ISBN: 978-602-72071-1-0
Fase 5 ini juga memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menyampaikan pendapatnya dalam
menentukan tindak lanjut untuk pertemuan selanjutnya.
Model RSCBL memiliki landasan teoritik yang solid dan landasan empirik mutakhir sehingga dapat menjadi
pilihan alternatif bagi dosen dalam melaksanakan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2012 tentang KKNI, Permendikbud Nomor 73 Tahun 2013 tentang Penerapan KKNI Bidang Pendidikan
Tinggi, dan Permendikbud Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang
menekankan bahwa proses pembelajaran pada pendidikan tinggi harus memberikan ruang bagi pengembangan
prakarsa, kreativitas, kebutuhan, dan kemandirian dalam mencari dan menemukan pengetahuan. Model ini
memberikan kesempatan kerja sama dan berimajinasi untuk memproduksi ide-ide baru yang tidak biasa, dan
memikirkan solusi-solusi unik untuk menyelesaikan masalah. Mahasiswa dapat memahami dunia tempat
mereka tinggal, beradaptasi dengan perubahan masyakat yang cepat, dan menciptakan teknologi baru untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Ucapan Terima Kasih
Terima kasih kami sampaikan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah menyediakan
Beasiswa Program Pasca Sarjana Dalam Negeri BPPDN Program Doktoral Pendidikan Sains, Kaprodi Pendidikan
Fisika FKIP Unlam, Dekan FKIP Unlam, dan Rektor Unlam yang telah mengijinkan tugas Belajar. Prof. Dr.
Mohamad Nur dan Prof. Dr. Leny Yuanitas, M.Kes selaku pembimbing disertasi.
PENUTUP Simpulan
Model Responsibility Scientific Creativity Learning RSCBL adalah pembelajaran sains untuk meningkatkan
kreativitas ilmiah dan tanggung jawab mahasiswa. Kreativitas
ilmiah merupakan
kreativitas dalam
pembelajaran sains meliputi unusual use, problem finding, scientific imagination
, product improvement, science creatively problem solving, creatively experiment
designing, dan creatively product design. Tanggung jawab
merupakan perilaku untuk melakukan yang terbaik dalam proses pembelajaran meliputi partisipasi, menghormati
orang lain, kerjasama, mendorong teman lain, membantu teman lain, memimpin, menyampaikan pendapat, dan
meminta bantuan. Lingkungan belajar yang menunjang model RSCBL meliputi penghapusan blok kreativitas,
kerjasama, pembelajaran berbasis investigasi, suasana bebas, terbuka, demokratis, dan positif. Pelaksanaan
pembelajaran dengan Model RSCBL diawali dengan membangkitkan tanggung jawab pribadi yang kreatif,
mengorganisasikan
kebutuhan belajar
kreatif, membimbing investigasi secara kelompok, memantapkan
tanggung jawab dalam menunjukkan kreativitas ilmiah, serta mengevaluasi kreativitas ilmiah. Model RSCBL
sangat mendukung
program pemerintah
untuk meningkatkan kompetensi lulusan mahasiswa yang kreatif
dan bertanggung jawab. Mahasiswa dapat bekerja sama dan berimajinasi untuk memproduksi ide-ide baru yang
tidak biasa, dan memikirkan solusi-solusi unik untuk menyelesaikan masalah. Mahasiswa dapat memahami
dunia tempat mereka tinggal, beradaptasi dengan perubahan masyakat yang cepat, dan menciptakan
teknologi baru untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Saran
Model RSCBL merupakan bagian dari penelitian disertasi S3 Pendidikan Sains Unesa, sehingga perlu
ditindaklanjuti dengan validasi isi dan konstruk dari pakar, serta ujicoba penelitian untuk memastikan
kepraktisan dan keefektifan model yang dikembangkan. DAFTAR PUSTAKA
ADB. 2014. Creative Productivity Index: Analysing
Creativity and Innovation in Asia. A Report by
The Economist Intelligence Unit for The Asian Development Bank August 2014.
The Economist Intelligence Unit Ltd. and Asian Development
Bank. Arends, R.I. 2012. Learning to Teach. New York: Mc.
Graw-Hill. Bappenas. 2014. Rancangan Awal Rencana Pemba-
ngunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019: Buku
II Agenda
Pembangunan Bidang
. Kementerian
Perencanaan Pembangunan
Nasional Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Bappenas. 2015. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019: Buku I Agenda
Pembangunan Bidang . Kementerian Perencanaan
Pembangunan NasionalBadan
Perencanaan Pembangunan Nasional
Blascova, M. 2014. Influencing Academic Motivation, Responsibility and Creativity. Procedia - Social
and Behavioral Sciences, 159, 415 – 425.
Daud, A.M., Omar, J., Turiman, P. Osman, K. 2012. Creativity in Science Education. Procedia -
Social and Behavioral Sciences, 59, 467 – 474.
Eggen, P.D. Kauchak, D.P. 2012. Educational Psychology:
Windows on Clasrooms 9
th
edition. New Jersey: Pearson.
English, M. C., Kitsantas, A. 2013. Supporting Student Self-Regulated Learning in Problem and Project
Based Learning. Interdisciplinary Journal of Problem-based Learning, 72.
Erdogan, T. Senemoglu, N. 2014. Problem Based Learning in Teacher Education: Its Promises and
Challenges. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 116, 459
– 463. Escarti, A., Wright, P.M., Pascual, C. Gutierrez, M.
2015. Tool for Assessing Responsibility-Based Education TARE 2.0: Instrument Revisions,
Inter-Rater Reliability, and Correlations between Observed Teaching Strategies and Student
Behaviors. Universal Journal of Psychology, 32, 55-63.
Fryer, M. 2012. Some Key Issues in Creativity Research And Evaluation as Seen from A Psychological
ISBN: 978-602-72071-1-0
Perspective. Creative Research Jurnal, 24:1, 21- 28.
Gorghiu, G., Draghicescu, L.M., Cristea, S., Patrescu, M. Gorghiu, L.M. 2015. Problem Based Learning:
An Efficient Learning Strategy in The Science Lessons Context. Procedia - Social and
Behavioral Sciences, 191, 1865 – 1870.
Gregory, E., Hardiman, M., Yarmolinskaya, J., Rinne, L., Limb, C. 2013. Building Creative Thinking in
The Classroom: From Research to Practice. International Journal of Educational Research,
62, 43 –50.
Greiff, S., Wustenberg, S., Csapo, B., Demetriou, A., Hautamaki, A., Graesser, A.C. Martin, R.
2014. Domain-general problem solving skills and education in the 21st century. Educational
Research Review, 13, 74 –83.
Hu, W. Adey, P. 2010. A Scientific Creativity Test for Secondary School Students. International
Journal of Science Education, 24:4, 389-403. Hu, W., Wu, B., Jia, X., Yi, X., Duan, C. Meyer, W.
2013. Increasing Student ‟s Scientific Creativity:
The “Learn To Think” Intervention Program. The Journal of Creative Behavior, 47:1, 3
–21. Imafuku, R., Kataoka, R., Mayahara, M., Suzuki, H.,
Saiki, T. 2014. Students‟ Experiences in Interdisciplinary Problem Based Learning: A
Discourse Analysis of Group Interaction. Interdisciplinary Journal of Problem-Based
Learning, 82.
Jamal, A Suyidno. 2015. Pemahaman Kreativitas, Keterampilan Proses, dan Sikap Kreatif
Mahasiswa melalui Pembelajaran Kreatif pada Matakuliah Fisika Dasar. Prosiding Seminar
Nasional Tahun 2015 pp. 361-369. Program
Studi Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya.
Kellogg, L., Hurley, K., Kip, K. 2011. The Partnership for 21st Century Skills.
Liu Lin. 2013. Primary Teachers Beliefs About Scientific Creativity in The Classroom Context.
International Journal of Science Education, 36:10, 1551-1567.
Moreno, R. 2010. Educational Psichology. New Mecico. John Wiley Sons Inc.
Moutinho, S., Torres, Joana, T., Fernandez, I., Vasconcelos, C. 2015. Problem Based Learning
and Nature of Science: A study with science teachers. Procedia - Social and Behavioral
Sciences, 191, 1871 – 1875.
Mueller, J.S., Melwani, S. Goncalo, J.A. 2012. The Bias Against Creativity: Why People Desire but
Reject Creative Ideas. Psychological Science, 23:1, 13
–17. Mukhopadhyay R. Sen, M.K. 2013. Scientific
Creativity- A New Emerging Field of Research: Some Considerations. International Journal of
Education and Psychological Research, 2:1, 1-9. Nariman, N. , Chrispeels, J. 2015. PBL in The Era of
Reform Standards: Challenges and Benefits Perceived by Teachers in One Elementary
School. Interdisciplinary Journal of Problem Based Learning, 101.
OECD. 2014. PISA 2012 Results: Creative Problem Solving: Students’ Skills in Tackling Real-Life
Problems Volume V, PISA . Publishing: OECD.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 49 tahun 2014 tentang Standar Nasional
Pendidikan Tinggi. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
73 Tahun 2013 tentang Penerapan KKNI Bidang Pendidikan Tinggi.
Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia. Rietzschel, E.F., Bernard A.N. Wolfgang, S. 2010. The
Selection of Creative Ideas after Individual Idea Generation: Choosing between Creativity and
Impact. British Journal of Psychology, 101, 47 –
68. Rolina, N. 2014. Developing Responsibility Character for
University Student in ECE Through Project Method. Procedia - Social and Behavioral
Sciences 123, 170 – 174.
Saliceti, F. 2015. Educate for Creativity: New Educational Strategies. Procedia-Social and
Behavioral Sciences, 197, 1174 – 1178.
Setiadi, D. 2013. Pengembangan Model Pembelajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Literasi Sains
Peserta Didik SMP. repositori.upi.edu. Slavin, R.E. 2005. Educational Psikology, Theori and
Practice . Boston: Pearson Education.
Stojanova, B. 2010. Development of Creativity as A Basic Task of The Modern Educational System.
Procedia Social and Behavioral Sciences, 2, 3395
–3400. Suyidno Nur, M. 2015. Pemahaman Kreativitas Ilmiah
Mahasiswa dalam Pembelajaran Kreatif pada Matakuliah Fisika Dasar. Prosiding Seminar
Nasional Tahun 2015 pp. 1361-1366. Program
Studi Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya.
Tim Dikti. 2014. Buku Kurikulum Pendidikan Tinggi. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan,
Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi,
Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan. Unesco. 2014. Global Citizenship Education: Preparing
Learners for The Challenges of The 21
st
Century .
The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization.
Wibowo, F.C. Suhandi, A. 2013. Penerapan Model Science Creative Learning SCL Fisika Berbasis
Proyek untuk Meningkatkan Hasil Belajar Kognitif dan Keterampilan Berpikir Kreatif.
Jurnal Pendidikan IPA Indonesia, 2:1, 67-75.
ISBN: 978-602-72071-1-0
MODEL LITERACY BASED LEARNING LBL
Titin Sunarti
1
Madlazim
2
Wasis
3
1
S3 Pendidikan Sains, Pasca sarjana Unesa
2
Guru Besar, Pasca sarjana Unesa
3
Dosen Pasca sarjana Unesa Email: titin.mipayahoo.co.id
ABSTRAK
Literacy Based Learning LBL adalah pembelajaran sains untuk membekali kompetensi literasi sains
mahasiswa calon guru meliputi menumbuhkan literasi sains, mengkonstruksi literasi sains, dan mengembangkan pembelajaran literasi sains. Perencanaan pelajaran dengan LBL adalah menetapkan sasaran dan tujuan
pembelajaran, merancang RPP Pengajaran Literasi Sains, dan mengorganisasikan sumber daya dan logistik yang diperlukan. Pelaksanaan pembelajaran diawali dengan memotivasi belajar sains, mengkonstruksi literasi
sains identifikasi, eksplorasi, eksplanasi, aplikasi, refleksi, mengembangkan pembelajaran literasi sains identifikasi, mengembangkan, peer teaching, refleksi, revisi, dan evaluasi literasi sains dan pembelajaran
sains. LBL membantu menyiapkan seorang calon guru fisika menjadi pembelajar yang profesional dan mandiri, memiliki daya saing, dan mampu beradaptasi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
mutakhir. Penelitian lanjutan disarankan untuk menguji validitas, kepraktisan, dan keefektifan model. Kata Kunci:
Model Literasi Based Learning, literasi sains, sikap ilmiah
ABSTRACT
Literacy Based Learning LBL is the study of science learning for equip science literacy competencies student teachers candidates, include fostering scientific literacy, scientific literacy construct and develop scientific
literacy learning. LBL is a lesson plan with set goals and learning objectives, designing lesson plans teaching literacy science, and organizing resources and logistics. Implementation of learning begins with motivation to
learn science, science literacy construct identification, exploration, explanation, application, reflection, developing science literacy learning identifying, developing, peer teaching, reflection, revision, and evaluation
of scientific literacy. LBL help prepare a physics teacher candidates into professional and independent learners, competitive, and able to adapt to the development of cutting-edge science and technology. However, further
research is recommended to test the validity, practicality, and effectiveness of the model. Keywords: Literacy Based Learning, scientific literacy, scientific attitude.
ISBN: 978-602-72071-1-0
PENDAHULUAN
Fisika mempelajari hukum yang mendasari semua fenomena fisik di alam semesta Walker, 2014. Fisika
merupakan suatu studi empiris mengenai dunia fisik dan prinsip-prinsip yang mengatur perilaku yang telah
dipelajari melalui
pengamatan fenomena
alam Ponnusamy, 2007. Belajar fisika menawarkan cara
berfikir tentang dunia yang memiliki aplikasi dalam kehidupan sehari-hari dan penjelasan tentang dunia
secara rasional agar mudah dipahami, mendukung pemikiran terbuka, obyektif dan adil, bergantung pada
bukti empiris, melibatkan kreativitas dalam membangun penjelasan dan pengujian, mendukung kebutuhan untuk
berpikir kritis tentang asumsi, ide-ide, pengujian dan interpretasi Newton, 2008. Pendidikan fisika harus
menyiapkan kompetensi lulusan mahasiswa calon guru fisika yang memahami literasi sains dengan baik NRC,
211. Mahasiswa mempelajari fisika merupakan langkah awal memahami literasi sains.
Literasi sains saat ini telah menjadi perhatian secara luas dari para ilmuwan, dosen dan pemegang kebijakan
publik Impey, 2013, karena sangat diperlukan masyarakat modern untuk menghadapi berbagai
permasalahan sains dan teknologi Turiman et al., 2011, menunjang pembangunan berkelanjutan Udompong
Wongmanich, 2014. National Science Education Standards
mendefinisikan literasi sains
sebagai pengetahuan dan pemahaman tentang konsep-konsep
ilmiah dan proses yang diperlukan untuk pengambilan keputusan secara pribadi, partisipasi dalam urusan sipil
budaya, dan ekonomi produktif NRC, 2011. Calon guru memahami literasi sains apabila menyadari dan
memahami dampak sains dan teknologi dalam keseharian, mengambil keputusan pribadi tentang sesuatu
meliputi sains, kesehatan, penggunaan sumber energi, berdiskusi secara aktif untuk mengkritisi isu-isu sains
secara aktif dan penuh keyakinan Impey, 2013.
Pengembangan literasi sains diakui sebagai tujuan utama pendidikan fisika di dunia Lederman et al., 2013;
Turiman, 2011. Pemerintah RI menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 73 Tahun 2013
tentang Penerapan KKNI Bidang Perguruan Tinggi, dimana Standar Kualifikasi Jenjang S1 adalah mampu
mengaplikasikan bidang keahliannya dan memanfaatkan IPTEKS pada bidangnya dalam penyelesaian masalah
serta mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi. Pencapaian
lulusan kompetensi
tersebut dalam
Permendikbud Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi diharuskan melalui proses
pembelajaran yang mengutamakan pendekatan ilmiah sehingga tercipta lingkungan akademik yang berdasarkan
sistem nilai, norma, dan kaidah ilmu pengetahuan.
Pengembangan literasi sains mahasiswa calon guru fisika dewasa ini menjadi tantangan pengajaran dan
pembelajaran di perguruan tinggi Murcia, 2009. Hasil survey
tahun 1988-2008
menunjukkan bahwa
peningkatan literasi sains mahasiswa di perguruan tinggi Amerika kurang signifikan karena hanya 10-15
Impey, 2011, literasi sains mahasiswa calon guru di Turki juga tergolong rendah Akengin Sirin, 2014.
Layanan pendidikan di Indonesia yang berkualitas juga menjadi tantangan pembangunan manusia dibidang
pendidikan dalam RPJMN 2015-2019 Bappenas, 2014. Pembelajaran didominasi ceramah telah membuat
mahasiswa kesulitan memahami esensi materi pelajaran, kurang mampu menyimak akibat ketergantungan
fotokopi bahan presentasi dari dosen, terbatasnya peluang untuk mengungkap materi pembelajaran dari dunia
nyatamasyarakat sangat terbatas Tim Dikti, 2014. Sunarti 2015 menemukan bahwa pemahaman literasi
sains mahasiswa calon guru Unesa pada level 3 sebanyak 6, level 4 sebanyak 72, level 5 sebanyak
22, dan belum ada yang berada pada level 6. Mahasiswa yang mampu menjelaskan fenomena secara
ilmiah sebanyak 51,3; mengintepretasi data dan memberikan bukti ilmiah sebanyak 23,8; dan
mengevaluasi dan merancang penyelidikan ilmiah sebanyak 9,3, serta mereka pada umumnya hanya
mampu menyelesaikan butir tes literasi sains pada tingkat kognitif rendah. Mahasiswa pada umumnya belum
mampu
menggunakan pengetahuan
konseptual, prosedural, dan epistemik secara konsisten untuk
memberikan penjelasan, evaluasi dan desain penemuan ilmiah, menginterpretasi data pada keanekaragaman
situasi kehidupan kompleks yang membutuhkan pemikiran kognitif pada level yang tinggi.
Pengembangan literasi sangat diperlukan untuk membantu calon guru memahami materi literasi sains dan
unsur-unsurnya, serta mampu menggunakan metode pembelajaran yang sesuai untuk mengembangkan literasi
sains di kelas Udompong et al., 2014. Pembelajaran fisika diharapkan dapat membekali calon guru dengan
pengetahuan profesional. seorang guru dikatakan profesional tidak cukup hanya menguasai pengetahuan
tentang materi yang akan diajarkan, tetapi juga harus memahami cara membuat materi itu mudah dimengerti
oleh siswanya Eggen Kauchak, 2013.
Berbagai strategi pembelajaran inovatif yang selama ini digunakan untuk meningkatkan literasi sains calon
guru diantaranya adalah Problem Based Learning PBL, Integrated Teaching Strategies
ITS, dan Pembelajaran Berbasis Investigasi PBI. PBL dapat meningkatkan
prestasi belajar fisika mahasiswa calon guru Celik et al., 2011, meningkatkan kemampuan memahami fenomena
fisika, memungkinkan mahasiswa berbagi pengetahuan, melakukan penelitian dan menyelesaikan berbagai jenis
masalah, mensistesis informasi, mengatasi miskonsepsi dan mengembangkan pemahaman mendalam tentang
fisika Ali Syah, 2013. Moutinho et al. 2014 menyimpulkan bahwa PBL sangat membantu guru sains
Biologi dan Geologi sekolah dasar dan menengah dalam menjelaskan aspek-aspek hakikat sains, membantu siswa
memahami dampak dari aspek sosial dan budaya terhadap pengembangan sains, memahami pentingnya
kreativitas dan imajinasi dalam pengembangan sains. Mereka merekomendasikan bahwa pembelajaran sains
harus memberikan perhatian lebih terhadap hakikat sains kontemporer beserta aplikasinya. Nariman Chrispeels
ISBN: 978-602-72071-1-0
2015 merekomendasikan PBL harus memperhatikan pentingnya kolaborasi dan kedalaman instruksi guru
dalam meningkatkan eksplorasi siswa sesuai Next Generation Science Standard
Nariman Chrispeels, 2015. Villaneuva 2010 menyimpulkan bahwa
Integrated Teaching Strategies dapat meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah, keterampilan literasi sains, pemahaman ilmiah, dan membantu guru
meningkatkan kemampuan komunikasi dan praktek pedagogis dalam sains. Villaneuva merekomendasikan
perlunya eksplorasi lebih lanjut untuk memajukan perspektif teoritis dan pendekatan praktis dalam
pengajaran sains. Setiadi 2013 menyimpulkan bahwa Pembelajaran Berbasis Investigasi PBI menekankan
pada aplikasi metode ilmiah dan konteks materi investigasi dalam situasi kehidupan sehari-hari. Siswa
harus berfikir tingkat tinggi dalam melakukan eksplorasi, diskusi dan refleksi untuk menciptakan interaksi
pertukaran ide-ide dalam memunculkan gagasan untuk pengembangan investigasi. Setiadi merekomendasikan
LPTK sebaiknya membekali calon lulusannya dengan keterampilan dan pengetahuan yang berhubungan dengan
pengembangan literasi sains secara komprehensif beserta asesmennya.
