat dengan nilai R= 0,652. 2 Ada pengaruh kreativitas terhadap hasil belajar mahasiswa dalam pembelajaran bentuk molekul menggunakan media buatan dan molymod dengan nilai
t
hitung
t
tabel
3,652 2,101. 3 Besarnya pengaruh kreativitas terhadap hasil belajar mahasiswa dalam pembelajaran bentuk molekul menggunakan media buatan dan molymod sebesar 42,6.
Kata Kunci:
Hasil Belajar Mahasiswa, Kreativitas Mahasiswa, Media Buatan, dan Media Molymod.
ABSTRACT
The purpose of this research
was to 1 Know the relationship between the creativity of the student results in learning the form of the molecule using artificial media and molymod . 2 Determine whether there is
influence between the creativity of the student results in learning the form of the molecule using artificial media and molymod . 3 Knowing the influence of creativity to the learning outcomes of students in learning
the form of the molecule using artificial media and molymod .
The sample in this study is the semester students three 3 of hemical Education Program Widya Mandira Catholic University Kupang academic year
20152016 , amounting to 20 twenty people . Data collection instruments used in this study is the achievement test sheet and questionnaire sheet student creativity.
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu rancangan penelitian One-Shot Case Study.
Data analysis techniques were analyzed using SPSS 16 by performing a simple linear regression test at a significance level of 5 . The results showed
that 1 The relationship between the creativity of students with learning outcomes in learning molecular form by using artificial media and molymod have a strong relationship with the value of R = 0.652 . 2 There
is an effect on the results of students creativity in teaching molecular form using artificial media and molymod with tcount t table 3.652 2.101 . 3 The amount of influence on the results of students creativity in
teaching molecular form using artificial media and molymod of 42.6 . Keywords
: Results of Student Learning , Student Creativity , Media Made and Media Molymod
ISBN 978-602-72071-1-0 PENDAHULUAN
Kimia merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam yang sering dikatakan sebagai
mata pelajaran yang sukar untuk dimengerti dan dipelajari, sehingga untuk memberikan pemahaman
konsep maka harus diberikan suatu cara pembelajaran yang tepat terhadap peserta didik. Peserta didik
kurang tertarik untuk mempelajari kimia khusunya pada materi bentuk molekul, karena dalam
mempelajarinya lebih menekankan konsep-konsep kimia dari pada fakta-fakta kimia, maka tidaklah
heran jika pembelajaran kimia banyak diberikan dalam bentuk hafalan. Cara pengajaran yang
monoton akan membuat peserta didik pasif dalam belajar, mereka akan menganggap bahwa belajar
hanya rutinitas sehari-hari.
Karakteristik materi bentuk molekul ialah bersifat abstrak serta gabungan antara pemahaman
konsep dan aplikasi. Ketika mempelajari bentuk molekul seperti tetrahedral, trigonal bipiramida,
oktahedral, dan lain- lain yang digambarkan dalam bidang dua dimensi, maka bentuknya masih abstrak
dan sulit untuk dibayangkan. Sebagai contoh, jika rumus tipe molekul adalah AB
2
maka bentuk molekulnya adalah linear, jika notasinya AB
3
maka bentuk molekulnya adalah segitiga datar.
Dalam suatu proses belajar mengajar, dua unsur yang penting adalah metode mengajar dan
media pembelajaran. Salah satu fungsi utama media pembelajaran adalah sebagai alat bantu mengajar
yang turut mempengaruhi iklim, kondisi, dan lingkungan belajar yang ditata dan diciptakan oleh
guru. Ibrahim dan Syaodih 2003:112 menyatakan bahwa media pengajaran diartikan sebagai segala
sesuatu yang dapat dipergunakan untuk menyalurkan pesan atau isi pelajaran, merangsang pikiran,
perasaan, perhatian dan kemampuan siswa, sehingga dapat mendorong kegiatan belajar mengajar. Media
atau alat yang tepat untuk diterapkan dalam proses pembelajaran akan menjadikan siswa lebih aktif
dalam belajar.
Sejauh ini masih banyak guru yang menggunakan media papan tulis dalam pembelajaran
yang biasanya akan membuat peserta didik merasa bosan dan jenuh. Dengan demikian peserta didik
bersikap pasif dan tidak konsentrasi sehingga keberhasilan kegiatan belajar mengajar tidak akan
tercapai sesuai harapan pendidik. Guru sebagai fasilitator dalam kegiatan pembelajaran sudah
seharusnyalah dapat menciptakan atau menggunakan media yang sudah ada.
Media buatan dan molymod juga dapat digunakan pada materi bentuk molekul. Penggunaan
media buatan dan molymod ini dalam pembelajaran kimia dapat memberikan peserta didik penjelasan
yang lebih mendalam karena pada proses pembelajarannya peserta didik dibantu dengan media,
sehingga peserta didik akan terampil menggunakan daya
imajinasi serta
kreativitasnya untuk
menggunakan media buatan dan molymod. Pada proses pencapaian prestasi belajar yang baik,
diperlukan juga suatu latihan dan ulangan terhadap suatu pelajaran tertentu. Dengan pembelajaran
menggunakan media buatan dan mollymood, kreativitas peserta didik dapat terbentuk, hal ini
disebabkan karena seringnya peserta didik berlatih akan menjadikan ia semakin menguasai
Kreativitas dapat
digunakan untuk
memprediksi keberhasilan
belajar. Namun
sebenarnya setiap orang adalah kreatif. Untuk mendapatkan orang yang demikian perlu adanya
latihan dan bimbingan dari orang tua, dan pendidik. Menurut Suharnan 2005:375, kreativitas tidak
hanya dilakukan oleh orang-orang yang memang pekerjaannya menuntut pemikiran kreatif sebagai
suatu profesi, tetapi juga dapat dilakukan oleh orang- orang biasa di dalam menyelesaikan tugas-tugas dan
mengatasi masalah. Kreativitas juga merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu
yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata. Mengingat pentingnya kreativitas belajar siswa, maka
dalam kegiatan belajar mengajar hendaknya lebih banyak melibatkan peserta didik. Sedangkan peserta
didik itu sendiri hendaknya dapat memotivasi dirinya sendiri untuk ikut kreatif dalam kegiatan belajar
mengajar.
Prestasi belajar merupakan cerminan dari usaha belajar, semakin baik usaha belajarnya, maka
semakin baik pula prestasi yang diraih. Peserta didik diharapkan memiliki kreativitas yang berpengaruh
terhadap hasil belajar peserta didik tersebut. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul
“Pengaruh
Kreativitas terhadap Hasil Belajar Mahasiswa dalam Pembelajaran Bentuk Molekul Menggunakan Media
Buatan dan Molymod .”
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental. Instrumen pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah lembar tes hasil belajar dan lembar angket kreativitas
mahasiswa. Sampel dalam penelitian adalah mahasiswa semester 3 tiga Program Studi
Pendidikan Kimia Universitas Katolik Widya Mandira Kupang tahun ajaran 20152016 yang
berjumlah 20 dua puluh orang. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September, semester ganjil
tahun ajaran 20152016. Penelitian ini dilaksanakan di Program Studi Pendidikan Kimia Universitas
Katolik Widya Mandira Kupang. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian One-Shot Case
Study
dengan pola sebagai berikut:
Dalam penelitian ini yang merupakan variabel bebas independen adalah kreativitas
X O
ISBN 978-602-72071-1-0 mahasiswa dalam dan variabel terikat dependen
adalah hasil belajar. Teknik analisis data dianalisis dengan menggunakan program SPSS 16 dengan
melakukan uji regresi linear sederhana pada taraf signifikansi 5. Sebelum dilakukan pengujian
hipotesis dengan uji regresi linear sederhana, maka dilakukan uji normalitas data yang bertujuan untuk
mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak. Untuk pengujian normalitas data dilakukan
dengan metode uji One Sample Kolmogorov Smirnov.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data hasil penelitian terdiri atas: 1 Kreativitas
mahasiswa setelah
mengikuti pembelajaran kimia menggunakan media buatan dan
molymod , 2 Hasil belajar mahasiswa setelah
mengikuti pembelajaran kimia menggunakan media buatan dan molymod. Dari data yang diperoleh maka
selanjutnya dilakukan analisis data untuk menguji hipotesis penelitian.
1.
Hubungan antara Kreativitas dengan Hasil Belajar Mahasiswa
Berdasarkan hasil analisis, maka nilai R dapat dilihat pada tabel di bawah ini
Tabel 1. Nilai Korelasi Sederhana R Model Summary
b
Model R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
1 .652
a
.426 .394
2.32910 a. Predictors: Constant, KREATIVITAS
MAHASISWA b. Dependent Variable: HASIL
BELAJAR
Berdasarkan tabel 1 di atas, maka diperoleh nilai R= 0,652 yang artinya korelasi antara variabel
kreativitas mahasiswa dengan hasil belajar sebesar 0,652. Hal ini berarti terjadi hubungan yang kuat
antara kreativitas mahasiswa dengan hasil belajar dalam pembelajaran bemtuk molekul dengan
menggunakan media buatan dan molymod.
Dalam mencapai hasil belajar yang diharapkan dan terbentuknya kreatifitas mahasiswa,
maka media yang digunakan adalah media yang diciptakan untuk mendukung tercapainya tujuan yang
diharapkan. Media buatan dan media molymod adalah media yang tepat digunakan pada materi bentuk
molekul dalam proses terbentuknya ikatan kimia. Pembelajaran bentuk molekul dengan menggunakan
media buatan dan molymod ini berpotensi untuk membentuk
atau menumbuhkan
kreativitas mahasiswa dalam merangkai bentuk- bentuk molekul
misalnya H
2
O, SF
6
dan PCl
5
sehingga mahasiswa mampu menyerap atau memahami materi yang telah
diajarkan, maka kreativitas memiliki hubungan yang kuat dengan hasil belajar.
2. Pengaruh Kreativitas terhadap Hasil Belajar
Mahasiswa
Berdasarkan hasil analisis, maka nilai t
hitung
dapat dilihat pada tabel di bawah ini
Berdasarkan tabel 2 di atas, maka untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh kreativitas
terhadap hasil belajar mahasiswa dalam pembelajaran bentuk molekul menggunakan media buatan dan
molymod, dapat dilihat dari persamaan:
= 42,242 + 0,419X. Kemudian persamaan tersebut diuji
signifikansinya, maka diperoleh t
hitung
= 3,652 dan t
tabel
= 2,101 dengan dk = 18 pada taraf signifikan 5, karena t
hitung
t
tabel
, maka Ho ditolak dan Ha diterima, yang artinya bahwa ada pengaruh kreativitas terhadap
hasil belajar mahasiswa dalam pembelajaran bentuk molekul menggunakan media buatan dan molymod.
Berdasarkan analisis uji regresi linear sederhana menunjukkan bahwa kreativitas dalam
pembelajaran bentuk molekul menggunakan media buatan dan molymod memiliki pengaruh terhadap
hasil belajar mahasiswa. Hal ini dikarenakan penggunaan media pembelajaran yaitu media buatan
dan molymod. Penggunaan media molymod ini dalam pembelajaran kimia dapat memberikan mahasiswa
penjelasan yang lebih mendalam karena pada proses pembelajarannya mahasiswa dilatih untuk merangkai
bentuk- bentuk molekul sehingga siswa akan terampil menggunakan daya imajinasi serta kreativitasnya
untuk menggunakan media molymod, sehingga membuat mahasiswa semangat dalam belajar dan
memiliki banyak gagasan atau pertanyaan dalam pemikirannya yang dapat melatih dan menumbuhkan
serta
mengembangkan kreativitasnya
dalam merangkai bentuk- bentuk molekul, contohnya dalam
merangkai bentuk molekul H
2
O, PCl
5
, SF
6
dan CO
2
, sehinggga
mereka semakin
kreatif dalam
menciptakan ide- ide baru yaitu merangkai bentuk- bentuk molekul di dalam proses pembelajaran
Tabel 2. Nilai t
hitumg
Coefficients
a
Model Unstandardized
Coefficients Standa
rdized Coeffi
cients t
Sig. B
Std. Error Beta
1 Constant 42.242 9.805 4.308
.000 KREATI
VITAS MAHASI
SWA .419
.115 .652
3.652 .002
a. Dependent Variable: HASIL BELAJAR
ISBN 978-602-72071-1-0 dikelas. Pada proses pencapaian prestasi belajar yang
baik, diperlukan juga suatu latihan dan ulangan terhadap
suatu pelajaran
tertentu. Dengan
pembelajaran menggunakan media buatan dan mollymood
, kreativitas mahasiswa dapat terbentuk, hal ini disebabkan karena seringnya peserta didik
berlatih, sehingga menjadikan mereka semakin menguasai pelajaran tersebut. Dengan demikian, hasil
belajar mahasiswa juga akan semakin baik. Hal ini berarti, kreativitas memiliki pengaruh terhadap hasil
belajar mahasiswa dalam pembelajaran bentuk molekul menggunakan media buatan dan molymod.
Amabile dalam
Munandar, 1999
mengatakan bahwa kreativitas berkenaan dengan kualitas produk atau penilaian dan respon bersifat
kreatif melalui sejumlah pengamatan yang dilakukan oleh orang yang tepat. Kreatif juga melibatkan proses
yang dianggap mengandung nilai- nilai kreatif. Definisi ini mengarahkan kreativitas sebagai hal yang
menghasilkan ide yang baru oleh individu atau kelompok kecil. Berdasarkan penelitian Ashadi
2011 yang menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh kreativitas siswa terhadap prestasi belajar pada materi
pokok Ikatan Kovalen, kreativitas siswa memberikan pengaruh yang sama pada kelompok siswa yang
diajar menggunakan model pembelajaran STAD dengan media Macromedia Flash Player maupun
molymod
, yaitu siswa dengan kreativitas tinggi akan memiliki prestasi belajar yang lebih baik.
3. Besarnya Pengaruh Kreativitas terhadap
Hasil Belajar Mahasiswa
Berdasarkan hasil analisis, maka nilai R
2
dapat dilihat pada tabel di bawah ini
Tabel 3. Nilai Koefisien Determinasi R
2
Model Summary
b
Model R
R Square Adjusted R
Square Std. Error
of the Estimate
1 .652
a
.426 .394
2.32910 a. Predictors: Constant, KREATIVITAS
MAHASISWA b. Dependent Variable: HASIL BELAJAR
Selanjutnya, untuk mengetahui besarnya pengaruh kreativitas variabel bebas terhadap hasil
belajar mahasiswa variabel terikat maka dihitung nilai koefisien determinasi dan didapat nilai koefisien
determinasi R
2
sebesar 42,6. Hal ini menunjukan bahwa besarnya pengaruh kreativitas terhadap hasil
belajar mahasiswa dalam pembelajaran bentuk molekul menggunakan media buatan dan molymod
sebesar 42,6 dan sisanya yaitu sebesar 57,4 dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti
dalam penelitian ini.
Dalam penelitian ini, besarnya pengaruh kreativitas terhadap hasil belajar mahasiswa dalam
pembelajaran bentuk molekul menggunakan media buatan dan molymod sebesar 42,6, dan sisanya
sebesar 57,4 dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Hal ini berarti media
buatan dan molymod yang digunakan dalam penelitian ini dapat melatih mahasiswa menjadi
kreatif dan menumbuhkan kreativitas mahasiswa dalam merangkai bentuk-bentuk molekul. Munandar
2009 mengemukakan bahwa lingkungan yang dapat mempengaruhi kreativitas individu dapat berupa
lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pada lingkungan sekolah, pendidikan di setiap jenjangnya
mulai dari pra sekolah hingga ke perguruan tinggi dapat berperan dalam menumbuhkan kreativitas
individu. Selain itu, lingkungan sekolah harus merangsang
kreativitas dengan
memberikan bimbingan dan dorongan untuk menggunakan sarana
yang akan mendorong kreativitas. Dengan demikian, adanya sarana pembelajaran dalam hal ini media
buatan dan molymod dapat melatih mahasiswa menjadi kreatif dan menumbuhkan kreativitas
mahasiswa tersebut. Kreativitas yang dimiliki mahasiswa tersebut akan mempengaruhi hasil belajar
mahasiswa, yang artinya hasil belajar akan lebih baik. PENUTUP
Simpulan
Adapun yang menjadi kesimpulan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Hubungan antara kreativitas mahasiswa dengan
hasil belajar dalam pembelajaran bentuk molekul dengan menggunakan media buatan dan
molymod memiliki hubungan yang kuat dengan
nilai R= 0,652. 2. Ada pengaruh kreativitas terhadap hasil belajar
mahasiswa dalam pembelajaran bentuk molekul menggunakan media buatan dan molymod
dengan nilai t
hitung
t
tabel
3,652 2,101. 3. Besarnya pengaruh kreativitas terhadap hasil
belajar mahasiswa dalam pembelajaran bentuk molekul menggunakan media buatan dan
molymod sebesar 42,6.
Saran Adapun saran dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut: 1. Dosen atau guru hendaknya cermat dalam
memilih media pembelajaran di dalam proses belajar mengajar karena jika dosen atau guru
menggunakan media pembelajaran yang tidak sesuai dengan materi pelajaran di kelas maka
mahasiswa atau siswa akan bosan dan jenuh karena metode mengajar guru yang monoton.
Karena masih ada dosen atau guru yang mengajar dengan metode ceramah dan masih ada
guru yang mengajar tanpa menggunakan media pembelajaran di dalam proses belajar mengajar
di kelas.
2. Bagi peneliti selanjutnya, hendaknya dapat menggunakan media pembelajaran dengan media
buatan dan molymod pada pokok bahasan lain.
ISBN 978-602-72071-1-0
DAFTAR PUSTAKA Anik, Pamilu. 2007. Mengembangkan Kreativitas
Dan Kecerdasan Anak . Jakarta: Buku kita.
Brady, J. E. 1999. Kimia Universitas Asas dan Struktur
. Bandung: Binarupa Aksara.
Campbell, David.
1986. Mengembangkan
Kreativitas . Yogyakarta: Anggota IKAPI.
Chang, Raymond. 2005. Kimia Dasar Konsep- konsep Inti. Edisi Ketiga Jilid 2.Jakarta:
Erlangga Darsono, Max. 2006. Belajar dan Pembelajaran.
Semarang : IKIP Semarang Press.
Djamarah dan Zain Aswan. 2002. Strategi Belajar Mengajar
. Jakarta: Rineka Cipta Ibrahim, M dan Nana Syaodih. 2003. Perencanaan
Pengajaran. Jakarta : Rineka Cipta.
Munandar, Utami. 2009. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah.
Jakarta: PT Gramedia.
Munandar, Utami.
2012. Pengembangan
Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: PT Rineka
Cipta Purba, Michael. 2006. Kimia Untuk SMA Kelas XI,
Jakarta; Penerbit Erlangga. Sadiman, Arif S, dkk. 2007. Media Pendidikan
Pengertian, Pengembangan
dan Pemanfaatnya
. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Santoso, T dan Sukarmin. 2013. Pengembangan Media Pembelajaran Blog Kimia Berbasis
Mobile Education. UNESA Journal of Chemical Education Vol II
No.1. Januari 2013.
Slameto. 2005. Belajar dan Faktor- faktor yang mempengaruhinya
. Jakarta: Rineka Cipta. Slameto. 2005. Belajar dan Faktor- faktor yang
mempengaruhinya . Jakarta: Rineka Cipta.
Suharnan. 2005. Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi.
ISBN 978-602-72071-1-0
VALIDITAS MODEL BERTANYA KRITIS BERBASIS INKUIRI UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN
BERPIKIR KRITIS MAHASISWA CALON GURU KIMIA
Tri Santoso
1
Leny Yuanita
2
Soeparman Kardi
3
1
Program Studi Pendidikan Kimia PMIPA FKIP Universitas Tadulako
2,3
Program Studi Pendidikan Sains, Universitas Negeri Surabaya Email: tri_paluyahoo.co.id
ABSTRAK
Kurikulum 2013 merekomendasikan agar pembelajaran dilakukan dengan pendekatan ilmiah scientific approach
, conto hnya pe ndekata n i nkuir i. K unc i keb er ha si la n pe nde kat a n pembelajaran ini adalah kemampuan siswa mengajukan pertanyaan kritis. Beberapa hasil studi pembelajaran kimia
terungkap bahwa pertanyaan siswa yang muncul sangat sederhana dengan frekuensi aktivitas mengajukan pertanyaan rendah Katchevich Hofstein ,2013; Eshach et al., 2014; Santoso, 2014. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut, peneliti mengembangkan model pembelajaran inkuiri berorientasi bertanya kritis untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis mahasiswa calon guru kimia yang diberi nama Model
Bertanya Kritis Berbasis Inkuiri BKBI. Model pembelajaran ini diperoleh dari hasil kajian teoritik. Isi dan konstruk model pembelajaran BKBI yang dikembangkan divalidasi oleh para pakar melalui Focus Group
Discussion
FGD. Menurut para pakar, bahwa isi dan konstruk model pembelajaran BKBI ini valid dan dapat diimplementasikan dalam pembelajaran untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis.
Kata Kunci:
validitas, model pembelajaran, keterampilan bertanya kritis, keterampilan berpikir kritis.
ABSTRACT
A curriculum 2013 recommended that the learning is done with a scientific approach, an example is the inquiry approach. The key to the success of this learning approach is the student ability to ask critical
questioning. Some studies of chemistry learning show students have difficulty to ask critical questions Katchevich Hofstein, 2013; Eshach et al., 2014; Santoso, 2014. To overcome these problems,
researchers developed a learning inquiry model oriented critical question to develop critical thinking skills of student named Model Bertanya Kritis Berbasis Inkuiri, BKBI critical question - inquiry based for
learning Chemistry. This learning model is derived from theoretical studies. A content and construct of BKBI model validated by experts through Focus Group Discussions FGD. According to experts, that the
contents and construct of BKBI model is valid and can be implemented in learning to develop critical thinking skills.
Keywords:
validity, model of learning, critical questioning skills, critical thinking skills.