Hasil-hasil penelitian di atas beserta rekomendasinya mengindikasikan bahwa perlu adanya perbaikan terhadap
Model PBL, ITS, PBI agar lebih efektif digunakan untuk meningkatkan literasi sains mahasiswa calon guru fisika.
Perbaikan model harus memperhatikan rekomendasi beberapa peneliti diantaranya memberikan perhatian lebih
terhadap hakikat sains kontemporer beserta aplikasinya Moutinho et al., 2014, pentingnya kolaborasi dan
kedalaman instruksi guru Nariman Chrispeels, 2015, eksplorasi lebih lanjut untuk memajukan perspektif
teoritis dan pendekatan praktis dalam pengajaran sains Villaneuva, 2010, calon lulusan LPTK dibekali
keterampilan dan pengetahuan literasi sains secara komprehensif beserta asesmennya Setiadi, 2013. Oleh
karena itu dilakukan upaya perbaikan model-model di atas dalam bentuk pengembangan Model Literacy Based
Learning
LBL. PEMBAHASAN
Model Literacy Based Learning LBL dikembangkan dengan tujuan utama untuk membekali kompetensi literasi
sains mahasiswa calon guru fisika seperti diilustrasikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Hasil belajar dengan Model LBL
Menumbuhkan sikap
ilmiah,
sikap ilmiah merupakan salah satu hasil penting dalam pendidikan
sains dan memiliki kontribusi dalam pengembangan literasi sains mahasiswa calon guru. Sikap ilmiah
meliputi: 1 pemberian dukungan terhadap penyelidikan ilmiah, dengan menunjukkan pengakuan pentingnya
mempertim-bangkan perspektif ilmiah dan argumen yang berbeda, mendukung penggunaan informasi faktual dan
penjelasan rasional, mengungkapkan perlunya proses logis dan berhati-hati dalam menarik kesimpulan, 2
keyakinan mahasiswa dalam belajar sains, dengan menunjukkan keyakinan bahwa mereka dapat
menangani tugas-tugas ilmiah secara efektif, mengatasi kesulitan untuk memecahkan masalah ilmiah, dan
menunjukkan kemampuan ilmiah yang kuat, 3 minat dan motivasi dalam sains, dengan menunjukkan rasa
ingin tahu dalam sains dan yang berhubungan dengan isu-isu sains, kesediaan untuk memperoleh tambahan
pengetahuan
dan keterampilan
ilmiah dengan
menggunakan berbagai sumber dan metode, kesediaan untuk mencari informasi dan memiliki minat yang sedang
berlangsung dalam
ilmu pengetahuan
termasuk pertimbangan karir terkait sains, 4 tanggung jawab
terhadap sumber daya dan lingkungan, dengan menunjukkan rasa tanggung jawab pribadi untuk
menjaga lingkungan yang berkelanjutan, kesadaran akan konsekuensi lingkungan dari tindakan individu, kemauan
mengambil tindakan untuk mempertahankan sumber daya alam OECD, 2013; Thomson et al., 2013.
Mengkonstruksi literasi sains,
konstruktivisme merupakan gagasan bahwa mahasiswa secara aktif
membangun pengetahuan mereka dari pengalaman pribadi mereka dengan orang lain maupun lingkungan
Moreno, 2010; 298. Mahasiswa dapat mengkonstruksi literasi sains dengan cara: 1 menjelaskan fenomena
ilmiah, dengan menerapkan pengetahuan sains yang sesuai untuk menjelaskan fenomena ilmiah dan
menjelaskan implikasi potensial dari pengetahuan sains untuk masyarakat, 2 mengevaluasi dan merancang
penyelidikan ilmiah, dengan mengidentifikasi pertanyaan yang dapat dieksplorasi dalam penelitian ilmiah,
membedakan pertanyaan-pertanyaan ilmiah dan tidak ilmiah, menjelaskan cara mengeksplorasi pertanyaan-
pertanyaan ilmiah, dan 3 menafsirkan data dan bukti ilmiah, dengan mentransformasi data dari satu
representasi ke representasi yang lain, menganalisis dan menarik kesimpulan dengan tepat OECD, 2013.
Mengembangkan pembelajaran literasi sains,
kompetensi seorang calon guru selain harus menguasai pengetahuan literasi sains beserta terapannya, juga harus
mampu merencanakan dan melaksanakan strategi pengajaran literasi sains dengan baik.
Lingkungan belajar yang menunjang perkuliahan dengan Model LBL adalah: 1 memberikan kemudahan
akses berbagai sumber referensi literasi sains baik dalam perpustakaan maupun jaringan internet, 2 melibatkan
metakognisi mahasiswa dalam membaca, diskusi, dan inkuiri untuk mengkonstruksi dan mengembangkan
pengetahuan profesional secara maksimal Moreno, 2010, 3 menciptakan kesempatan mengembangkan
skema melalui asimilasi dan akomodasi dalam rangka mengkritisi dan menemukan solusi masalah literasi sains,
Mengembangkan
pembelajaran literasi sains Menumbuhkan sikap ilmiah
Mengkonstruksi literasi sains Model
LBL
ISBN: 978-602-72071-1-0
4 menciptakan suasana belajar yang demokratis, terbuka dan positif untuk meningkatkan keyakinan diri
dan kemampuan berfikir reflektif dalam mengkonstruksi literasi sains dan menerapkannya dalam mengambil
keputusan untuk menentukan tindakan mereka di masa depan, 5 penggunaan pembelajaran berbasis masalah
Celik et al., 2011, Moutinho et al., 2014, investigasi Setiadi, 2013, dan terintegrasi Villaneuva, 2010 untuk
meningkatkan motivasi, literasi sains, dan sikap ilmiah mahasiswa, 6 merangsang mahasiswa lebih aktif dalam
mengkonstruksi pengetahuannya melalui discovery, scaffolding
, dan kolaborasi Moreno, 2010, 7 adanya kesempatan untuk mengembangkan pemahaman literasi
sains melalui eksplorasi lebih lanjut dan pengambilan keputusan dalam menyelesaikan berbagai masalah
kehidupan nyata Villaneuva, 2010.
Perencanaan pelajaran dengan Model LBL adalah menetapkan sasaran dan tujuan pembelajaran, merancang
RPP Pengajaran Literasi Sains, dan mengorganisasikan sumber daya dan logistik yang diperlukan. Adapun
pelaksanaan pembelajarannya menggunakan empat fase utama dimana fase dua dan tiga dalam bentuk siklus
belajar yang dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Sintaks Model LBL
Fase 1: Memotivasi belajar sains
, dosen berusaha menarik minat dan motivasi mahasiswa
dengan menyampaikan tujuan pembelajaran dan menyajikan isu-isu sains berupa fenomena sains atau
produk tehnologi sains dan diberikan contoh pada Gambar 3.
Gambar 3. Contoh isu-isu sains Dosen selanjutnya mengarahkan mahasiswa untuk
terlibat aktif dalam pembentukan kelompok terdiri 4-6 anggotakelompok, kemudian membagikan LKM beserta
logistik yang diperlukan. Kesiapan belajar sangat berperan terhadap prestasi belajar fisika Widyaningyas,
et al
., 2013. Dosen dapat menggunakan advanced organizer
untuk membantu mahasiswa mengkodekan informasi baru Moreno, 2010: 225. Fase ini diharapkan
dapat meningkatkan minat dan motivasi mahasiswa untuk terlibat aktif dalam mengembangkan literasi sains,
sehingga mereka dapat memfokuskan usahanya untuk belajar dan menghasilkan kinerja yang lebih tinggi.
Fase 2: Mengkonstruksi literasi sains
, fase inti Model LBL yang dirancang dalam siklus I dengan tujuan
meningkatkan sikap
ilmiah mahasiswa
dalam mengkonstruksi pengetahuan literasi sains melalui
pengalaman pribadi dengan orang lain maupun lingkungan. Siklus ini diawali dengan Identifikasi, dosen
meminta mahasiswa untuk membaca kembali isu-isu sains di LKM dan meyakinkan bahwa mereka dapat
mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan yang ilmiah dan tidak ilmiah dengan benar. Pertanyaan ilmiah adalah
pertanyaan yang secara rasional memungkinkan dilakukan penyelidikan dan pertanyaan tidak ilmiah
adalah pertanyaan berkaitan dengan mitos dan sulit dinalar. Eksplorasi, dosen memberikan dukungan
kepada
mahasiswa untuk
terlibat aktif
dalam penyelidikan ilmiah melalui eksperimen merumuskan
hipotesis, identifikasi variabel dan definisi operasional variabel, merancang tabel pengamatan, dan prosedur
eksperimen mengacu LKM, melaksanakan eksperimen sesuai rencana, serta membaca berbagai referensi untuk
mendapatkan informasi yang diperlukan. Eksplanasi, dosen meyakinkan mahasiswa untuk menganalisis data
dan menggunakan pengetahuan sains yang ditemukan tersebut untuk menjelaskan isu-isu sains secara rasional
dan berhati-hati dalam menarik kesimpulan. Aplikasi, dosen memantapkan minat dan motivasi mahasiswa
untuk terlibat aktif dalam mengkaji berbagai fenomena ilmiah yang lain, pemecahan masalah dan produk
teknologi mengacu pada LKM, dan membantu mahasiswa untuk menerapkan literasi sains dalam
pengambilan keputusan tentang identifikasi masalah kehidupan nyata beserta alternatif solusinya. Terakhir
adalah Refleksi, mahasiswa berusaha mendiskusikan hasil kinerja kelompok di depan kelas.
Fase 3: Mengembangkan pembelajaram literasi sains,
juga termasuk fase inti Model LBL yang dirancang dalam siklus II dengan tujuan memantapkan sikap ilmiah
mahasiswa dalam mengembangkan literasi sains sesuai dengan hasil konstruksi literasi sains pada fase
sebelumnya. Siklus II diawali dengan Identifikasi, dosen menyajikan Contoh RPP Literasi Sains untuk
memberikan
kemudahan dalam
mengembangkan wawasan pengetahuan mahasiswa dalam membuat RPP.
Dosen menggunakan scaffolding untuk meningkatkan minat dan motivasi dalam memahami contoh RPP untuk
mengajarkan literasi sains. Mengembangkan, dosen memberikan tanggung jawab kepada mahasiswa untuk
mengembangkan ide-ide pembelajaran dengan menyusun
ISBN: 978-602-72071-1-0
RPP untuk mengajarkan literasi sains. Peer Teaching, dosen memantapkan minat dan motivasi untuk terlibat
aktif dalam ujicoba RPP yang dikembangkan dalam bentuk peer teaching. Refleksi, mahasiswa berusaha
mendiskusikan hasil peer teaching di depan kelas. Terakhir adalah Revisi RPP, dosen memastikan
kesediaan mahasiswa untuk melakukan revisi RPP sesuai saran-saran dalam peer teaching. Fase ini diharapkan
menghasilkan RPP yang dapat digunakan untuk mengajarkan literasi sains dengan baik.
Fase 4: Evaluasi literasi sains dan pembelajaran sains,
dirancang untuk menguatkan sikap ilmiah mahasiswa dalam meningkatkan literasi sains yang telah
dipelajari beserta penerapannya di masa depan. Dosen meminta mahasiswa terlibat aktif dalam evaluasi hasil
literasi sains dan refleksi proses pembelajaran yang telah dilakukan, serta memberikan saran tindak lanjut
berdasarkan hasil evaluasi dan refleksi.
Asesmen dan evalusi literasi sains dapat pada mengacu pada kerangka PISA 2015 dan standar
kompetensi guru profesional sehingga dapat mengukur kompetensi literasi sains calon guru seperti yang
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kompetensi literasi sains calon guru
Kompetensi Indikator
Menjelaskan fenomena
secara ilmiah Menjelaskan
fenomena ilmiah
dengan menerapkan pengetahuan sains yang sesuai.
Menjelaskan implikasi
potensial dari
pengetahuan sains untuk masyarakat. Menggunakan
metode ilmiah dalam
menyelesaikan masalah
keseharian Mengidentifikasi pertanyaan yang dapat
dieksplorasi dalam penelitian ilmiah. Membedakan pertanyaan-pertanyaan ilmiah
dan tidak ilmiah. Menjelaskan cara mengeksplorasi pertanyaan-
pertanyaan ilmiah. Mentransformasi data dari satu representasi ke
representasi yang lain. Menganalisis dan menarik kesimpulan dengan
tepat. Merencanakan
dan melaksanakan
RPP untuk mengajarkan
literasi sains Merancang RPP untuk mengajarkan literasi
sains.
Memiliki sikap rasa ingin tahu,
rasional, terbuka,
obyektif, kritis, dan jujur.
Dukungan dalam penyelidikan ilmiah Keyakinan dalam belajar sains
Minat, keterlibatan, dan motivasi dalam sains Tanggung jawab terhadap sumber daya dan
lingkungan
Asesmen literasi sains untuk kompetensi menjelaskan fenomena secara ilmiah, menggunakan metode ilmiah
dalam menyelesaikan masalah keseharian, merencanakan RPP untuk mengajarkan literasi sains menggunakan
bentuk tes esei dan tes kinerja. Asesmen kinerja terdiri dari tiga aktivitas dasar, yaitu dosen memberi tugas,
peserta
didik menunjukkan
kinerjanya, dinilai
berdasarkan indikator tertentu dengan instrumen yang disebut rubrik Moreno, 2010. Asesmen sikap ilmiah
dapat mengadaptasi “Programme for International
Student Assessment, A teacher’s guide to PISA scientific literacy” yang dikembangkan Thomson, et al. 2013
meliputi menunjukkan dukungan dalam penyelidikan ilmiah, keyakinan dalam belajar sains, minat,
keterlibatan, dan motivasi dalam sains, serta tanggung jawab terhadap sumber daya dan lingkungan
Model LBL membantu pendidik dalam mendukung program peningkatan kualitas layanan pendidikan dalam
RPJMN 2015-2019 Bappenas, 2014. Mahasiswa calon guru fisika dapat dipersiapkan menjadi seorang calon
guru fisika menjadi pembelajar yang profesional dan mandiri, memiliki daya saing, dan mampu beradaptasi
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir. Penelitian lanjutan disarankan untuk menguji
validitas, kepraktisan, dan keefektifan model. Ucapan Terima Kasih
Terima kasih kami sampaikan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah menyediakan
Beasiswa Program Pasca Sarjana Dalam Negeri BPPDN Program Doktoral Pendidikan Sains, Kepala Jurusan
Fisika FMIPA Unesa, Dekan FMIPA Unesa, dan Rektor Unesa yang telah mengijinkan tugas Belajar. Prof. Dr.
Madlazim, M.Si. dan Dr. Wasis, M.Si selaku pembimbing disertasi.
PENUTUP Simpulan
Model LBL adalah pembelajaran sains untuk meningkatkan literasi sains mahasiswa calon guru dalam
mengkonstruksi literasi sains, mengembangkan strategi pengajaran literasi sains, dan mengembangkan sikap
ilmiah. Model LBL berusaha menciptakan lingkungan akademik yang demokratis, terbuka dan positif dalam
menggali informasi dari berbagai sumber referensi melalui diskusi, penyelidikan, dan kolaborasi, serta
pengembangan pemahaman literasi sains melalui eksplorasi lebih lanjut dan pengambilan keputusan dalam
menyelesaikan berbagai masalah kehidupan nyata. Garis besar perencanaan pelajaran dengan Model LBL adalah
menetapkan sasaran dan tujuan pembelajaran, merancang RPP Pengajaran Literasi Sains, dan mengorganisasikan
sumber daya dan logistik yang diperlukan. Pelaksanaan pembelajaran diawali dengan orientasi motivasi belajar
sains, mengkonstruksi literasi sains Siklus I, mengembangkan pembelajaran literasi sains Siklus II,
evaluasi literasi sains. Asesmen literasi sains dapat pada mengacu pada kerangka PISA 2015 dan standar
kompetensi guru professional dalam bentuk tes esei atau kinerja, dan sikap ilmiah mahasiswa menggunakan
angket.
Saran
Model LBL merupakan bagian dari disertasi S3 Pendidikan Sains Unesa, sehingga perlu dilakukan
penelitian lanjutan untuk menguji validitas, kepraktisan, dan keefektifan model.
DAFTAR PUSTAKA Akenngi, H Sirin, A. 2013. A Comparative Study
Upon Determination of Scientific Literacy Level of Teacher Candidates. Academic journals, Vol.
819, 1882-1886.
ISBN: 978-602-72071-1-0
Ali, S.R. Syah, N.S.H. 2013. Impact of Project Based Learning of Physics in A Technical Institution,
Karachi. Proceeding International Conference on Physics Education, August 5-9, 2013,
Prague, Czech Republic. Pp. 671-677.
Bappenas. 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMN 2015-2019.
Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional. Celik, P., Onder, F. Silay, I. 2011. The Effects of
Problem Based Learning on The Students‟ Success in Physics Course. Procedia - Social
and Behavioral Sciences 28 2011 656 – 660.
Eggen, P.D. and Kauchak, D.P. 2012. Educational Psychology:
Windows on Clasrooms 9
th
edition. New Jersey: Pearson. Impey, C. 2013. Science Literacy of Undergraduates in
The United States . Orgazations People and
Strategies in Astronomy 2 OPSA 2. Departement of Astronomy, University of
Arizona. Lederman, N.G., Lederman, J.S. and Antink, L. 2013.
Nature of Science and Scientific Inquiry As Contexts for The Learning of Science and
Achievement of
Scientific Literacy.
International Journal
of Education
in Mathematics, Science and Technology, 1:3,
138-147 .
Moreno, R. 2010. Educational Psycology. New York: John Wiley Sons Inc.
Moutinho, S., Torres, J., Fernandes, I., Vasconcelos, C. 2014. Problem Based Learning and Nature of
Science: A study with science teachers. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 191,
1871 – 1875.
Murcia, K. 2009. Re-thinking The Development of Scientific Literacy Through a Rope Metaphor.
Research Science Education, 39, 215 –229.
Nariman, N. , Chrispeels, J. 2015. PBL in The Era of Reform Standards: Challenges and Benefits
Perceived by Teachers in One Elementary School. Interdisciplinary Journal of Problem-
Based Learning, 101.
Newton, D.P. 2008. A Practical Guide to Teaching Science in The Secondary School
. USA: Routledge.
NRC. 2011. Inquiri and the national science education standards. A guide for Teaching and Learning.
Washington: National Academy Press. OECD. 2013. PISA 2015, Draft SCIENCE Framework.
Publishing: OECD. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2013 tentang
Penerapan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Bidang Perguruan Tinggi.
Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.
Ponnusamy, S., Rasarasan, S., Ramanujam, G., Loganatan, P., Rajkumar, R. Vijayan, N.
2007. Physics, Higher Secondary First Year, Volume
– 1. Chennai: Tamilnadu Textbook Corporation.
Setiadi, D 2013. Pengembangan Model Pembelajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Literasi Sains
Peserta Didik SMP. repositori.upi.edu. Sunarti, T. 2015. Pemahaman Literasi Sains Mahasiswa
Calon Guru Fisika Universitas Negeri Surabaya. Proceding Seminar Nasional Jurusan Fisika
FMIPA UM 2015.
Udompong, L. Wongmanich, S. 2014. Diagnosis of The Scientific Literacy Characteristics of
Primary Students. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 116, 5091
– 5096. Udompong, L., Traiwicitkhun, D. and Wongwanich, S.
2014. Causal Model of Research Competency Via Scientific Literacy of Teacher and Student.
Procedia-Sosial and Behavioral Science, 116, 1581-1586.
Thomson, S., Hillman, K. Bortoli, L.D. 2013. Programme
for International
Student Assessment, A Teacher’s Guide to PISA
Scientific Literacy . Victoris: Acer Press.
Tim Dikti. 2014. Buku Kurikulum Perguruan Tinggi. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan,
Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Turiman, P., Omar, J., Daud, A.M. and Osman, K. 2012.
Fostering The 21st Century Skills Through Scientific Literacy and Science Process Skills.
Procedia - Social and Behavioral Sciences, 59, 110
– 116. Villanueva,
M.G.F. 2010.
Integreted Teaching
Strtategies Model for Improved Scientific Literacy in Second Language Learners
. Unpublised Philosophea Doctor Education In
Faculty Of Education at the Nelson Mandela Metropolitan University.
Walker, J.S. 2014. Physics, Fourth Edition. San Fransisco: Pearson Education.
Widyaningtyas, A., Sukarmin Radiyono, Y. 2013. Peran Lingkungan Belajar dan Kesiapan Belajar
terhadap Prestasi Belajar Fisika Siswa Kelas X Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Pati. Jurnal
Pendidikan Fisika, 1:1, 136-143.
ISBN: 978-602-72071-1-0
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TERHADAP PENINGKATAN HASIL BELAJAR
SISWA PADA SUB POKOK BAHASAN PEMBIASAN KELAS X MA
Muhammad Syaiful Hidayat
Pendidikan fisika FKIP, Universitas Islam Madura, Pamekasan, Indonesia.
Email: hidaysaifgmail.com ABSTRAK
Dalam pembelajaran fisika, siswa kurang terlibat dalam proses pemecahan masalah sehingga menyebabkan hasil belajar siswa menjadi rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
pengaruh model pembelajaran berbasis masalah dibandingkan dengan metode konvensional kelas X pada sub pokok bahasan Pembiasan di MA Miftahul Ulum Bettet Pamekasan dan mengidentifikasi aktivitas
siswa kelas X dengan model pembelajaran berbasis masalah dibandingkan dengan metode konvensional pada sub pokok bahasan pembiasan di MA Miftahul Ulum Bettet Pamekasan. Penelitian ini adalah
penelitian eksperimen dengan sampel terpisah. Sampel penelitian yaitu kelas X-C sebagai kelas eksperimen dengan model pembelajaran berbasis masalah dan X-D sebagai kelas kontrol dengan metode
konvensional. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh model pembelajaran berbasis masalah terhadap peningkatan hasil belajar siswa dengan metode konvensional sebagai
pembanding, hal ini tampak dari perhitungan statistik menggunakan uji t, diperoleh t
hitung
t
tabel
dengan t
hitung
= 4,67 sedangkan t
tabel
= 4,67 dengan taraf signifikansi 5. Nilai tersebut menujukkan adanya perbedaan signifikan terhadap skor hasil belajar diantara keduanya. Ditinjau dari hasil uji gain
ternormalisasi juga terdapat pebedaan yang signifikan ini dapat dilihat dari nilai rata-rata gain ternormalisasi pada kelas eksperimen, sebesar 0,64 atau 64 . Sedangkan pada kelas kontrol, gain
ternormalisasi sebesar 0,35 atau 35 . Rata-rata persentase aktivitas siswa pada kelompok eksperimen selama pembelajaran adalah 70.5 . Sedangkan pada kelas kontrol sebasar 67,1 . Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa aktivitas siswa pada kelas eksperimen dengan model pembelajaran berdasarkan masalah lebih baik dari pada kelas kontrol dengan metode pembelajaran konvensional Berdasarkan hasil
penelitian ini disarankan agar model pembelajaran berbasis masalah digunakan sebagai salah satu variasi pembelajaran fisika dalam meningkatkan hasil belajar dan keterampilan proses pemecahan masalah.
Kata Kunci: Model Pembelajaran Berbasis Masalah, Metode Konvensional, Hasil Belajar Siswa
Abstract
In the study of physics, students are less involved in the problem solving process that led to student learning outcomes to be low. This research aimed to identify the effect of problem based learning model
compared with conventional methods of class X in the sub subject Refraction in MA Miftahul Ulum bettet Pamekasan and identify the student activity of class X with a problem based learning model compared
with conventional methods in sub subject of refraction in MA Miftahul Ulum bettet Pamekasan. This research is an experimental research with a separate sample. The research sample is class X C as an
experimental class with a problem based learning model and X D as the control class with conventional methods. Based on the results of the research showed that there is influence of problem-based learning
model for improving student learning outcomes with conventional methods as a compare it, it appears from the statistical calculation using the t test, obtained t count t table with t = 4.67, while t table = 4 ,
67 with a significance level of 5. The values it showed significant difference to the learning outcome scores between two it. Judging from the test results there is also a normalized gain significant contrast
can be seen on the average value of the gain is normalized in the experimental class, 0.64 or 64. While in the control class, the normalized gain of 0.35 or 35. The average percentage of the activity of the
students in the experimental group during the study as 70.5. While in the control class as 67.1. It can be concluded that the activity of the students in the experimental class with a problem based learning
model is better than the control class with conventional teaching methods. Based on the results of this
ISBN: 978-602-72071-1-0
research suggested that the problem-based learning model is used as a variation of learning physics in improving learning outcomes and skills of problem-solving process.
Keywords:
Problem Based Learning Models, Conventional Methods, Student Learning Outcomes
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan upaya terorganisir yang memiliki makna bahwa pendidikan harus dilakukan
secara sadar dan tujuan yang jelas yang pada intinya tujuan tersebut adalah untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa. Untuk mewujudkan tujuan tersebut tentunya pemerintah
memiliki strategi
dalam merancang
pendidikan yang mapan serta pelaksanaannya mendapat dukungan dari segala sisi terutama dari pelaksana
pendidikan termasuk didalamnya adalah guru dan siswa dalam konteks belajar dalam pembelajaran yang aktif,
kreatif,
inspiratifinteraktifinovatif, efektif
dan menyenangkan.
Berdasarkan observasi yang dilakukan di kelas X MA Miftahul Ulum Bettet Pamekasan, penulis
menjumpai beberapa kendala ditinjau dari aktivitas siswa. Diantara kendala tersebut adalah siswa kurang
antusias dalam menyimak. Selain itu juga siswa merasa gentar dalam menghadapi masalah terutama ketika
dihadapkan pada masalah mata pelajaran yang diujikan. Salah satu buktinya adalah ketika menjelang UNAS.
Siswa seakan-akan dihadapkan pada sesuatu yang menakutkan. Ini terjadi karena siswa kurang terbiasa
dalam pemecahan masalah. Hal ini menyebabkan hasil belajar pada kelas tersebut menjadi rendah. Oleh karena
itu diperlukan suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi siswa dalam proses pemecahan
masalah. Salah satunya dengan penerapan model pembelajaran berbasis masalah.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini menggunakan penelitian eksperimen. Rancangan penelitian ini seperti pada tabel
berikut:
Kelompok Pre-test
Perlakuan Post-
test I
1
II Z
2
Keterangan :
I = kelompok eksperimen
II = kelompok kontrol
= hasil pre-test kelompok
eksperimen = hasil pre-test
kelompok kontrol
= jenis perlakuan dengan model pembelajaran
berdasarkan masalah = jenis perlakuan dengan
metode konvensional = hasil post-test kelompok
eksperimen = hasil post-test kelompok
kontrol
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis hasil belajar siswa diperoleh berdasarkan data yang diperoleh dari data kuantitatif dan data
kualitatif. Uji normalitas kemampuan awal dan hasil belajar siswa dalam hal ini menggunakan chi kuadarat
yang diambil dari nilai pre-test dan Post-test siswa . Hasil uji tersebut tersaji sebagai berikut:
Tes Nilai
x
2 hitung
Nilai i x
2 tabel
Taraf Signefi
kansi Keteranga
n Pre-test
13,5 14
5 Normal
Post-test 12,5
14 5
Normal Dari tabel diatas dapat dilihat x
2 hitung
x
2 tabel
, sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan awal
siswa dan hasil belajar pada kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal. Uji yang digunakan untuk
mengetahui kemampuan awal siswa dalam hal ini adalah uji homogenitas sampel. Hasil uji tersebut tersaji sebagai
berikut:
Tes Nilai
F
Hitung
F
Tabel
Taraf Signefikansi
Keterang an
Pre –
Test 1,1
4,21 5
Homogen Post-
test 12,5
14 5
Homogen Dari tabel diatas dapat dilihat menunjukkan nilai
F
hitung
F
tabel
. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan awal siswa hasil belajar siswa baik pada kelas eksperimen
dengan model pembelajaran masalah maupun kontrol dengan metode konvensional adalah sama.
Kelas Eksper
imen Kelas
Kontrol t
hitu ng
t
ta bel
Taraf Signe
fikan si
Keterang an
�̅ S 1
2
�̅ S2
2
4,67 2,
04 5
Terdapat perbedaan
yang signefikan
69 ,3
8 19
9, 59
50 ,4
7 326,
39 Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat t
hitung
t
tabel.
Kesimpulannya, terdapat perbedaan signifikan terhadap skor hasil belajar antara kelompok eksperimen dan
kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa hasil belajar kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran
berdasarkan masalah lebih baik dari pada kelas kontrol yang menggunakan metode konvensional.
ISBN: 978-602-72071-1-0
Berdasarkan deskripsi nilai dari data kelas eksperimen dan kontrol maka dapat disimpulkan bahwa
kelas eksperimen dengan model pembelajaran berbasis masalah berpengaruh dalam peningkatan hasil belajar
siswa. Selain menganalisis kemampuan kognitif siswa juga dilakukan analisis terhadap aktivitas siswa yang
tersaji sebagai berikut:
Kegiatan Model
Pembelajaran Berdasarkan
Masalah Metode
Konvensional
Persentase Persentase
Partisipasi dalam kegiatan
69,53 67,18
Kerjasama dalam kelompok
70,31 67,97
Diskusi masalah autentik
71,09 66,41
Kesimpulan 71,09
67,2 Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa
aktivitas siswa pada model pembelajaran berbasis masalah lebih baik dibandingkan dengan aktivitas siswa pada
metode konvensional UCAPAN TERIMA KASIH
Denagan selesainya
penelitian ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Herman Jufri Andi, S.Si., M.Si. selaku pembimbing yang telah berkenan memberikan
waktu, bimbingan dan pengarahan penulisan skripsi ini.
2. Bapak Dr. H. Saiful Hadi, M.Pd. selaku dekan FKIP Universitas Islam Madura yang telah
menerbitkan surat permohonan izin penelitian . 3. Bapak Dr Ketut Mahardika, M.Si, Bapak
Suprianto, S.Pd, M.Si, dan ibu Ida Kholida, S.Pd, M.Pd selaku dosen penguji yang telah membantu
atas kelancaran penyusunan skripsi ini. 4. Petugas perpustakaan Universitas Islam Madura
yang telah memberikan ijin dan layanan yang ramah.
5. Bapak Muh. Mukhtar, S.Ag. selaku Kepala MA Miftahul Ulum Bettet Pamekasan yang telah
memberikan izin tempat penelitian dalam skripsi ini.
6. Bapak Risfandi S.Si, S.Pd,. selaku Guru pengajar Di kelas X-C dan X-D MA Miftahul Ulum Bettet
yang meluangkan waktunya untuk penelitian penulis serta selaku observer selama kegiatan
penelitan berlangsung.
PENUTUP Simpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Model pembelajaran
berbasis masalah
berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar siswa di kelas X MA Miftahul Ulum Bettet
Pamekasan pada sub pokok bahasan pembiasan. Hal ini tampak dari hasil rata-rata belajar siswa,
uji t dan gain ternormalisasi.
2. Aktivitas siswa setelah penerapan model pembelajaran berdasarkan masalah lebih baik
dibandingkan dengan metode konvensional pada sub pokok bahasan pembiasan di kelas X MA
Miftahul Ulum Bettet Pamekasan.
Saran Berdasarkan penelitian ini maka peneliti sarankan
bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat digunakan sebagai variasi model pembelajaran dalam meningkatkan
hasil belajar siswa, keterampilan proses pemecahan masalah.
Bagi peneliti lain diharapkan untuk melakukan penelitian model pembelajaran berdasarkan masalah pada
subyek penelitian dan mata pelajaran yang berbeda agar diperoleh hasil yang lebih baik, khususnya sebagai upaya
perbaikan kinerja dan hasil belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Amri, Sofan.
2009. Kontruksi
Pengembangan Pembelajaran,
Pengaruhnya Terhadap
Mekanisme dan Praktik Kurikulum . Jakarta: PT.
Prestasi Pustakaraya. Anisa, Nur. 2009. Penerapan Model Pembelajaran
“Problem Based
Learning” Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar dan Kreativitas Siswa Kelas XI Jurusan APK-2 di SMK Negeri 1
Turen . Univesitas Negeri Malang.
Arikunto, Suharsimi.
2005. Manajemen
penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Asra; Sumiati. 2008. Metode Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima.
Djamarah, Syaiful Bahri. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Asdi Mahasatya.
Foster, Bob. 2004. Terpadu Fisika Sma Jilid 1b Untuk Kelas X
. Jakarta: Erlangga. Ghony, Djunaidi. 2009 Petunjuk Praktis Penelitian
Pendidikan. Malang: UIN-Malang Press.
Hertanto. 2007. Fisika Kelas X. Kalaten: PT. Macanan Jaya Cemerlang.
Kanginan, Marthen. 2002. Fisika Untuk SMAMA Kelas X.
Jakarta: Erlangga. Kharida, Luluk Arifatul. 2009. Penerapan Model
Pembelajaran Berbasis Masalah Problem Based Instruction Untuk Meningkatkan Hasil
Belajar Siswa Pada Pokok Bahasan Elastisitas
Data Kelas
Eksperimen Kelas
Kontrol
Rata-rata pre-test
32,19 31,56
Rata-rata post-test
69,38 50,47
Skor ideal
90 85
Gain ternormalisasi
0,64 0,35
Persentase
64 35
ISBN: 978-602-72071-1-0
Bahan Kelas XI SMA Islam Sultan Agung 1
Semarang. Universitas Negeri Semarang.
Komalasari, Kokom. 2011. Pembelajaran Kontekstual Konsep Dan Aplikasi
. Bandung: PT Refika Aditama.
Murni, Wahid. 2010. Evaluasi pembelajara kompetensi dan praktik
. Yogyakarta:Nuha Letera. Pribadi, Mohammad. 2007. Fisika Mennyingkap Fakta .
Jaten Permai, Karang Anyar: CV Garaha Multi Grafika.
Putra, Sitiatava rezema. 2013. Desain Belajar Mengajar Kreatif Berbasis Sains
. Jogjakarta: Diva Pres. Setyono, P Sulistio. 2012. Intisari Fisika Untuk SMA
kelas X, XI dan XII. Bandung: Pustaka Setia.
Shomad, Abdus; Stepanus Sahala. 2010. Penerapan model pembelajaran berbasis masalah dalam
pembiasan cahaya pada lensa terhadap hasil belajar siswa di kelas VIII SMP Negeri 5
Ketapang . Universitas Tanjung Pura.
Sudjana. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sugiono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta.
Sumarsono, Gathot.
2006. Penerapan
Model Pembelajaran
Problem Based Instruction
Sebagai Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Fisika Pokok
Bahasan Kinematika Gerak Lurus Pada Siswa Kelas X Semester 1 Sma Negeri 1
Batang Tahun Pelajaran 20052006. Universitas
Negeri Semarang. Trianto. 2011. Model-Model Pembelajaran Inovatif
Berorientasi Kontruktivistik, Konsep Landasan Teoritis Praktis dan Implementasinya.
Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
Yamin, Martinis. 2011. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada GP Pres Jakarta.
Zainuri, Ahmad. 2012. Upaya Peningkatan Ketuntasan Belajar Fisika Siswa Dengan Menggunakan
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Stad Pada Pokok Bahasan Fluida Statik Di Sma Al-Falah
Sumber Gayam Kadur Pamekasan, Universitas
Islam Madura.
ISBN: 978-602-72071-1-0
PENGARUH SITUATED LEARNING TERHADAP HASIL BELAJAR FISIKA
Asriyadin
1
Yus’iran
2
1,2
Dosen Program Studi Pendidikan Fisika STKIP Taman Siswa Bima E-mail: asriyadingmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan model situated learning terhadap hasil belajar fisika pada materi gelombang bunyi. Melalui pelaksanaan pembelajaran fisika dengan model situated
learning diharapkan dapat diketahui perbedaan hasil belajar fisika siswa antara kelompok kontrol dan
kelompok eksperimen. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen experimental research
dengan studi komparasi. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XII IPA SMA Negeri 1 Pagutangan Brebes tahun pelajaran 20132014. Sampel penelitian ini terdiri atas dua kelas yaitu
kelas XII IPA 2 dan kelas XII IPA 3, dimana kelas XII IPA 2 sebagai kelas eksperimen dan kelas XII IPA 3 sebagai kelas kontrol. Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah lembar tes.
Analisis data yang digunakan adalah uji t-test. Hasil penelitian menunjukan terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar fisika menggunakan model situated learning dan konvesional.
Kata kunci
: situated learning, dan hasil belajar.
PENDAHULUAN
Sains merupakan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis untuk menguasai pengetahuan, fakta-
fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, proses penemuan, dan memiliki sikap ilmiah. Pendidikan sains di sekolah-
sekolah bermanfaat bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri, alam sekitar, dan kemajuan teknologi.
Pendidikan sains menekankan pada pemberian pengalaman
langsung untuk
mengembangkan kompetensi agar siswa mampu menjelajahi dan
memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan sains diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga dapat
membantu siswa memperoleh pengalaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.
Mata pelajaran fisika adalah salah satu mata pelajaran dalam rumpun sains. Hakikat sains adalah ilmu
pengetahuan yang objek pengamatannya adalah alam dengan segala isinya termasuk bumi, tumbuhan, hewan,
serta manusia. Sains adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh
dengan menggunakan
metode-metode berdasarkan observasi. Sains berkaitan dengan cara
mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga sains bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan
yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip- prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses
penemuan Depdiknas, 2003: 6.
Pada dasarnya fisika adalah ilmu dasar, seperti halnya kimia, biologi, astronomi, dan geologi. Ilmu-ilmu
dasar diperlukan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan terapan dan teknik. Tanpa landasan ilmu
dasar yang kuat, ilmu-ilmu terapan tidak dapat maju dengan pesat. Teori fisika tidak hanya cukup dibaca,
sebab teori fisika tidak sekedar hafalan saja akan tetapi harus dibaca dan dipahami serta dipraktikkan, sehingga
siswa mampu menjelaskan permasalahan yang ada. Dalam belajar fisika, yang pertama dituntut adalah
kemampuan untuk memahami konsep, prinsip maupun hukum-hukum, kemudian diharapkan siswa mampu
menyusun kembali dalam bahasanya sendiri sesuai dengan
tingkat kematangan
dan perkembangan
intelektualnya. Belajar fisika yang dikembangkan adalah kemampuan berpikir analitis, induktif dan deduktif dalam
menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan peristiwa alam sekitar, baik secara kualitatif maupun kuantitatif
dengan
menggunakan matematika,
serta dapat
mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap percaya diri Depdiknas, 2003: 1.
Mata pelajaran fisika juga merupakan salah satu mata pelajaran yang dianggap sulit bagi sebagian siswa.
Banyak siswa SMA yang menghindari jurusan IPA ketika naik kelas XI karena ingin menghindari pelajaran
eksak, salah satunya fisika. Hal ini bisa karena siswa kurang mahir dalam perhitungan matematika, karena
fisika juga identik dengan perhitungan angka yang notabennya banyak digunakan rumus. Selain itu, hasil
belajar masih rendah dikarenakan siswa mengalami kesulitan belajar.
Di SMA Negeri 1 Paguyangan Brebes, hasil belajar fisika yang diperoleh belum dapat dicapai dengan
baik. Dari beberapa analisis hasil ulangan yang dilakukan guru fisika selalu menunjukkan indikasi bahwa kurang
dari 50 siswa mendapatkan nilai di bawah kriteria ketuntasan minimal KKM yaitu 65 dari skala 100. Pada
pembelajaran fisika terdapat beberapa konsep yang sulit dipahami oleh siswa. Salah satu konsep dalam fisika
yang sulit dipahami oleh siswa adalah materi gelombang
ISBN: 978-602-72071-1-0 bunyi, karena gelombang bunyi sulit di nalar oleh siswa
dan tidak dapat diamati secara langsung. Banyak faktor yang menyebabkannya, hal ini
tidak terlepas dari faktor siswa, guru, bahan pelajaran dan metode mengajar yang digunakan oleh guru. Faktor-
faktor tersebut juga merupakan faktor penentu kualitas pendidikan. Usaha peningkatan kualitas pendidikan fisika
merupakan tantangan bagi setip guru fisika untuk selalu memperbaiki dan meningkatkan profesionalismenya
sesuai tuntunan jaman.
Dalam proses belajar mengajar, siswa tidak hanya menjadi pendengar dan mencatat apa yang disampaikan
oleh guru. Meskipun dalam hal ini siswa dapat dikatakan melakukan aktivitas, akan tetapi masih pada tataran
kegiatan pasif. Mengingat pentingnya pengajaran fisika, maka pengembangan proses belajar mengajar perlu
dikembangkan pada situasi yang kondusif yang dapat memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi siswa untuk
dapat terlibat dalam proses belajar mengajar secara aktif. Untuk dapat melibatkan dan mengaktifkan siswa maka
diperlukan metode pengajaran dan situasi yang tepat sesuai mata pelajaran yang akan dipelajarinya.