ISBN 978-602-72071-1-0
PENDAHULUAN
Standar Kompetensi Lulusan Kurikulum 2013 memberikan tiga sasaran pembelajaran, yaitu: 1 sikap
yang dapat dicapai melalui aktivitas mene-rima, menjalankan,
menghargai, menghayati,
dan mengamalkan; 2 pengetahuan yang dapat diperoleh
melalui aktivitas mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, dan mengevaluasi; dan 3 keterampilan
yang dapat diperoleh melalui aktivitas mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta.
Untuk mewujudkan pencapaian ketiga ranah kompetensi tersebut maka dalam proses pembelajaran perlu
menggunakan pembelajaran berbasis penyingkapan pene-litian
discoveryinquiry learning
untuk memperkuat pendekatan ilmiah scientific dan tematik
Permendikbud No. 65 Tahun 2013 .
Proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang sesuai dengan tujuan pembe-lajaran Kurikulum 2013
salah satunya adalah pendekatan inkuiri. Penekanan pembelajaran inkuiri meminta siswa berpikir tentang apa
yang siswa tahu, mengapa siswa tahu, dan bagaimana caranya siswa untuk tahu Carin, 1993. Jadi, kunci
pembelajaran berbasis inkuiri adalah mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan tentang topik yang
dipelajari dan mengeksplorasi jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Pebelajar diarah-kan menjadi seorang
pengaju masalah pertanyaan problem poser dan juga sekaligus pemecah masalah problem solver Flick
Lederman, 2006. Hal ini sejalan dengan Teori Bruner, siswa belajar terbaik melalui penemuan, sehingga siswa
berperan sebagai pemecah masalah yang berinteraksi dengan lingkungan Koes, 2003.
Beberapa hasil penelitian pembelajaran kimia berbasis inkuiri menunjukkan adanya masalah: 1
kemampuan mahasiswa mengajukan pertanyaan sangat sedikit dan terbatas pada tipe pertanyaan yang bersifat
klarifikasi, sehingga menyebabkan diskusi mahasiswa tidak menggambarkan epistemik ilmiah sesungguhnya
Katchevich
Hofstein,2013; 2 kemampuan
mahasiswa merumuskan pertanyaan atau hipotesis, menunjukkan
pertanyaan-pertanyaan yang
sangat sederhana atau tumpul Passmore Svoboda, 2012;
Eshach et al., 2014; 3 akktivitas pebelajar mengajukan pertanyaan rendah Suryanti, 2012; dan 4 terjadi
fenomena bahwa, seiring dengan bertambahnya tingkat pendidikan banyak siswa jarang mengajukan pertanyaan,
bahkan telah berhenti bertanya Kaberman Dori, 2008.
Menurut Thoms 1999 dan Browne Keeley 2012 permasalahan tersebut di atas semestinya tidak
akan muncul karena bertanya merupakan karakter alami yang dimiliki oleh setiap pebelajar, dan pebelajar tersebut
dapat mengembangkan keterampilan bertanyanya, tetapi mereka tidak dapat mengembangkan sendiri untuk
menghasilkan pertanyaan kritis secara otomatis. Dalam hal ini, pendidik perlu berupaya untuk mem-bantu siswa
belajar bertanya kritis
. Bentuk bantuan perlu dirancang
bagaimana memfasi-litasi siswa aktif mengajukan pertanyaan, sehingga menghasilkan pertanyaan kritis yang
memicu rangkaian pertanyaan-pertanyaan lain. Akhirnya, rangkaian
pertanyaan-pertanyaan tersebut
akan mendorong pebelajar berpikir kritis sejak di awal sampai
di akhir proses pembelajaran. Rancangan pembelajaran untuk
memfasilitasi pebelajar
mengembangkan keterampilan bertanya kritis, dapat dilakukan dengan cara
memodifikasi fase-fase pembelajaran inkuiri. Hal ini dimungkinkan karena karakter pembelajaran melalui
inkuiri adalah adanya kegiatan mempertanyakan di setiap fase pembelajaran. Pertanyaannya adalah bagaimanakah
rancangan pembelajaran inkuiri yang dapat memfasilitasi pebelajar mengembangkan pertanyaan kritis di setiap fase
pembelajaran?
METODE PENELITIAN Metode
pengembangan rancangan
pembelajaran mengacu kepada tiga tahapan pertama dari R D Gall,
Gall, Borg 2003, yaitu: studi literatur dan penelitian dalam skala Kecil reseach and information collecting,
merumuskan tujuan dan mendesain draf model pembelajaran planning, dan pengembangan model
pembelajaran preliminary form of product. Studi Literatur dan Penelitian dalam Skala Kecil
reseach and information collecting.
Pada tahapan ini dilakukan aktivitas kajian literatur untuk mengindentifikasi keunggulan dan kelemahan
penerapan model pembelajaran kimia berbasis inkuiri serta mencari alternatif solusi untuk mengatasi
kelemahannya. Kajian literatur selanjutnya mencari teori- teori dan hasil-hasil penelitian yang dapat digunakan
untuk mendukung pengem-bangan model pembelajaran, dan terakhir melakukan observasi pendahuluan terhadap
kemampuan mahasiswa meng-ajukan pertanyaan. Merumuskan Tujuan dan Mendesain Draf Model
Pembelajaran planning.
Kegiatan penelitian pada tahap perumusan dan perancangan draf model adalah sebagai berikut. 1.
Melakukan refleksi berkaitan dengan keunggulan dan kelemahan penerapan model pembelajar-an kimia
berbasis inkuiri serta mencari alternatif solusi untuk mengatasi kelemahannya. 2. Merumuskan tujuan yang
akan dicapai dalam penelitian, dan 3. Mengkaji literatur untuk mencari teori-teori dan hasil-hasil
penelitian yang dapat digunakan untuk mendukung pengembangan model pembelajaran.
Pengembangan Model Pembelajaran preliminary form of product
. Kegiatan ini dimulai dari validasi draft model oleh
ahli-ahli, yang masing-masing memiliki keahlian dalam bidang kimia dan keahlian dalam bidang pembelajaran
sains. Kegiatan validasi dilaksankan dalam suatu forum diskusi yang biasa disebut Focus Group Discussion
FGD.
Lembar validasi model pembelajaran digunakan untuk memperoleh data validitas isi dan konstruk dari
model pembelajaran. Lembar validasi diisi pakar yang menelaah dan menilai model pembelajaran yang
dikembangkan oleh peneliti pada saat Focus Group
ISBN 978-602-72071-1-0
Discussion FGD. Perhitungan reliabilitas instrumen
lembar validasi model pembelajaran BKBI didasarkan pada interobserer agreement yang diperoleh dari analisis
statistic percentage of agreement R Borich, 1994, yaitu:
R Keterangan:
R : Koefisien reliabilitas. A : Skor tertinggi dari ketiga validator.
B : Skor terendah dari ketiga validator.
Instrumen yang dikembangkan dikatakan reliabel jika mempunyai persentase ≥ 75 Borich, 1994.
Validitas model pembelajaran BKBI ditentukan dengan mengacu pada kriteria validitas yang terdapat
pada Tabel 1. Tabel 1
Kriteria penilaian validasi model pembelajaran
Interval Skor Kriteria
Penilaian Keterangan
3.25 P≤ 4.00 Sangat valid Dapat digunakan tanpa
revisi 2.50 P≤ 3.25
Valid Dapat digunakan
dengan sedikit revisi 1.75 P≤ 2.50 Kurang valid
Dapat digunakan dengan banyak revisi
1.00≤ P≤ 1.75 Tidak Valid Belum dapat digunakan dan masih memerlukan
konsultasi Adaptasi Ratumanan Laurens, 2006
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Pembelajaran Kimia Berbasis Inkuiri
Ada dua catatan penting dikemukakan oleh Katchevich Hofstein 2013 dalam pelaksanaan
pembelajaran kimia berbasis inkuiri: 1 eksperimen inkuiri memiliki potensi sebagai kerang-ka platform
yang efektif untuk meru-muskan argumen karena inkuiri memiliki karakter pembelajaran yang mendukung proses
argumentasi, dan 2 selama proses pembelajaran ditemukan diskusi mahasiswa tidak menggambarkan
epistemik ilmiah sesungguhnya, karena pertanyaan yang muncul sangat sedikit dan terbatas pada tipe pertanyaan
yang bersifat klarifikasi, dan mahasiswa melakukan pengabaian terhadap kemungkinan adanya kesalahan
dalam mengamati dan mengumpulkan data.
Temuan Katchevich Hofstein didukung oleh
Kind et al. 2011 yang mengatakan bahwa kegiatan inkuiri di laboratorium berjalan secara monoton tahap
demi tahap, mahasiswa bekerja mulai dari masalah berupa pertanyaan di awal eksperimen, jarang melakukan
diskusi dan langsung mengarah ke kesimpulan akhir. Jika mahasiswa diminta untuk merumuskan pertanyaan atau
hipotesis yang berkaitan dengan pengamatan atau demonstrasi, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sangat
sederhana atau tumpul Passmore Svoboda, 2012; Eshach, Ziderman, Yefroimsky, 2014.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, perlu dikaji fase-fase pembelajaran pendekatan inkuiri yang
dapat dimodifikasi
agar keterlibatan
siswa bertanyamempertanyakan
berlangsung selama
pembelajaran berjalan. Merujuk langkah pertama pada pembelajaran inkuiri menurut NSES NRC, 2000; BSCS,
2005; Bybee, 2006, atau langkah 1 dan 2 Kauchak Eggen, 2012, atau langkah ketiga Arends, 2012
menunjukkan aktivitas keterlibatan siswa bertanya. Langkah tersebut semestinya memberikan gambaran
bagaimana men-dorong aktivitas siswa produktif membuat pertanyaan, mempertanyakan atas perta-nyaan,
memilih
dan menetapkan
perta-nyaan sehingga
menghasilkan pertanyaan kritis. Selanjutnya, aktivitas pebelajar pada langkah 2 sampai dengan 5 menurut
NSES NRC, 2000; BSCS, 2005; Bybee, 2006, atau langkah 3 sampai dengan 6 Kauchak Eggen, 2012,
atau 4 sampai dengan 6 Arends, 2012, merupakan kegiatan
untuk menjawab
pertanyaan langkah
sebelumnya. Pada langkah ini seharusnya memberi gambaran berbagi sharing tanggung jawab dengan cara
saling bertanya dan menjawab agar memicu pemikiran kritis dalam pencarian bukti, penjelasan, evaluasi
penjelasan dan justifikasi sebagaimana yang dikehendaki oleh kegiatan epistemik ilmiah sains.
Studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh Santoso 2014 menemukan bahwa kemampuan
mahasiswa dalam merumuskan pertanyaan berada pada level rendah, yaitu pertanyaan hafalan 73, pemahaman
18 dan aplikasi 9.
Pebelajar dapat mengembangkan bertanya dan berpikir kritis, tetapi tidak dapat mengembangkan sendiri
secara otomatis dan cepat. Keterampilan ini perlu dikembangkan dengan upaya dari pendidik untuk
membantu siswa belajar bertanya dan berpikir kritis Thoms, 1999.
Upaya bantuan untuk mendorong siswa terampil bertanya dan berpikir kritis dapat dilakukan mendasarkan
pada gagasan Vygotsky tentang zona perkem-bangan proksimal zone of proximal development, ZPD Schunk,
2012, dan metakogniisi - perancahan Scaf-folding Wood, Bruner Ross, 1976 dalam Schunk, 2012.
Teori ZPD, kesalingterhubungan dengan orang lain memberi peran kepada pengaturan diri dan aktivitas
mengkonstruksi pengetahuan. Demikian juga dalam bertanya dan berpikir kritis tidak bisa dilakukan seorang
diri melainkan perlu melibatkan orang lain Browne Keeley, 2012. Orang lain dijadikan sebagai sumber dan
mitra untuk mengelaborasi informasi, data, fakta dan opini melalui tanya jawab agar mencapai kesimpulan.
Dengan demikian, teori konstruktivis mendukung siswa membuat pertanyaan sendiri dan mengajukan pertanyaan
ke teman dan guru.
Perancah merupakan usaha untuk menjembatani kesenjangan antara kemampuan peserta didik saat ini
perkembangan aktual dan sasaran yang ingin dicapai potensi pengembangan Yu, Tsai, Wu, 2013. Ada
tiga jenis perancah yang dapat digunakan sebagai pengarah untuk mengajukan pertanyaan, yaitu prosedural
ISBN 978-602-72071-1-0
produktif, elaboratif, dan reflektif Ge Land, 2004. Perancah produktif adalah membimbing peserta didik
untuk menyelesaikan
tugas-tugas tertentu,
mengidentifikasi dan meng-analisis fitur penting, serta membantu peserta didik memanfaatkan alat dan sumber
daya yang tersedia. Perancah Elaborasi adalah membantu peserta didik untuk mengartikulasikan pikiran mereka,
mengkontruksi penjelasan, membuat pembenaran, dan melakukan penalaran dengan menggunakan pertanyaan-
perta-nyaan pemicu. Perancah reflektif adalah membantu peserta didik merefleksi dan mendorong mereka untuk
memonitor dirinya selama proses berlangsung atau setelah proses belajar. Bertanya reflektif akan memicu
pemikiran pebelajar memu-satkan pikiran untuk berdialog dengan diri mereka sendiri tentang apa yang
mereka lakukan Zippay dalam Ibrahim et al., 2012. Praktek merefleksi diri termasuk aktivitas berpikir kritis
dimana terjadi proses pemikiran yang cermat dan mendalam terhadap semua tindakan yang dilakukan baik
yang direncanakan atau tidak Kauchak Eggen, 2012.
Gagasan ZPD dan perancah dapat ditafsirkan bahwa agar pebelajar terpacu berpikir kritis sebaiknya diberikan
tugas-tugas yang rumit, sulit dan realitis kemudian pebelajar diberi cukup bantuan berupa panduan perancah
pertanyaan yang mengarahkan untuk penyelesaian tugas- tugas belajar. Dengan panduan perancah pertanyaan
tersebut, pebelajar merumuskan dan mengajukan pertanyaan secara mandiri. Hal ini penting dilakukan
karena efek mengajukan pertanyaan sendiri akan menimbulkan respon pena-laran menjadi aktif atau
konflik kognitif Wiley Voss dalam Chin Osborne, 2010. Munculnya konflik kognitif dapat memicu
pertanyaan kritis Choi, Land, Turgeon, 2005.
Pembentukan pengetahuan
yang bermakna
memerlukan seperangkat kete-rampilan dan sikap yang perlu dibangun di atas rangkaian mengajukan pertanyaan
kritis dan saling terpaut Browne Keeley, 2012. Keterampilan dan sikap yang dimaksud adalah: 1
pengetahuan akan serangkaian pertanyaan kritis yang saling terkait, 2 kemampuan melontar-kan pertanyaan
kritis pada saat yang tepat, dan 3 kemauan untuk menggunakan pertanyaan kritis tersebut secara aktif
Browne Keeley, 2012. Tiga dimensi tersebut berkaitan erat dengan belajar meregulasi diri self-
regulated learning
yang dilandasi oleh kemampuan meta-kognisi pebelajar Schraw et al., 2006; Kauchak
Eggen, 2012. Peran metakognisi dalam mengaju-kan pertanyaan adalah
pada proses peng-aturan kognitif seseorang dalam hal merencanakan, monitoring, memprediksi, mengevaluasi
dan merevisi Schunk, 2012; Yu, Tsai, Wu, 2013. Siswa yang mengajukan pertanyaan akan menyadari
keadaan pengetahuan dan kompetensi mereka sendiri sehingga mendorong siswa menjadi lebih aktif secara
intelektual untuk terlibat dalam proses pembelajaran Kaberman Dori, 2009. Kesadaran akan keadaan
pengetahuan dan kompe-tensi mereka sendiri mencakup juga kesadaran pada adanya kesenjangan antara
pengetahuan saat ini yang dimiliki dan sasaran yang ingin dicapai Belland, Kim, Hannafin, 2013. Konsep
metakognisi
yang memfokuskan
kajian untuk
menjembatani kesenjangan antara kemampuan peserta didik saat ini dan sasaran yang ingin dicapai disebut
perancah scaffolding Yu, Tsai, Wu, 2013. Model Bertanya Kritis Berbasis Inkuiri BKBI
Berdasarkan uraian kajian tersebut di atas, dengan mempertimbangkan inkuiri sebagai strategi pengajaran
yang menekankan semangat penyelidikan tercerminkan pada kegiatan mempertanyakan pada setiap aktifitas
epistemik ilmiah sains Carin, 1993; Kelly Finlayson, 2007, maka penulis memodifikasi fase pendekatan
inkuiri menurut NSES NRC, 2000; BSCS, 2005; Bybee, 2006 dengan memasukkan aktivitas bertanya dan
mempertanyakan di setiap fase pembelajaran. Jenis pertanyan yang dilibatkan yaitu: pertanyaan produktif,
untuk membuat memproduksi pertanyaan; pertanyaan elaborasi, untuk mengarahkan penjelasan, analisis dan
evaluasi; dan pertanyaan refleksi, untuk membuat kesimpulan.
Pengembangan fase pembelajaran inkuiri mengacu pada perancah bertanya produktif, elaboratif dan reflektif
Ge Land, 2004. Pengembangan ini bertujuan untuk menekankan aktivitas epistemik ilmiah sains, yaitu
kegiatan mempertanyakan usulan pertanyaan hipotesis, penjelasan, evaluasi, pembenaran, dan pem-bentukan
pengetahuan.
Keterampilan tersebut
merupakan keterampilan berpikir kritis Tsui dalam Tapper, 2004;
Facione, 2011. Alur berpikir, rasional pengembangan dan langkah pembelajaran disajikan pada Gambar 1.
ISBN 978-602-72071-1-0
Gambar 1 Rasional sintak hipotetik Model Bertanya Kritis Berbasis Inkuiri
Teori Kognitif Bruner
Teori Metakognisi
Teori Konstruktivisme Personal Piaget
Teori Konstruktivisme Sosial Vygotsky
1.
Produks
i pertanyaan.
2. Elaborasi deskripsi bukti dengan
mempertanyakannya
3. Elaborasi analisis penjelasan dengan
mempertanyakannya
4. Elaborasi evaluasi penjelasan dengan
mempertanyakan 5. Menyimpulkan
dan mengkomunikasik
an melalui bertanya reflektif
Keterampilan berpikir kritis: bertanya, interpretasi, analisis, evaluasi, menyajikan argumen, inferensi, kesimpulan,
pembenaran, dan refleksi Enis, 1996; Tsui dalam Tapper, 2004; Facione, 2011
Interaksi sosial berkontribusi pada pem-
bentukan pengetahuan siswa Vygotsky dalam
Schunk, 2012, bertanya dan berpikir kritis siswa
Browne Keeley, 2012 Steffe: Individu aktif
membangun dan mengembangkan
pengetahuannya melalui interaksi de-
ngan alam diseki- tarnya Yu, Tsai,
Wu, 2013 Piaget: Pemben-
tukan pengetahuan internal siswa
melalui inter-aksi personal dengan
mengajukan perta- nyaan sendiri self
questioning Schunk, 2012
Pengajuan pertanyaan sebagai indikasi
berpikir King, 1995, pemicu berpikir kritis
Nussbaum Edwards, 2011, pengarah
penyelidikan dan membimbing
pembentukan konsep Golding,2011
Brown 1987: belajar memerlukan kemampuan
regulasi yang melibatkan evaluasi
apa yang saat ini ditahu dan menentukan apa
yang masih perlu dipelajari lagi Seraphin et al., 2012
Perancah membantu pebelajar untuk
mencapai tujuan pedagogis yang
mereka sulit menca- painya jika tanpa
bantuan Wood, Bruner, Ross
dalam Yu, Tsai, Wu, 2013
MODEL BERTANYA
KRTIS BERBASIS
INKUIRI MBKBI
ISBN 978-602-72071-1-0
Pengembangan bertanya kritis berbasis inkuiri dilandasi oleh beberapa teori. 1 Teori konstruktivisme
interaksi personal, bahwa individu aktif membangun dan mengembangkan pengetahuannya melalui interaksi
dengan alam disekitarnya Steffe dalam Yu, Tsai, Wu, 2013, pembentukan dan pengembangan repre-
sentasi struktur pengetahuan internal siswa dilakukan
melalui interaksi
personal dengan
mengajukan pertanyaan sendiri self questioning Piaget dalam Schunk, 2012, pengajuan pertanyaan
dapat menimbulkan tantangan atau konflik kognitif Wiley Voss, 1999 dalam Chin Osborne, 2010
dan memicu pertanyaan kritis Choi, Land, Turgeon, 2005. 2 Teori Vygotsky konstruktivime
interaksi sosial khusus-nya teori ZPD bahwa kesaling- terhubungan dengan orang lain memberi peran kepada
pengaturan
diri dan
aktivitas pembentukan
pengetahuan Scunk, 2012, bertanya kritis tidak bisa dilakukan seorang diri melainkan perlu melibatkan
orang lain Browne Keeley, 2012. 3 Teori kognitif Bruner, siswa belajar sebaiknya diberikan kesempatan
untuk menemukan aturan definisi, konsep, teori melalui berinteraksi dengan lingkungan Koes, 2003.
4 Teori metakognisi bahwa proses belajar terbaik jika siswa bertindak sebagai agen aktif pengolah
konten, bersikap tanggung jawab, dan mengkontrol atas proses belajar mereka sendiri Pang Ross,
2010, berpikir kritis dan penyelidikan didasarkan pada kesadaran dan kemampuan pebelajar untuk mengambil
tanggung jawab, mengkontrol dan mengkonfirmasi makna pengetahuan Akyol Garrison, 2011.
Sistem Sosial
Norma pembelajaran dalam pembelajaran “BKBI” bersifat demokratis dicirikan oleh peran
siswa secara
aktif dan
kerjasama. Strategi
pembelajaran ini menekankan individu membangun pengetahuan secara aktif melalui interaksi personal dan
sosial sesuai dengan teori konstruktivis personal Piaget dan interaksi sosial Vygotsky. Konstruksi pengetahuan
oleh pebelajar akan berlangsung efektif apabila terjadi aktivitas berbagi pengalaman dengan siswa lainnya
Slavin, 2008; Woolfolk, 2009. Pengajar dan pebelajar memiliki status yang sama dihadapan masalah materi
ajar dengan peranan yang berbeda. Iklim kelas ditandai dengan proses interaksi yang bersifat kola-boratif.