Beberapa masalah yang telah disampaikan diatas, maka perlu menciptakan suatu lingkungan belajar yang
baru yaitu menerapkan pembelajaran dengan cara situated learning
. Sesuai dengan salah satu ciri mata pelajaran fisika adalah adanya kerjasama antara
eksperimen dan teori maka dengan cara ini diharapkan siswa akan lebih bersemangat dalam belajar karena
dalam pembelajaran situated
learning memberi
pengalaman baru bagi siswa untuk aktif melalui situasi yang telah disediakan untuk pembelajaran baik melalui
praktik dan bersentuhan langsung dengan objek atau miniatur objek yang dipelajari dan hal tersebut sangat
disarankan dalam mata pelajaran fisika.
Situated learning diharapkan dapat memberikan
nilai tambah bagi siswa seperti motivasi belajar dalam upaya meningkatkan aktivitas belajar siswa di sekolah.
Adanya aktivitas yang meningkat ini diharapkan akan merubah cara belajar siswa dari belajar pasif menjadi
cara belajar aktif, sehingga dapat lebih mudah menguasai atau menyerap materi-materi yang diajarkan
oleh guru di sekolah, atau dengan kata lain dapat memperoleh hasil belajar yang tinggi.
Berdasarkan paparan diatas maka tujuan peneliti ini adalah mengetahui perbedaan penerapan model
pembelajaran situated learning dan konvesional terhadap hasil belajar
pada materi gelombang bunyi. Situated learning
pertama kali diterapkan oleh Jean Lave dan Etienne Wenger sebagai model
pembelajaran dalam bentuk praktek. Dalam pendekatan situated learning
, pengetahuan dan keterampilan belajar menggambarkan bagaimana pengetahuan diperoleh dan
diterapkan dalam situasi sehari-hari, berbeda dengan sebagian besar kegiatan belajar di kelas yang melibatkan
pengetahuan yang abstrak. Menurut Lave and Wenger dalam Richard Bailey, 2010: 151 Situated learning
merupakan suatu konsep pembelajaran yang bertempat di konteks yang sama sesuai dengan tempat dimana ilmu
itu diterapkan. Proses pembelajaran tidak hanya memberi pengetahuan abstrak dan dekontekstual dari
satu orang ke orang lain, tapi sebuah proses sosial dimana pengetahuan dibangun, disarankan bahwa situasi
dan konteks pembelajaran tersebut tertanam dalam lingkungan fisik dan sosial tertentu. Teori ini adalah teori
yang menekankan bahwa pengetahuan dan pembelajaran harus dikondisikan dalam fisik tertentu dan dalam
konteks sosial masyarakat, rumah, laboraturium, dsb dalam mencapai tujuan belajar.
Pada dasarnya
situated learning
adalah menciptakan suatu kegiatan dalam keidupan nyata Stein,
1998. Berikut ini beberapa contoh dari kegiatan situated learning
antara lain: 1 Menekankan agar pemikiran yang lebih tinggi daripada perolehan fakta, 2 Mendorong
refleksi belajar, 3 Fokus pada aplikasi daripada menghafal, 4 Tempat belajar dalam lingkungan nyata
sesuai dengan karakter mata pelajaran, 5 Meningkatkan kerja lulusan, 6 Belajar terjadi melalui dialog dengan
orang lain dalam komunitas praktek.
Contoh ini menggambarkan bahwa siswa secara aktif terlibat dalam konteks pembelajaran yang
menyerupai dunia nyata. Hal tersebut dapat diartikan sebagai pembelajaran dalam bentuk praktek sehingga
situasi yang dirasakan siswa tersebut berada dalam pengalaman belajar dan memperoleh pengetahuan yang
menjadi bagian dari kegiatan belajar, konteks, dan budaya dimana ia dikembangkan dan digunakan. Siswa
dapat membangun pengetahuan mereka sendiri dari pengalaman
belajar melalui
situated learning
, keberhasilan pengalaman belajar bersituasi bergantung
pada interaksi sosial dan aktivitas kinestetik. Ada beberapa poin strategi yang sering dilakukan
atau digunakan dalam situated lerning antara lain Les M. Lunce 2006: 39: 1 Cerita stories, 2 Refleksi
reflection, 3 Instruksi berlabuh anchored instruction, 4 Magang kognitif cognitive apprenticeship, 5
Pemodelan modeling, 6 Kolaborasi collaboration, 7 Pembinaan coaching, 8 Perancah dan penilaian
scaffolding and judging, 9 Multi praktik multiple practice
, 10 Eksplorasi exploration, 11 Artikulasi articulation.
Melalui situated
learning siswa
dapat menginterpretasi informasi dengan pemahamnnya
sendiri. Peran pembelajaran tidak untuk mengeluarkan fakta-fakta tetapi untuk menyediakan siswa dengan cara-
cara untuk mengumpulkan informasi. Situated learning percaya bahwa belajar yang efektif terjadi ketika
pebelajar siswa terlibat dalam tugas-tugas autentik yang berhubungan dengan konteks-konteks dunia nyata.
Teori situated learning berasaskan kefahaman bahawa ilmu diperoleh dari situasi kontekstual dan
dipengaruhi oleh konteks aktivitas dimana pembelajaran itu berlangsung. Ini bermaksud pelajar memperoleh ilmu
melalui pengalaman autentik membuat pekerjaan atau tugasan yang dilakukan oleh ahli professional dalam
bidang berkenaan. Melalui pengalaman autentik, pelajar mendapat akses mengenai cara bagaimana melakukan
sesuatu pekerjaan dengan cara yang telah ditentukan dan penuh bermakna. Berdasarkan teori ini dapat dirumuskan
ISBN: 978-602-72071-1-0 bahwa pengalaman dalam pembelajaran akan membentuk
cara belajar yang berkesan dan professional. Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan
yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah
perubahan mencakup bidang kognitif, afektif dan psikomotoris yang berorientasi pada proses belajar
mengajar yang dialami siswa Sudjana, 2005: 54. Sedangkan menurut Gronlund dalam Purwanto, 2008:
45, hasil belajar merefleksikan tujuan pengajaran. Tujuan pengajaran adalah tujuan yang menggambarkan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dimiliki oleh siswa sebagai akibat dari hasil pengajaran yang
dinyatakan dalam bentuk tingkah laku behavior yang dapat diamati dan diukur.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar Menurut Munadi dalam Rusman, 2012: 124 antara lain
meliputi faktor internal dan faktor eksternal: 1 Faktor internal terdiri dari: a Faktor Fisiologis. Secara umum
kondisi fisiologis, seperti kesehatan yang prima, tidak dalam keadaan lelah dan capek, tidak dalam keadaan
cacat jasmani dan sebagainya. Hal tersebut dapat mempengaruhi peserta didik dalam menerima materi
pelajaran. b Faktor Psikologis. Setiap indivudu dalam hal ini peserta didik pada dasarnya memiliki kondisi
psikologis yang berbeda-beda, tentunya hal ini turut mempengaruhi hasil belajarnya. Beberapa faktor
psikologis meliputi intelegensi IQ, perhatian, minat, bakat, motif, motivasi, kognitif dan daya nalar peserta
didik. 2 Faktor eksternal terdiri dari: a Faktor Lingkungan. Faktor lingkungan dapat mempengurhi hasil
belajar. Faktor lingkungan ini meliputi lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan alam misalnya suhu,
kelembaban dan lain-lain. Belajar pada tengah hari di ruangan yang kurang akan sirkulasi udara akan sangat
berpengaruh dan akan sangat berbeda pada pembelajaran pada pagi hari yang kondisinya masih segar dan dengan
ruangan yang cukup untuk bernafas lega. b Faktor Instrumental. Faktor-faktor instrumental adalah faktor
yang keberadaan dan penggunaannya dirancang sesuai dengan hasil belajar yang diharapkan. Faktor-faktor ini
diharapkan dapat berfungsi sebagai sarana untuk tercapainya tujuan-tujuan belajar yang direncanakan.
Faktor-faktor instrumental ini berupa kurikulum, sarana dan guru
Jadi dapat disimpulkan, bahwa hasil belajar fisika merupakan kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia
menemukan pengalaman belajar tentang fisika, yang mana hasil belajar tersebut dipengaruhi oleh dua faktor,
yaitu faktor yang berasal dari dalam dan luar diri siswa.
Berdasarkan teori Bloom dalam Nana Sudjana, 2009: 22 hasil belajar dalam rangka studi dicapai
melalui tiga kategori ranah antara lain kognitif, afektif, psikomotor.
Hasil belajar yang diukur dalam penelitian ini adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa
stelah melalui proses pembelajaran pada pokok bahasan gelombang bunyi khususnya pada ranah kognitif.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dan jenis penelitian adalah eksperimen, yang menggunakan
desain posttest-0nly Control Design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa
kelas XII IPA SMA Negeri 1 Paguyangan tahun pelajaran 20132014, sedangkan sampelnya adalah kelas
XII IPA2 dan XII IPA3 dangan jumlah siswa masing- masing 28 orang siswa.
Metode yang digunakan untuk megumpulkan data hasil belajar fisika pada pokok bahasan gelombang bunyi
yaitu dengan metode tes. Sedangkan Instrumen yang digunakan adalah tes hasil belajar fisika.
Data hasil tes baik kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen dianalisis dengan uji t-test
independen sample t-test. Sebelum dilakukan uji t-test, terlebih dahulu dilakukan uji prasarat yaitu uji
normalitas dan uji homogenitas varians. HASIL DAN PEMBAHASAN
Melalui tes hasil belajar fisika pada pokok bahasan gelombang bunyi, maka diperoleh nilai hasil
belajar fisika pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen, secara ringkas dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Data tes hasil belajar fisika
Kelas N Rerata SD
Nilai Tertinggi Terrendah
KK 28
10,1 2,92
15 5
KE 28
11,9 3,26
17 7
Berdasarkan tabel 1, bahwa jumlah siswa kelas eksperimen dan kontrol masing-masing 28 siswa,
sedangkan nilai rata-rata kelas ekperimen dan kelas kontrol adalah 11,9 dan 10,1, sementara standar
deviasinya adalah 2,92 untuk kelas kontrol dan 3,26 untuk kelas eksperimen, serta nilai terendah dan tertinggi
untuk kelas eksperimen adalah 7 dan 17, nilai terrendah dan tertinggi untuk kelas kontrol adalah 5 dan 15.
Sebelum dilaksanakan uji hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat analisa yang meliputi uji
normalitas dan uji homogenitas varians. Uji normalitas dilakukan dengan teknik Kolmogorov-Smirnov melalui
program SPSS 19, sedangkan uji homogenitas varians dilakukan dengan uji varians dengan bantuan program
SPSS 19.
Uji normalitas dengan teknik Kolmogorov- Smirnov melalui SPSS 19 menunjukkan bahwa data hasil
belajar fisika berdistribusi normal. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikan alpha yaitu 0.200 0.05.untuk
kelas eksperimen dan 0.180 0.05 untuk kelas kontrol. Jadi suatu data dikatakan berdistribusi normal apabila
alpha signifikan. Uji homogenitas varians dengan bantuan SPSS 19 menunjukkan bahwa nilai signifikan
0.407 lebih kecil dari nilai alpha 0.05, sehingga dapat dikatakan bahwa sampel yang diambil dalam penelitian
ini berasal dari populasi yang memiliki varians yang sama homogen. Suatu data dikatakan memiliki varians
yang sama homogen jika alpha signifikan.
Data perbedaan hasil belajar siswa antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dianalisis
dengan menggunakan uji t-tes independent sample t-
ISBN: 978-602-72071-1-0 test dengan bantuan program SPSS 19. Adapaun
ringkasan hasilnya dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2
. Uji Hipotesis independent sample t-test t-test for Equality of Means
t df
sig Hasil
Belajar Equal variances assumed
2.204 54
0,032 Equal variances not assumed
2.204 53.354
0,032 Hasil analisis yang ditampilkan pada tabel 2,
diperoleh nilai signifikan pada baris model sebesar 0,032 sedangkan nilai alpha sebesar 0.05. Ketentuan yang
berlaku adalah jika alpha signifikan maka hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan hasil belajar yang
signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen pada metode yang berbeda.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa adanya perbedaan hasil belajar fisika. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan perlakuan yang diterapkan selama proses pembelajaran. Semakin besar keterlibatan siswa dalam
proses pembelajaran maka semakin besar kemungkinan untuk dapat hasil belajar siswa yang lebih baik.
Penelitian ini menunjukan bahwa proses
pembelajaran dengan menerapkan model situated learning
dapat meningkatkan hasil belajar fisika siswa dibandingkan dengan model konvesional, karena sistem
model konvesional pada umumnya siswa yang merasa bosan sehingga dapat mengurangi motivasi dan hasil
belajar fisika siswa. Dengan penerapan model situated learning
siswa akan lebih bersemangat dalam belajar karena dalam penerapan model situated learning siswa
tidak hanya menerima pengetahuan abstrak melainkan bersentuh langsung dengan konteks dunia nyata dalam
bentuk praktek sesuai materi yang dipelajari sehingga siswa mudah memahami materi yang diajarkan.
Melalui pembahasan di atas memberi gambaran bahwa tinggi-rendahnya hasil belajar pada proses
pembelajaran itu sangat tergantung seberapa besar masukan pribadi dan masukan lingkungan terakomodasi
dalam proses pembelajaran tersebut. Oleh karena itu, hal yang sangat menarik untuk dilakukan dari faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil belajar di atas adalah model situated learning
. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penerapan
model pembelajaran situated learning sangat efektif digunakan dalam proses pembelajaran di kelas karena
penerapan model pembelajaran ini berhasil meningkatkan hasil belajar berdasarkan peningkatan skor akhir yang
diperoleh siswa. PENUTUP
Simpulan
Terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hal ini juga
dapat dilihat dari hasil belajar kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol.
Saran 1. Pembelajaran dengan menerapkan model situated
learning tidak hanya memilih ruangan atau tempat
yang kondusif untuk belajar, tetapi sarana dan prasarana seperti alat peraga yang dibutuhkan sebagai
media pembelajaran juga disediakan untuk meningkat aktivitas dan kreativitas dalam proses pembelajaran.
2. Dalam penerapan model situated lerning agar dapat meningkatkan hasil belajar yang lebih tinggi terlebih
dahulu menyiapkan media-media yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran agar siswa
dapat berperan serta atau berpartisipasi dalam proses pembelajaran tersebut.
3. Dengan model sitiated learning, proses pembelajaran dapat mengoptimalkan alat peraga yang disediakan
oleh sekolah dan dapat difungsikan sebagai bahan pembelajaran.
4. Bagi peneliti lain, bila akan mengadakan penelitian yang serupa, hendaknya memilih lingkungan belajar
yang kondusif
dan nyaman
serta fasilitas
pembelajaran yang lengkap sesuai dengan mata pelajaran yang hendak dipelajari.
DAFTAR PUSTAKA Bailey, R. 2010. Physical Education for Learning: A
Guide for
Secondary Schools.
Continuum International Publishing Group, New York
Depdiknas. 2003. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Biologi Sekolah Menengah Atas dan Madrasah
Aliyah . Jakarta: Balitbang Depdiknas.
Lunce, L.M. 2006. Simulations: Bringing the Benefits of Situated Learning to the Traditional Classroom.
Journal of Applied Educational Technology ,
Volume 3, Number 1 pp. 37 – 45
Purwanto. 2008. Evaluasi Hasil Belajar. Surakarta: Pustaka Pelajar Rajawali Pers
Rusman. 2012. Belajar dan Pembelajaran Berbasis Komputer Mengembangkan Profesionalisme Guru
Abad 21 . Bandung: Alfabeta
Stein, D. 1998. Situated learning in adult education. http:www.ericdigests.org1998-3adult-
education.html Diakses tanggal 23 September 2013
Sudjana, N. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar mengajar
. Rosdakarya, Bandung Sudjana, N. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar
mengajar . Rosdakarya, Bandung.
ISBN: 978-602-72071-1-0
IMPLEMENTASI METODE GROUP IINVESTIGATION UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR
DITINJAU DARI KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA
Lisna
1
Widodo
2
Moh. Toifur
3
1,2,3
Program Magister, Pendidikan Fisika, Universitas Ahmad Dahlan E-mail:lisna.uad89gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah implementasi metode group investigation dapat meningkatkan hasil belajar ditinjau dari keterampilan berpikir kritis dan seberapa besar peningkatan hasil belajar yang ditinjau dari
keterampilan berpikir kritis siswa pada konsep kalor di kelas VII-B SMP Al-Khairaat Kota Ternate. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII-B berjumlah 26 siswa. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas melalui empat
tahapan yaitu : perencanaan, pelakasaan, observasi, dan refleksi yang dilaksanakan dalam 3 siklus. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu observasi, angket, catatan lapangan, dan tes. Instrumen yang digunakan berupa
lembar observasi, angket, dan soal keterampilan berpikir kritis. Teknik analisis data yang digunakan adalah kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan rerata persentase kognitif pra tindakan hingga siklus III berturut-turut
26,92, 34,62, 53,85, dan 76,92 dengan besar peningkatan 26,92, 46,15, dan 80,77.. Rerata persentase afektif siklus I hingga siklus III berturut-turut 26,92, 46,15, dan 80,77 dengan besar peningkatan 19,23, dan
34,62, dan rerata persentase psikomotorik siklus I hingga siklus III berturut-turut 3462, 57,69, dan 88,46 dengan besar peningkatan 23,07 dan 30,80. Simpulan dari penelitian ini adalah implementasi metode group investigation
dapat meningkatkan hasil belajar ditinjau dari keterampilan berpikir kritis siswa kelas VII-B SMP Al-Khairaat Kota Ternate tahun pelajaran 20142015.
Kata Kunci:
group investigation, hasil belajar, keterampilan berpikir kritis.
ABSTRACT
This research aim to know whether the implementation of cooperative learning model with group investigation type can increase the grade of the students of Alkhairat Junior High School of Ternate City, particularly in class VII-B, or not,
and how the grade increasing go, based on the students critical thinking skill. The type of the research is classroom action research, which has four stages : planning, implementation, observation, and reflection through 3 cycles. While,
the action type is the implementation of cooperative learning model with group investigation type on calor. The subjectof the research are 26 students class VII-B of Alkhairat Junior High School of Ternate City, academic year
20142015. The instruments of this research are test sheet for cognitive aspects, teacher observation sheets on learning activities using the cooperative learning model with group investigation, students grade observation sheet for affective
aspects, students grade observation sheet for psycomotoric aspects, questionaire of students response upon the model cooperative learning model with group investigation type, and field notes for investigate problems which might raise
during the learning activities. The datas were analyzed quantitatively and qualitatively by using descriptive statistic methode. The results indicated that the implementation of cooperative learning model with group investigation type
can increase the grade of the students based on the students critical thinking skill in cognitive, affective, and psycomotoric aspects. The increasing of students grade showed in percentages. From the pre-action to cycle III, the
results for the cognitive aspects are 26,92, 34,62, 53,85, and 76,92 with the increasing number 26,92, 46,15 and 80,77. While, for the affective aspects are 26,92, 46,15, 80,77 with the increasing number 19,23
and 34,62, and for the psycomotoric aspects are 34,62, 57,69 and 88,46 with the increasing number 23,07 and 30,80.
Keywords:
group investigation,learning outcomes,critical thinking skill.
.
ISBN: 978-602-72071-1-0
PENDAHULUAN
Secara umum, kualitas sumber daya manusia di Maluku Utara tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat data
dari Balitbang mengenai komposisi peringkat pencapaian pendidikan, bahwa indeks pengembangan manusia
human development index, menunjukkan diantara 34 propinsi yang ada di Indonesia Maluku Utara menempati
urutan ke 27.Data lain menunjukkan hal yang sama, menurut survey political and economic risk consultan
PERC, mutu pendidikan di Maluku Utara berada di bawah posisi Ambon dan Irian. Selain itu, jika dilihat
lebih dalam yang menyangkut tentang prestasi siswa di Maluku Utara, data hasil UN SMP yang dirilis, bahwa
dari 34 Propinsi, Maluku Utara menempati urutan ke 27 dengan nilai 37,30.
Data tersebut menunjukkan buruknya tingkat pendidikan di Maluku Utara serta diperlukannya
peningkatan mutu sumber daya manusia. Hal tersebut menyebabkan pemerintah bersama dengan berbagai
kalangan telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut
melalui berbagai
usaha pembangunan
pendidikan yang lebih bermutu antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem
evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pemberian pendidikan
dan pelatihan bagi guru. Tetapi upaya pemerintah tersebut belum memberikan dampak yang signifikan
dalam meningkatkan mutu pendidikan Maluku Utara. Adapun salah satu permasalahan khusus dalam
pendidikan di Maluku Utara yaitu prestasi belajar.
Pada dasarnya peningkatan kualitas pendidikan dalam hal ini tingkat keberhasilan prestasi belajar
dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya kualitas pembelajaran, kemampuan guru, model pembelajaran,
karakter siswa yang meliputi bakat, minat, motivasi dan kemampuan, materi, sarana prasarana, keterampilan
berpikir, alat evaluasi, serta lingkungan. Kualitas pembelajaran dapat dilihat dari interaksi siswa dengan
sumber belajar dan pendidik. Interaksi pembelajaran yang berkualitas adalah interaksi yang dapat menciptakan
suasana yang menyenangkan dan dapat menciptakan pengalaman belajar Ali,2009:15.
Sebagaimana Mufahroyin 2009:13 menyatakan bahwa untuk mengahdapi perubahan dunia yang begitu
pesat adalah dengan membentuk budaya berpikir kritis di masyarakat. Prioritas dari sebuah pendidikan adalah
mendidik siswa
bagaimana cara
belajar dan
meningkatkan keterampilan berpikir kritis. Menurut Richard W. Paul yang dikutip oleh Kasdin
dan Febiana 2012:5 berpikir kritis adalah proses disiplin secara intelektual dimana seseorang secara aktif
dan terampil memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesakan dan mengevaluasi berbagai informasi
yang dikumpulkan atau yang diperoleh dari pengalaman, pengamatan, refleksi yang dilakukan, penalaran, atau
komunikasi”. Jadi seseorang yang berpikir kritis akan selalu aktif dalam memahami dan menganalisis
informasi yang diperoleh. Keterampilan berpikir kritis dapat dikembangkan
melalui pembelajaran IPA menitik beratkan pada sistem, konsep, prinsip. IPA dengan hakikatnya sebagai ilmu
yang terstruktur dan sistematis, sebagai suatu kegiatan manusia melalui proses yang aktif, dinamis, dan
generatif, serta sebagai ilmu yang mengembangkan sikap berpikir kritis, dan objektif, menjadi sangat penting bagi
siswa agar dapat mampu berpikir kritis untuk mencapai hasil atau mengambil keputusan yang tepat dan bijaksana
dalam menghadapi laju perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat. Namun, pentingnya IPA
untuk dipelajari oleh siswa tidak sejalan dengan anggapan yag saat ini berkembang pada sebagian besar
siswa adalah IPA bidang studi yang sulit dan tidak disenangi. Hanya sedikit yang mampu menyelami dan
memahami IPA sebagai ilmu yang dapat melatih keterampilan berpikir kritis Suputra, Sedanayasa, dan
Dibia, 2012.
Dari hasil observasi peneliti menunjukkan bahwa model pembelajaran yang diterapkan dalam kegiatan
pembelajaran di
kelas VII-B
belum dapat
memaksimalkan atau
belum dapat
merangsang kemampuan berpikir kritis siswa. Dalam hal ini,
kemapuan siswa memecahkan suatu permasalahan, menganalisis asumsi, mengevaluasi, sampai pada
pengambilan keputusan,
dan juga
dalam hal
berpartisipasi melalui kegitaan pembelajaran dengan memberikan argumen, serta kurang adanya motivasi dan
minat. Selain itu sifat individualistik siswa yang mendominan saat dalam melakukan kerja kelompok.
Padahal berdasarkan wawancara dengan guru, kemampuan siswa di kelas VII-B tergolong baik dan
siswa cukup aktif bertanya di dalam proses pembelajaran serta hasil belajar yang diperoleh siswa masih
dikategorikan baik. Namun, mereka tidak dapat untuk mengkomunikasikan ide-ide dalam pembelajaran IPA
mereka baik secara lisan maupun secara tulisan. Mereka juga tidak maksimal dalam menganalisis permasalahan
dan pengambilan keputusan untuk menentukan solusi. Hal ini dapat diidentifikasi dari bagaimana siswa
menyelesaikan soal-soal sebagian besar siswa masih mengharapkan temannya tanpa ada usaha untuk
memecahkan atau menjawab soal yang diberikan oleh guru. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan hasil evaluasi
yang dilakukan, diperoleh siswa yang tergolong sangat kritis 0, kritis 8 siswa, cukup kritis 13 siswa, dan kurang
kritis 5. Jika dilihat dari ketuntasan secara klasikal dari 26 orang siswa yang tuntas sesuai indikator keberhasilan
adalah 7 siswa atau 26,92.
Kondisi seperti ini dapat mempengaruhi hasil belajar atau prestasi belajar yang dicapai siswa dalam
kegiatan belajar. Maka dari itu, perlu adanya upaya untuk dapat mengemas pembelajaran dengan optimal, melalui
model pembelajaran yang relevan dengan dapat menciptakan atmosfir yang kondusif yaitu dengan
keantusiasan,
kehangatan, tantangan,
bervariasi, keluesan, penekanan yang positif dan juga iklim kelas
yang dapat mendorong kegiatan pembelajaran yang efektif yaitu menyenangkan, mengaksikan, menguatkan,
menghidupkan, memberi kebebasan, dan juga dapat meningkatkan
keterampilan berpikir
krits yang
ISBN: 978-602-72071-1-0
kesemuanya itu berimplikasi pada tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
Salah satu model pembelajaran yang diduga dapat meningkatkan kualitas kegiatan pembelajaran dengan
menciptakan atmosfir
yang kondusif,
keagitan pembelajaran yang efektif, serta dapat memfasilitasi
berkembangnya kemampuan berpikir kritis siswa dalam kegiatan pembelajaran adalah model pmebelajaran
kooperatif tipe group investigation.
Group investigation merupakan salah satu bentuk
pembelajaran kooperatif yang menekankan pada partisipasi dan aktivitas siswa untuk mencari sendiri
materi informasi pelajaran yang akan dipelajari melalui bahan-bahan yang tersedia. Pada metode ini, siswa
dilibatkan sejak perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun para siswa untuk memiliki kemampuan
yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam keterampilan proses kelompok dan juga dapat melatih
untuk menumbuhkan kemampuan berpikir mandiri Sudrajat, 2009:25.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan suatu penelitian dengan
judul implementasi metode group investigation untuk meningkatkan hasil belajar ditinjau dari keterampilan
berpikir kritis siswa dengan rumusan masalah: apakah impelementasi metode group investigation dapat
meningkatkan hasil belajar ditinjau dari keterampilan berpikir kritis siswa? Dan berapa besar peningkatan hasil
belajar yang ditinjau dari keterampilan berpikir kritis siswa melalui metode group investigation?
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah impelementasi metode group
investigation dapat meningkatkan hasil belajar ditinjau
dari keterampilan berpikir kritis siswa dan berapa besar peningkatan hasil belajar yang ditinjau dari keterampilan
berpikir kritis siswa melalui metode group investigation PEMBAHASAN
A. Hasil Observasi Hasil Beajar Aspek Afektif
Data hasil observasi aspek afektif siswa siklus I, siklus II, dan siklus III dapat disajikan pada tabel 1 dan
gambar diagram 1. Tabel 1. Rekapitulasi hasil observasi aspek afektif
Gambar 1. Rekapitulasi hasil observasi aspek afektif Berdasarkan tabel 1 dan gambar 1 menunjukkan
bahwa persentase hasil belajar siswa aspek afektif pada sklus I dan siklus II dengan besar peningkatan 19,23
belum memenuhi indikator keberhasilan. Hal ini disebabkan karena siswa belum begitu terbiasa dengan
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe group investigation
dengan melakukan kegiatan praktikum atau relatif baru sehingga siswa membutuhkan proses untuk
penyesuaian. Hal ini sesuai dengan pendapat Hamalik 2009 yang mengatakan bahwa belajar dapat diartikan
sebagai proses perubahan perilaku akibat pengalaman dan latihan. Namun pada siklus III mengalami
peningkatan sebesar 34,62 dengan klasifikasi sangat baik. siswa sudah lebih terbiasa dengan metode group
investigation
dan juga telah terbiasa dengan kegiatan praktikum atau penyelidikan dengan adanya interaksi
sehingga dapat terciptanya kerjasama, terlihat adanya tanggung jawab yang dilihat dari kesediaan siswa secara
sukarela dalam melakukan kegiatan praktikum dan membentuk panitia acara untuk mempresentasikan hasil
diskusi atau hasil investigasi. Selain itu terlihat adanya partisipasi siswa dalam mengungkapkan pendapat atau
tanggapan dan pertanyaan-pertanyaan pada tahap presentasi. Dengan adanya peningkatan hasil belajar
afektif pada siswa, dapat dikatakan bahwa siswa tidak mengalami kesulitan yang berarti telah terbiasa
melakukan
kinerja ilmiah
melalui pengalaman-
pengalaman kinerja ilmiah dari pertemuan-pertemuan sebelumnya.
B. Hasil Belajar Aspek Kognitif Ditinjau dari keterampilan berpikir kritis
Hasil belajar asepk kognitif yang ditinjau dari keterampilan berpikir kritis dapat disjaikan pada tabel 2
dan gambar diagram 2. Tabel 2. Rekapitulasi hasil belajar aspek kognitif
ditinjau dari keterampilan berpikir kritis
Pengukuran Persentase Klasifikasi
Pra tindakan 27
Kurang kritis Siklus I
35 Kurang kritis
Siklus II 54
Cukup kritis Siklus III
77 Kritis
Gambar 2. Rekapitulasi hasil belajar aspek kognitif ditinjau dari keterampilan berpikir kritis
Berdasarkan tabel 2 dan gambar 2 menunjukkan bahwa pada pra tindakan ke siklus I dengan besar
peningkatan 7,7, siklus I ke siklus II dengan besar
Pengukuran Persentase
Klasifikasi
Siklus I 26,92
Kurang baik Siklus II
46,15 Cukup baik
Siklus III 80,77
Sangat baik
ISBN: 978-602-72071-1-0
peningkatan 19,23 belum memenuhi indokator keberhasilan yadengan besar png telah ditentukan, hal in
disebabkan oleh faktor intelegensi dan juga perhatian siswa dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini sesuai
dengan pendapat Daryanto 2009 yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar
adalah termasuk intelgensi dan perhatian. Namun pada siklus III aspek kognitif siswa mengalami peningkatan
sebesar 23,07 dengan klasifikasi kritis.
C. Hasil Observasi Aspek Psikomotorik Data hasil observasi aspek psikomotorik siklus I,
siklus II, dan siklus III dapat disajikan dalam bentuk tabel 3 dan gambar 3.
Tabel 3. Rekapitulasi hasil observasi aspek psikomotorik
Pengukuran Persentase
Klasifikasi
Siklus I 38
Kurang baik Siklus II
58 Cukup baik
Siklus III 88
Sangat baik
Gambar 3. Rekapitulasi hasil observasi aspek psikomotorik
Berdasarkan tabel 5 dan gambar 3 menunjukkan bahwa persentase hasil belajar siswa aspek afektif pada
sklus I dan siklus II dengan besar peningkatan 19,23 sehingga menjadi belum memenuhi indikator
keberhasilan. Hal ini disebabkan 1 sebagian siswa masih terlihat kebingungan dalam memahami langkah-langkah
percobaan; 2 merangkai alat; 3 siswa masih kesulitan menganalisis data, dan 4 kurang begitu antusias dalam
melakukan kegiatan praktikum dan 5 belum berpengalaman melakukan kegitaan praktikum atau
kegiatan penyelidikan sehingga sehingga membutuhkan proses untuk penyesuaian. Sesuai dengan pendapat Anni
2009 yang mengatakan bahwa belajar merupakan proses di mana suatu organisme mengubah perilakunya
setelah melakukan aktivitas. Namun pada siklus III hasil belajar aspek piskomotorik menagalami peningkatan
sebesar 30,77 dan memenuhi indikator keberhasilan secara klasikal dengan klasifikasi sangat baik. Hal ini
disebabkan siswa lebih terampil melakukan penyelidikan atau kegiatan penyelidikan sesuai dengan prosedur.
Adapun kondisi kooperatif siswa meningkat, begitu pula dengan kondisi individualistik, siswa dapat dilatih untuk
tampil lebih aktif baik dalam diskusi maupun melakukan penyelidikan atau kegiatan praktikum.
D. Hasil Angket Respon Siswa
Dari hasil analisis angket pada siklus I, siklus II, dan sikkus III menunjukkan bahwa untuk tahap
mengidentifikasi topik dan mngatur kelompok penelitian mencapi nilai rata-rata 74,89 dengan klasifikasi baik.
Tahap merencanakan investigasi dalam kelompok mencapai nilai rata-rata 75,74 dengan klasifikasi baik.
Tahap melaksanakan investigasi mencapai nilai rata-rata 74,62 dengan klasifikasi baik. Tahap menyiapkan
laporan mencapai nilai rata-rata 75,10 dengan klasifikasi baik. Tahap presentasi mencapai nilai rata-rata
73,71 dengan klasifikasi baik. Tahap evaluasi mencapai nilai rata-rata 74,62 dengan klasifikasi baik.
PENUTUP Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa impelementasi metode group
investigation dapat meningkatkan hasil belajar ditinjau
dari keterampilan berpikir kritis siswa kelas VII-B SMP Al-Khairaat Kota Ternate hal ini ditunjukkan dengan
persentase hasil belajar aspek afektif pada siklus I sebesar 26,92. Kemudian mengalami peningkatan
sebesar 19,23 sehingga pada siklus II menjadi 46,15 dan pada sikus III mengalami peningkatan sebesar
34,62 sehingga menjadi 80,77. Untuk hasil belajar aspek kognitif dari pra tindakan ke siklus I degan
persentase 26,92 mengalami peningkatan sebesar 7,70 sehingga menjadi 34,92. Pada siklus I Ke siklus II
mengalami peningkatan sebesar 19,23 sehingga menjadi 53,85, dan pada siklus II ke siklus III
mengalami peningkatan sebesar 23,07 sehingga menjadi 76,92.
Saran
Berdasarkan hasil
penelitian ini,
peneliti merekomendasikan saran kepada guru sebagai berikut.
1. Model pembelajaran
kooperatif tipe
Group Investigation
GI yang telah diterapkan pada siswa kelas VII B SMP AL-KHAIRAAT Kota Ternate
dapat meningkatkan hasil belajar yang ditinjau dari keterampilan berpikir kritis siswa sehingga dapat
dijadikan alternatif dalam pembelajaran IPA.
2. Pembelajaran melalui model pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation GI memerlukan adanya
pengawasan lebih dari satu guru pada saat belajar secara berkelompok agar hasil yang diperoleh lebih
optimal.
UCAPAN TERIMA KASIH 1. Bapak Dr. Widodo, M.Si dan Dr. Moh. Toifur, M.Si
selaku pembimbing pertama yang memeberi arahan dan bimbingan sehingga penelitian ini dapat
diselesaikan. 2. Pihak SMP Al-Khairaat Kota Ternate yang telah
memberikan izin penelitian sehingga penelitian ini terlaksana.
ISBN: 978-602-72071-1-0
3. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang telah memberikan motivasi,
dukungan, dan perhatiannya.
DAFTAR PUSTAKA Ali, Muhammad. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta
Didik . Bandung: Remaja Rosdakarya.
Anni, C. T. 2009. Psikologi Belejar. Semarang: UPT MKK UNNES.
Daryanto. 2009. Panduan Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif.
Jakarta : Publisher. Hamalik. 2009. Proses Belajar Mengajar. Jakarta:
Bumi Aksara. Kasdin dan Febiana. 2012. Critical Thinking Membangun
Penilaian Logis . Jakarta: Erlangga.
Mufahroyin. 2009. Memberdayakan kemampuan berpikir
kritis .
online. Diambil
dari:Muhfaroyin.blogspot.com200901Ber pikir-Kritis.html. Diakses pada tanggal 06
Desember 2015. Suputra dan Sedanayasa, Dibia . 2012. Pengaruh Model
GI Group Investigaton Berorientasi kearifan
Lokal Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis SD Negeri di Desa Sinabun.
Sudrajat. 2009. Strategi Pembelajaran Kooperatif. online.
Diambil dari
http: akhmadsudrajat.wordpress.com20090620strate
gi-pembelajaran-kooperatif-metode-group- investigation.
Diakses pada
tanggal 06
Desember 2014.
ISBN: 978-602-72071-1-0
IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN POE PREDICTION OBSERVATION EXPLAINATION
UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN DAN KEAKTIFAN
SISWA MATERI RANGKAIAN LISTRIK SEDERHANA
Nita R. Sari
2
Diane N.
2
Made R.S.S.N. Ayub
1,2
1
Jurusan Fisika Fakultas Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
2
Jurusan Pendidikan Fisika Fakultas Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Email : tata_rosvitayahoo.com
ABSTRAK
Metode pembelajaran merupakan aspek penting ketika melaksanakan pembelajaran. Peneliti menemukan masih banyak guru menggunakan metode ceramah sehingga pembelajaran bersifat monoton dan membosankan. Salah
satu model pembelajaran yang dibutuhkan untuk memberikan kesempatan kepada siswa agar terlibat aktif dalam pembelajaran dan dapat mengaplikasikan konsep-konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari yakni model POE
Prediction Observation Explaination.
Tujuan penelitian ini untuk meningkatkan pemahaman dan keaktifan siswa SD. Penelitian ini dilakukan pada siswa SD kelas VI. Metode penelitian menggunakan RPP dengan model
pembelajaran POE materi rangkaian listrik sederhana sub konsep syarat lampu menyala yang sudah diuji kelayakannya oleh pihak yang berkompetensi, lembar kerja siswa, lembar observasi, dan kuisioner. RPP terbagi
dalam 3 kegiatan pembelajaran. Pembelajaran 3 hanya 73 siswa yang tuntas, sehingga perlu dilakukan pengulangan siklus pada pembelajaran ke 3. Hasil pengulangan siklus ke 2 pada pembelajaran ke 2 adalah 85,
dan dilanjutkan pembelajaran ke 3 dengan hasil 93. Dengan hasil tersebut didapatkan bahwa pembelajaran POE dapat disimpulkan mampu meningkatkan pemahaman siswa dan keaktifan siswa.
Kata kunci
: Metode Pembelajaran, POE, rangkaian listrik sederhana
ABSTRACT Learning method is an essential aspect in learning performance. Researchers found that many teachers still use
lecture method, so learning process becomes monotonous and boring. One of the learning models required to provide opportunities for students to be active in learning process and to apply scientific concepts in daily lives is
POE model Prediction Observation Explanation. The purpose of this study is to create fun and interesting
learning process that will improve elementary students’ understanding and activity. This study was performed on the fourth grade elementary students. The study method used lesson plan that implemented POE learning model
that had been evaluated by qualified teacher on material about simple electrical circuit and sub concept about the requirements to make light bulb light up, student worksheet, observation worksheet, and questionnaire. The lesson
plan was divided into 3 learning activities. In the third learning activity, only 73 of the students passed the minimum score, so a repeated cycle had to be performed in the third learning process. The repeated second cycle
in the second learning process shows that 85 of the students passed the minimum score, and in the third learning process, 93 of the students passed the minimum score. From the result, it is concluded that POE learning can
improve students’ understanding and activity. Keywords
:learning methods, POE, Simple Electric Circuit
PENDAHULUAN Pendidikan telah menjadi salah satu kebutuhan yang
penting dalam kehidupan manusia itu sendiri. Melalui pengalaman dan pendidikan yang diperoleh, seseorang
dapat memanfaatkan dan menerapkan ilmu pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti yang diungkapkan oleh Sanjaya 2010:2 pendidikan diarahkan untuk membentuk manusia yang
cerdas, memiliki kemampuan memecahkan masalah hidup, serta membentuk manusia yang kreatif dan
inovatif. Membangun pola pikir siswa yang kreatif bisa dilakukan melalui pembelajaran di dalam kelas. Oleh
karena itu, sangat dibutuhkan kompetensi profesional seorang guru dalam proses pembelajaran. Guru sebagai
ISBN: 978-602-72071-1-0 pengajar dituntut untuk mempunyai penguasaan di
bidang keilmuan, guru dituntut untuk menguasai keterampilan kurikulum dan guru juga dituntut untuk
menguasai ketrampilan pedagogis pembelajaran dan pengembangan cara mensikapi pemahaman materi ajar.