Prinsip Kegiatan
Prinsip pengelolaan kegiatan dalam penerapan pembelajaran “BKBI”, pendidik berperan sebagai
fasilitator, konselor, konsultan, dan pemberi kritik yang bersahabat Joyce et al., 2009. Dalam kerangka ini
pendidik membimbing melalui:
a pemecahan masalah atau level tugas berkenaan dengan proses menjawab pertanyaan, apa yang
menjadi hakikat masalah, dan apa saja faktor yang terlibat;
b pengelolaan kelas berkaitan dengan informasi apa saja yang diperlukan saat ini, bagaimana
mengorgani-sasikan kelompok untuk mencapai informasi itu;
c pemaknaan secara perseorangan berkenaan dengan proses pengkaji-an bagaimana kelompok
menghaya-ti kesimpulan yang dibuatnya, dan apa yang membedakan seseorang sebagai hasil dari
mengikuti proses
pembuatan kesimpulan
kelompok.
Sistem Pendukung
Penerapan pembelajaran “BKBI” memerlukan
sumber belajar yang mema-dai, seperti buku ajar, hand out
, lembar kerja siswamahasiswa LKSLKM dan sumber informasi lainnya. Selain itu, strategi ini
memerlukan dukungan peralatan dan bahan-bahan kimia untuk melaksanakan demonstrasiprak-tikum
serta media pembelajaran lain, seperti molymod , poster dan lain-lain.
Dampak Instruksional dan Penggiring
Dampak instruksional bagi pebelajar berupa pencapaian
kompetensi sikap,
pengetahuan dan
keterampilan kritis, serta kepemilikan karakter pemikir kritis. Dampak pengiring, di antaranya: meng-hormati
pendapat orang lain dan komit-men terhadap keanekaragaman,
kebebas-an sebagai
pebelajar, kehangatan dan keterikatan antar pebelajar, semangat
kritis, kemandirian dalam belajar, toleran terhadap ketidaktentuan dan kemampuan-nya untuk mengkritisi
permasalahan yang berkaitan dengan aplikasi kimia dalam kehidupan sehari-hari.
Kevalidan Model BKBI
Kevalidan validity model pembelajaran BKBI
dilihat dari dua aspek, yaitu: 1 validitas rasional logis, bahwa model pembelajaran dikembangkan berdasarkan
pada rasional teoritis yang kuat, dan 2 validitas konstruk, bahwa model pembelajaran harus memiliki
konsistensi secara internal dari semua komponen model Nieveen,1999. Komponen model yang dimaksudkan
meliputi sintaks, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem pendukung, dan dampak terhadap pebelajar.
Hasil validitas dan realibilitas rasional model BKBI disajikan pada Tabel 2, sedangkan Tabel 3 menunjukan
validitas dan rabilitas konstruk model BKBI. Berdasarkan Tabel 2 dan 3 tersebut menunjukkan bahwa validitas
rasional dan konstruk untuk model pembelajaran BKBI yang dikembangkan berketegori sangat valid dengan
realibiltas yang tinggi, yaitu 98,21 untuk rasionalitas dan 96,82 untuk konstruk. Dengan demikian model
BKBI yang dikembangkan dapat diterapkan dalam pembelajaran untuk mengembangkan keterampilan
berpikir kritis mahasiswa calon guru kimia.
ISBN 978-602-72071-1-0
Tabel 2 Hasil validasi rasional model BKBI No
Aspek penilaian Rata-
rata Kriteria
R I
Tujuan 1 Tahapan model pembelajaran mencerminkan pencapaian tujuan model
yang dikembangkan melatih bertanya kritis. 4 sangat valid
100 2 Tahapan model pembelajaran mencerminkan pencapaian tujuan model
yang dikembangkan mengembangkan kemampuan berpikir kritis . 4 sangat valid
100 3 Tahapan model pembelajaran mencerminkan pencapaian tujuan model
yang dikembangkan meningkatkan pemahaman konsep 4 sangat valid
100 Rata-rata sub:
4 sangat valid 100
II
Teori Pendukung
4 Model pembelajaran BKBI sesuai dengan teori belajar
konstruktivisme Piaget: interaksi personal.
4 sangat valid 100
5 Model pembelajaran BKBI sesuai dengan teori belajar konstruktivime Vygotsky: interaksi sosia
l 4 sangat valid
100
6 Model pembelajaran BKBI sesuai dengan Teori kognitif Bruner. 4 sangat valid
100
7 Model pembelajaran BKBI sesuai dengan Teori metakognisi 3,5 sangat valid
85,71 Rata-rata sub:
3,88 sangat valid 96,43
III
Sintaks Pembelajaran
8 Tahap-tahap pembelajaran disusun secara terurut dan jelas. 4 sangat valid
100 9 Tahap-tahap pembelajaran sudah logis dan rasional
4 sangat valid 100
10 Tahap-tahap pembelajaran memuat dengan jelas aktivitas dosen dan mahasiswa
4 sangat valid 100
11 Uraian aktivitas pembelajaran pada setiap tahap model BKBI mencerminkan alur kegiatan yang dapat dilaksanakan oleh dosen dan
mahasiswa 4 sangat valid
100 Rata-rata sub:
4,00 sangat valid 100
IV
Lingkungan Belajar
12 Dosen memfasilitasi berbagai sumber belajar seperti buku teks, media pembelajaran, dan sumber-sumber dari internet
3,5 sangat valid 85,71
13 Pola hubungan antara dosen dan mahasiswa menunjukkan adanya peran dosen sebagai fasilitator, konsultan, dan mediator
4 sangat valid 100
14 Perilaku dosen dalam memberikan motivasi untuk membangkitkan minat belajar mahasiswa
3 valid 100
15 Kegiatan praktikum mendukung pencapaian tujuan 4 sangat valid
100 Rata-rata sub:
3,63 sangat valid 96,43
Rata-rata total: 3,88 sangat valid
98,21
ISBN 978-602-72071-1-0
ISBN 978-602-72071-1-0
Tabel 3 Hasil Validasi konstruk model BKBI No
Aspek penilaian Rata-rata
Kriteria R
1 Kesesuaian antara tahapan model dengan tujuan yang ingin dicapai tidak kontradiktif
4 sangat valid 100
2 Keterkaitan teori-teori pendukung dan karakteristik kimia saling mendukung
4 sangat valid 100
3 Pemahaman prinsip dari teori-teori pendukung dengan tujuan dan karakteristik kimia tidak kontradiktif
4 sangat valid 100
4 Keterkaitan setiap tahapan pembelajaran pada model BKBI secara internal saling mendukung
4 sangat valid 100
5 Aktivitas mahasiswa dan dosen pada setiap tahapan pembelajaran pada model BKBI saling terkait
4 sangat valid 100
6 Penggunaan sumber belajar untuk pencapaian tujuan saling mendukung
3,5 sangat valid 85,71
7 Pola interaksi antara dosen dan mahasiswa saling mendukung 4 sangat valid
100 8 Perilaku dosen dalam memberikan motivasi untuk
membangkitkan minat belajar mahasiswa tergambar dalam tahapan pembelajaran
3,5 sangat valid 85,71
9 Kesesuaian antara kegiatan pembelajaran dengan tujuan yang
ingin dicapai tidak kontradiktif
4 sangat valid 100
Rata-rata total: 3,89 sangat valid
96,82
ISBN 978-602-72071-1-0
PENUTUP Simpulan
Model pembelajaran“BKBI” yang dirancang berdasarkan atas temuan-temuan pada studi pustaka
dan lapangan telah valid secara rasional 3,88 dengan realibiltasl 98,21, dan konstruk 3,88
dengan realibilitas 96,82. Dengan demikian model BKBI yang dikembangkan dapat diterapkan dalam
pembelajaran untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis mahasiswa calon guru kimia, melalui
fase-fase pembelajaran berikut ini. a Produksi pertanyaan, bertujuan menyiapkan
pebelajar secara fisik dan mental untuk belajar, merangsang siswa berpikir melalui bertanya, dan
memastikan akan terjadi belajar bermakna yang terlihat dari pertanyaan
– peranyaan yang
dirumuskan siswa,
b Elaborasi deskripsi
bukti dengan
mempertanyakannya, bertujuan Melatih bertanya dan menjawab untuk menggali informasi dan
latarbelakang suatu bukti sesuai dengan konteks- tualisasi masalah topik,
c Elaborasi analisis
penjelasan dengan
mempertanyakannya, bertujuan melatih bertanya dan menjawab melalui eksplorasi hubungan
bagian kepada keseluruhan terhadap bukti untuk merumuskan penjelasan secara mandiri dan
diskusi,
d Elaborasi evaluasi
penjelasan dengan
mempertanyakannya, bertujuan
melatih bertanya dan menjawab penjelasan dan
tanggapan alternatif, e
Menyimpulkan dan
mengkomunikasikan melalui bertanya reflektif, bertujuan melatih
bertanya dan menjawab implikasi, solusi, kesimpulan dan rekomendasi; serta melatih
menginternalisasi untuk
menumbuhkan pemikiran yang cermat dan mendalam terhadap
semua tindakan yang dilakukan baik yang direncanakan atau tidak.
Saran Temuan validitas dan realibitas model BKBI ini
merupakan pendapat para pakar, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat
kepraktisan dan
efektivitas pada
proses pembelajaran di kelas.
DAFTAR PUSTAKA Akyol, Z., Garrison, D. R. 2011. Assessing
metacognition in an online community of inquiry . Internet and Higher Education ,
Vol. 14, pp. 183-190. Arends, R. I. 2012. Learning to Teaching. New
York: Mc Graw Hill. Belland, B. R., Kim, C. M., Hannafin, M. J.
2013. A Framework for Designing Scaffolds That Improve Motivation and
Cognition .
EDUCATIONAL PSYCHOLOGIST
, Vol. 48, No. 4, 243 –270.
Borich, G. 1994. Observation skill for effective teaching
. New York: Mac Millan Publishing Company.
Browne, M., Keeley, S. M. 2012. Asking the Right Question: A Guide to Critical Thinking.
New Jersey: Pearson Education, Inc. BSCS. 2005. Doing Science: The Process of
Scientific Inquiry. New York: National
Institutes of Health. Bybee, R. W. 2006. Scientific Inquiry and
Scientific Teaching. Dalam L. Flic, N. Lederman, Scientific Inquiry and Nature of
Science hal. pp. 1-14. Dordrecht: Kluwer
Academic Publishers. Carin, A. A. 1993. Teaching Science Through
Discovery. New York: Macmillan Publishing
Company. Chin, C., Osborne, J. 2010. Students’ Questions
and Discursive Interaction: Their Impact on Argumentation During Collaborative Group
Discussions in Science . Journal of Research in Science Teaching
, vol. 47, no. 7, pp. 883 –
908. Chin, C., Osborne, J. 2010. Supporting
Argumentation Through Students’ Questions: Case Studies in Science Classrooms . The
Journal of The Learning Sciences , Vol. 19,
pp. 230 –284.
Choi, I., Land, S. M., Turgeon, A. J. 2005. Scaffolding peer-questioning strategies to
facilitate metacognition during online small group discussion. Instructional Science , Vol.
33, pp. 483 –511.
Dori,Y.J., Herscovitz, O. 2005. Case-based Long term professional development of
science teachers. International Journal of Science Education
, Vol.27 No.12, pp. 1413- 1446.
Eshach, H., Ziderman, Y. D., Yefroimsky, Y. 2014. Question Asking in the Science
Classroom: Teacher Attitudes and Practices. Journal Science Education Technology
, Vol. 23, pp. 67-81.
Facione, P. A. 2011. Critical Thinking: What It Is and Why It Counts.
Millbrae, CA: Insight Assessment, Measured Reasons and The
California Academic Press. Flick, L., Lederman, N. 2006. Scientific Inquiry
and Nature of Science. Chicago: Kluwer
Acadmic Publishers. Gall, M., Gall, J., Borg, W. 2003. Educational
Research: An Introduction. Boston: Pearson
Education, Inc Ge, X., Land, S. M. 2004. A conceptual
framework for scaffolding ill-structured
ISBN 978-602-72071-1-0
problem-solving processes using question promptsand peer interactions. . Educational
Research Technology and Development, ,
Vol. 52, No.2, pp. 1042-1629. Hofstein, A., Navon, O., Kipnis, M., Mamlok, N.
R. 2005. Developing Students’ Ability to Ask More and Better Questions Resulting
from Inquiry-Type Chemistry Laboratories. Journal of Research In Science Teaching
, Vol. 42, NO. 7, pp. 791
– 806. Ibrahim, N. H., Surif, J., Yusof Arshad, M.,
Mokhtar, M. 2012. Self Reflection Focusing on
Pedagogical Content
Knowledge. Procedia - Social and Behavioral Sciences
, Vol. 56, pp. 474
– 482. Joyce, B., Weil, M., Calhoun, E. 2009. Models of
Teaching. New Jersey: Pearson Education,
Inc. Kaberman, Z., Dori, Y. J. 2008. Metacognition
in chemical Education: question posingin the case-based
computerized learning
environment. Springer Science Business Media B.V
, Accepted 19 March 2008. Kaberman, Z., Dori, Y. J. 2009. Question Posing,
Inquiry, And Modeling Skills Of Chemistry Students In The Case-Based Computerized
Laboratory Environment.
International Journal Of Science And Mathematics
Education , vol. 7, pp. 597-625.
Katchevich, D.,
Hofstein, A.
2013. Argumentation in the chemistry laboratory
:Inquery and confirmatary experiment. International Journal of Science Education
, vol. 13, pp. 317-345.
Kauchak, D., Eggen, P. 2012. Learning and Teaching Research-Based Methods.
Boston: Pearson Education, Inc.
Kelly, O., Finlayson, O. 2007. Providing Solutions through Problem-based Learning
for Undergradutae first year Chemistry Laboratory. Chemistry Education Research
and Practice , Vol. 8 No. 3, pp. 347-361.
Koes, S. 2003. Strategi Pembelajaran Kimia. Malang: Jurusan Kimia FMIPA Universitas
Negeri Malang. Liliasari. 2003. Peningkatan Mutu Guru Dalam
Keterampilan Berpikir
Tingkat Tinggi
Melalui Model Pembelajaran Kapita Selekta Kimia Sekolah Lanjutan. Jurnal Pendidikan
Matematika dan Sains , Edisi 3 Tahun VIII,
174-181. Liliasari. 2011, January 30. Berpikir Kritis Dalam
Pembelajaran Sains
Kimia Menuju
Profesionalitas Guru. Bandung: Program
Studi Pendidikan IPA, Sekolah Pascasarjana UPI.
National reasearch Council. 2000. Inquiry and the National Science Education Standards: A
guide for Teaching and learning. Washington
D.C: National Academy Press. National Research Council. 2012. Education for
Life and Work: Developing Transferable Knowledge and Skills in the 21st Century.
Committee on Defining Deeper Learning and 21st Century Skills, J.W. Pellegrino and M.L.
Hilton, Editors.
Washington, DC. Nieveen, N. 1999. Prototyping to reach product
quality. In Nieveen, N., McKenney, S., Van den Akker 2007. Educational
Design Research dalam Educational Design Research
. New York: Routledge. Nieveen, N., McKenney, S., van d. Akker 2007.
“Educational design research” dalam Educational design research
. New York : Routledge
Pang, K., Ross, C. 2010. Assessing the Integration of Embedded Metacognitive
Strategies in College Subjects for Improved Learning Outcomes: A New Model of
Learning Activity . The Journal of Effective Teaching
, Vol. 10, No. 1, pp. 79-97. Passmore, C. M., Svoboda, J. 2012. Exploring
Opportunities for
Argumentation in
Modelling Classrooms. International Journal of Science Education
, Vol. 34, No. 10, pp. 1535-1554.
Permendikbud. 2013.
Peraturan Menteri
Pendidikan dan
Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan
Menengah. Jakarta: Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan.
Ratumanan, G. T. dan Laurens. 2006. Evaluasi hasil yang relevan dengan memecahkan
problematika belajar
dan mengajar
. Bandung:CV Alfabeta
Santoso, T. 2014. Pembelajaran Penalaran Argumen Berbasis Peta Konsep Untuk Meningkatkan
Pemahaman Konsep
Kimia. Seminar
Nasional Kimia 2014, Peningkatan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam
Dalam Pendidikan Kimia dan Kimia untuk Kemandirian
Bangsa hal.
134-143. Surabaya: Fakultas MIPA, Universitas Negeri
Surabaya. Schraw, G., Moshman, D. 1995. Metacognitive
Theories . Educational Psychology Review , Vol. 7, No. 4, pp. 351
–371. Schraw, G., Crippen, K. J., Hartley, K. 2006.
Promoting self-regulation
in science
education: Metacognition as part of a broader perspective in learning. Research in Science
Education , Vol. 36, pp. 111-139.
Schunk, D. H. 2012. Learning theories an educational perspective.
Singapura: Pearson Education, Inc.
Slavin, R. E. 2008. Psikologi Pendidikan : Teori dan Praktek Terjemahan Samosir, M dkk:
Educational Psycology: Theory Pratice, Edisi 8.
Jakarta: PT Indeks.
ISBN 978-602-72071-1-0
Suryanti. 2012. Model Pembelajaran untuk Mengajarkan
Keterampilan Mengambil
Keputusan dan Penguasaan Konsep IPA bagi Siswa Sekolah Dasar.
Surabya: Disertasi tidak
dipublikasikan, Pasca
Sarjana Universita Negeri Surabaya.
Tapper, J. 2004. Student perceptions of how critical thinking is embedded in a degree program.
Higher Education Research Development. ,
Vol. 23, No.2, pp.199-222. Thoms, K. J.-9. 1999. Critical Thinking Requires
Critical Questioning . Essays on Teaching Excellence Toward the Best in the Academy
, Volume 10, Number3.
Woolfolk, A. 2009. Educational Psychology. Boston: Allyn Bacon.
Yu, F. Y., Tsai, H. C., Wu, H. L. 2013. Effects of online procedural scaffolds and the timing of
scaffolding provision
on elementary
Taiwanese students question-generation in a science class. Australasian Journal of
Educational Technology , Vol. 29, No. 3, pp.
416-433. Yu, F.-Y., Wu, C.-P. 2012. Student Question-
Generation: The Learning Processes Involved and Their Relationships with Students’
Perceived Value. Journal of Research in Education Sciences
, Vol. 57, No.4, 135-162.
ISBN 978-602-72071-1-0
UPAYA MENINGKATKAN MINAT BELAJAR KIMIA MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN
KOOPERATIF TIPE TGT TEAMS GAMES TOURNAMENT
Nurhidayati
1
Ninik Nigusti Ayu Sunardi
2
Winda Tri Lestari
3
1,2,3
Mahasiswa Pendidikan Sains, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya E-mail: nurhidayatigmail.com
ABSTRAK
Ilmu kimia merupakan bagian yang penting untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia dalam menunjang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian proses pembelajaran kimia di dalam kelas harus
berkualitas dan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan dan mampu meningkatkan bakat dan minat siswa. Namun kenyataannya di MAN Bangkalan minat siswa dalam belajar kimia sangat kurang,
karena strategi pembelajaran yang digunakan cenderung bersifat tradisional ceramah. Untuk mendapatkan solusi dari permasalahan tersebut maka dilakukan penelitian tindakan kelas dengan menggunakan suatu
model pembelajaran kooperatif tipe TGT dalam pembelajaran reaksi redoks. Penelitian tindakan kelas ini dilakukan dalam dua siklus pembelajaran masing-masing siklus terdiri atas empat langkah yaitu 1
Perencanaan, 2 Tindakan pembelajaran kooperatif tipe TGT, 3 Observasi, 4 Refleksi. Subjek penelitian adalah siswa kelas X MIA-1 MAN Bangkalan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan
minat dan ketuntasan belajar siswa dalam pembelajaran kimia. Kata Kunci:
Pembelajaran kooperatif tipe TGT, minat, ketuntaan belajar
ABSTRACT
Chemistry is an important part of improving human resources in supporting the advancement of science and technology. Thereby process study of chemistry in class have to with quality and carried out by interaktif,
inspiratif, pleasing and can improve student enthusiasm and talent. But in contrass in MAN Bangkalan students interest in learning chemistry is lacking, besides learning strategies used tend to be traditional
lecture. To get the solution of the problem of classroom action research conducted by using a model of cooperative learning of TGT in learning oxidation-reduction reactions. This classroom action research study
was conducted in two cycles each cycle consists of four steps: 1 planning, 2 Actions cooperative learning, 3 observation, 4 Reflection. The subjects were students of class X MIA-1 MAN Bangkalan. The results
show that there is an increased interest and increase in learning completeness students in learning chemistry. Keywords
: Cooperative learning, interest, mastery learning
ISBN 978-602-72071-1-0
PENDAHULUAN
Kurikulum yang sekarang dilaksanakan di Indonesia adalah Kurikulum 2013. Menurut
Permendikbud 2013, tujuan pendidikan IPA menekankan pada pemahaman tentang lingkungan
dan alam sekitar beserta kekayaan yang dimilikinya yang perlu dilestarikan dan dijaga dalam
perspektif biologi, fisika, dan kimia
Berbagai kegiatan
telah dilakukan
guna mendukung keberhasilan implementasi kurikulum
2013. Mulai dari pembangunan sarana dan prasarana sampai pada perubahan pola pengembangan proses
belajar mengajar di dalam kelas. Ini sejalan dengan standar proses pendidikan PP No. 32 Tahun 2013
pasal 19 ayat 1 yang menyatakan bahwa proses pembelajaran
pada satuan
pendidikan diselenggarakan
secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik
untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan
kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Kimia sebagai bagian dari ilmu pengetahuan alam memegang peran yang sangat penting dalam
meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk menunjang kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dengan demikian proses pembelajaran kimia di dalam kelas harus berkualitas dan
diselenggarakan
secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan dan mampu meningkatkan bakat dan
minat siswa. Oleh karena itu peran aktif semua pihak yang terlibat di dalam pendidikan sangat dibutuhkan
khususnya guru, agar siswa berminat untuk belajar Kimia. Salah satu indikator keberhasilan di bidang
pengajaran adalah perolehan nilai yang baik dari hasil belajar dan minat siswa dalam mempelajari Kimia.
Sejalan dengan itu maka dalam proses belajar mengajar guru harus memiliki strategi agar siswa
termotivasi dan memiliki minat untuk belajar kimia. Proses belajar mengajar perlu diupayakan secara
maksimal, agar lebih menarik dan berkesan dalam benak siswa, sehingga minat belajar siswa meningkat,
siswa merasa senang dan materi yang dipelajari dikuasai oleh siswa.
Suatu model
pembelajaran yang
dapat meningkatkan minat siswa salah satunya adalah model
pembelajaran kooperatif.
Unsur-unsur dasar
pembelajaran kooperatif meliputi beberapa aspek yaitu sehidup sepenanggungan bersama, bertanggung
jawab atas segala sesuatunya di dalam kelompok seperti milik sendiri, semua anggota dalam kelompok
memiliki tujuan yang sama, membagi tugas dan tanggung jawab yang sama dalam kelompok,
evaluasihadiahpenghargaan untuk kelompok, berbagi kepemimpinan, mempertanggungjawabkan secara
individual di dalam kelompok kooperatif.
Secara umum kesulitan belajar secara individu dirasakan oleh siswa, untuk itu diperlukan tutor
sebaya sehingga terjadi interaksi dengan orang lain dalam membangun pemahaman pengetahuannya. Sifat
kompetisi secara individu ditiadakan tetapi kompetisi kelompok tetap dilakukan untuk memacu mencapai
keberhasilan bersama. Pembelajaran kooperatif dapat membantu siswa dalam pembelajaran akademis.
Teknik-teknik pembelajaran kooperatif lebih unggul dalam meningkatkan hasil dibandingkan dengan
pengalaman individual atau kompetitif. Siswa lebih banyak belajar dari satu teman yang lain diantara
sesama siswa daripada belajar dari guru. Dalam pembelajaran kooperatif motivasi terletak pada
bagaimana bentuk hadiah atau struktur pencapaian tujuan saat siswa melaksanakan kegiatan
Model pembelajaran kooperatif tipe TGT merupakan
suatu model
pembelajaran yang
memadukan antara belajar dan turnamen di dalamnya. Model pembelajaran kooperatif tipe TGT membuat
siswa menjadi lebih senang dalam mengikuti pelajaran karena ada kegiatan permainan berupa tournamen.
Pada model pembelajaran kooperatif tipe TGT siswa lebih bersemangat dalam mengikuti pelajaran, karena
dalam pembelajaran guru menjanjikan sebuah penghargaan pada siswa atau kelompok terbaik
sehingga dapat menggugah minat siswa untuk belajar.
Menurut Slameto 2010:180, minat adalah rasa suka dan ketertarikan pada suatu aktifitas tanpa ada
yang menyuruh. Sedangkan menurut Gie 2002 minat adalah rasa ketertarikan pada suatu kegiatan karena
sadar akan pentingnya kegiatan itu sehingga ia akan terlibat
penuh didalamnya.
Dalam upaya
membangkitkan minat siswa dalam belajar kimia, seorang guru dituntut untuk pandai mengadakan
variasi dalam mengajar. Variasi dalam kegiatan pembelajaran dapat dilakukan menggunakan beberapa
cara yaitu variasi dalam penggunaan metode pembelajaran, variasi dalam penggunaan media dan
sumber belajar, variasi dalam pemberian contoh dan ilustrasi, serta variasi dalam interaksi dan kegiatan
peserta didik.
Sementara itu Djaali 2011 mengatakan bahwa minat pada dasarnya adalah penerimaan akan suatu
hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Untuk itu semakin kuat atau dekat hubungan
tersebut maka semakin besar minatnya, jika seorang siswa memiliki minat untuk berperan aktif di
lingkungan sekolah maka minat akan timbul perasaan aktif dalam diri siswa untuk mengikuti kegiatan-
kegiatan kelas atau sekolah. Hal ini sejalan dengan pendapat Utomo 1991 mengatakan, jika seseorang
ingin berhasil dalam belajar, maka ia harus aktif belajar, dan untuk keaktifannya, minat harus
ditimbulkan semaksimal mungkin.
Menurut Usman 2005, perubahan tingkah laku meliputi 3 tiga aspek, yaitu aspek pengetahuan
Kognitif, yaitu dari tidak tahu menjadi mengetahui dan dari tidak mengerti menjadi mengerti, aspek
keterampilan Psikomotor, yaitu dari tidak biasa menjadi biasa dan dari tidak terampil menjadi
terampil; aspek sikap Afektif, yaitu dari ragu-ragu
ISBN 978-602-72071-1-0
menjadi yakin, dari tidak sopan menjadi sopan, dari kurang ajar menjadi terpelajar.
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam belajar, dapat dilakukan melalui tes hasil
belajar atau tugas-tugas yang lain. Hasil belajar adalah pola-pola perubahan tingkah
laku seseorang yang meliputi aspek kognitif, afektif danatau psikomotor setelah menempuh kegiatan
belajar tertentu yang tingkat kualitas perubahannya sangat ditentukan oleh faktor- faktor yang ada dalam
diri
siswa dan
lingkungan sosial
yang mempengaruhinya.
Dengan demikian diadakan suatu penelitian mengenai pengaruh model pembelajaran kooperatif
tipe TGT dalam meningkatkan minat dan hasil belajar siswa. Tujuan dari penelitian ini adalah
meningkatnya minat belajar kimia pada siswa SMA, ketuntasan belajar siswa serta kompetensi guru dalam
pengelolaan Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT. METODE PENELITIAN
Pada tahap persiapan penelitian, yang perlu dipersiapkan sebelum melakukan penelitian ini
meliputi pembuatan soal-soal pre tes dan post tes, kuosioner untuk mengumpulkan data minat siswa
dalam mempelajari reaksi redoks, lembar kerja siswa yang berkaitan dengan materi, kartu soal dan kartu
point, setelah itu membagi siswa dalam kelompok- kelompok dengan tiap kelompok terdiri dari 5 orang.
Kriteria keberhasilan penelitian ini adalah adanya peningkatan minat siswa dalam pembelajaran Kimia
khususnya materi reaksi redoks. Indikator siswa yang memiliki minat tinggi adalah mengikuti kegiatan
pembelajaran dengan penuh perhatian dan keseriusan yang dapat dilihat dari lembar observasi, hal ini juga
dipakai sebagai acuan penilaian segi afektif, untuk proses pembelajaran di dalam kelas, apakah mereka
senangpuas, inisiatif bertanya dan mengembangkan materi pembelajaran, dapat dilihat dari hasil
pengamatan dan hasil penilaian tugas-tugas, meningkatnya nilai tes akhir siswa dibanding nilai pre
tes.
Langkah dalam penelitian ini menggunakan dua siklus. Siklus 1 terdiri dari beberapa tahapan meliputi
tahapan perencanaan, tahap pelaksanaan dan observasi, serta tahap refleksi. Kemudian dilanjutkan
dengan siklus 2 yang meliputi tahap perencanaan, tahap pelaksanaan dan observasi, tahap refleksi,
analisis dan evaluasi. HASIL DAN PEMBAHASAN
Implementasi Perangkat pembelajaran di MAN Bangkalan dengan subyek penelitian sejumlah
30 siswa kelas X MIA-1 MAN Bangkalan. Peneliti bertindak sebagai guru selama penelitian tersebut.
Analisis terhadap hasil penelitian menggunakan statistik deskriptif yang umumnya berupa deskripsi
skor rata-rata dan prosentase.
Tabel 1. Minat siswa dalam belajar kimia dengan pembelajaran kooperatif tipe TGT.
N o.
Uraian Kegiatan
Belajar Mengajar
Respon Siswa Skor
Rata- Rata
Kategori Siklu
s 1 Siklu
s 2 I
Pendapat senang
tidaknya diajar
dengan model
pembelajar ankooperati
f tipe TGT 60
62 61
Senang berminat
II Pendapat
terhadap komponen
kegiatan belajar
mengajar barutidak
baru 60
60 60
Kompo- nen
KBM baru
III Respon
minat dan keinginan
diajar kembali
dengan model
pembelajar an
kooperatif tipe TGT
35 35
35 Berminat
Dari data yang ditunjukkan pada Tabel 1, skor rata-rata untuk masing-masing kategori
pengamatan terhadap komponen kegiatan belajar mengajar adalah senangberminat. Siswa secara
umum sangat respon mengikuti pembelajaran, terlebih lagi pada saat pelaksanaan turnamen. Siswa sangat
antusias karena masing-masing siswa berkompetisi untuk mengangkat nilai poin untuk kelompoknya.
Suasana kelas sangat menyenangkan pada saat pemberian penghargaan terhadap masing-masing
kelompok turnamen.
Tabel 2. Penilaian pengelolaan pembelajaran melalui kooperatif tipe TGT
N o.
Aspek Yang Diamati
Skor Tiap siklus
Skor Rata-
Rata Katego
ri Siklu
s 1 Siklu
s 2 1
2 3
4
5 Pendahuluan
Kegiatan inti Penutup
Pengelolaan waktu
Pengamatan suasana
kelas 3
3 3
3
3 3
3 3
3
3 3
3 3
3
3 Baik
Baik Baik
Baik
Baik
ISBN 978-602-72071-1-0
Dari data di atas menunjukkan skor rata-rata untuk masing-masing kategori pengamatan KBM
secara umum kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dengan pembelajaran kooperatif tipe
TGT adalah baik. Siswa lebih antusias mengikuti pembelajaran karena ada kegiatan turnamen.
Sedangkan untuk penilaian keberhasil belajar siswa diperoleh dari setiap individu dengan kemampuan
masing-masing
untuk dapat
melihat tingkat
kebehasilan proses pembelajaran melalui model pembelajaran kooperatif tipe TGT. Tes hasil belajar
yang diberikan kepada siswa berupa ulangan harian dengan jumlah soal sebanyak 10 soal berupa uraian
essay. pada siklus 1. Pada siklus 2 siswa menyelesaikan 10 soal uraian. Hasil evaluasi ini
bersifat sebagai data yang kemudian diolah melalui analisis hasil ulangan disetiap siklus dan kemudian
diperoleh prosentasi ketuntasan belajar berdasar proporsi menjawab benar setiap individu minimal
65 KKM = 65.
Tabel 3. Prosentase ketuntasan siswa dalam KBM melalui pembelajaran kooperatif tipe TGT
No. RancanganSkenari o Pembelajaran
Keadaan Siswa Dalam Ketuntasan Belajar
Jumlah siswa
yang mengikut
i Jumla
h siswa
yang tuntas
Jumla h
siswa yang
tidak tuntas
Prosentase ketuntasan
1 Siklus 1
30 14
16 47
2 Siklus 2
30 20
10 67
Dari data di atas nampak bahwa terjadi peningkatan
ketuntasan belajar
pada setiap
pelaksanaan pembelajaran siswa selama dua kali kegiatan. Hal ini dapat diartikan juga bahwa siswa
mulai semakin dapat menyesuaikan dengan model pembelajaran yang baru.
PENUTUP Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data penelitian perangkat pembelajaran kimia dengan materi reaksi
redoks di MAN Bangkalan dengan dua siklus dapat disimpulkan antara lain:
1. Respon siswa sangat baik dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar dari kedua siklus
dengan model pembelajaran kooperatif tipe TGT.
2. Kemampuan guru
dalam mengelola
pembelajaran kooperatif tipe TGT adalah baik, semua siswa terlihat aktif sehingga pembelajaran
lebih berpusat pada siswa. 3. Ketuntasan belajar siswa meningkat terus dari
siklus pertama 47 menjadi 67 pada siklus kedua.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti dapat memberikan saran-saran sebagai berikut :
1. Perlu adanya penelitian dengan strategimodel pembelajaran yang lain, sehingga bisa memilih
strategi mana yang lebih baik untuk dilaksanakan di sekolah, ditinjau dari segi minat dan ketuntasan
belajar.
2. Perlu adanya penelitian dengan strategimodel pembelajaran yang sama tetapi untuk mengukur
komponen yang berbeda misalnya motivasi dan kemampuan berpikir kritis siswa.
Penelitian ini dapat ditindaklanjuti sampai siklus
berikutnya sehingga diperoleh hasil pengamatan yang lebih valid.
DAFTAR PUSTAKA Mulyasa, E 2005. Menjadi Guru Profesional, BAB
II. Bandung : Rosda Karya
Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Gie, The Liang. 2002. Cara Belajar yang Efisien.
Yogyakarta: Pusat Kemajuan Studi. Johnson, D. W., Johnson R.T. 2002. Meaningful
Asessment . Boston : Alin dan Bacon.u
Djaali, H. 2011. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara
Usman, Moh. Uzer. 2005. Menjadi Guru Profesional
. Bandung : Remaja Rosdakarya.
ISBN 978-602-72071-1-0
VALIDASI MODEL PEMBELAJARAN UNTUK MENUMBUHKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS
DAN PEMAHAMAN KONSEP MAHASISWA
Afadil
1
Suyono
2
Sri Poedjiastoeti
3
1
Universitas Tadulako
2,3
Universitas Negeri Surabaya Email: sukarmanafadilyahoo.co.id
ABSTRAK
Desain penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan Research and Development dengan tujuan menghasilkan suatu model pembelajaran problem solving berbasis filosofi sains untuk menumbuhkan
kemampuan berpikir kritis dan pemahaman konsep mahasiswa yang valid, praktis, dan efektif. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka penelitian ini dilakukan dalam 3tiga tahap, yaitu; 1 studi pendahuluan
define, 2 pengembangan model design, dan 3 pengujianimplementasi produk develop. Studi pendahuluan mencakup kajian teoritik dan empiris. Pada tahapan pengembangan model dilakukan
penyusunan draf model pembelajaran. Kevalidan model pembelajaran dilakukan melalui FGD Focus Group Discussion
bersama dengan tim ahli pendidikan. Hasil penilaian ahli melalui kegiatan FGD bahwa model yang dikembangkan memiliki rata-rata validitas isi setiap aspek penilaian sebesar 11,66 dan validasi konstruk
sebesar 4,50 dan kriteria reliabilitas tinggi dengan nilai agreements 0,94. Berdasarkan hasil analisis validitas yang didukung analisis reliabilitas maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran yang dikembangkan
bersifat valid dan dapat dipercaya untuk memperoleh data yang akurat dalam kegiatan pembelajaran. Kata kunci
: Validitas Model Pembelajaran, Berpikir Kritis, Pemahaman Konsep
ABSTRACT
The study design is a research and development with the aim of producing a model of problem solving-based learning philosophy of science to foster critical thinking skills and understanding of concepts students are
valid, practical and effective. To achieve these objectives, the research was conducted in three 3 phases, namely; 1 The preliminary study define, 2 development model design, and 3 testingimplementation
of the product develop. Preliminary study includes theoretical and empirical studies. At the stage of the drafting of model development done learning model. The validity of the model of learning is done through the
FGD Focus Group Discussion along with a team of education experts. Results of expert assessment through activities that models developed FGD has an average validity of the contents of each aspect rating of 11.66
and construct validation of 4.50 and high reliability criteria agreements with a value of 0.94. Based on the analysis of validity and reliability, it can be concluded that the learning model developed is valid and can be
trusted to obtain accurate data in the learning activities.
Keywords:
Validity of Learning Model, Critical Thinking, Concept Understanding.
ISBN 978-602-72071-1-0
PENDAHULUAN
Ilmu kimia diperoleh dan dikembangkan umumnya berdasarkan eksperimen yang melibatkan
keterampilan dan penalaran dalam mencari jawaban atas pertanyaan apa, bagaimana, dan untuk apa
gejala-gejala alam khususnya yang berkaitan dengan komposisi, struktur, sifat, transformasi, dinamika, dan
energetika zat. Bila dipandang dari sisi filsafat ilmu, konsep-konsep dalam sains termasuk kimia
mengacu pada tiga pertanyaan, yaitu berkaitan dengan aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Hal ini menunjukkan bahwa untuk memahami ilmu kimia diperlukan seperangkat keterampilan berpikir
tingkat
tinggi Chandrasegaran,
Treagust Mocerino, 2007.
Kemampuan berpikir
kritis merupakan
keterampilan berpikir tingkat tinggi yang diperlukan mahasiswa dalam membuat keputusan yang dapat
dipercaya dan bertanggung jawab. Selain itu keterampilan berpikir kritis juga merupakan inkuiri
kritis sehingga mahasiswa yang berpikir kritis akan melakukan aktivitas berpikir dalam menyelidiki
masalah, mengajukan pertanyaan, memberikan jawaban baru, menemukan informasi, dan menarik
kesimpulan Schafersman, 1991. Oleh karena itu mahasiswa perlu meningkatkan kemampuan berpikir
kritis, karena banyak mahasiswa yang gagal menggunakan
penalaran yang
baik dalam
memecahkan suatu masalah disebabkan karena kemampuan berpikirnya rendah Halpern, 1999.
Menurut Achmad 2012, yang perlu diperhatikan bahwa proses belajar mengajar kimia
antara pengajar dan mahasiswa terlibat dalam sederetan kegiatan intelektual yang rumit melalui
pengamatan fenomena,
mempelajari fakta,
memahami model dan teori, mengembangkan keterampilan penalaran, dan menguji epistemologi
kimia. Menurut Ibrahim 2008 bahwa pembelajaran IPA termasuk didalamnya kimia selain terdiri dari
konsep, hukum, prinsip, teori, dan fakta, informasi serta prosedur juga mengandung peristiwa, gejala
atau fenomena yang berpotensi dapat dijadikan model di dalam pembelajaran untuk mencapai hasil
pembelajaran sikap positif dan memahami makna kehidupan, asal direncanakan dengan cara yang
benar. Oleh karena itu pengembangan model pembelajaran
ini mengharapkan
pemahaman mahasiswa terhadap suatu konsep hendaknya
berkaitan dengan aspek filosofi sains yaitu berusaha menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan aspek
ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Masalah mendasar dalam pembelajaran kimia yang menyebabkan tingkat pemahaman konsep yang
rendah pada siswa saat ini adalah 1 diperolehnya pemahaman kimia oleh siswa yang tidak utuh, dan
2 tidak optimalnya perkembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi higher order of thinking skills
= HOTS. Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk melaksanakan pembelajaran kimia yang sesuai
dengan tuntutan Kurikulum 2013 diperlukan: 1 pemahaman materi kimia secara mendasar oleh guru
2 kemampuan guru dalam memanfaatkan materi pelajaran untuk meningkatkan karakter dan HOTS
siswa, dan 3 kemampuan guru untuk memanfaatkan secara optimal TIK dalam pembelajaran. Effendy,
2014.
Esensi mendasar model pembelajaran ini adalah berupa penyuguhan permasalahan kimia yang
otentik dan bermakna kepada mahasiswa untuk diselesaikan melalui penyelidikan atau investigasi
kelompok secara kooperatif berdasarkan kajian aspek filosofi sains untuk menumbuhkan kemampuan
berpikir kritis dan pemahaman konsep mahasiswa. Kelompok dijadikan sebagai sarana sosial dan
rencana yang diputuskan oleh kelompok sebagai sarana pendorong keterlibatan maksimal mahasiswa.
Model pembelajaran ini diimplementasikan dalam lingkungan pembelajaran yang mendukung dialog
interpersonal dan memperhatikan dimensi sosial dalam proses pembelajaran sehingga tidak ditemukan
adanya mahasiswa yang berprestasi tinggi secara akademik tidak menghargai rekannya yang memiliki
prestasi lebih rendah.
Karakteristik model pembelajaran ini dirumuskan berdasarkan kajian teori dan analisis
pada tahap pendahuluan dan pengembangan. Model pembelajaran berbasis filosofi sains disusun dengan
mengacu pada ciri-ciri suatu model pembelajaran menurut Arends 1997 yang memberikan gambaran
setidak-tidaknya ada 4 empat ciri khusus dari suatu model pembelajaran yang digunakan untuk mencapai
tujuan pembelajaran, yaitu; 1 rasional teoritik logis yang disusun oleh perancangnya, 2 landasan
pemikiran tentang tujuan pembelajaran yang hendak dicapai dan bagaimana pembelajaran untuk mencapai
tujuan tersebut, 3 aktivitas gurudosen dan siswamahasiswa yang diperlukan agar model
tersebut terlaksana dengan efektif, dan 4 lingkungan belajar yang diperlukan untuk mencapai tujuan
pembelajaran.
Kualitas rancangan model yang dihasilkan harus memenuhi 3 tiga kriteria Nieveen, 2007.
Pertama adalah kevalidan, yaitu mencakup relevansi validitas isi dan konsistensi validitas konstruk.
Kedua adalah kepraktisan, yaitu desain model pembelajaran yang dikembangkan dapat diterapkan
secara nyata di lapangan. Ketiga adalah keefektifan, yaitu imlementasi model pembelajaran di lapangan
memberikan hasil sesuai tujuan. Data kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan diperoleh melalui tahap
pengembangan model pembelajaran. METODE PENELITIAN
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain penelitian dan pengembangan
Research and Development yang mengacu pada langkah-langkah Borg dan Gall 1983 dan
dimodifikasi oleh Sukmadinata 2012 yang terdiri dari tiga tahap, yaitu 1 studi pendahuluan
define, 2 pengembangan model design, dan
ISBN 978-602-72071-1-0
3 pengujian implementasi produk develop. Berdasarkan data yang diperoleh dari studi lapangan
dan mengacu pada dasar teori dari hasil studi kepustakaan, selanjutnya disusun draf produk awal
model pembelajaran yang akan dikembangkan. Draf model pembelajaran yang dihasilkan pada tahap studi
pendahuluan
selanjutnya akan
divalidasi menggunakan lembar validasi.