Menurut Suparno 2013:23 pada kenyataannya masih banyak guru yang hanya mengajar tanpa memperhatikan
ketrampilan pedagogisnya . Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi menuntut kualitas pendidikan. Mengingat pentingnya peranan IPA dalam kehidupan sehari-hari,
terutuma yang berhubungan dengan perkembangan IPTEK, maka siswa dituntut harus mampu menguasai
IPA karena merupakan salah satu mata pelajaran yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menurut Sudana Riska 2015, alasan mengapa pembelajaran IPA penting di sekolah dasar adalah 1
IPA dapat membantu anak-anak untuk dapat memahami mata pelajaran lain terutama bahasa dan matematika,
2 IPA di sekolah dasar merupakan pendidikan terminal untuk anak-anak selama di sekolah dasar supaya
mereka dapat mengenal lingkungannya secara logis dan sistematis, 3 IPA SD benar-benar menyenangkan,
anak-anak dimanapun diam-diam tertarik dengan masalah-masalah kecil, baik masalah buatan maupun
masalah
kebetulan dari
alam sekitarnya.
Permasalahannya masih banyak guru yang menggunakan metode konvensional yang menyebabkan pembelajaran
IPA membosankan dan bersifat monoton. Akibatnya dalam pembelajaran IPA siswa cenderung menghafal dan
tidak mengembangkan kemampuan yang dimilikinya untuk berfikir kritis dan sistematis. Hal ini berdampak
pada rendahnya hasil belajar siswa. Di SDN Derekan Kecamatan Pringapus Kabupaten
Semarang, hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA khususnya materi rangkaian listrik sederhana, masih di
bawah KKM. Beberapa faktor penyebab kurang maksimalnya hasil belajar siswa adalah pemilihan
strategi pembelajaran yang kurang tepat. Hal ini dilihat dari nilai rata-rata IPA pada materi tersebut masih berada
pada interval 63,00-69,00. Menandakan bahwa hasil belajar di bawah 70. Oleh karena itu seorang pendidik
perlu mempertimbangkan model pembelajaran apa yang seharusnya digunakan supaya siswa mampu memahami
konsep IPA dan pembelajaran menjadi lebih inovatif, kreatif dan menyenangkan. Beberapa masalah yang
mendasari peneliti pada artikel ini adalah :
“Bagaimana rancangan RPP dan implementasi RPP yang dibuat dengan model pembelajaran POE prediction
observation explaination untuk mengetahui konsep awal siswa dan keaktifan siswa dengan materi rangkaian listrik
sederhana?” Salah
satu model
pembelajaran yang
dapat mengeksplorasi pengetahuan awal siswa dan membuat
siswa aktif adalah model pembelajaran POE Prediction Observation Explaination.
Model pembelajaran POE Prediction Observation Explaination
berasal dari teori belajar kontruktivisme. Lapono 2010:25 menyatakan
teori konstruktivisme dalam pembelajaran didasari oleh kenyataan bahwa setiap individu memiliki kemampuan
untuk mengkonstruksi kembali pengalaman atau pengetahuan yang dimilikinya. Hubungan antara model
pembelajaran POE
Prediction Observation
Explaination dengan teori konstruktivisme yaitu
menganggap bahwa siswa dengan pengetahuan yang telah mereka miliki akan dapat mengembangkan
kemampuan atau pengetahuannya itu. Menurut White dan Gunstone dalam Keeratichamroen,
2007 model pembelajaran POE merupakan suatu langkah yang efisien untuk menciptakan diskusi para
siswa mengenai konsep ilmu pengetahuan. Dimana pada tahap prediction pembelajaran POE memberikan
kebebasan yang seluas-luasnya kepada siswa untuk menyusun dugaan disertai dengan alasan sebagai langkah
awal untuk menemukan konsep awal siswa. Hal ini sangat penting bagi guru untuk membantu siswa
menemukan konsep yang benar pada tahapan berikutnya. Selanjutnya pada tahap observation siswa diajak untuk
melakukan eksperimen untuk membuktikan apakah prediksi siswa tersebut benar atau salah. Dan pada tahap
akhir explaination, jika prediksi siswa benar pada eksperimen maka siswa tinggal merangkumkan yang
ditemukan dan menguraikan dengan lebih lengkap. Namun, jika prediksi siswa tidak sesuai dengan
eksperimen maka guru perlu membantu siswa untuk mencari penjelasan kenapa prediksinya salah dan
membantu mengubah prediksinya menjadi konsep yang benar. Adapun kelebihan dari model pembelajaran POE
Prediction Observation Explaination
yaitu merangsang peserta didik untuk lebih kreatif khususnya dalam
mengajukan prediksi, dapat mengurangi verbalisme, proses pembelajaran menjadi lebih menarik dan
menyenangkan, sebab peserta didik tidak hanya mendengarkan tetapi juga mengamati dan mencoba
peristiwa yang terjadi melalui eksperimen, siswa akan memiliki kesempatan untuk membandingkan antara teori
dugaan dengan kenyataan. Berdasarkan masalah-masalah dan literature di atas,
maka penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan keaktifan siswa dengan merancang dan
mengimplementasikan
pembelajaran menggunakan
model pembelajaran POE Prediction Observatio Explaination
pada materi rangkaian lisrik sederhana. PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian tindakan kelas dimana guru bertindak sebagai peneliti. Sampel yang
digunakan adalah siswa kelas VI SDN Derekan Kecamatan
Pringapus sebanyak
23 siswa.
Permasalahan yang akan diangkat pada topik rangkaian listrik
sederhana dengan
menggunakan model
pembelajaran POE prediction observation explaination dibatasi pada sub konsep syarat lampu menyala dengan
indikator i siswa dapat menyalakan lampu dengan menggunakan satu baterai, satu lampu dan satu kabel
beserta gambar rangkaiannya, ii melalui percobaan siswa dapat menjelaskan syarat lampu dapat menyala
dengan menggunakan satu baterai, satu lampu dan satu kabel iii dengan percobaan siswa dapat menjelaskan
syarat lampu dapat menyala dengan dua kabel, dua
ISBN: 978-602-72071-1-0 baterai, dan satu lampu. Setiap indicator dijabarkan
dalam satu RPP. Penelitian dilakukan dengan 2 siklus. Siklus 1
Kegiatan 1, digunakan untuk membantu siswa dapat menyalakan lampu dengan menggunakan satu baterai,
satu lampu dan satu kabel dan menggambarkan rangkaiannya. Pada tahap prediksi, guru meminta siswa
untuk
menggambarkan 1
rangkaian dengan
menggunakan 1 baterai, 1 lampu dan 1 kabel agar lampu dapat menyala. Kemudian hasil prediksi digambarkan di
sebuah kertas yang sudah disiapkan oleh guru. Hasil prediksi siswa dapat di rangkum dalam gambar 1. sebagai
berikut :
a b c d e
Gambar 1. Gambar Prediksi Siswa Dari 23 siswa, 18 siswa menjawab prediksi a, c e, dan 5
siswa lainnya menjawab prediksi b dan d. Dimana prediksi gambar a, b, c adalah gambar jawaban yang
benar, dan gambar d dan e adalah jawaban yang salah. Setelah tahap prediction memprediksi selesai, guru
meminta siswa untu melakukan observation percobaan. Dimana siswa melakukan percobaan untuk membuktikan
apakah prediksi yang mereka gambarkan benar atau salah. Didapatkan hasil observasi siswa seperti pada
Tabel 1. Tabel 1
. Hasil Observasi Siswa
Gambar Keterangan
a.
Lampu nyala
b. Lampu tidak nyala
c. Lampu nyala
d. Lampu tidak nyala
e. Lampu nyala
Pada saat eksperimen beberapa siswa mendapatkan lampu menyala sesuai dengn prediksi mereka tetapi ada
beberapa sisiwa yang terkejut karena gambar susunan rangkaian yang dibuat pada prediksi tidak dapat
menyalakan lampu. Mereka berfikir bahwa dengan menghubungkan baterai dengan ujung logam lampu saja
dapat menyala. Dari 23 siswa, 19 siswa dapat menyalakan
lampu seperti tabel 1a,1c, 1e dan 4 siswa lainnya yang memilih gambar di tabel 1b dan 1d, berusaha mencoba
sampai menemukan rangkaian yang benar. Mereka akhirnya dapat mengerti bahwa tidak hanya
ujung logam saja yang harus dihubungkan tetapi juga harus memperhatikan ulir lampu, atau dapat dikatakan
sebagai rangkaian tertup. Tahap berikutnya adalah tahap explaination,
tahap dimana siswa menjelaskan mengapa lampu tersebut dapat menyala. Selanjutnya memasuki
tahap explaination
, masing-masing
kelompok menjelaskan hasil percobaan pada selembar kertas yang
sudah disediakan. Dari 23 siswa ada 20 siswa yang dapat menjelaskan dengan benar bahwa lampu dapat menyala
walapun dengan 1 baterai dan 1 kabel sedangkan 3 siswa lainnya belum dapat menjelaskan. Kesimpulan dari
kegiatan pertama di dapatkan bahwa siswa memahami bahwa lampu dapat menyala jika ulir lampu dihubungkan
dengan salah satu kutub baterai dan ujung logam lampu dihubungkan dengan kutub baterai lainnya, baik secara
langsung maupun dengan kabel. Berdasarkan hasil analisa di atas, kegiatan pembelajaran
1 dapat dismpulkan seperti pada Tabel 2. Tabel 2.
Jumlah siswa yang dapat melakukan prediction, observation, dan explaination
dengan jawaban benar pada kegiatan 1.
Tahap Siswa
Persen
Prediction 18
78 Observation
19 82
Explaination 20
87 Kegiatan 2, siswa diminta untuk menjelaskan syarat
lampu dapat menyala dengan 1 kabel, 1 lampu, dan 1 baterai. Pada tahap prediction guru menyediakan
sepuluh gambar. Seperti pada gambar 2. 1
2 3
4
5 6
7
ISBN: 978-602-72071-1-0 8
9 10
Gambar 2. Sepuluh gambar teknis tahap prediksi Dari 23 siswa, hanya 18 siswa yang dapat
memprediksikan gambar rangakaian dengan benar. Setelah mereka selesai menjawab, siswa masuk dalam
kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang untuk membuktikan apakah gambar rangkaian yang ia jawab
benar atau salah. Ada sepuluh gambar yang disediakan oleh guru, beberapa siswa beranggapan salah satu
gambar seperti gambar no 4 tidak bisa menyalakan lampu. Karena letak ujung lampunya tidak tepat di kutub
baterai. Ketika siswa mencoba membuktikan ternyata gambar nomor 4 dapat menyalakan lampu.
a b Gambar 3. Gambar rangkaian untuk soal no 4. agambar
teknis b susunan rangkaian Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa siswa masih
berfikir lampu akan menyala jika diletakkan pada salah satu kutub baterai tetapi lampu juga dapat menyala jika
diletakkan pada sekitar kutub baterai. Memasuki tahap explaination,
19 siswa menjelaskan lampu dapat menyala karena ada baterai sebagai sumber energi dan kabel
sebagai penghubung. Dan 4 siswa lainnya menjelaskan lampu dapat menyala hanya dengan baterai.
Berdasarkan analisa di atas, kegiatan pembelajaran 2 dapat disimpulkan seperti pada Tabel 3.
Tabel 3.
Jumlah siswa yang dapat melakukan prediction, observation, dan explaination
dengan jawaban benar pada kegiatan 2.
Tahap Siswa
Persen
Prediction 18
78 Observation
19 82
Explaination 21
91 Kegiatan 3, siswa diminta menjelaskan syarat lampu
dapat menyala dengan 2 kbel, 2 baterai, dan 1 lampu. Langkahnya tidak jauh berbeda dengan kegiatan 1 dan 2
hanya dibagian kegiatan 3 menggunakan 2 buah baterai, 2 kabel dan 1 lampu. Sebelum melakukan percobaan
siswa harus memprediksikan rangkaian mana yang dapat menyalakan lampu pada lembar kerja siswa yang
disediakan. Dari 23 siswa, hanya 15 siswa yang dapat memprediksikan gambar rangakaian yang menggunakan
2 kabel, 1 lampu, 2 baterai dari sepuluh gambar yang disediakan oleh guru. Kemudian siswa berkumpul dalam
kelompok untuk mencoba membuktikan masing-masing gambar. Dari 10 gambar yang ada, siswa yang dapat
membuktikan susunan rangkaian yang dapat menyalakan lampu hanya 17 siswa dan 6 siswa lainnya belum dapat
membuktikan. Ada 4 susunan rangkaian yang dapat menyalakan lampu dan 6 rangkaian yang tidak bisa
menyalakan lampu seperti pada gambar 4.
a b
Gambar 4. a susunan rangkaian yang dapat menyalakan lampu, b susunan rangkaian yang tidak dapat
menyalakan lampu. Di kegiatan 3 ini, beberapa siswa
mengalami kesulitan dalam menyusun rangkaian. Salah satu penyebabnya ada gambar rangkaian yang
menggunakan 3 kabel. Padahal dalam kegiatan 3, siswa hanya diminta agar dapat menjelaskan rangkaian jika
menggunakan 2 baterai, 2 kabel, dan 1 lampu. Maka dari itu pada tahap explaination, hanya 18 siswa yang dapat
menjelaskan syarat lampu dapat menyala dan 5 siswa belum dapat menjelaskan syarat lampu dapat menyala
jika menggunakan 2 baterai, 2 kabel, 2 lampu. Maka dari itu kegiatan 3 di perbaiki kembali di siklus 2.
Berdasarkan hasil analisa di atas, kegiatan pembelajaran 3 dapat dimpulkan seperti pada Tabel 4.
Tabel 4.
Jumlah siswa yang dapat melakukan prediction, observation, dan explaination
pada kegiatan 3
Tahap Siswa
Persen
Prediction 15
65 Observation
17 75
Explaination 18
78
Siklus 2
Kegiatan 3 keberhasilan siswa belum mencapai target karena hanya 15 siswa yang dapat menyusun
rangkaian dengan menggunakan 2 kabel, 2 baterai dan 1 lampu. hanya menggunakan 1 baterai atau lebih terang.
Pada siklus 2, perlakuan yang diberikan pada kegiatan 3 tidak jauh berbeda dengan di siklus 1. Tahap prediction
siswa diminta untuk mengisi lembar kerja yang sudah disediakan. Sedikit berbeda dengan siklus 1, selain
menjawab siswa juga memberikan alasan mengapa pada rangkaian tersebut dapat menyala dan tidak dapat
menyala.
Dari 23 siswa yang dapat sebanyak 20 siswa dengan alasan bahwa lampu dapat menyala karena ada
baterai sebagai
sumber energi,
kabel sebagai
penghubung. Masuk pada tahap observation, siswa masuk dalam kelompok kecil untuk membuktikan apakah
prediksinya benar atau salah. Dari percobaan yang dilakukan 22 siswa berhasil membuktikan bahwa
prediksinya benar. Selain hanya menjawab lembar kerja siswa yang disediakan siswa juga menjelaskan secara
singkat mengapa rangkaian tidak menyala dan dapat menyala. Dari 23 siswa, 12 siswa menjawab bahwa
ISBN: 978-602-72071-1-0 lampu dapat menyala karena ada baterai dan kabel
penghubung dan 10 siswa menjawab bahwa lampu dapat menyala jika ujung lampu dihubungkan pada kutub
baterai dan ulirnya dihubungkan pada kutub baterai yang lain.
Tahap terakhir kegiatan ini yakni tahap explaination,
siswa diminta untuk menjelaskan lampu- lampu mana saja yang dapat menyala dan tidak dapat
menyala. Siswa menjelaskan dengan presentasi di depan kelas dengan membuktikan rankaiannya menyala atau
tidak. Pada tahap ini, 22 siswa dapat menjelaskan syarat lampu dapat menyala jika ada baterai, kabel, dan ujung
lampu diletakkan dengan salah satu kutub baterai sedangkan ulir lampunya diletakkan dengan kutub baterai
yang berbeda. Selain itu, beberapa kelompok mencoba menambahkan baterai pada rangkaian dan ternyata ketika
baterai ditambah nyala lampu semakin terang. Hal ini malah tidak terfikirkan oleh guru saat mengajar. Untuk
itu model pembelajarn POE merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat membuat siswa lebih kreatif
dan inovatif. Berdasarkan hasil analisa di atas, kegiatan pembelajaran 3 pada siklus 2 dapat disimpulkan seperti
pada Tabel 5. Tabel 5.
Jumlah siswa yang dapat melakukan prediction, observation, explaination pada kegiatan 3 siklus 2
Tahap Siswa
Persen
Prediction 20
87 Observation
22 96
Explaination 22
96 Untuk mengetahui tingkat keaktifan siswa dimana ada
tujuh aspek di amati yaitu A memperhatikan penjelasan guru, B duduk tenang saat kegiatan diskusi sedang
berlangsung, C kerja kelompok aktif dan terarah, D bertanya tentang hal yang kurang dimengerti, E mampu
menerima pendapat maupun sanggahan dari teman, F menyelesaikan tugas secara kelompok dan G membuat
catatan hasil diskusi. Skala kriteria pengamatan sebagai berikut 1 : kurang baik, 2 : cukup baik, 3 : baik, dan 4 :
sangat baik. Kriteria keaktifan siswa
a. 77-85 : Sangat Aktif SA
b. 68-76 : Aktif A
c. 59-67 : Cukup Aktif CA
d. 50-58 : Kurang Aktif KA
Dimana penilaian untuk keaktifan siswa dengan rumus � �
� Berdasarkan
hasil analisa,
maka dapat
disimpulkan hanya 6 siswa yang aktif dengan kriteria 68- 76, 12 siswa yang cukup aktif dengan kriteria 59-67, dan
5 siswa yang kurang aktif dengan kriteria 50-58. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 6a.
Tabel 6a.
Keaktifan Siswa Siklus 1
No Kriteria Jumlah siswa
Ket
1 77-85
2 68-76
6 Aktif
3 59-67
12 Cukup Aktif
4 50-58
5 Kurang Aktif
Dari tabel di atas, keaktifan siswa pada siklus 1 hanya belum mencapai kriteria yang ditentukan. Untuk
itu pada siklus 2 penilaian keaktifan siswa diulang kembali.
Berdasarkan hasil analisa, maka dapat disimpulkan hanya 1 siswa yang sangat aktif dengan kriteria 77-85, 17 siswa
yang aktif dengan kriteria 68-76, dan 5 siswa yang cukup aktif dengan kriteria 59-67. Hal ini dapat dilihat pada
Tabel 6b. Tabel 6b.
Keaktifan Siswa siklus 2
No Kriteria Jumlah siswa
Ket
1 77-85
1 Sangat Aktif
2 68-76
17 Aktif
3 59-67
5 Cukup Aktif
4 50-58
Oleh karena itu siklus 2 sangat membantu juga dalam perbaikan pada aspek keaktifan. Pada siklus 2
aspek keaktifan dapat tercapai sesuai kategori sebanyak 18 siswa. Pemahaman materi yang baik akan menjadikan
hasil belajar yang baik pula. Berdasarkan hasil penelitian ketuntasan hasil belajar siswa mengalami peningkatan
dari 65 menjadi 86. Selain ketuntasan belajar prosentase keaktfan siswa juga meningkat dari 61
menjadi 82. Hal ini menunjukkan bahwa siswa dapat memahami konsep yang hanya bersifat abstrak atau
melalui imajinasi tetapi juga melalui observasi dan pengamatan secara langsung. Oleh karena itu
penggunaan metode pembelajaran POE ini sendiri mampu meningkatkan pemahaman siswa dan kreatifitas
siswa. PENUTUP
Simpulan
Dari penelitian yang telah dibuat dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep Namun dai 23
siswa masih terdapat 3 siswa yang belum mencapai KKM. Penggunaan model pembelajaran POE membantu
siswa mengembangkan keaktifan siswa. Siwa dapat mengeksplorasi ide-ide yang sifatnya divergen lateral.
Hal ini ditunjukkan bahwa pada siklu 2 di kegiatan 3 siswa mencoba menghubungkan baterai, kabel, lampu
dengan pegangan paying beranggapan bahwa lampu dapat menyala. Awalnya lamp tidak dapat menyala
karena kutub negative baterai tidak menempel. Setelah siswa menemukan cara lain, siwa kembali mencoba dan
hasilnya lampu dapat menyala. Saran
Berdasarkan kesimpulan maka dapat dikemukakan saran sebagai berikut :
1.
Dalam penerapan model pembelajaran POE dengan metode discovery learning, guru sebaiknya pandai
ISBN: 978-602-72071-1-0 dalam mengelola waktu sehingga pembelajaran
dapat berlangsung efisienS. 2.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang penggunaan model pembelajaran POE dengan
metode discovery learning pada pokok bahasan yang lain.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Didie
Yunanto S.Pd, selaku wali dan guru kelas VI SDN Derekan yang senantiasa membimbing dan membantu
kelancaran penelitian dan semua pihak yang belum dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah memberikan
bantuan dalam penyusunan artikel ini. DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2006. Penelitian Tindakan Kelas, Jakarta: Bumi Angkasa.