Lembar validasi model pembelajaran PBS2F disusun dengan maksud untuk memperoleh data
kevalidan model. Data kevalidan model yang dibutuhkan yaitu hasil penilaian terhadap draf model
yang sudah disusun, kevalidan model diperoleh dari sejumlah ahli pendidikan. Teknik yang ditempuh
untuk memperoleh data kevalidan model itu adalah dengan memberikan lembar penilaian model beserta
naskah buku model disertai video pembelajaran kepada tim ahli melalui FGD Focus Group
Discussion
. Pada lembar penilaian disediakan pula item penilaian umum dan ruang sarankomentar bagi
penilai. Lembar validasi model pembelajaran divalidasi terlebih dahulu oleh tim ahli yang lain
sebelum digunakan dalam kegiatan FGD.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses analisis data kevalidan model pembelajaran
PBS2F adalah sebagai berikut: Melakukan rekapitulasi hasil penilaian ahli ke
dalam tabel yang meliputi aspek yang dinilai dan hasil penilaian validator
Menentukan rata-rata hasil penilaian ahli untuk setiap aspek
Menentukan kriteria validitas setiap aspek dengan mencocokkan rata-rata aspek dengan
kriteria validitas yang ditetapkan Kriteria validitas setiap aspek ditetapkan
berdasarkan kriteria penilaian yang dikemukakan oleh Rochmad 2009, yaitu:
4,5 ≤ VaM ≤ 5 sangat valid
3,5 ≤ VaM 4,5 valid
2,5 ≤ VaM 3,5 cukup valid
1,5 ≤ VaM 2,5 kurang valid
1 ≤ VaM 1,5 tidak valid
Keterangan: VaM adalah rata-rata hasil penilaian ahli terhadap model pembelajaran yang dikembangkan.
Kriteria yang digunakan untuk memutuskan bahwa model pembelajaran PBS2F memiliki derajat
validitas yang baik adalah apabila VaM berada dalam
kriteria minimal valid atau VaM ≥ 3,5. HASIL DAN PEMBAHASAN
Validasi model
pembelajaran PBS2F
dilakukan oleh tim ahli melalui kegiatan Focus Group Discussion FGD
terhadap isi dan konstruk draf model pembelajaran dengan menggunakan
lembar penilaian validasi isi dan konstruk. Penilaian validasi isi dan konstruk didasarkan pada buku model
yang didukung oleh video pembelajaran. Buku model berisi gambaran lengkap tentang model pembelajaran
PBS2F,
sedangkan video
pembelajaran menggambarkan
pelaksanaan sintaks
model pembelajaran yang dijabarkan dalam buku model.
Penilaian ahli
dilakukan dengan
menggunakan lembar penilaian yang diisi oleh validator dengan memberi skor yang dilengkapi
dengan pemberian komentarsaran, selanjutnya skor yang diberikan oleh validator digunakan untuk
menentukan kriteria validitas model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian. Namun sebelum
lembar validasi isi dan lembar validasi konstruk model pembelajaran PBS2F digunakan, terlebih
dahulu dilakukan validasi awal oleh 2 dua ahli lainnya.
Setelah dilakukan perbaikan berdasarkan komentarsaran validator awal, maka lembar validasi
isi dan konstruk selanjutnya divalidasi oleh 3 tiga ahli melalui kegiatan FGD.
Tujuan penggunaan lembar validasi isi adalah untuk mendapatkan
penilaian Layak Digunakan LD, Layak Digunakan dengan Perbaikan LDP, atau Tidak Layak
Digunakan TLD. Hal ini merujuk defenisi validasi isi menurut Nieveen 2007 yaitu suatu model
pembelajaran dikatakan memiliki validitas isi yang baik, apabila komponen-komponen model dilandasi
rasional teoritis yang kuat state of the art knowledge
. Data validitas isi dan konstruk model
pembelajaran PBS2F dianalisis melalui perhitungan nilai rata-rata setiap aspek yang diberikan oleh
validator. Kriteria yang digunakan untuk menentukan bahwa model pembelajaran memiliki derajat validitas
yang baik jika kriterianya minimal valid dengan nilai
VaM ≥ 3,5 Rochmad, 2009. Adapun hasil penilaian setiap aspek validasi isi dan kriteria validitasnya
terdapat pada Tabel 1 Tabel 1 Hasil Penilaian Validator terhadap Validasi
Isi Model Pembelajaran PBS2F
No Aspek
Penilaian Rata-rata
Penilaian Validator
Kriteria Validitas
I Tujuan
4,00 Valid
II Teori
Pendukung 18,33
Sangat Valid
III Sintaks
Pembelajaran 18,33
Sangat Valid
IV Lingkungan
Belajar 13,33
Sangat Valid
V Kesimpulan
Umum Validasi 4,33
Valid Selain validitas isi, juga diukur validitas
konstruk model pembelajaran PBS2F. Tujuan pengukuran
validasi konstruk
adalah untuk
mendapatkan penilaian Layak Digunakan LD, Layak Digunakan dengan Perbaikan LDP, atau
Tidak Layak Digunakan TLD. Hal ini merujuk dari defenisi validasi konstruk menurut Nieveen 2007
yaitu suatu model pembelajaran dikatakan memiliki validasi konstruk yang baik apabila terdapat
konsistensi di antara komponen-komponen model secara internal internally consistent dan tidak saling
ISBN 978-602-72071-1-0
kontradiktif. Penentuan dan perhitungan kriteria validitasnya menggunakan cara yang sama dengan
penentuan dan perhitungan kriteria validitas lembar validasi isi. Adapun hasil penilaian validator pada
setiap aspek validasi konstruk dan kriteria validitasnya terdapat pada Tabel 2
Tabel 2 Hasil Penilaian Validator terhadap Validasi
Konstruk Model Pembelajaran PBS2F
No Aspek Penilaian
Rata-rata Penilaian
Validator Kriteria
Validitas
1 Kesesuaian antara
tahapan model dengan tujuan
yang ingin dicapai tidak kontradiktif
5,00 Sangat
Valid 2
Keterkaitan teori- teori pendukung
dan karakteristik kimia saling
mendukung 4,33
Valid 3
Pemahaman prinsip dari teori-
teori pendukung dengan tujuan dan
karakteristik kimia tidak
kontradiktif 4,33
Valid
4 Keterkaitan setiap
tahapan pembelajaran
pada model pembelajaran
problem solving
berbasis filosofi sains secara
internal saling mendukung
4,67 Sangat
Valid
5 Aktivitas
mahasiswa dan dosen pada setiap
tahapan pembelajaran
pada model problem solving
berbasis filosofi sains saling terkait
4,33 Valid
6 Penggunaan
sumber belajar untuk pencapaian
tujuan saling mendukung
4,67 Sangat
Valid 7
Pola interaksi antara dosen dan
mahasiswa saling mendukung
4,33 Valid
8 Perilaku dosen
dalam memberikan
motivasi untuk 4,00
Valid
No Aspek Penilaian
Rata-rata Penilaian
Validator Kriteria
Validitas
membangkitkan minat belajar
mahasiswa tergambar dalam
tahapan pembelajaran
Penilaian validator terhadap validitas isi dan konstruk model pembelajaran PBS2F dalam Tabel 1
dan Tabel 2 menunjukkan bahwa penilaian ahli terhadap 4 empat aspek validasi isi model
pembelajaran PBS2F dihasilkan 3tiga aspek yang dinyatakan sangat valid dan 1 satu aspek dinyatakan
valid, dengan kesimpulan validitas isi bersifat valid. Sedangkan validasi konstruk terdapat 5 lima aspek
dinyatakan valid dan 3 satu aspek dinyatakan sangat valid.
Berdasarkan hasil
penilaian tersebut,
memberikan gambaran bahwa keempat karakteristik model sesuai yang dikemukakan oleh Arends 1997
yang dituangkan dalam model pembelajaran PBS2F bersifat valid. Hal ini menunjukkan bahwa desain
model pembelajaran PBS2F telah didasarkan pada pengetahuan ilmiah didukung oleh landasan teoritik
dan terdapat konsistensi internal di antara komponen- komponen desain model PBS2F, sehingga dapat
dikatakan bahwa model pembelajaran PBS2F bersifat valid ditinjau dari aspek isi dan konstruk.
Model pembelajaran yang dikembangkan terdiri dari 6 enam tahap. Tahapan model
pembelajaran di
awali dengan
identifikasi masalahkesulitan. Pada tahapan ini, mahasiswa
menuliskan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam menyelesaikan masalah. Tahap pertama dilakukan
oleh mahasiswa secara individu. Selanjutnya kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh setiap
mahasiswa akan dibahas bersama-sama dengan anggota kelompok pada tahap kedua yaitu
merencanakan penyelesaian masalah. Pada tahap kedua ini, mahasiswa secara berkelompok mendalami
kesulitan-kesulitan yang dihadapi melalui kajian konsep yang berkaitan dengan masalah yang ingin
diselesaikan. Kajian konsep dilakukan berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan aspek
filosofi sains, yakni pertanyaan yang berhubungan dengan pertanyaan aspek ontologi, epistemologi, dan
aksiologi. Hasil kajian konsep pada tahap kedua digunakan untuk menyelesaikan masalah pada tahap
implementasi rencana tahap ketiga. Pada tahap ketiga mahasiswa secara berkelompok menyelesaikan
masalah berdasarkan kajian filosofi sains pada tahap kedua. Hasil implementasi rencana, selanjutnya
dikomunikasikan tahap keempat dengan kelompok lain melalui diskusi kelompok untuk menyampaikan
jawaban atas masalah yang telah dibahas. Pengecekan kembali tahap kelima dilakukan untuk
mengoreksi jawaban yang diperoleh. Tahap kelima dilakukan terintegrasi mulai dari tahap dua, tiga dan
ISBN 978-602-72071-1-0
empat model pembelajaran ini. Selain itu, pengecekan
kembali juga
dilakukan untuk
memberikan keyakinan pada diri sendiri dan kelompok atas jawaban masalah yang diselesaikan.
Tahap keenam model pembelajaran PBS2F adalah melakukan evaluasi. Evaluasi diberikan kepada setiap
mahasiswa untuk mengukur kemampuan berpikir kritis berkaitan dengan topik yang dibahas. Evaluasi
juga dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman konsep mahasiswa terhadap topik yang dibahas.
Selain analisis validitas juga dilakukan analisis reliabilitas model pembelajaran PBS2F.
Analisis reliabilitas bertujuan untuk menentukan tingkat kepercayaan terhadap model pembelajaran
yang dikembangkan. Analisis reliabilitas model pembelajaran ditentukan dengan menggunakan rumus
percentage agreements
. Suatu modelinstrumen dikatakan reliabel dari penilai ahli apabila nilai
reliabiltasnya R ≥ 0,70 Abel, Springer Kamata, 2009
. Adapun
hasil analisis
dan kriteria
reliabilitasnya terdapat dalam Tabel 3 Tabel 3 Hasil Analisis Reliabilitas Model
Pembelajaran PBS2F Ditinjau dari Validitas Isi dan Konstruk
No Lembar
Penilaian Rata-rata
Penilaian Kriteria
Reliabilitas
1 Validasi Isi
0,94 Tinggi
2 Validasi
Konstruk 0,94
Tinggi Berdasarkan data Tabel 3 diperoleh nilai rata-
rata hasil perhitungan agreements terhadap validasi isi dan konstruk model pembelajaran PBS2F
memiliki kriteria tinggi, hasil ini menunjukkan bahwa para ahli menyatakan bahwa model
pembelajaran PBS2F dapat dipercaya untuk digunakan dalam kegiatan pembelajaran.
PENUTUP Simpulan
Berdasarkan hasil analisis validitas yang didukung oleh analisis reliabilitas terhadap model
pembelajaran PBS2F di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran PBS2F bersifat valid dan
dapat dipercaya untuk memperoleh data yang akurat dan dapat diterapkan dalam kegiatan pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Abel,N., Springer, D.W., Kamata,A. 2009. Developing and Validating Rapid Assesment
Instrument.
New York: Oxford University Press, Inc.
Achmad, H., Baradja, L. 2012. Demonstrasi Sains Kimia: Kimia Deskriptif Melalui Demo
Kimia . Nuansa. Bandung.
Arends, R.I. 1997. Classroom Instruction And Management
. USA: The Mc.Graw-Hill Companies,Inc.
Borg,W.R., and Gall, M.D. 1983. Education Research An Intruduction
. Fourth Edition . New York London: Longman, Inc.
Chandrasegaran, Treagust Mocerino, 2007. Enhancing Students’ ude of multiple levels of
representation to describe and explain chemical
reactions. School
Sciences Review
,88.p.325. Effendy, 2014. Pembelajaran Kimia Secara Mendasar
untuk Menjawab Tantangan dan Memenuhi Harapan Kurikulum 2013. Materi Seminar
Nasional Kimia
Universitas Negeri
Gorontalo. Halpern, D. F. 1999. Teaching
,
for critical thinking: Helping college students develop
the skills and dispositions of a critical thinker. New directions for teaching and
learning, 80, 69-74.
Ibrahim, M. 2008. Model Pembelajaran Inovatif IPA
Melalui Pemaknaan.
Surabaya: Departemen Pendidikan Nasional Balitrbang-
Puslitjaknov. Nieveen. 2007. An Introduction to Educational
Design Research . SLO. Netherlands institute
for curriculum developme. Rochmad.
2009. Pengembangan
Model Pembelajaran
Matematika Beracuan
Konstruktivisme yang
Melibatkan Penggunaan Pola Pikir Induktif-Deduktif
Model PMBK-ID untuk Siswa SMPMTs. Disertasi. Unesa, Surabaya.
Schafersman, S.D. 1991. Introduction to critical thinking
. Diambil tanggal 12 Maret 2013, dari
http:www. freeinquiry.com critical-
thinking. html. Sukmadinata, N.S. 2012. Metode Penelitian
Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
ISBN 978-602-72071-1-0
LOG KURIKULER SEBAGAI PEMBELAJARAN
ANDRAGOGI BERBASIS GAYA BELAJAR BEBAS MISKONSEPSI GUNA MEMPERSIAPKAN MAHASISWA
CALON GURU BERKARYA DALAM MASYARAKAT
Kurroti A’yun
1
Suyono
2
1,2
Universitas Negeri Surabaya E-mail: ayun_tlits99yahoo.com
ABSTRAK
Mahasiswa calon guru kimia harus bebas dari beban miskonsepsi agar siap mengabdi dan berkarya dalam masyarakat. Ditemukan bukti empiris melalui tes pendeteksi miskonsepsi bahwa mahasiswa calon guru
kimia Unesa semester VII hampir seluruhnya mengalami miskonseps. Sebagian besar mahasiswa yang mengalami miskonsepsi adalah mahasiswa dengan gaya belajar dimensi pemahaman sequential-global
seimbang dengan tingkat konflik kognitif yang beragam. Log kurikuler yang merupakan pengembangan dari pemetaan kurikulum ditelaah secara empiris sesuai dengan pembelajaran untuk orang dewasa
andragogi. Andragogi dijadikan teori yang mendasari kerja sama tim dalam mengisi suplemen dalam log kurikuler, karena mahasiswa memiliki motivasi belajar yang berbeda dengan anak usia sekolah,
dimana mahasiswa merupakan sosok manusia yang bersiap menuju usia dewasa, yang mencari ilmu tidak hanya ditujukan untuk pengetahuan semata, namun juga untuk diimplementasikan dalam karya dan
pengabdian di masyarakat. Kata Kunci:
log kurikuler, miskonsepsi, andragogi, gaya belajar sequential-global seimbang, tingkat konflik kognitif
ABSTRACT
Chemistry student teachers should be free from the burden of misconceptions to be ready to serve and work in the community. Empirical evidence through detector test misconception that chemistry student
teachers Unesa at VIIth semester is almost entirely undergo misconception. Most students who have misconceptions is the students who had learning style understanding dimensions in sequential-global by
varying levels of cognitive conflict. Log curricular which is the development of curriculum mapping empirically assessed according to adult learning andragogy. Andragogy used as the underlying theory
of teamwork in completing the supplement in the log-curricular, because students are motivated to learn different with school-age children, where the student is a human figure that getting into the adult age,
who seeks knowledge is not only intended for knowledge alone, but also to be implemented in the work and dedication in the community.
Keywords: log curricular, misconceptions, andragogi, global learning style sequential-balanced, level of
cognitive conflict
ISBN 978-602-72071-1-0
PENDAHULUAN
Para ahli konstruktivis menyatakan bahwa sebenarnya miskonsepsi merupakan hal yang wajar
dalam proses pembentukan pengetahuan oleh seseorang yang sedang belajar. Pengetahuan tidak diterima dan
sekali jadi, tetapi merupakan suatu proses terus-menerus yang semakin sempurna. Bahkan dalam perkembangan
mengkonstruksi pengetahuan peserta didik, dapat bermula dari konsep yang sangat kasar dan sederhana
serta tidak lengkap, dan pelan-pelan dalam proses pembelajaran menjadi semakin lengkap, tepat, dan benar,
namun guru harus memahami bahwa otak peserta didik tidak seperti buku kosong tabula rasa yang siap ditulisi
sesuai dengan kehendak pendidik Redish, 1994. Pendidik harus menyadari bahwa di dalam otak peserta
didik sudah ada semacam prakonsepsi, maka tugas guru adalah untuk menekankan konsep yang baru dan
berusaha untuk mengubah prakonsepsi peserta didik yang mungkin salah.
Miskonsepsi, terutama terkait konsep kimia terjadi di berbagai tingkatan pendidikan, mulai dari
tingkat sekolah sampai tingkat perguruan tinggi, bahkan juga dialami oleh guru yang identik telah menyelesaikan
studi di perguruan tinggi. Miskonsepsi konsep kimia di tingkat sekolah telah banyak dilaporkan oleh berbagai
peneliti, beberapa di antaranya adalah: miskonsepsi siswa pada konsep-konsep terkait dengan ikatan kimia, asam
dan basa, stoikiometri, kesetimbangan kimia Barke et al.
, 2012, miskonsepsi siswa pada materi asam dan basa Demircioglu et al., 2005, miskonsepsi siswa terjadi
pada materi kesetimbangan kimia Cheung 2008; Camacho and Good, 1989; Bergquist and Heikkinen,
1990.
Miskonsepsi pada mahasiswa dilaporkan oleh Zoller 1990 terkait konsep kimia organik. Miskonsepsi
mahasiswa calon guru kimia terkait konsep larutan dilaporkan oleh Akgun 2009, sedangkan terkait larutan,
ikatan kimia, kesetimbangan kimia, dan laju reaksi dilaporkan oleh Suyono 2015. Miskonsepsi kimia pada
siswa, mahasiswa, dan guru terkait konsep atom, larutan, dan asam basa dilaporkan oleh Taber 2009.
Miskonsepsi yang dialami guru sains terkait konsep sains dilaporkan oleh Giamellaro 2005. Kolomuc dan Tekin
2011 menemukan bukti bahwa guru memiliki miskonsepsi pada konsep tentang laju reaksi kimia.
Lemma 2013 telah menemukan adanya korelasi secara signifikan antara intensitas miskonsepsi kimia pada siswa
dan pada gurunya dengan nilai indeks diskriminasi 90. Artinya miskonsepsi yang terjadi pada siswa 90
disebabkan oleh faktor miskonsepsi yang terjadi pada guru, sedangkan 10 nya adalah akibat faktor lain.
Miskonsepsi disebabkan karena faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal terjadinya
miskonsepsi menurut Suparno 2005 dan Thomson, 2006. di antaranya adalah: literatur atau buku teks,
konteks pembelajaran, pendidik guru atau dosen, metode pembelajaran. Aydin 2012 menambahkan 4
penyebab eksternal timbulnya miskonsepsi pada diri peserta didik, yaitu: 1 adanya ketidak-konsistenan
patokan ilmiah yang dipakai, 2 adanya ketidak-samaan pemakaian bahasa sehari-hari dengan bahasa ilmiah
terakait konsep yang dipelajari, 3 kegagalan penyiapan lingkungan mengajar yang sesuai dengan materi dan
konsep yang dipelajari, 4 penyajian konsep-konsep dalam pembelajaran tidak diusahakan untuk membangun
hubungan antara konsep yang dipelajari dengan pengetahuan yang dipahami secara umum dan tidak
mengaitkan konsep yang diajarkan dengan fenomena sehari-hari.
Faktor internal penyebab miskonsepsi bersifat unik dan khusus bagi tiap-tiap peserta didik. Menurut ahli
konstruktivis George Kelly yang mengembangkan teori personal construct theory,
antara individu satu dengan yang lain memiliki susunan yang unik dalam membangun
diri Pope dan Watts dalam Taber, 2001, sedangkan penyebab eksternal biasanya dari materi, guru, bahan
ajar, buku siswa, dan metode pembelajaran yang digunakan. Kemp et al., 1994 menjelaskan bahwa
karakteristik peserta didik terkait gaya belajar dan kondisitingkat
konflik mempengaruhi
proses pembelajaran.
Bukti-bukti empiris dan teoritits di atas menunjukkan
bahwa miskonsepsi
membutuhkan penangan dari pihak guru sebagai faktor eksternal
terjadinya miskonsepsi pada siswa. Penelitian ini diutamakan untuk perbaikan beban miskonsepsi pada
guru melalui preparasi calon guru kimia yang bebas dari beban miskonsepsi pada konsep terkait larutan kimia.
Log kurikuler sebagai modifikasi dari pemetaan kurikulum digunakan sebagai media untuk perbaikan
miskonsepsi secara individu bagi mahasiswa yang memiliki gaya belajar sequential-global seimbang.
Alasan digunakannya log kurikuler dalam penelitian ini adalah log kurikuler melibatkan partisipati aktif
individual mahasiswa. Partisipasi aktif dalam suatu pembelajaran terbukti efektif membentuk konsepsi
peserta didik Giamellaro, 2005 dan Dale, 1969
Penelitian ini menjadikan mahasiswa calon guru kimia sebagai obyek penelitian, maka dari itu program
pembelajaran terhadap perbaikan beban miskonsepsi akan disesuaikan dengan sifat pembelajaran bagi calon
guru, yang dalam hal ini haruslah bukan pedagogi pembelajaran untuk anak-anak lagi yang diajarkan,
akan tetapi lebih condong pada andragogi pembelajaran untuk orang dewasa Pew, 2007; Knowles, 1979.
METODE PENELITIAN Identifikasi Beban Miskonsepsi dan Gaya Belajar
Mahasiswa
Miskonsepsi dapat
dideteksi atau
didiagnosis dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan three-tier diagnostic test, yang
pertama kali dikembangkan oleh Eryilmaz dan Surmeli pada tahun 2002. Three-tier diagnostic
test
dikembangkan dari two-tier diagnostic test yang masih kurang meyakinkan untuk dapat
membedakan antara miskonsepsi dan tidak tahu konsep Hasan et al. di dalam Pesman dan
Erylmas, 2010. Metode three-tier diagnostic test
ISBN 978-602-72071-1-0
mahasiswa tidak saja mengandalkan keyakinannya, namun untuk menguatkan keyakinannya dalam
menjawab soal diperlukan alasan alternatif yang dimilikinya. Alasan-alasan tersebut terdiri dari
jawaban benar dan distraktor, yang terkadang peneliti juga menyediakan tempat khusus jika ada
alasan alternatif dari siswa sendiri. Jadi, two tier diagnostic test
dikembangkan menjadi tiga tingkat dengan menambahkan tingkat keyakinan pada
tingkat ketiga berupa confidence rating CR yang dapat mengukur tingkat kepercayaan keyakinan
siswa terhadap jawabannya.
Tes pendeteksi miskonsepsi digunakan dalam penelitian ini digunakan untuk memetakan bagaimana
riwayat tacit knowledgenya yang mungkin ada yang miskonsepsi dan mungkin ada yang sudah benar
konsepnya, bahkan mungkin ada yang tidak tahu konsep.
Berikut salah satu contoh tes pendeteksi miskonsepsi yang digunakan dalam rancangan penelitian
ini: Tabel 1. Tes Pendeteksi Miskonsepsi Menggunakan
Three-tier Diagnostic Test
N o
. Indi
kato r
Jeni s
Kon sep
Butir Soal Kun
ci Konstruksi
J w
b n
a l
s n
1 2 3 4 5
2 3
. Me
mili h
nonc onto
h Non
elekt rolit
Manakah dari senyawa di
bawah ini yang bukan
merupakan non
elektrolit? a.
NaOH b.
NH
2 2
CO c.
C
2
H
5
OH d.
BaOH
2
Pilihlah salah
satu alasan yang
sesuai dengan
jawaban Anda
1. Soda 2. Urea
3. Sabun 4. Alkohol
Apakah Anda yakin
dengan jawaban
Anda? a.
Yakin b.
Tidak yakin
Diperoleh sebesar 79 mahasiswa
yang mengalami miskonsepsi dengan gaya belajar sequential-
global seimbang pada materi konsep larutan kimia. Gaya
belajar adalah cara khas seseorang dalam mendekati learning
belajar tentang hal yang khusus dan studying
belajar secara general Woolfolk, 2009. Pritchard 2009 mendiskripsikan bahwa gaya belajar
seperti berikut: 1 cara tertentu yang dilakukan seseorang saat belajar, 2 cara terbaik yang dimiliki
seseorang saat berpikir, memproses informasi, dan menjelaskan
informasi yang
diperoleh, 3
kecenderungan seseorang
untuk memperoleh
pengetahuan dan keterampilan. Setiap peserta didik di kelas memiliki gaya
belajar yang berbeda. Pendidik juga memiliki gaya mengajar yang berbeda. Hal tersebut ditunjukkan pada
Tabel 2. Tabel 2. Dimensi Gaya Belajar dan Mengajar
Sumber: Felder Silverman 1988
Implementasi Strategi Peer Learning Sebagai Andragogi Sesuai Gaya Belajar Sequential-Global
Seimbang Pada proses belajar, pendidik akan mentransfer
ilmunya kepada peserta didik. Pada proses ini jika gaya mengajar pendidik sesuai dengan gaya belajar peserta
didik, maka
peserta didik
akan cenderung
memperhatikannya, jika sebaliknya peserta didik cenderung mengabaikannya Felder, 1993.
Log kurikuler digunakan sebagai media untuk pembelajaran remedial pada mahasiswa yang identik
dengan pembelajaran andragogi sesuai dengan gaya belajar sequential-global seimbang.
Asumsi-asumsi dasar alasan dipakainya pembelajaran andragogi dari pada pedagogi untuk
mahasiswa diungkapkan Knowles 1993, sebagai berikut:
ISBN 978-602-72071-1-0
Tabel 1. Asumsi Dasar Pedagogi dan andragogi
Tentang Pedagogi
Andragogi
Konsep diri peserta didik Pribadi yang bergantung kepada
gurunya Semakin mengarahkan diri self-
directing Pengalaman peserta didik
Masih harus dibentuk daripada digunakan sebagai sumber belajar
Sumber yang kaya untuk belajar bagi diri sendiri dan orang lain
Kesiapan belajar peserta didik Seragam uniform sesuai tingkat usia
dan kurikulum Berkembang dari tugas hidup dan
masalah Oriensi dalam belajar
Orientasi bahan ajar subject-centered Orientasi tugas dan masalah task or problem centered
Motivasi bbelajar Dengan pujian, hadiah, dan hukuman Oleh dorongan dari dalam diri
sendiri internal incentives, curiosity
ISBN 978-602-72071-1-0
Giamellaro et al., 2011 memberikan contoh pemetaan
kurikulum dalam
penelitiannya untuk
mengatasi miskonsepsi guru kimia SMP, yang dapat dilihat
pada gambar
berikut:
ISBN 978-602-72071-1-0
Gambar 1. Contoh Pemetaan Kurikulum Untuk Mengatasai Miskonsepsi Pada Guru Kimia SMP
ISBN 978-602-72071-1-0
Konsepsi mahasiswa setelah pelaksanaan strategi pembelajaran
diketahui melalui
tes pendeteksi
miskonsepsi kembali. Desain Penelitian
Tipe desain penelitian ini menggunakan tipe A-B- A dengan 3 fase penelitian, yaitu A fase baseline dan B
fase intervensi. Fase baseline disini adalah uji soal pendeteksi miskonsepsi, sedangkan fase intervensi adalah
pemberian pembajaran remedial dengan strategi peer learning
. Adanya pengukuran kondisi baseline pengukuran
beban miskonsepsi mahasiswa yang kedua, pada tipe A- B-A ini mengandung arti bahwa peneliti telah melakukan
kontrol untuk fase intervensi, hal ini memungkinkan untuk ditarik kesimpulan adanya hubungan fungsional
antara variabel bebas yaitu pembelajaran remedial dengan variabel terikat yaitu beban miskonsepsi, gaya
belajar mahasiswa. Gambar 3.4 Desain A-B-A Gambaran Desain Single-
Subject Research Sumber: Fraenkel
and Wallen, 2009
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hakikat kimia identik dengan hakikat sains, yaitu pengetahuan
yang diperoleh
dan dikembangkan
berdasarkan eksperimen yang mencari jawaban atas pertanyaan apa, mengapa dan bagaimana gejala-gejala
alam; khususnya yang berkaitan dengan komposisi, struktur dan sifat, transformasi, dinamika dan energetika
tentang materi. Kimia sama halnya dengan sains, merupakan produk pengetahuan yang berupa fakta, teori,
prinsip, hukum temuan saintis dan proses pekerjaan ilmiah.
Konsep kimia terkait larutan dapat dipahami berdasar hakikat kimia. Larutan menurut sebagian besar
peserta didik identik dengan larutan cair dan memiliki atribut kritis dan atribut variabel yang dapat menjebak
konsepsi peserta didik, sehingga menyebabkan sulitnya memahami prinsip dan menemukan contoh maupun
noncontohnya.
Sifat konsep larutan dalam ilmu kimia sangat kompleks,
mulai dari
konkrit sampai
abstrak. Miskonsepsi sering terjadi ketika mahasiswa dihadapkan
pada konsep yang bersifat abstrak atau konsep yang berada pada level pemahaman submikrospik Berg,
2011. Terjadinya miskonsepsi siswa pada konsep-konsep larutan kimia telah banyak dilaporkan baik penelitian
dalam maupun luar negeri.
Kajian beberapa penelitian sebelumnya pada konsep larutan kimia terutama materi terkait kelarutan,
difusi, dan dissolution, selain itu peserta didik dilaporkan kebanyakan memahami komponen larutan terbatas pada
pelarut-zat terlarut: cair-cair dan cair-padat Akgun, 2009; Berg, 2011; dan Calik and Ayas, 2005. Studi
sebelumnya melaporkan bahwa peserta didik mengalami kesulitan dalam menginterpretasi reaksi-reaksi kimia yang
terjadi pada larutan kimia.
Seçken 2010 menyatakan bahwa sebagian miskonsepsi
peserta didik
terjadi pada
reaksi pembentukan larutan, terutama larutan garam. Hasil
penelitian Suyono, dkk. 2015 menyatakan bahwa hampir 100 mahasiswa calon guru kimia semester VII
mengalami miskonsepsi, dan 79 di antaranya memiliki gaya belajar sequential-global seimbang.
Hasil penelitian Suyono, dkk. 2015, tersebut diperoleh
melalui tes
pendeteksi miskonsepsi
menggunanakan software ionunesa Detector. Hasil tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa calon guru
kimia masih terbebani miskonsepsi pada konsep larutan kimia, sehingga dikhawatirkan mahasiswa tersebut ketika
lulus nanti masih membawa beban miskonsepsi dan sering membangun konsep baru yang miskonsepsi pada
saat berkarya dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam dunia kerja di sekolah.
Hasil tersebut menunjukkan perlunya perbaikan beban miskonsepsi yang masih dimiliki mahasiswa
melalui pembelajaran remedial berdasarkan karakteristik individual terutama pada karakteristik gaya belajar
sequential-global seimbang.
Tips belajar dari Felder dan Silverman, 1988 untuk peserta didik bergaya belajar sequential dan global
ialah memberi tugas-tugas secara berkesinambungan untuk persiapan menghadapi ujian terhadap metode dasar
yang telah dipelajari sequential, tapi tidak memberi latihan yang terlalu banyak, juga menyiapkan soal-soal
yang bersifat open-ended dan tugas-tugas untuk menganalisis dan mensintensis pengetahuan global.
Pemberian log kurikuler sesuai dengan gaya belajar sequential dan global, sebab di dalam log
kurikuler, mahasiswa diberi tugas untuk meringankan proses pembangunan pengetahuannya yang semula
miskonsepsi dengan memberi akses yang luas untuk mencari sumber informasi konsep yang di bahas, dalam
hal ini larutan kimia. mahasiswa juga diarahkan untuk menganalisis dan mensintnsis pengetahuannya berdasar
pembelajaran andragogi melalui praktek peer learning. PENUTUP
Simpulan
Program pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik individu mahasiswa dan karakteristik
mengajar dosen sebagai pendidik sangat diperlukan untuk mengatasi kondisi miskonsepsi yang terjadi pada
mahasiswa prodi pendidikan kimia melalui program pembelajaran yang tervalidasi.
Saran 1. Penelitian
ini akan
menghasilkan sebuah
rekomendasi bagi peneliti pada penelitian lanjutan untuk menyusun strategi pembelajaran yang tepat dan
tervalidasi dalam mereduksi miskonsepsi. 2. Strategi pembelajaran yang digunakan diharapkan
dapat mengatasi beban miskonsepsi yang masih dibawa pada para calon lulusan sarjana pendidikan
A B
A Kondis
i awal baseli
Kondisi akhir
baselin Treatment
pemb. remedial
ISBN 978-602-72071-1-0
kimia semester VII masa akhir perkuliahan, sehingga tidak lagi membawa beban miskonsepsi
terhadap konsep kimia sebelum meninggalkan kampus untuk berkarya di masyarakat utamanya
masyarakat sekolah.
DAFTAR PUSTAKA Abosalem, Y.M. 2013. The Relationship Between the
Learning Styles of Students in Grades Five and Six and Their Held Misconceptions About Dividing
Fractions Based on Kolb’s Model Unpublished master’s thesis. The British University.
Akgun, Abuzer. 2009. The Relation between Science Student Teachers’ Misconceptions about Solution,
Dissolution, Difusion and their Atitudes toward Science with their Achievement. Education and
Science . 2009, Vol. 34, No 154.
Aydin, Süleyman.
2012. Remediation
of Misconceptions About Geometric Optics Using
Conceptual Change Texts. Journal of Education Research and Behavioral Sciences
Vol. 11, pp. 001-012, October, 2012
Barke., Hans-Dietter., Harsch., Gunter., Schmid, Siegebert. 2012. Essential of Chemical
Education . Berlin: Springer-Verlag Heidelberg
Berg, Kevin De. 2011. A Study of First-Year Chemistry Students’
Understanding of
Solution Concentration at The Tertiary Level
. Chem. Educ. Res. Pract., 2012, 13, 8-16.
Bergquist, W., Heikkinen, H. 1990. Student ideas regarding chemical equilibrium: What written
test answers do not reveal. Journal of Chemical Education
67 . Camacho, M., Good, R. 1989. Problem Solving and
Chemical Equilibrium: Successful Versus Unsuccesful Performance. Journal of Research
in Science Teaching 26 1989, 251.
Çalık, Muammer., and Ayas, Alipaşa. 2005. A cross-age study on the understanding of chemical solutions
and their components. International Education Journal
, 2005, 61, 30-41. Cheung, Derek. 2008. Using Think-Aloud Protocols to
Investigate Secondary
School Chemistry
Teacher’s Misconceptions About Chemical Equilibrium
. Demircioglu, G., Ayas, A. and Demircioglu, H. 2005.
Conceptual Change Achieved Through a New Teaching Program on Acids and Bases. Journal
of Royal Society of Chemistry Vol. 6 No. 1.
Felder, Richard M., and Silverman, Linda. 1988. Learning and Teaching Styles in Engineering
Education . Engineering Education. p. 674-681.
Fraenkel, Jack R., and Wallen Norman E. 2009. How to Design and Evaluate Research in Education
. McGraw-Hill, an imprint of The McGraw-Hill
Companies, Inc., 1221 Avenue of the Americas, New York, NY10020.
Giamellaro, Michael., Lan, Ming-Chi., Ruiz-Primo, Maria Araceli., and Li, Min. 2011. Addressing
Elementary Teacher Misconceptions in Science and
Supporting Peer
Learning Through
Curriculum Mapping. Seattle: University of
Washington. Ibrahim, Muslimin. 2012. Konsep Miskonsepsi dan
Cara Mengatasinya . Surabaya: Unesa University
Press. Kemp, J.E., Gary R.M., dan Steven M.R. 1994. Designing
Effective Instruction . New York: Macmillan
College Publishing Company. Knowles, Malcom S. 1980. The Modern Prcatice of
Adult Education: From Pedagogy to Andragogy .
N.Y.: Cambridge, The Adult Education Company.
Kolomuc, Ali., Tekin, Seher. 2011. Chemistry Teachers’ Misconception Concerning Concept of
Chemical Reaction Rate. Eurasian J. Phys. Chem. Educ
, 32, 84-101. Limón, M. 2001.
On the cognitive conflict as an instructional strategy for conceptual change: A
critical appraisal. Learning and Instruction, 114
–5,357–380. Pew, Stephen. 2007. Andragogy and Pedagogy as
Foundational Theory for Student Motivation in Higher Education
. Texas: Park University. Pritchard, Alan. 2009. Ways of Learning: Learning
theories and learning styles in the classroom .
Second edition. Abingdon: Routledge. Redish, Edward F. 1994. Implications of Cognitive
Studies for Teaching Physics. American Journal of Physics
, 629 796-803. Seçken, Nilgün . 2010. Identifying Student’s
Misconceptions about SALT. Procedia Social and Behavioral Sciences
2 2010 234 –245.
Suparno, Paul. 2005. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan. Fisika. Jakarta :
Grasindo Suyono dan Hariyanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran
Teori dan Konsep Dasar. Bandung: PT Remaja Rosda.
Suyono dan Hariyanto. 2015. Implementasi Belajar dan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosda.
Suyono, 2014. Preparasi Sarjana Pendidikan Kimia Tanpa Miskonsepsi Di FMIPA UNESA.
Pendidikan Kimia Universitas Negeri Surabaya. Taber, Keith S. 2009. Challenging Misconceptions in
the Chemistry Classroom: Resources to Support Teachers
. ISSN
2013-1755, SCQ-IEC
Educació Química EduQnúmero 4 2009, p. 13-20.
Woolfolk, Anita. 2009. Educational Psychology Active Learning Edition
. Yogyakarta: Pustaka Peserta didik.
Zoller, Uri. 1990. Students’ Misunderstanding and Misconception in College Freshman Chemistry
General and Organic. Journal of Research in Science Teaching
. Vol. 27, No. 10, PP. 1053- 1065.
ISBN 978-602-72071-1-0
DETEKSI MISKONSEPSI DAN GAYA BELAJAR MAHASISWA CALON GURU KIMIA
PADA KONSEP IKATAN KIMIA
Napsin Palisoa
1,2
1
Universitas Pattimura Ambon
2
Universitas Negeri Surabaya Email: nafsin_palisoayahoo.co.id
ABSTRAK
Konsep ikatan kimia sering kali dipahami secara miskonsepsi oleh mahasiswa, oleh karena itu dalam penelitian ini akan diungkapkan beban miskonsepsi dan gaya belajar mahasiswa calon guru kimia. Data
penelitian diperoleh melalui tes pendeteksi miskonsepsi dan gaya belajar menggunakan software pendeteksi ionunesaDetector dan dilakukan di FMIPA Jurusan Kimia Unesa. Hasil tes pemahaman
konsep ikatan kimia menunjukkan; dari 88 mahasiswa yang mengikuti tes, terdapat 86 98 mahasiswa masih mengalami miskonsepsi dengan beban miskonsepsi tinggi 34 39 dan beban miskonsepsi
rendah 54 61. Hasil tes gaya belajar menunjukkan, dari 88 mahasiswa yang mengikuti tes, terdapat 40 45 mahasiswa memiliki gaya belajar dimensi input visual verbal seimbang. Berdasarkan hasil
tersebut menjelaskan bahwa kebanyakan mahasiswa calon guru kimia memiliki gaya belajar dimensi input visual verbal seimbang masih mengalami beban miskonsepsi pada konsep ikatan kimia, sehingga
dimungkinkan mahasiswa calon guru kimia ketika lulus nanti masih membawa beban miskonsepsi dan sering membangun konsep baru yang miskonsepsi pada siswa.
Kata kunci
: Miskonsepsi, gaya belajar, ikatan kimia, mahasiswa calon guru kimia
ABSTRACT
The concept of chemical bonding is often understood misconceptions by students. Therefore in this study will be disclosed burden of misconceptions and learning styles chemistry student. The research data
obtained through misconceptions and learning styles tests using ionunesaDetector software and carried out in the Department of Chemistry Unesa. The results demonstrate that the understanding of the
chemical bonds concept of the 88 students who took the test, there were 86 98 of students still have misconceptions with 34 39 of student have high misconception and 54 61 of student have low
misconceptions. Learning styles test results showed that there were 40 45 students have a learning style dimensions of input visual-verbal balance from 88 students who took the test. Based on these
results explain that most student teachers chemistry has a learning style dimensions of input visual- verbal balance are still having loads of misconceptions on the concept of chemical bonds, so it is
possible prospective student chemistry when they graduate still carry the burden of misconceptions and often building a new concept that misconceptions on students.
Keywords:
Misconception, learning style, chemical bonding, chemistry student teachers
ISBN 978-602-72071-1-0
PENDAHULUAN
Ilmu kimia memiliki konsep yang berurutan dan berjenjang Kean dan Middlecamp, 1985:5. Menurut
Nakhleh 1992:191, jika siswa tidak memahami konsep dasarnya, maka siswa akan mengalami kesulitan dalam
memahami konsep yang lebih kompleks. Apabila siswa mengalami miskonsepsi pada salah satu konsep dasar,
maka kemungkinan munculnya miskonsepsi pada konsep yang lebih kompleks akan semakin besar. Tujuan
mempelajari kimia adalah agar dapat memahami konsep- konsep yang ada dalam ilmu kimia dan selanjutnya dapat
mengaplikasikan
konsep-konsep tersebut
untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan Bowen dan
Bunce, 1997. Berdasarkan tujuan tersebut, maka pemahaman
yang benar tentang konsep-konsep kimia merupakan hal yang sangat penting. Hans Barke et al., 2009 dalam
bukunya misconceptions in chemistry mengemukakan beberapa
konsep kimia
yang masih
dipahami miskonsepsi, yaitu ikatan kimia, kesetimbangan kimia,
reaksi asam basa, reaksi redoks, reaksi kompleks dan energi. Konsep-konsep kimia tersebut sangat abstrak
sehingga sulit dipahami dan pemahamannya masih miskonsepsi. Hal ini terjadi baik di SMA maupun di
perguruan tinggi.
Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan LPTK sebagai lembaga penghasil guru, memiliki
tanggung jawab besar dalam mempersiapkan calon guru secara umum dan lebih khusus calon guru kimia,
diharapkan ketika lulus dan berada di masyarakat sekolah tidak membawa beban miskonsepsi. Hasil penelitian
Aleksovska Stojanovski 2005 menyatakan bahwa semua pernyataan yang salah dapat mengakibatkan
terbentuknya miskonsepsi baru atau memperkuat miskonsepsi yang sudah ada. Siswa yang memahami
konsep secara miskonsepsi akan mengalami kesulitan dalam menghubungkan konsep yang dimiliki dengan
konsep-konsep selanjutnya. Oleh karena itu, guru harus mengatahui miskonsepsi yang terjadi pada siswa sehingga
mampu merancang proses belajar yang sesuai dengan konsep awal yang dimiliki siswa
Upaya memperbaiki konsepsi mahasiswa secara individual dengan memperhatikan karakteristik belajar,
yaitu gaya belajar. Hasil penelitian Abosalem 2013 dan Sen Yilmaz 2012 menyatakan salah satu penyebab
miskonsepsi pada internal siswa yaitu gaya belajar. Hal tersebut menunjukkan gaya belajar sangat mempengaruhi
konsepsi siswa maupun mahasiswa terhadap konsep yang dipelajari. Menurut Sen dan Yilmaz 2012 pembelajaran
yang sesuai dengan gaya belajar siswa, menyebabkan terjadinya penurunan dan penyembuhan miskonsepsi.
Hal yang sama menurut Felder, 1993 bahwa siswa yang memiliki gaya belajar sesuai dengan gaya pengajar
cenderung
menyimpan informasi
lebih lama,
menerapkannya secara lebih efektif, dan memiliki sikap yang lebih positif terhadap subjek, daripada siswa yang
mengalami ketidaksesuaian gaya belajar dengan gaya pengajar.