Desi Nur Anisa, Mohammad Masykuri, Sri Yatimah. Pengaruh model pembelajaran POE predict,observe, and
explain
dan sikap ilmiah terhadap prestasi belajara siswa pada materi asam basa, dan garam kelas VII Semester 1
SMPN 1 Jaten tahun peajaran 2012 2013. Jurnal Pendidikan Kimia JPK, vol 2, No 2. Program
Pendidikan Kimia. Universitas Sebelas Maret. Domi. Mengupayakan perubahan konsep Fisika
menggunakan strategi POE Prediction Observatio Explanation,
2008. Hergenhann B. R, Matthew H. Olson, 2008, Theories Of
Learning Teori Belajar, Edisi Ketujuh, Jakarta:
Kencana. Lapono, Nabisi. 2010. Belajar dan Pembelajaran SD.
Jakarta. Direktorat
Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
M. P. Restami, K. Suma, M. Pujani. Pengaruh model pembelajaran POE PREDICT-OBSERVE- EXPLAINT
terhadap pemahaman konsep fisika dan sikap ilmiah ditinjau dari gaya belajar siswa, e journal Program
Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi IPA vol 3, 2013.
N. Pt. Evi Yupani, N. Nyn Garminah, L Pt Putrini Mahadewi. Pengaruh model pembelajaran PREDICT-
OBSERVE- EXPLAINT
POE berbantuan materi bermuatan kearifan lokal terhadap hasil belajar IPA siswa
kelas IV. Petter Hubber. POEs, Post Boxes and IAIs. Science
Teacher Association of Victoria Physics Teacher’ Annual Conference, Monash University, Victoria, 2005.
Riska Lebdiana,
Sulhadi, Nathan
Hindarto. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Materi Suhu dan
Kalor Berbasis POE predict observe explain untuk Meremidiasi Miskonsepsi Siswa. Unnes Physics
Education Journal UPEJ, vol 4, no 3, 2015, Program
Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Semarang. Siti Rahayu, AT Widodo, Sudarmin. Pengembangan
perangkat pembelajaran model POE berbantuan media “I
Am A Scientist”. Innovative journal of Curiculum and Education Technology 2 1 2013.
Sudjana, Nana. 2008, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung: Rosdakarya.
Suparno, Paul SJ. 2013, Metodologi Pembelajaran Fisika Konstruktivistik
Menyenangkan, Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma. Suyitno A dan Salam Rachmadi A. 2010, Ilmu
Pengetahuan Alam, Bogor: Yudistira Zuziwe Mthembu. Using the Predict- Observe- Explain
Technique to Enhance the Students’ Understanding of Chemical Reactions Short Report on pilot study,
2001.
IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN POE PREDICTION OBSERVATION EXPLAINATION
UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN DAN KEAKTIFAN
SISWA MATERI RANGKAIAN LISTRIK SEDERHANA
Made R.S.S.N. Ayub
1
Nita R. Sari
2
Diane N.
3
1
Jurusan Fisika Fakultas Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
2,3
Jurusan Pendidikan Fisika Fakultas Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Email : tata_rosvitayahoo.com
ABSTRAK
Metode pembelajaran merupakan aspek penting ketika melaksanakan pembelajaran. Peneliti menemukan masih banyak guru menggunakan metode ceramah sehingga pembelajaran bersifat monoton dan
membosankan. Salah satu model pembelajaran yang dibutuhkan untuk memberikan kesempatan kepada siswa agar terlibat aktif dalam pembelajaran dan dapat mengaplikasikan konsep-konsep IPA dalam
kehidupan sehari-hari yakni model POE Prediction Observation Explaination. Tujuan penelitian ini untuk meningkatkan pemahaman dan keaktifan siswa SD. Penelitian ini dilakukan pada siswa SD kelas
VI. Metode penelitian menggunakan RPP dengan model pembelajaran POE materi rangkaian listrik sederhana sub konsep syarat lampu menyala yang sudah diuji kelayakannya oleh pihak yang
berkompetensi, lembar kerja siswa, lembar observasi, dan kuisioner. RPP terbagi dalam 3 kegiatan pembelajaran. Pembelajaran 3 hanya 73 siswa yang tuntas, sehingga perlu dilakukan pengulangan siklus
pada pembelajaran ke 3. Hasil pengulangan siklus ke 2 pada pembelajaran ke 2 adalah 85, dan dilanjutkan pembelajaran ke 3 dengan hasil 93. Dengan hasil tersebut didapatkan bahwa pembelajaran
POE dapat disimpulkan mampu meningkatkan pemahaman siswa dan keaktifan siswa. Kata kunci
: Metode Pembelajaran, POE, rangkaian listrik sederhana
ABSTRACT
The learning methods an important aspect when carry out of learning. The researchers found there are many teachers in a speech and learning is monotons and boring. One learning model needed to give
opportunity to students to get involved in learning and can apply konsep-konsep science in the life of sehari-hari the model POEs prediction observation explaination . The purpose of this research to
improve understanding and liveliness of primary school students. Sample research is students in VI grade. The research uses a method of lesson plans on the model of learning material poe electrical circuit simple
requirement sub the concept of the lights are on that had been tested its feasibility by the party that berkompetensi , worksheets students , sheets of observation , and quisioner . Lesson plans divided into 3
learning activities .Learning 3 only 3 percent of students be completed , so that needs to be done repetition cycle in learning for 3 .The repetition cycle to 2 on learning for 2 is 85 , and continued
learning for 3 with the results of 93 .With the result got that learning poe can be concluded capable of improve understanding students and liveliness student.
Keywords
:learning methods, POE, Simple Electric Circuit
PENDAHULUAN
Pendidikan telah menjadi salah satu kebutuhan yang penting dalam kehidupan manusia itu sendiri.
Melalui pengalaman dan pendidikan yang diperoleh, seseorang dapat memanfaatkan dan menerapkan ilmu
pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang diungkapkan oleh Sanjaya 2010:2
pendidikan diarahkan untuk membentuk manusia yang cerdas, memiliki kemampuan memecahkan masalah
hidup, serta membentuk manusia yang kreatif dan inovatif. Membangun pola pikir siswa yang kreatif bisa
dilakukan melalui pembelajaran di dalam kelas. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan kompetensi profesional
seorang guru dalam proses pembelajaran. Guru sebagai
pengajar dituntut untuk mempunyai penguasaan di bidang keilmuan, guru dituntut untuk menguasai
keterampilan kurikulum dan guru juga dituntut untuk menguasai ketrampilan pedagogis pembelajaran dan
pengembangan cara mensikapi pemahaman materi ajar. Namun pada kenyataannya masih banyak guru yang
hanya mengajar tanpa memperhatikan ketrampilan pedagogisnya.
Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut kualitas pendidikan. Mengingat
pentingnya peranan IPA dalam kehidupan sehari-hari, terutuma yang berhubungan dengan perkembangan
IPTEK. Maka dari itu siswa dituntut harus mampu menguasai IPA karena merupakan salah satu mata
pelajaran yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Sudana, dkk alasan mengapa
pembelajaran IPA penting di sekolah dasar adalah 1 IPA dapat membantu anak-anak untuk dapat memahami
mata pelajaran lain terutama bahasa dan matematika, 2 IPA di sekolah dasar merupakan pendidikan terminal
untuk anak-anak, selama di sekolah dasar supaya mereka dapat mengenal lingkungannya secara logis dan
sistematis, 3 IPA SD benar-benar menyenangkan, anak-anak di manapun diam-diam tertarik dengan
masalah-masalah kecil, baik masalah buatan maupun masalah
kebetulan dari
alam sekitarnya.
Permasalahannya masih banyak guru yang menggunakan metode konvensional yang menyebabkan pembelajaran
IPA membosankan dan bersifat monoton. Akibatnya dalam pembelajaran IPA siswa cenderung menghafal dan
tidak mengembangkan kemampuan yang dimilikinya untuk berfikir kritis dan sistematis. Hal ini berdampak
pada rendahnya hasil belajar siswa.
Di SDN Derekan Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang, terutama untuk mata pelajaran
IPA, khususnya pada materi rangkaian listrik sederhana hasil belajar siswa masih di bawah KKM. Dari beberapa
faktor penyebab kurang maksimalnya hasil belajar siswa tersebut adalah pemilihan strategi pembelajaran yang
kurang tepat. Nilai rata-rata IPA khususnya pada materi tersebut masih pada interval 63,00-69,00. Mengacu pada
interval 63,00-69,00 menandakan bahwa hasil belajar di bawah 70. Penyebab kurang maksimalnya hasil
pembelajaran tersebut yakni guru masih menggunakan metode ceramah dalam proses pembelajaran, konsep
awal siswa yang belum terakomodasi dengan baik, dan pemilihan strategi pembelajaran yang kurang tepat. maka
seorang pendidik perlu mempertimbangkan model pembelajaran apa yang seharusnya digunakan supaya
siswa mampu memahami konse IPA dan pembelajaran menjadi lebih inovatif, kreatif dan menyenangkan.
Beberapa masalah yang mendasari peneliti pada artikel ini adalah :
“Bagaimana implementasi RPP dengan model pembelajaran POE prediction observation explaination
untuk mengetahui konsep awal siswa dan keaktifan siswa dengan materi rangkaian listrik sederhana?”
Salah satu model pembelajaran yang dapat mengeksplorasi pengetahuan awal siswa dan membuat
siswa aktif adalah model pembelajaran POE Prediction Observation Explaination.
Menurut White dan Gunstone dalam Keeratichamroen, 2007 model pembelajaran
POE merupakan suatu langkah yang efisien untuk menciptakan diskusi para siswa mengenai konsep ilmu
pengetahuan. Dimana
pada tahap
prediction pembelajaran POE memberikan kebebasan yang seluas-
luasnya kepada siswa untuk menyusun dugaan disertai dengan alasan sebagai langkah awal untuk menemukan
konsep awal siswa. Hal ini sangat penting bagi guru bila nantinya mau membantu siswa agar mempunyai konsep
yang benar. Selanjutnya pada tahap observation siswa diajak untuk melakukan eksperimen untuk membuktikan
apakah prediksi siswa tersebut benar atau salah. Dan pada tahap akhir explaination, jika prediksi siswa benar
pada eksperimen maka siswa tinggal merangkumkan yang ditemukan dan menguraikan dengan lebih lengkap.
Namun, jika prediksi siswa tidak sesuai dengan eksperimen maka guru perlu membantu siswa untuk
mencari penjelasan kenapa prediksinya salah dan membantu mengubah prediksinya menjadi konsep yang
benar. Adapun kelebihan dari model pembelajaran POE Prediction Observation Explaination
yaitu merangsang peserta didik untuk lebih kreatif khususnya dalam
mengajukan prediksi, dapat megurangi verbalisme, proses pembelajaran menjadi lebih menarik dan
menyenangkan, sebab peserta didik tidak hanya mendengarkan tetapi juga mengamati dan mencoba
peristiwa yang terjadi melalui eksperimen, siswa akan memiliki kesempatan untuk membandingkan antara teori
dugaan dengan kenyataan.
Model pembelajaran
POE Prediction
Observation Explaination berasal dari teori belajar
kontruktivisme. Lapono 2010:25 menyatakan teori konstruktivisme dalam pembelajaran didasari oleh
kenyataan bahwa setiap individu memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi kembali pengalaman atau
pengetahuan yang dimilikinya. Hubungan antara model pembelajaran
POE Prediction
Observation Explaination
dengan teori konstruktivisme yaitu menganggap bahwa siswa dengan pengetahuan yang
telah mereka miliki akan dapat mengembangkan kemampuan atau pengetahuannya itu.
PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian tindakan kelas dimana guru bertindak sebagai peneliti.
Penelitian dilakukan dengan 2 siklus dimana siklus 1 pada tanggal 5 Januari 2016 pukul 07.00
– 09.00 WIB dan siklus 2 pada tanggal 7 Januari 2016 pukul 07.00
– 09.00 WIB. Sampel yang digunakan untuk penelitian
adalah siswa kelas VI SDN Derekan Kecamatan Pringapus sebanyak 23 siswa terdiri dari 13 siswa laki-
laki dan 10 siswa perempuan. Adapun alat pengumpul data yang digunakan berupa : i Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran RPP, ii lembar observasi keaktifan siswa, iii lembar observasi KBM, dan iv kuisioner.
RPP tentang topik rangkaian listrik menggunakan metode POE prediction observation explaination pada sub
konsep syarat lampu menyala. Adapun rancangan siklus penelitian sebagai berikut : yang digunakan berupa : i
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran RPP, ii lembar observasi keaktifan siswa, iii lembar observasi KBM,
dan iv kuisioner. RPP tentang topik rangkaian listrik menggunakan metode POE prediction observation
explaination
pada sub konsep syarat lampu menyala. Adapun rancangan siklus penelitian sebagai berikut :
Gambar Siklus PTK Lembar observasi KBM digunakan untuk
melihat reaksi siswa selama KBM dan lembar kuisioner digunakan untuk melihat tingkat ketertarikan siswa
terhadap pembelajaran yang telah berlangsung. Lembar kuisioner
digunakan untuk
mengetahui tingkat
pemahaman siswa. Lembar observasi keaktifan siswa digunakan untuk mengetahui tingkat keaktifan siswa
dimana ada tujuh aspek di amati yaitu memperhatikan penjelasan guru, duduk tenang saat kegiatan diskusi
sedang berlangsung, kerja kelompok aktif dan terarah, bertanya tentang hal yang kurang dimengerti, mampu
menerima pendapat maupun sanggahan dari teman, menyelesaikan tugas secara kelompok dan membuat
catatan hasil diskusi. Skala kriteria pengamatan sebagai berikut 1 : kurang baik, 2 : cukup baik, 3 : baik, dan 4 :
sangat baik. Dimana penilaian untuk keaktifan siswa dengan rumus
� � �
Penelitian ini terdiri atas tiga tahap yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap refleksi. Pada
tahap persiapan, seluruh alat pengumpul data dipersiapkan.
Pada tahap
pelaksanaan, KBM
dilaksanakan berdasarkan
Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran RPP yang telah dibuat. Pada tahap itu, lembar observasi KBM dan lembar observasi keaktifan
siswa diisi oleh observer. Setelah KBM selesai masuk pada tahap yang terakhir adalah tahap refleksi, dimana
pada tahap ini evaluasi dilakukan melalui lembar kuisioner. Pembelajaran dikatakan berhasil apabila i
minimal 75 dari siswa memberikan respon yang positif dan aktif dalam KBM serta ii minimal 75 dari siswa
memperoleh nilai minimal 70 pada tahap evaluasi. Keaktifan beajar siswa dikatakan berhasil jika siswa
mencapai kategori aktif 68
– 76 dan sangat aktif 77 – 85. Pada tahap akhir ini lembar observasi dan kuisioner
dianalisa secara deskriptif kualitatif untuk mengetahui apakah indikator keberhasilan tercapai atau tidak. Jika
hasil yang didapat belum mencapai target yang diinginkan maka proses pembelajaran diulang siklus 2.
Tetapi jika hasil yang diinginkan sudah mencapai target maka proses pembelajaran dianggap selesai atau berhasil.
Dalam penelitian
ini permasalahan-
permasalahan yang akan diangkat pada topik rangkaian listrik
sederhana dengan
menggunakan model
pembelajaran POE prediction observation explaination dibatasi pada sub konsep syarat lampu menyala dengan
indikator i siswa dapat menyalakan lampu dengan menggunakan satu baterai, satu lampu dan satu kabel, ii
melaui percobaan siswa dapat menjelaskan syarat lampu dapat dengan menggunakan satu baterai, satu lampu dan
satu kabel disertai dengan percobaan, iii menjelaskan syarat lampu dapat menyala dengan dua kabel, dua
baterai, dan satu lampu disertai dengan percobaan. Di dalam penelitian ini sub konsep tersebut akan
disajikan dalam 3 kegiatan pembelajaran. Adapun kegiatannya sebagai berikut :
Siklus 1
Kegiatan 1,
siswa diminta
untuk menggambarkan satu rangkaian yang dapat menyalakan
lampu dengan alat bantu 1 baterai, 1 lampu dan 1 kabel. Pada tahap prediksi, guru meminta siswa untuk
menggambarkan 1 rangkaian dengan menggunakan 1 baterai, 1 lampu dan 1 kabel. Kemudian hasil prediksi
digambarkan di sebuah kertas yang sudah disiapkan oleh guru. Jika siswa belum menemukan gambar rangkaian
yang dapat menyalakan lampu, maka siswa harus mencoba sampai mendapatkan satu rangkaian yang dapat
menyalakan lampu. Hasil yang dapat prediksikan oleh siswa sebagai berikut :
c a
b Gambar 1 a, b, c susunan rangkaian lampu yang
dapat menyala. Pada gambar 1 a, b, dan c merupakan susunan
rangkaian untuk menyalakan lampu menggunakan satu kabel, satu baterai dan satu lampu. Setelah tahap
prediction
memprediksi selesai, guru meminta siswa untu melakukan observation percobaan. Dimana siswa
melakukan percobaan untuk membuktikan apakah prediksi yang digambarkan benar atau salah. Jika
prediksi siswa benar, maka siswa masuk pada tahap explaination
menjelaskan. Pada tahap observasi ada beberapa siswa yang terkejut karena gambar susunan
rangkaian yang dibuat tidak dapat menyalakan lampu. Mereka berfikir bahwa dengan menghubungkan baterai
dengan ujung logam lampu saja dapat menyala.
Rencana Refleksi
SIKLUS 1 BERHASIL SELESAI
TindakanObservasi BERHASILSELESAI RENCANA
Refleksi SIKLUS 2
GAGAL TindakanObservasi
a b
c b Gambar 2 a, b susunan rangkaian lampu yang tidak
dapat menyala. Hal tersebut terjadi karena pada susunan
rangkaian, ulir lampu atau ujung logam lampu tidak terhubung dengan kutub baterai yang berbeda.
Setelah beberapa kali melakukan percobaan, akhirnya siswa dapat menyelesaikan permasalahan
tersebut dengan baik. Mereka dapat mengerti bahwa tidak hanya ujung logam saja yang harus dihubungkan
tetapi juga harus memperhatikan ulir lampu. Kemudian siswa masuk pada tahap explaination, tahap dimana
siswa menjelaskan mengapa lampu tersebut dapat menyala. Pada tahap explaination, masing-masing
kelompok menjelaskan hasil percobaan pada selembar kertas yang sudah disediakan. Dari 23 siswa ada 20 siswa
yang dapat menjelaskan lampu dapat menyala walapun dengan 1 baterai dan 1 kabel. Rata-rata siswa
menjelaskan lampu dapat menyala dengan susunan seperti pada Gambar 1. Lampu dapat menyala jika ulir
lampu dihubungkan dengan salah satu kutub baterai dan ujung logam lampu dihubungkan dengan kutub baterai
lainnya, baik secara langsung maupun dengan kabel.
Tabel 1.
Jumlah siswa yang dapat melakukan prediction, observation, dan explaination
pada kegiatan 1.
Tahap Siswa
Persen
Prediction 18
78 Observation
19 82
Explaination 20
87 Kegiatan 2, siswa diminta untuk memprediksikan
rangkaian mana yang menyala sesuai dengan lembar kerja siswa yang disediakan oleh guru. Setelah mereka
selesai menjawab, siswa masuk dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang untuk membuktikan apakah
gambar rangkaian yang ia jawab benar atau salah. Ada sepuluh gambar yang disediakan oleh guru, beberapa
siswa beranggapan gambar nomor 4 tidak bisa menyalakan lampu. Karena letak ujung lampunya tidak
tepat di kutub baterai. Ketika siswa mencoba membuktikan ternyata gambar nomor 4 dapat
menyalakan lampu. b b
Gambar 3 gambar teknis a beserta susunan rangkaian yang dapat menyala soal nomor 4 b
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa siswa masih berfikir lampu akan menyala jika diletakkan pada
salah satu kutub baterai tetapi lampu juga dapat menyala jika diletakkan pada sekitar kutub baterai. Tahap
explaination, 19 siswa menjelaskan lampu dapat menyala
karena ada baterai sebagai sumber energi dan kabel sebagai penghubung. Dan 4 siswa lainnya menjelaskan
lampu dapat menyala hanya dengan baterai.
Tabel 2.
Jumlah siswa yang dapat melakukan prediction, observation, dan explaination
pada kegiatan 2.
Tahap Siswa
Persen
Prediction 18
78 Observation
19 82
Explaination 21
91 Kegiatan 3 langkahnya tidak jauh berbeda
dengan kegiatan 1 dan 2 hanya dibagian kegiatan 3 menggunakan 2 buah baterai, 2 kabel dan 1 lampu.