Teori konstruktivis menyatakan belajar sebagai proses
aktif, mahasiswa
mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri, dan menghendaki gagasan atau
ide menjadi miliknya sendiri. Pembelajaran berdasarkan teori konstruktivis kognitif melibatkan proses perubahan
konseptual, terutama bila terjadi miskonsepsi alternative conceptionI
. Menurut Piaget banyak siswa mengalami pergeseran pengetahuan dan perkembangan konsep
melalui konflik kognitif, atau pengalaman internal menimbulkan
kontradiksi-kontradiksi yang
saling bertentangan, dan sangat penting dalam pengembangan
kognitif. Konflik kognitif adalah suatu kondisi perseptual dimana seseorang mengetahui perbedaan antara struktur
kognitifnya dengan lingkungan informasi eksternal, atau di antara berbagai komponen. Misalnya, konsepsi,
keyakinan, substruktur dan sebagainya dari struktur kognitif seseorang Lee Kwon, 2001.
Teori perubahan konseptual menjelaskan konflik kognitif merupakan suatu faktor penting dalam perubahan
konseptual. Teori kognitif Piaget dalam Slavin, 2006 mengacu pada pandangan konstruktivis psikologi
individu, bahwa untuk membangun pengetahuan terjadi proses
perubahan konseptual
melalui asimilasi,
akomodasi, dan ekuilibrasi. Berdasarkan epistemologi, Posner, Strike, Hewson, dan Gertzog 1982 berasumsi
bahwa para siswa tidak akan merubah teori alternatifnya sampai pada saat mengalami konflik kognitif yang
menantang konsepsinya saat itu. Kondisi demikian dapat dilakukan pada saat struktur pengetahuan awal mahasiswa
masih menyisahkan miskonsepsi, sehingga perlu menciptakan kondisi konflik kognitif, agar terjadi proses
perubahan konsep, yang dapat dilakukan melalui pembelajaran remediasi.
METODE PENELITIAN Identifikasi Konsepsi Mahasiswa
Three-tier diagnostic
test pertama
kali dikembangkan oleh Eryilmaz dan Surmeli, 2002 untuk
mengidentifikasi miskonsepsi siswa. Three-tier diagnostic test
terdiri dari tiga tingkatan. Tingkat pertama first tier berupa tes pilihan ganda, tingkat kedua second tier
berisi pertanyaan pilihan ganda yang menguji jawaban dengan satu alasan yang benar dan beberapa alasan
alternatif, dan tingkat ketiga third tier berisi keyakinan pada kedua pertanyaan sebelumnya Pesman dan
Eryilmaz, 2010; Dindar dan Geban, 2011. Metode three- tier diagnostic test
siswa tidak saja mengandalkan keyakinannya, untuk menguatkan keyakinan siswa dalam
menjawab soal maka perlu alasan alternatif yang dimiliki siswa. Alasan-alasan tersebut terdiri dari jawaban benar
dan distraktor, terkadang peneliti juga menyediakan tempat khusus jika ada alasan alternatif dari siswa sendiri
. Berikut ini adalah satu contoh three-tier diagnostic test
yang diadaptasi dari Pesman dan Eryilman 2010. Kriteria pengelompokan siswa tergolong pada tahu
konsep TK, tidak tahu konsep TTK, dan miskonsepsi MK berdasarkan respon jawaban siswa pada masing-
masing tier terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1.
Kriteria Pengelompokan Konsepsi Siswa Berdasarkan
Three-tier Diagnostic Test
ISBN 978-602-72071-1-0
Tier1 Ti
er2 Tier3
Kelom pok
Konsepsi
Sin gktn
Jaw aban
Al asan
Keyak inan
Benar Be nar
Yakin Tahu
konsep T
K Benar Be
nar Tidak
yakin Tidak
tahu konsep T
TK Benar Sa
lah Tidak
yakin Tidak
tahu konsep T
TK Salah Be
nar Tidak
yakin Tidak
tahu konsep T
TK Salah Sa
lah Tidak
yakin Tidak
tahu konsep T
TK Salah Be
nar Yakin
Miskons epsi 1
M K1
Benar Sa lah
Yakin Miskons
epsi 2 M
K2 Salah Sa
lah Yakin
Miskons epsi 3
M K3
Sumber: Arslan et al., 2012 Mahasiswa yang dipilih dengan pertimbangan-
pertimbangan sebagai berikut: 1. Mahasiswa yang dipilih adalah mahasiswa yang telah
mempelajari konsep ikatan kimia pada semester sebelumnya.
2. Mahasiswa yang dipilih adalah mahasiswa yang telah mengikuti tes pendeteksi miskonsepsi dan gaya
belajar menggunakan
software pendeteksi
miskonsepsi ionunesa Detector. 3. Mahasiswa yang dipilih adalah mahasiswa memiliki
beban miskonsepsi tinggi maupun rendah dengan karakteristik gaya belajar dimensi input visual
verbal seimbang pada konsep ikatan kimia.
Berdasarkan tes pemahamannya terhadap sebuah konsep ikatan kimia, mahasiswa dapat dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu mahasiswa yang tahu konsep TK, tidak tahu konsep TTK, dan miskonsepsi MK.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsep ikatan kimia termasuk konsep abstrak, memiliki atribut kritis dan atribut variabel yang sulit
dimengerti dan dianalisis, menyebabkan sulitnya menemukan contoh dan noncontoh. Konsep ikatan kimia
relatif sukar untuk diajarkan dan dipelajari oleh sebagian siswa maupun mahasiswa, karena tidak mungkin
mengkomunikasikan informasi atribut kritis konsep ini melalui pengamatan langsung. Oleh karena itu,
diperlukan model-model atau ilustrasi yang mewakili contoh dan noncontoh. Contoh konsep abstrak dari ikatan
kimia, yaitu atom dan molekul. Konsep ikatan kimia menyatakan sifat dan nama atribut, seperti: massa, berat,
muatan listrik, muatan, frekuensi, bilangan oksidasi, dan senyawa yang mudah terbakar.
Terjadinya miskonsepsi siswa pada konsep-konsep ikatan kimia telah banyak dilaporkan baik penelitian
dalam maupun luar negeri. Beberapa penelitian miskonsepsi
ikatan kimia,
melaporkan adanya
miskonsepsi pada konsep ikatan kimia karena mencakup konsep-konsep abstrak.
Berdasarkan kajian
beberapa penelitian
sebelumnya pada konsep ikatan kimia terutama materi ikatan kovalen menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki
berbagai miskonsepsi tentang empat bidang penting yang berkaitan dengan ikatan kovalen, yaitu 1 jenis atau sifat-
sifat atom yang membentuk ikatan kovalen, 2 bagaimana ikatan kovalen dibentuk, 3 jenis ikatan kovalen, dan 4
karakteristik stuktur kovalen raksasa. Ikatan kovalen yang dipahami sebelumnya oleh siswa masih miskonsepsi,
terutama pada jenis atau sifat-sifat atom yang membentuk ikatan kovalen. Ditemukan bahwa besar kemungkinan
mahasiswa
memiliki miskonsepsi
pada konsep
terbentuknya ikatan kovalen antara atom logam dan nonlogam. Studi sebelumnya melaporkan bahwa siswa
bingung tentang jenis ikatan kimia dan berpikir seakan ikatan kovalen hanya bisa dibentuk antara atom logam
dan non logam.
Menurut Unal et al., 2010 sebagian miskonsepsi siswa terjadi pada jenis atau sifat-sifat atom yang
membentuk ikatan kovalen, dan bagaimana ikatan kovalen
dibentuk. Hal
tersebut menyebabkan
kebingungan tentang ikatan ionik dan ikatan kovalen yang terjadi satu sama lain. Penelitian sebelumnya juga
melaporkan bahwa siswa berpikir seolah-olah ikatan kovalen dibentuk melalui transfer elektron, karena mereka
bingung jenis ikatan kimia. Selanjutnya kemungkinan alasan terjadinya miskonsepsi pada bagaimana ikatan
kovalen terbentuk, dan bagaimana kemampuan siswa maupun mahasiswa membayangkan suatu atom, dan
kapan atom tersebut berinteraksi pembentukan molekul, sehingga siswa bisa memprediksi dengan benar apakah
karakteristik atom pembentukan ikatan kovalen dan bagaimana ikatan kimia dibentuk dari ikatan antara atom-
atom.
Selain itu hasil penelitian Unal et al., 2010 juga melaporkan bahwa siswa bingung tentang ikatan antara
kovalen polar dan nonpolar. Miskonsepsi juga terjadi pada konsep elektron ikatan yang menempatkan atom
dalam membentuk ikatan kovalen apakah terbentuk ikatan atau tidak antara atom yang sama. Hal yang sama
juga dilaporkan dalam studi sebelumnya Unal et al., 2010 bahwa terjadinya miskonsepsi pada jenis ikatan
kovalen karena kurangnya atau ketidaktahuan siswa tentang elektronegativitas. Selain itu, Sökmen et al.,
2000 mengklaim kebingungan siswa tentang konsep yang diajarkan dalam sekolah memungkinkan sumber
miskonsepsi tentang jenis ikatan kovalen.
Instrumen pendeteksi miskonsepsi mahasiswa calon guru kimia pada topik ikatan kimia. Topik tersebut
adalah materi yang telah diterima mahasiswa kimia dari semester 3. Sebelum tes pendeteksi miskonsepsi
dirancang, dilakukan analisa terlebih dahulu terhadap konsep-konsep
yang seringkali
menimbulkan miskonsepsi. Tujuan dianalisis konsep tersebut adalah
untuk memperoleh gambaran yang utuh dan benar mengenai
konsep dan
sebagai acuan
dalam memformulasikan soal-soal yang berbasis konsep.
ISBN 978-602-72071-1-0
Berdasarkan hasil penelitian Suyono dkk 2015, yaitu hasil tes pendeteksi miskonsepsi menggunanakan
software ionunesa Detector , pada konsep ikatan kimia
mahasiswa pendidikan kimia semester V FMIPA Unesa, dari 88 mahasiswa yang mengikuti tes terdapat 86 98
mahasiswa masih mengalami miskonsepsi dengan beban miskonsepsi tinggi 34 39 dan beban miskonsepsi
rendah 54 61. Hasil tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa calon guru kimia masih terbebani miskonsepsi
pada konsep ikatan kimia, sehingga dimungkinkan mahasiswa tersebut ketika lulus nanti masih membawa
beban miskonsepsi dan sering membangun konsep baru yang miskonsepsi pada siswa di sekolah.
Hasil tersebut menghendaki perlu perbaikan beban miskonsepsi yang masih dimiliki mahasiswa melalui
pembelajaran remediasi
individual berdasarkan
karakteristik gaya belajarnya. Berdasarkan hasil penelitian Suyono dkk 2015 tes
gaya belajar menunjukkan, dari 88 mahasiswa yang mengikuti tes terdapat 40 45 mahasiswa memiliki
gaya belajar dimensi input visual verbal seimbang masih mengalami beban miskonsepsi. Dengan demikian
dapat dijelaskan bahwa, beban miskonsepsi tertinggi dialami oleh mahasiswa dengan gaya belajar dimensi
input visual verbal seimbang. Hasil tersebut menjelaskan bahwa karakter mahasiswa yang memiliki
gaya belajar visual verbal seimbang, sering memiliki visaul
tidak begitu kuat dan verbal juga tidak begitu kuat secara
seimbang, sehingga
mahasiswa tersebut
mengalami beban miskonsepsi. Dengan demikian untuk memperbaiki miskonsepsi, dosen peneliti perlu
memberikan perhatian pada gaya belajar dimensi input visual verbal seimbang pada saat merancang dan
melaksanakan pembelajaran.
PENUTUP Simpulan
Tes pendeteksi
miskonsepsi menggunakan
software pendeteksi ionunesaDetector, menunjukkan
kondisi miskonsepsi yang terjadi pada mahasiswa calon guru kimia FMIPA Jurusan Kimia pada konsep ikatan
kimia yang akan dibelajarkan di sekolah perlu diatasi. Saran
3. Penelitian
ini akan
menghasilkan sebuah
rekomendasi bagi peneliti dalam penelitian lanjutan untuk menyusun strategis pembelajaran yang tepat
dalam mereduksi miskonsepsi. 4. Sebagaimana dijelaskan pada point 1, strategi
pembelajaran yang digunakan, agar para lulusan sarjana pendidikan kimia tidak lagi membawa beban
miskonsepsi terhadap konsep kimia sebelum meninggalkan kampus untuk berkiprah di masyarakat
termasuk masyarakat sekolah.
DAFTAR PUSTAKA Abosalem, Y.M. 2013. The Relationship Between the
Learning Styles of Students in Grades Five and Six and Their Held Misconceptions About Dividing
Fractions Based on Kolb’s Model Unpublished master’s thesis. The British University.
Al-Balushi, S. M., Ambusaidi, A. K., Al-Shuaili, A.H., Taylor, N. 2012. “ Omani twelfth grade students’
most common misconceptions in chemistry”. Internasional Council of Associations for Science
Education . Vol.23, No.3, September 2012. Pp.
221-240. Anderson, J.W., and Krathwohl, D.R. 2001. A
Taxonomy for Learning, Teaching and Assessing. A Revission of Bloom’s Taxonomy of Eucational
Objectives. New York: Addison Welsey Longman,
Inc. Arends, R.I. 2012. Learning To Teach. 9th Edition. New
York: The Mcgraw-Hill Companies. Inc. Atkinson, Rita L., Richard, C., Atkinson, Edward E
Smith., Daryl J Bem. 1953 Introduction to Psycology, 11th.ed.
Pengantar Psikologi, Edisi Kesebelas,Jilid 1, Batam : Interaksara.
Arslan, H.O., Cigdemoglu, C., and Moseley, C. 2012. “A Three-Tier Diagnostic Test to Assess Pre-
Service Teachers’ Misconceptions about Global Warming, Greenhouse Effect, Ozone Layer
Depletion, and Acid Rain.” International Journal of Science Education. Vol.34 No.11, pp.1667
–1686. Barke, H.D., Al Hazari., and Yitbarek, S. 2009.
Misconceptions in Chemistry . Berlin: Springer
Link. Berg, K.E., and Latin, R.W. 1996. Essentials of
Research Methods in Health, Physical Education, Exercise Science, and Recreation Third Edition.
Cina: Lippicott Williams, a Wolters Kluwer busines.
Black, A.A. 2005. An Instrument for Testing Earth Science
Misconceptions and
Conceptual Difficulties
: Development, Field Testing and Results, in preparation for publication.
Bob, Chui., and Seng, Yong. 2014. Learning Styles of Preservice Science Teachers: Implications for
Teaching and Learning. Journal of Applied Research
in Education.
University Brunei
Darussalam Chakraborty, A., and Mondal, B.C. 2012.
“Misconceptions In Chemistry At IX th Grade And Their Remedial Measures”. Indian Streams
Research Journal . Vol 2, Issue. 7, Aug 2012 .
pp.1-9. Clerk, D., and Rutherford, M. 2000. “Langguage As a
Confounding Variable in The Diagnosis of Misconceptions
”.Int. J. Sci. Educ. Vol 22. No. 7. 2000. pp. 703-717.
Chong, V.D., Salleh, S.M., and AiCheong, I.P. 2013. “Using an Activity Worksheet to Remediate
Students’ Alternative Conceptions of Metallic Bonding.” American International Journal of
Contemporary Research . Vol.3 No.11.
Dale, Edgar. 1969. Audio-Visual Methods in Teaching. New York: Dryden.
Felder, R.M. 1993. Reaching the Second Tier: Learning and Teaching Styles in College Science
Education.” J. College Science Teaching. Vol.2 No.5, pp.286-290.
ISBN 978-602-72071-1-0
Felder, R.M., and Silverman, L. 1988. Learning and Teaching Styles in Engineering Education.”
Engineering Education . pp.674-681.
Gilbert J. K.., and Treagust, D. 2009. Multiple Representations in Chemical Education. Australi
a: Springer Science+Business Media B.V.
Gonzales, A. 2011. “Assessment of Conceptual Understanding of Atomic Structure, Covalent
Bonding, and Bond Energy ”. Thesis, The
Graduate School of Clemson University. Hans-Dieter., Barke Al Hazari., Yitbarek, S. 2009.
Misconception in
Chemistry .
Addressing Perception in Chemical Education Spinger-Verlagi
Berlin Haidelberg. Universitas Munster Germany and University of Tennessee USA.
Hastuti, Wahyu Juli. 2013. Prevensi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Reaksi Redoks Menggunakan Model
Modified Inquiry dan Remediasi Menggunakan Strategi ECIRR
. Makalah. Pascasarjana Unesa. Horton, C. 2004. “Student Alternative Conception in
Chemistry”. California Journal of Science Education
. Vol.7 No.2, pp.1-78. Ibrahim, M. 2012. Seri Pembelajaran Inovatif: Konsep,
Miskonsepsi dan Cara Pembelajarannya. Surabaya: Unesa University Press.
Kolomuc, A., and Tekin, S. 2011. “Chemistry Teachers’ Misconceptions Concerning Concept of Chemical
Reaction Rate.” Eurasian: Journal Physics and Chemistry Education
. Vol.3 No.2, pp.84-101. Lemma, Abayneh. 2013. A Diagnostic Asessment of
Eighth Grade and Their Teacher’ Misconseption
About Basic Chemical Concepts. AUCE, 31,
39-59. Lien Chi-Shun. 2013. Text Coherence, Reading, Ability,
And Childern’s Scientific Understanding. Bulletin of Educational Psicology
. 44 4. Pp. 875-904. Marina I. Stojanovska,, Bojan, T., Šoptrajanov., and,
Vladimir, M. Petruševski 2012. Addressing Misconceptions about the Particulate Nature of
Matter among Secondary-School and High-School Students in the Republic of Macedonia
. Institute of Chemistry, Faculty of Natural Sciences and
Mathematics, Ss. Cyril Methodius University, Skopje, Macedonia Academy of Sciences and Arts.
Middlecamp C., and Elizabeth Kean 1985. Panduan Belajar Kimia Dasar. PT. Gramedia. Jakarta.
Moreno, R. 2010. Educational Psychology. New York: Jhon Wiley Sonc, Inc. hal. 194.
Muallifah, L. 2013. Prevensi dan Reduksi Miskonsepsi Kesetimbangan Kimia Siswa SMA Negeri 1
Kandangan Kediri Tesis magister pendidikan tidak
dipublikasikan. Universitas
Negeri Surabaya.
Palappu, P. 2007. “Effect of Visual and Verbal Learning Styles on Learning
.” Institute for Learning Styles Journal
. Vol 1, pp.34-39. Pesman, H., and Eryilmaz, A. 2010. “Development of a
Three-Tier Test to Assess Misconceptions About Simple E
lectric Circuits.” The Journal of Educational Research
. Vol. 103, pp.208-222. Pritchard, A. 2009. Ways of Learning: Learning
Theories and Learning Styles in The Classroom .
Second edition. Abingdon: Routledge. Sen, S., dan Yilmaz, A. 2012. “The effect of learning
styles on students’ misconceptions and selfefficacy for learning and performance.” Procedia Social
and Behavioral Sciences. Vol.46, pp.1482-1486.
Sheehan M., Peter E.C., hayes, S. 2014. The Chemical Misconceptions of Pre-service Science Teachers at
the University of Limerick: Do they change .
Departement of Chemical and Enviromental Science National Centre for Excellence in
Mathematics and Science Teaching and Learning. University of Limerick. Ireland.
Suparno, P. 2005. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep Pendidikan Fisika. Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia. Suyono, dkk. 2015. Preparasi Sarjana Pendidikan Kimia
Tanpa Miskonsepsi Di FMIPA Unesa. Laporan Akhir Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi.
Bidang Unggulan. Tanpa Publikasi. Slavin, E.R. 2006. Educational Psychology. Theory and
Practice. USA: Pearson. Tan, K.C.D., and Treagust, D.F. 1999. “Evaluating
students’ understanding of chemical bonding” School Science Review
, Vol. 81. No.294. September 1999 . pp.75-84
Turker, F. 2005. Developing a Three-Tier Test to Assess High School Students’ Misconceptions Concerning
Force and Motion Unpublished master’s thesis.
Natural and Applied Sciences of Middle East Technical University, Istanbul.
Unal S., Costu B., Ayas A. 2010. Secondary School Students’ Misconception of Covalent Bonding.
Journal of Turkish Science Education .
Woolfolk, A. 2009. Educational Psychology. Active Learning Edition
. Edisi Kesepuluh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
ISBN 978-602-72071-1-0
PENGEMBANGAN INSTRUMEN MODEL MENTAL MAHASISWA CALON GURU KIMIA TENTANG KORELASI
STRUKTUR DAN SIFAT SENYAWA ORGANIK
I Wayan Suja
1
Leny Yuanita
2
Muslimin Ibrahim
2
1,2,3
Jurusan Pendidikan Kimia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi S3 Pendidikan Sains PPs Unesa
Email: suja_undikshayahoo.co.id
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan perangkat tes model mental mahasiswa calon guru kimia tentang korelasi struktur dan sifat senyawa organik. Penelitian dilakukan melalui empat tahap, mengadopsi
desain penelitian pengembangan perangkat pembelajaran 4-D define, design, develop, and disseminate. Kualitas perangkat tes yang dihasilkan ditentukan berdasarkan validitas teoritis dan empiris serta
reliabilitasnya. Validasi oleh tim pakar menunjukkan, perangkat tes tersebut layak digunakan untuk mengukur model mental mahasiswa tentang struktur dan sifat senyawa organik. Hasil uji coba
menunjukkan, validitas butir-butir soal tersebut tergolong sangat baik r
xy
= 0,631
– 0,927 dan reliabilitasnya tergolong sangat tinggi r
11
= 0,931 – 0,947. Model mental mahasiswa tentang level
simbolik kimia tergolong cukup baik sampai baik rerata skor 5,59 – 7,91; skor maksimal ideal 10. Tipe
model mental mahasiswa berkaitan dengan interkoneksi tiga level kimia adalah sebagai berikut: tidak memiliki konsep 3,79, miskonsepsi khusus 6,82, benar sebagian 22,75, dan model ilmiah
66,67. Kata kunci
: model mental, mahasiswa calon guru, struktur dan sifat.
ISBN 978-602-72071-1-0 PENDAHULUAN
Menurut para pakar pendidikan kimia, seperti Ben-Zvi et al. 1987, Gabel et al. 1987, Johnstone
1991, Treagust et al. 2003, dan Talanquer 2011, pembelajaran dan pengajaran kimia harus menyertakan
tiga representasi level kimia, yakni: level makroskopis, level submikroskopis, dan level simbolik. Pemahaman
konsep-konsep kimia hanya pada level tertentu tanpa membangun interkoneksi di antara ketiga level tersebut
tidak akan bermanfaat bagi pebelajar. Kondisi itu menuntut pemahaman pebelajar tentang ketiga level
kimia harus dibarengi keterampilan berpikir tingkat tinggi dengan melibatkan hubungan di antara ketiga level
tersebut. Pemahaman akan ketiga level tersebut membentuk irisan interkoneksi, yang oleh Devetak et al.
2009 dilabel sebagai model mental kimia.
Model mental merupakan representasi intrinsik berupa objek, ide, atau proses yang muncul selama
berlangsung proses kognitif untuk memberikan alasan, menggambarkan, menjelaskan atau memprediksi sebuah
fenomena Wang, 2007. Model mental juga digunakan oleh pebelajar untuk menghasilkan model dalam berbagai
format, misalnya deskripsi verbal, diagram, simulasi, atau model konkrit untuk mengomunikasikan ide-ide mereka
kepada orang lain atau untuk memecahkan masalah Harrison Treagust, 2000. Model mental dapat berupa
model fisik, yang secara mental mewakili entitas fisik, atau model konseptual yang merupakan representasi
mental dari konsep-konsep yang bersifat abstrak Coll Treagust, 2003.
Franco Colinvaux dalam Wang 2007
merangkum empat karakteristik model mental. Pertama, model mental bersifat generatif, artinya dapat
ditambahkan informasi baru melalui pemanfaatannya untuk memprediksi dan menghasilkan penjelasan.
Kedua
, model mental melibatkan pengetahuan tacit
tersembunyi, artinya individu memberikan alasan dengan model mentalnya untuk memecahkan masalah
atau memahami informasi baru, tetapi mereka tidak menyadari model mental yang dimilikinya dan bagaimana
menggunakannya. Ketiga, model mental bersifat buatan, dinamis dan terus dimodifikasi dengan informasi baru
yang dimasukkan ke dalamnya. Keempat, model mental dibatasi oleh cara pandang, artinya pengembangan dan
penerapannya dipengaruhi oleh pengetahuan awal, pengalaman, dan keyakinan individu.
Model mental memiliki sifat kompleks, sehingga diperlukan berbagai intrumen untuk menggalinya.
Berbagai instrumen yang biasa digunakan dalam penelitian model mental adalah tes diagnostik pilihan
ganda dua tingkat two-tier test, pertanyaan terbuka dengan gambar dan deskripsi, wawancara dengan
pertanyaan menyelidik sering dilengkapi gambar dan deskripsi dari orang yang diwawancarai, wawancara
dengan model bergambar untuk memperoleh model yang disukai pebelajar, wawancara dengan penyajian masalah,
dan observasi kelas Coll, 2008; Jansoon, Coll Somsook, 2009; Wang and Barrow, 2010; serta Lin
Chiu, 2010. Walaupun dipandang penting untuk mengetahui model mental pebelajar, di Indonesia belum
ada kelompok peneliti yang fokus pada pengembangan instrumen model mental, khususnya model mental kimia.
Sehubungan dengan itu, dalam penelitian ini telah dikembangkan intrumen model mental dalam bentuk tes
yang dapat digunakan untuk mengukur model mental mahasiswa calon guru tentang korelasi struktur dan sifat
senyawa organik.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan perangkat tes yang dapat digunakan untuk mengukur
model mental mahasiswa dalam memahami struktur dan sifat senyawa organik, serta mengidentifikasi dan
mendeskripsikan model mental yang dimiliki oleh mahasiswa calon guru kimia tersebut. Dengan
memahami tipe model mental mahasiswa, memungkinkan bagi dosen untuk melakukan tindak lanjut berupa
remidiasi secara bertahap dan berkelanjutan, serta menekan munculnya model-model mental alternatif
selama proses perkuliahan. METODE
Penelitian ini dirancang mengikuti alur
pemikiran penelitian
pengembangan perangkat
pembelajaran model 4-D define, design, develop, dan disseminate
oleh Thiagarajan, et al. 1974, melalui tahap-tahap berikut: 1 analisis kebutuhan, 2 penyusunan
kisi-kisi soal, 3 penyusunan soal dan perangkatnya, 4 validasi ahli pakar, 5 uji coba instrumen, 6
pengumpulan data, 7 analisis data hasil penelitian, serta 8 pelaporan dan publikasi hasil penelitian.
Penelitian dilaksanakan di Jurusan Pendidikan Kimia, Fakultas MIPA, UNDIKSHA, pada tahun ajaran
20142015. Subjek penelitiannya adalah mahasiswa yang sedang mengambil mata kuliah Kimia Organik I,
sebanyak 22 orang.
Hasil validasi oleh tim pakar terhadap draf perangkat tes model mental dianalisis berdasarkan kriteria
Lawshe Cohen Swerdik, 2010, dengan validitas minimum 0,60; dihitung menggunakan rumus content
validity rasio CVR.
CVR =
N2 N2
n
e
Dalam hal ini, CVR = ratio validitas isi, n
e
= jumlah ahli yang menyatakan essensial setujulayak, dan N = jumlah
total ahli. Validitas
empiris ditentukan
berdasarkan validitas internal soal, yang diukur melalui perhitungan
kesesuaian antara butir soal dengan perangkat tes secara keseluruhan menggunakan rumus korelasi product
moment oleh Pearson Arikunto, 2006 sebagai berikut.
x xy
r
2 2
xy
y
Dalam hal ini, r
xy
= korelasi butir soal dengan tes keseluruhan, x = X -
X
, y = Y - Ῡ, X = skor butir soal,
X
= rerata X, Y= skor total, dan Ῡ = rerata Y. Harga r
xy
dihitung dengan program SPSS versi 17,0. Suatu butir soal dinyatakan valid jika pada kolom Corrected Item
–
ISBN 978-602-72071-1-0 Total Correlation
pada out put SPSS menunjukkan nilai 0,30.
Dalam penelitian ini, koefisien reliabilitas tergolong koefisien korelasi dihitung dari satu kali tes,
berdasarkan konsistensi jawaban dalam tes tersebut. Menurut Arikunto 2006, reliabilitas instrumen dalam
bentuk soal uraian dapat ditentukan dengan menggunakan rumus Alpha:
r
11
=
1 1
- k
k
2 t
2
b
Dalam hal ini, r
11
= reliabilitas instrument, k = banyaknya butir soal,
∑σ
b 2
= jumlah varian butir, dan σ
t 2
= varians total. Pengolahan data dilakukan dengan SPSS versi 17,0.
Penafsiran data menggunakan kriteria seperti terlihat pada Tabel 1 Sugiyono, 2008.
Tabel 1. Interpretasi Koefisien Korelasi Interval
Koefisien Tingkat
Hubungan 0,80 r
11
≤ 1,00
Sangat tinggi 0,60 r
11
≤ 0,80
Tinggi 0,40 r
11
≤ 0,60
Sedang 0,20 r
11
≤ 0,40
Rendah 0,00 r
11
≤ 0,20
Sangat rendah Tipe model mental kimia mengindikasikan
tingkat pemahaman mahasiswa terhadap objek, ide, atau proses kimia. Menurut Sendur et al. 2010, model
mental mahasiswa dapat dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu:
a. Tidak ada jawabantanggapan No Response NR
, jika mahasiswa tidak memberikan jawaban dan tidak membuat alasan pada tingkat
molekuler, atau menjawab dengan penjelasan tidak berkaitan dengan pertanyaan.
b. Miskonsepsi khusus pada hal tertentu Specific MisconceptionsSM
, jika
jawaban dan
penjelasan tidak dapat diterima secara keilmuan. c. Benar sebagian Partially CorrectPC, jika
jawaban yang diberikan oleh mahasiswa tidak menyangkut ketiga level kimia dan tidak
membangun interkoneksi di antara ketiga level kimia tersebut.
d. Benar secara
keilmuan Scientifically
CorrectSC , jika jawaban yang diberikan oleh
mahasiswa menyangkut ketiga level kimia dan berhasil membangun interkoneksi di antara
ketiga level kimia tersebut. Selanjutnya, tiga model mental pertama secara
umum disebut sebagai model mental alternatif, sedangkan model mental keempat dilabel sebagai model
ilmiah
, atau model konseptual Cool Treagust, 2003;
Adbo Taber, 2009; Lin Chiu, 2010. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Penelitian
a. Kualitas tes model mental
Perangkat tes yang dikembangkan dalam penelitian ini terdiri dari 10 butir soal uraian, masing-
masing terdiri dari 5 butir soal untuk mengukur model mental tentang level simbolik, dan lima butir soal untuk
mengukur model mental mahasiswa tentang interkoneksi tiga level kimia. Draf perangkat tes yang telah disusun
pada tahap perancangan design divalidasi oleh tim pakar, beranggotakan dua orang ahli yang menguasai
materi, pembelajaran dan asesmen kimia organik. Kedua orang ahli memandang seluruh butir soal dalam perangkat
tes tersebut layak digunakan untuk mengukur model mental mahasiswa calon guru tentang korelasi struktur
dan sifat senyawa organik. Walaupun demikian, tim pakar memberikan saran revisi redaksional butir soal
nomor 2 karena tidak secara eksplisit mengukur model mental ketiga level kimia dan interkoneksinya. Saran
perbaikan juga diberikan untuk soal nomor 3, karena pertanyaan berstruktur yang diberikan menyebabkan butir
soal 3c tergantung pada kebenaran jawaban pada butir soal 3b. Untuk itu, kedua pertanyaan tersebut
digabungkan menjadi satu.
Hasil uji coba lapangan berkaitan dengan validitas internal butir soal dan reliabilitasnya dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kualitas Teoritis dan Empiris Soal Model Mental Mahasiswa
No So
al
Indikator Level
Kimia
Validi tas
teori CVR
Validi tas
empiri s r
xy
Relia bi-
litas r
11
1 Menggamba
r rumus struktur
senyawa karbon jika
diberikan rumus
molekulnya. Simbo
lik 1
0,927 0,929
2 Membandin
gkan titik didih dua
isomer gugus
fungsional berdasarkan
struktur molekulnya
Tiga level
1 0,926
0,929
3 Membandin
gkan sifat fisika dua
isomer geometri.
Tiga level
1 0,763
0,940
4 Menentukan
kelarutan senyawa
berdasarkan struktur
molekulnya. Tiga
level 1
0,882 0,933
ISBN 978-602-72071-1-0 5
Menggamba r
konformasi sikloalkana
terdisubstitu si dan
membandin gkan
kestabilanny a
Tiga level
1 0,722
0,941
6 Memprediks
i mekanisme reaksi adisi
alkena. Simbo
lik 1
0,858 0,933
7 Memberika
n nama IUPAC
senyawa lengkap
dengan konfigurasi
absolutnya RS
Simbo lik
1 0,631
0,947
8 Menyelesai
kan stereokimia
reaksi S
N
2 Simbo
lik 1
0,759 0,940
9 Menentukan
tahap-tahap reaksi
sintesis turunan
benzena dan kondensasi
aldol. Simbo
lik 1
0,864 0,934
10 Mengidentif ikasi
senyawa organik
untuk menetapkan
jenis senyawanya
Tiga level
1 0,893
0,931
Data dalam Tabel 2 di atas menunjukkan, keseluruhan butir soal yang dikembangkan tergolong
valid r
xy
= 0,631 – 0,927. Reliabilitas butir-butir soal
tersebut juga tergolong sangat tinggi r
11
= 0,931 – 0,947.
Dengan demikian, perangkat tes yang dikembangkan dalam penelitian ini layak digunakan untuk mengukur
model mental mahasiswa calon guru tentang korelasi struktur dan sifat senyawa organik.
b. Profil tipe model mental mahasiswa calon guru
Model mental mahasiswa tentang level simbolik kimia berkaitan dengan kemampuan untuk menggambar
rumus struktur senyawa, memprediksi mekanisme reaksi, memberikan nama IUPAC senyawa lengkap dengan
konfigurasi absolutnya RS, menentukan stereokimia reaksi substitusi nukleofilik, dan menentukan tahap-tahap
reaksi sintesis senyawa organik. Model mental mahasiswa tentang level simbolik tersebut tergolong
cukup baik sampai baik rerata skor 5,59 – 7,91; skor
maksimal ideal 10. Kategori terendah model mental mahasiswa berkaitan dengan level simbolik dalam
berpikir analisis-sintesis tentang penentuan tahap-tahap reaksi sintesis senyawa organik turunan benzena dan
kondensasi aldol. Sebaliknya, model mental level simbolik tertinggi pada kemampuan untuk memprediksi
mekanisme reaksi adisi alkena rerata skor 7,91.
Model mental mahasiswa tentang konsep-konsep kimia yang melibatkan interkoneksi ketiga level kimia
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Data Model Mental Interkoneksi Tiga Level Kimia
N o
No Soal
Model Mental NR
SM PC
SC f
f f
F
1 Soal
2 1
5 68,1
8 7
31,8 2
2 Soal
3a 1
4,55 2
1 95,4
5 3
Soal 3b
5 22,7 3
3 13,6 4
7 31,8
2 7
31,8 2
4 Soal
4 2
9,09 2
90,9 1
5 Soal
5 6 27,2
7 1
4,55 1
5 68,1
8 6
Soal 10
4 18,1
8 1
8 81,8
2
Tot al
5 3,79 9 6,82
3 22,7
5 8
8 66,6
7
Data dalam Tabel 3 di atas menunjukkan pemahaman mahasiswa tentang korelasi struktur dan sifat
senyawa organik, 66,67 tergolong model ilmiah; serta 33,33 sisanya termasuk model mental alternatif, yang
meliputi: tidak memiliki konsep 3,79, miskonsepsi khusus 6,82, dan benar sebagian 22,75. Model
mental mahasiswa untuk menjelaskan titik leleh isomer- isomer geometri soal nomor 3b tergolong terendah,
yang meliputi 22,73 tidak memiliki konsep; 13,64 mengalami miskonsepsi khusus; 31,82 benar sebagian;
dan hanya 31,82 tergolong model ilmiah. Hal yang sama
juga terjadi
pada kemampuan
untuk membandingkan titik didih isomer-isomer gugus
fungsional soal nomor 2, yaitu 68,18 di antaranya memiliki model mental benar sebagian. Model ilmiah
tertinggi 95,45 tercapai pada kemampuan mahasiswa untuk membandingkan kelarutan asam maleat dan asam
fumarat dalam air soal nomor 3a. 2.
Pembahasan
Konsep hubungan antara struktur dan sifat senyawa merupakan ide besar dalam kimia. Ide tersebut
mengantarkan kimia organik pada jantung kesuksesannya sebagai bidang ilmu yang mampu mengekspresikan sifat
dan manfaat senyawa melalui representasi struktural Graulich, 2015. Representasi intrinsik berupa objek,
ide, atau proses yang muncul pada benak pebelajar selama berlangsungnya proses kognitif dikenal sebagai model
mental Wang, 2007. Model mental itulah yang
ISBN 978-602-72071-1-0 digunakan oleh pebelajar untuk menjelaskan atau
memprediksi sebuah fenomena. Menurut Michael 2004, pembelajaran akan bermakna jika melibatkan pemahaman
yang diperoleh melalui pembentukan model mental yang tepat model ilmiah dan menggunakannya untuk
memecahkan masalah. Walaupun menjadi penentu kesuksesan seseorang dalam memahami materi kimia,
pengembangan instrumen model mental mahasiswa tentang tiga level kimia dan interkoneksinya, khususnya
dalam bidang kimia organik, belum banyak dikerjakan oleh para peneliti.
Instrumen model mental mahasiswa tentang korelasi struktur dan sifat senyawa organik yang
dikembangkan dalam penelitian ini terdiri dari 10 butir soal uraian. Secara substansi, kesepuluh butir soal
tersebut mencakup lima butir soal berkaitan dengan model mental kimia level simbolik, dan lima butir soal
model
mental tentang
tiga level
kimia dan
interkoneksinya. Dalam kaitan dengan konteks berpikir tingkat tinggi, soal nomor satu mengukur keterampilan
berpikir kreatif, sedangkan sembilan soal berikutnya mengukur keterampilan berpikir kreatif, yang meliputi
keterampilan berpikir sebab-akibat, berpikir sintesis- analisis, berpikir prediktif, dan penalaran deduktif-
induktif. Kesepuluh butir soal tersebut memiliki validitas dan reliabilitas yang layak digunakan sebagai alat ukur.
Temuan penelitian ini menunjukkan model mental mahasiswa tentang level simbolik tergolong cukup
baik sampai baik rerata skor 5,59 – 7,91; skor maksimal
ideal 10. Temuan tersebut mengindikasikan strategi pembelajaran yang diterapkan oleh dosen dalam
mengajarkan rumus struktur senyawa-senyawa organik tergolong efektif. Untuk mengajarkan struktur molekul
organik, dosen menggunakan media model molekul molymod, dibantu dengan program ChemDraw dan
Chem3D
, serta dibantu dengan berbagai analogi. Perlakuan tersebut dapat memvisualisasikan hubungan
spasial molekul dengan sifat senyawanya. Berkaitan dengan kemampuan berpikir tingkat
tinggi pada level simbolik, kemampuan berpikir kreatif mahasiswa tergolong tinggi rerata skor 7,78; skor
maksimal idel 10. Tingginya keterampilan berpikir kreatif mahasiswa disebabkan mereka banyak berlatih
merancang struktur molekul senyawa organik. Di sisi lain, keterampilan berpikir kritis mahasiswa tergolong
cukup tinggi rerata skor 6,72; skor maksimal ideal 10, dengan keterampilan berpikir analisis-sintesis dan
berpikir prediktif masing-masing mendapat rerata skor terendah dan tertinggi, yaitu 5,59 dan 7,91. Dalam
penelitian ini, keterampilan berpikir analisis-sintesis berhubungan dengan kemampuan untuk merancang reaksi
pembuatan senyawa organik, yang di dalamnya menuntut kemampuan intelektual untuk berpikir logis, imajinatif,
dan kreatif.
Profil model mental mahasiswa calon guru kimia ditentukan dari jawaban mereka terhadap soal-soal yang
melibatkan kemampuan untuk melakukan interkoneksi di antara ketiga level kimia. Kemampuan tersebut
melibatkan keterampilan untuk menjelaskan fenomena kimia pada level makroskopis berdasarkan struktur
molekulnya pada
level submikroskopis
dengan menggunakan bahasa verbal dan simbolik rumus
struktur. Temuan penelitian ini menunjukkan, model mental mahasiswa tentang korelasi struktur dan sifat
senyawa organik tergolong cukup baik 66,67 tergolong model ilmiah. Cukup tingginya model mental
mahasiswa calon guru untuk menjelaskan sifat senyawa berdasarkan struktur molekulnya didukung oleh tepatnya
strategi yang diterapkan oleh dosen dalam mengajarkan konsep-konsep kimia organik, yaitu melalui strategi
observing-reasoning-modeling-explanating
. Strategi
tersebut sejalan dengan pandangan Chittleborough 2004, yang menyatakan bahwa model mental kimia
pebelajar dapat
dibangun melalui
pengamatan
,
penafsiran dan penjelasan yang mereka gunakan untuk
menggambarkan pemahamannya
tentang level
submikroskopis kimia. Hasil penelitian ini menunjukkan kemajuan
dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya berkaitan dengan model mental mahasiswa calon guru
kimia dalam memahami bahan kajian stereokimia. Penelitian yang dilakukan pada tahun ajaran 20132014 di
Jurusan Kimia Undiksha, dengan menjadikan peserta kuliah Kimia Organik III sebagai subjek penelitian,
menunjukkan bahwa model mental mahasiswa calon guru kimia dalam memahami bahan kajian stereokimia,
meliputi: 20,71 tidak ada konsep; 33,04 miskonsepsi spesifik; 12,50 benar sebagian; dan 33,75 benar
secara ilmiah Suja, 2015. Temuan tersebut sejalan dengan hasil penelitian Wiji 2014 di Jurusan Pendidikan
Kimia UPI, yang menunjukkan profil model mental mahasiswa calon guru kimia didominasi oleh model
mental tidak utuh model mental alternatif. Metode pembelajaran yang diterapkan pada saat itu meliputi
kegiatan ceramah dan diskusi, sehingga kurang efektif digunakan untuk membangun model mental mahasiswa
tentang struktur dan sifat senyawa organik. Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian Cooper et al. dalam
Graulic, 2015 yang menunjukkan, bahwa hanya sedikit mahasiswa mampu menjelaskan tujuan penulisan struktur
Lewis terhadap sifat senyawanya.
Pemahaman mahasiswa calon guru kimia tentang hubungan struktur molekul dengan titik didihnya sebagian
besar 68,1 tergolong model mental benar sebagian model mental alternatif. Kondisi itu disebabkan
kekeliruan mahasiswa dalam menggambarkan terjadinya ikatan hidrogen antar molekul-molekul etanol. Mereka
mampu memberikan penjelasan secara verbal, namun gagal menggambarnya dalam bentuk struktur molekulnya
lengkap dengan interaksi antar molekul-molekulnya. Kondisi itu sejalan dengan hasil penelitian Henderleiter et
al.
dalam Graulic, 2015, bahwa mahasiswa kelas kimia organik ternyata masih memiliki konsepsi alternatif
berkaitan dengan ikatan hidrogen, sehingga tidak mampu menjelaskan perbedaan titik didih dan berbagai efek pada
spektroskopi NMR dan IR, serta pengaruhnya pada berbagai reaksi kimia organik, misalnya berkaitan dengan
halangan sterik.
Model mental mahasiswa untuk menjelaskan titik leleh asam maleat dan asam fumarat soal nomor 3b