Sebelum melakukan
percobaan siswa
harus memprediksikan rangkaian mana yang dapat menyalakan
lampu pada lembar kerja siswa yang disediakan. Kemudian siswa berkumpul dalam kelompok untuk
mencoba membuktikan masing-masing gambar. Dari 10 gambar yang ada, siswa dapat membuktikan 4 susunan
rangkaian yang dapat menyalakan lampu dan 6 susunan yang tidak dapat menyalakan lampu.
a b
Di kegiatan 3 ini, beberapa siswa mengalami kesulitan dalam menyusun rangkaian. Dari 23 siswa yang berhasil
menyusun 10 rangkaian hanya 15 siswa. Jika dipersentasekan hanya 65 dari target yang ingin dicapai
yakni 75. Maka dari itu kegiatan 3 di perbaiki kembali di siklus 2.
Tabel 3.
Jumlah siswa yang dapat melakukan prediction, observation, dan explaination
pada kegiatan 3
Tahap Siswa
Persen
Prediction 15
65 Observation
17 75
Explaination 18
78
Siklus 2
Pada siklus 1, kegiatan 1 dan 2 sudah dikatakan berhasil sesuai target yang diinginkan. Tetapi pada
kegiatan 3 keberhasilan siswa belum mencapai target karena hanya 15 siswa yang dapat menyusun rangkaian
dengan menggunakan 2 kabel, 2 baterai dan 1 lampu. Hal ini disebabkan karena pada kegiatan 2 siswa belum
memahami betul konsep yang diajarkan. Pada kegiatan 2 siswa hanya mampu menjelaskan lampu dapat menyala
dengan baterai dan kabel. Di siklus 2 peneliti lebih menekankan konsep pengajaran di kegiatan 2 dan 3.
Karena model pembelajaran POE itu sendiri pada setiap tahapnya sangat berhubungan. Jika siklus 1 kegiatan 2
siswa hanya dapat menjelaskan syarat lampu menyala disebabkan ada baterai dan kabel. Maka pada siklus 2
kegiatan 2 selain kabel dan baterai siswa sudah dapat menjelaskan bahwa lampu menyala jika dasar bohlam
dihubungkan dengan salah satu kutub baterai dan ulir bohlam dihubungkan dengan kutub baterai yang lain.
Dari 23 siswa yang mana pada siklus 1 hanya 19 siswa kini menjadi 22 siswa yang berhasil menjelaskan
mengapa lampu dapat menyala walaupun hanya menggunakan 1 baterai dan 1 kabel. Kegiatan 2 sudah
dapat dikatakn berhasil kaarena teah mencapai target yang diinginkan. Perbaikan juga dilakukan pada kegiatan
3 dimana siswa yang tadinya masih belum jelas bagaimana menyusun rangkaian dengan menggunakan 2
baterai, 2 kabel dan 1 lampu. Selain itu jika baterai ditambah bagaimana dengan nyala lampunya apakah
sama saja jika hanya menggunakan 1 baterai atau lebih terang. Dibagian kegiatan 3 ini siswa yang tadinya masih
salah dalam menyusun rangkaian. Setelah ada perbaikan, siswa menjadi lebih antusias dalam mengikuti
pembelajara. Prediksi yang dilakukan oleh siswa dari siklus 1 hanya 15 orang kini di siklus 2 sudah 20 siswa
yang mampu memprediksikan. Pada tahap berikutnya siswa yang mampu mencoba dan membuktikan bahwa
prediksinya benar 22 orang. Beberapa kelompok mencoba menambahkan baterai pada rangkaian dan
ternyata ketika baterai ditambah nyala lampu semakin terang. Ada juga siswa yang mencoba menghubungkan
dengan pegangan payung. Awalnya tidak nyala tetapi setelah dicoba terus menerus dapat menyalakan lampu.
Kreatifitas yang dimiliki siswa dapat menambah pengalaman dan konsep yang tdak diajarkan oleh guru.
Tahap terakhir dari POE di kegiatan 3 siklus 2 ini dijelaskan oleh masing-masing kelompok disertai
pembuktian di depan kelas.
Untuk keaktifan siswa dilihat dari siklus 1 kegiatan 1, 2 dan 3 hampir semua siswa aktif dan
mencapai target. Tetapi kriteria yang dikatakan berhasil dalam aspek keaktifan jika siswa mencapai kategori aktif
68 – 76 dan sangat aktif 77 – 85. Padahal pada siklus
1 dari 23 siswa yang dapat dikatakan aktif dan sangat aktif hanya 14 siswa. Oleh karena itu siklus 2 sangat
membantu juga dalam perbaikan pada aspek keaktifan. Pada siklus 2 aspek keaktifan dapat tercapai sesuai
kategori sebanyak 19 siswa. Pemahaman materi yang baik akan menjadikan hasil belajar yang baik pula.
Berdasarkan hasil penelitian ketuntasan hasil belajar siswa mengalami peningkatan dari 65 menjadi 86.
Selain ketuntasan belajar prosentase keaktfan siswa juga meningkat dari 61 menjadi 82. Hal ini menunjukkan
bahwa siswa dapat memahami konsep yang hanya bersifat abstrak atau melalui imajinasi tetapi juga melalui
observasi dan pengamatan secara langsung. Oleh karena itu penggunaan metode pembelajaran POE ini sendiri
mampu meningkatkan pemahaman siswa dan kreatifitas siswa.
PENUTUP Simpulan
Dari penelitian yang telah dibuat dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep siswa sebelum
pembelajaran sebagai berikut : 1 masih banyak siswa yang belum mampu menggambarkan rangkaian dengan
menggunakan 1 lampu, 1 baterai dan 1 kabel. 2 Masih banyak siswa yang belum bisa memprediksikan,
mencoba rangkaian mana yang dapat menyalakan lampu sampai menjelaskan bagaimana lampu dapat menyala
walaupun hanya menggunakan 1 kabel, 1 lampu dan 1 baterai. 3 Siswa belum bisa menyusun rangkaian yang
dapat menyalakan lampu dengan 2 kabel, 2 baterai dan 1 lampu karena konsep siswa belum tertanam pada pikiran
siswa. Hal ini terlihat pada prosentase pemahaman konsep hanya 65 di siklus 1. Sementara itu pada siklus
2 di dapatkan bahwa pemahaman konsep siswa 86. Artinya terdapat peningkatan pemahaman konsep sisw
dari pemahaman konsep awa dengan proentase 65 menjadi 86. Namun dai 23 siswa masih terdapat 3
siswa yang belum mencapai KKM. Penggunaan model pembelajaran POE membantu siswa mengembangkan
keaktifan siswa. Siwa dapat mengeksplorasi ide-ide yang sifatnya divergen lateral. Hal ini ditunjukkan bahwa pada
siklu 2 di kegiatan 3 siswa mencoba menghubungkan baterai, kabel, lampu dengan pegangan paying
beranggapan bahwa lampu dapat menyala. Awalnya lamp tidak dapat menyala karena kutub negative baterai tidak
menempel. Setelah siswa menemukan cara lain, siwa kembali mencoba dan hasilnya lampu dapat menyala.
Saran Berdasarkan kesimpulan maka dapat dikemukakan saran
sebagai berikut : 3.
Dalam penerapan model pembelajaran POE dengan metode discovery learning, guru sebaiknya pandai
dalam mengelola waktu sehingga pembelajaran dapat berlangsung efisien.
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang
penggunaan model pembelajaran POE dengan metode discovery learning pada pokok bahasan
yang lain.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Didie Yunanto S.Pd, selaku wali dan guru kelas VI SDN
Derekan yang senantiasa membimbing dan membantu kelancaran penelitian dan semua pihak yang belum dapat
penulis sebutkan satu-persatu yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA Desi Nur Anisa, Mohammad Masykuri, Sri Yatimah.
Pengaruh model
pembelajaran POE
predict,observe, and explain dan sikap ilmiah
terhadap prestasi belajara siswa pada materi asam basa, dan garam kelas VII Semester 1 SMPN 1
Jaten tahun peajaran 2012 2013. Jurnal Pendidikan Kimia JPK, vol 2, No 2. Program
Pendidikan Kimia. Universitas Sebelas Maret.
Domi. Mengupayakan perubahan konsep Fisika menggunakan
strategi POE
Prediction Observatio Explanation,
2008. Lapono, Nabisi. 2010. Belajar dan Pembelajaran SD.
Jakarta. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
M. P. Restami, K. Suma, M. Pujani. Pengaruh model pembelajaran
POE PREDICT-OBSERVE-
EXPLAINT terhadap pemahaman konsep fisika
dan sikap ilmiah ditinjau dari gaya belajar siswa, e journal Program Pascasarjana Universitas
Pendidikan Ganesha Program Studi IPA vol 3, 2013.
N. Pt. Evi Yupani, N. Nyn Garminah, L Pt Putrini Mahadewi. Pengaruh model pembelajaran
PREDICT-OBSERVE- EXPLAINT
POE berbantuan materi bermuatan kearifan lokal
terhadap hasil belajar IPA siswa kelas IV. Petter Hubber. POEs, Post Boxes and IAIs. Science
Teacher Association of Victoria Physics Teacher’ Annual Conference, Monash University, Victoria,
2005. Riska
Lebdiana, Sulhadi,
Nathan Hindarto.
Pengembangan Perangkat Pembelajaran Materi Suhu dan Kalor Berbasis POE predict observe
explain untuk Meremidiasi Miskonsepsi Siswa.
Unnes Physics Education Journal UPEJ, vol 4,
no 3, 2015, Program Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Semarang.
Siti Rahayu, AT Widodo, Sudarmin. Pengembangan perangkat pembelajaran model POE berbantuan
media “I Am A Scientist”. Innovative journal of
Curiculum and Education Technology 2 1 2013.
Zuziwe Mthembu. Using the Predict- Observe- Explain Technique
to Enhance
the Students’
Understanding of Chemical Reactions Short Report on pilot study,
2001. Buku :
Arikunto, Suharsimi. 2006. Penelitian Tindakan Kelas, Jakarta: Bumi Angkasa.
Hergenhann B. R, Matthew H. Olson, 2008, Theories Of Learning
Teori Belajar, Edisi Ketujuh, Jakarta: Kencana.
Sudjana, Nana. 2008, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung: Rosdakarya.
Suparno, Paul SJ. 2013, Metodologi Pembelajaran Fisika Konstruktivistik Menyenangkan, Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma. Suyitno A dan Salam Rachmadi A. 2010, Ilmu
Pengetahuan Alam, Bogor: Yudistira.
ISBN: 978-602-72071-1-0
PENGARUH PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN BUKU SAKU TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA
DI SMA NEGERI 2 BANJARMASIN
Mustika Wati
1
Misbah
2
Aulia Rahmah
3
1,2,3
Jurusan PMIPA Program Studi Pendidikan FisikaUniversitas Lambung Mangkurat
ABSTRAK
Hasil belajar siswa di SMA Negeri 2 Banjarmasin masih cukup rendah disebabkan oleh siswa merasa terbebani dengan ukuran buku teks yang tebal dan besar, buku teks kurang menarik untuk dibaca serta
memuat soal yang cukup rumit tetapi tanpa penjelasan materinya.Oleh karena itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh penggunaan media pembelajaran buku saku
terhadap hasil belajar siswa di SMA Negeri 2 Banjarmasin. Jenis penelitian menggunakan penelitian eksperimen. Teknik pengambilan data melalui metode tes dan dokumentasi. Hasil penelitian dianalisis
secara deskriptif kuantitatif. Temuan penelitian yaitu hasil uji korelasi menunjukkan bahwa nilai r
hitung
nilai r
tabel
dengan nilai r
hitung
sebesar 0,58 dan nilai r
tabel
sebesar 0,33. Diperoleh simpulan bahwa terdapat pengaruh penggunaan media pembelajaran buku saku terhadap hasil belajar siswa di SMA Negeri 2
Banjarmasin. Kata kunci
: Buku saku, hasil belajar siswa
ABSTRACT
The student’s learning result in SMA Negeri 2 Banjarmasin is relatively low because the students feel burdened of thickness and big size of the textbook, the textbook is not interesting to read and has
complicated question but didn’t give the explanation. Therefore, researcher did a research to know if usage the pocket book has an effect toward the student’s learning result in SMA Negeri 2 Banjarmasin.
This research is experiment research. Data is obtained by test methods and documentation. Data is analyzed descriptive quantitatively. The research result shows that the value of r
arithmetic
r
table.
The value of r
arithmetic
is 0.58 and the value of r
table
is 0.33. Researcher conclude that there is an effect of usage learning media pocket book toward the student’s learning result in SMA Negeri 2 Banjarmasin.
Keywords
: Pocket book, Student’s learning result
PENDAHULUAN
Kurikulum 2013 menuntut perubahan dalam proses
pendidikan dan
pembelajaran dimana
diperlukan adanya strategi, model dan media pembelajaran yang sesuai untuk mendukung siswa
dalam mengikuti
proses pembelajaran
agar kemampuan yang telah dimiliki siswa dapat bertambah
dan meningkat. Media pembelajaran merupakan salah satu
hal penting yang dapat mempengaruhi siswa dalam proses pembelajaran. audio rekaman, CD, file
multimedia, dsb Aqib,2014.Untuk pengertian media pembelajaran itu sendiri yaitu segala sesuatu yang
dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dan merangsang terjadinya proses belajar pada si
pembelajar siswa Aqib,2014. Media pembelajaran juga dapat diartikan segala bentuk dan saluran yang
digunakan orang untuk menyalurkan pesaninformasi Munadi,2013.
Media cetak termasuk media yang paling banyak digunakan dalam proses pembelajaran karena
praktis penggunaannya dan tersedia di banyak tempat. Berdasarkan hasil wawancara dengan siswa dan siswi
di Pada pelaksanaan proses pembelajaran di SMA Negeri 2 Banjarmasin diperoleh informasi bahwa para
siswa dengan adanya buku teks menjadi terbantu dalam mempelajari materi fisika. Akan tetapi karena ukuran
buku teks yang cukup besar dan tebal serta isi dari buku teks fisika di SMA Negeri 2 Banjarmasin yang
dimiliki siswa dan siswi kebanyakan penjelasan yang cukup rumit, maka siswa dan siswi menjadi kurang
berminat untuk membaca dan mempelajarinya. Apalagi saat mendekati ulangan harian atau ulangan semester,
mereka
kebanyakan mengeluh
pusing untuk
ISBN: 978-602-72071-1-0
membacanya karena bingung yang mana sebenarnya bagian-bagian penting untuk diingat dan dipahami.
Selain itu, soal-soal pada buku teks fisika di SMA Negeri 2 Banjarmasin yang dimiliki siswa dan siswi
cukup rumit sedangkan penjelasan materi tentang soal tersebut terkadang tidak ada. Dalam pengerjaan
soal,siswa dan siswi sering harus membuka buku teks untuk mengerjakannya tetapi bingung menggunakan
cara yang mana untuk soal-soal tersebut. Berdasarkan hasil ulangan fisika akhir semester ganjil juga terlihat
bahwa masih banyak nilai siswa berada di bawah KKM yang ditetapkan oleh sekolah, sehingga harus
mengikuti remedial.
Untuk memotivasi siswa agar dapat lebih memahami materi pembelajaran tersebut, maka
diperlukan suatu media pembelajaran yang dapat membantu dalam proses pembelajaran. Media
pembelajaran yang dirasa cocok dalam situasi ini adalah buku saku, dimana media ini lebih menekankan
pada ukuran yang kecil dan mudah dibawa serta dapat memberikan informasi kepada siswa secara lebih
efektif yaitu dengan penjelasan materi secara ringkas dan disertai gambar-gambar, soal-soal, permainan
edukatif berkaitan dengan materi pembelajaran sebagai penunjang yang dapat menarik siswa untuk
memperhatikan dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan masalah yang ditemukan, media pembelajaran yang dirasa cocok dalam situasi
ini adalah buku saku. Buku saku adalah buku berukuran kecil yang mudah dibawa dan dapat
dimasukkan ke dalam saku Tim KBBI,2008. Dalam penelitian ini, pengertian media pembelajaran ialah
sesuatu yang digunakan oleh pengajar dalam proses pembelajaran agar materi pembelajaran dapat
tersampaikan kepada siswa. Media pembelajaran merupakan salah satu hal penting yang harus ada dalam
setiap proses pembelajaran agar proses pembelajaran dapat berjalan lancar. Media pembelajaran yang
digunakan dalam penelitian ini ialah buku saku dengan materi pembelajaran suhu dan kalor. Buku saku juga
dapat diartikan sebagai buku dengan ukurannya yang kecil, ringan, dan bisa disimpan di saku sehingga
praktis untuk dibawa kemana mana, dan kapan saja bisa dibaca. Buku saku juga lebih menekankan pada
ukuran yang kecil dan mudah dibawa serta dapat memberikan informasi kepada siswa secara lebih
efektif yaitu dengan penjelasan materi secara ringkas dan disertai gambar-gambar, soal-soal, permainan
edukatif berkaitan dengan materi pembelajaran sebagai penunjang yang dapat menarik siswa untuk
memperhatikan dalam proses pembelajaran. Buku saku dalam penelitian ini yaitu buku berukuran 11 cm x 14
cm berisi ringkasan materi disertai dengan gambar- gambar penunjang, tabel-tabel penunjang, rumus-
rumus penunjang, glosarium dan permainan edukatif mengenai materi fisika suhu dan kalor.
.
Hasil penelitian Sulistyani 2013 tentang Perbedaan Hasil Belajar Siswa Antara Menggunakan
Media Pocket Book Dan Tanpa Pocket Book Pada Materi Kinematika Gerak Melingkar Kelas X. Hasil
penelitian menunjukkan ada perbedaan antara penggunaan pocket book dan tanpa pocket book
terhadap hasil belajar siswa. Hal ini berarti penggunaan pocket book
memiliki pengaruh terhadap hasil belajar siswa.
Berdasarkan uraian di atas peneliti melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh Penggunaan Media
Pembelajaran Buku Saku Terhadap Hasil Belajar Siswa di SMA Negeri 2 Banjarmasin. Tujuan penelitian ini
adalah mengetahui pengaruh penggunaan media pembelajaran buku saku terhadap hasil belajar siswa di
SMA Negeri 2 Banjarmasin. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian
ini ialah
penelitian eksperimen dimana metode yang digunakan yaitu
eksperimen kuasi dengan tipe post test olny group design
. Data penelitian berupa data kuantitatif berupa nilai tes hasil belajar siswa. Penelitian ini dilakukan di
SMA Negeri 2 Banjarmasin pada bulan Februari 2015 hingga Desember 2015. Populasi dari penelitian ini
ialah seluruh siswa kelas X MS Matematika dan Sains SMA Negeri 2 Banjarmasin Tahun Ajaran
20142015 berjumlah 214 orang. Untuk teknik yang digunakan dalam mengambil sampel, yaitu teknik
cluster random sampling
dimana didapatkan kelas X MS 4 sebagai kelas kontrol dan X MS 2 sebagai kelas
eksperimen. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini
menggunakan metode tes dan metode dokumentasi, sedangkan instrument pengumpulan data berupa tes
hasil belajar siswa dengan bentuk soal pilihan ganda. Instrumen penelitian divalidasi oleh para ahli
yang terdiri dari satu orang dosen program studi Pendidikan Fisika FKIP UNLAM Banjarmasin dan
satu orang guru mata pelajaran fisika di SMA Negeri 2 Banjarmasin. Setelah divalidasi, peneliti melakukan uji
coba di SMA Negeri 4 Banjarbaru. Hasil uji coba yang didapat kemudian dianalisis validitas, reliabilitas,
tingkat kesukaran dan daya pembeda. Hasil uji reliabilitas menunjukkan 0,77 dimana termasuk
kategori sedang.
Analisis data
dalam penelitian
ini menggunakan uji normalitas, uji homogenitas, serta uji
hipotesis. Uji hipotesis menggunakan uji t polled varians
dengan rumus sebagai berikut:
̅ − ̅ √ − �
− � −
1 Setelah itu dilanjutkan uji korelasi untuk
mengetahui pengaruh penggunaan media pembelajaran buku saku terhadap hasil belajar siswa di SMA Negeri
2 Banjarmasin dengan menggunakan rumus berikut:
∑ � √ ∑
∑ �
2
ISBN: 978-602-72071-1-0
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada kelas eksperimen, rata-rata hasil post test yaitu sebesar 85,75 dengan persentase ketuntasan di
tabel 1 berikut : Tabel 1. Hasil post test kelas eksperimen
No. Ketuntasan
Frekuen si
Persentas e
1. Tuntas
29 82,86
2. Tidak
tuntas 6
17,14 Jumlah
35 100, 00
Pada kelas kontrol, rata-rata hasil post test yaitu sebesar 74,25 dengan persentase ketuntasan dapat
dilihat pada tabel 2 berikut :
Tabel 2. Hasil post test kelas kontrol
No. Ketuntas
an Freku
ensi Persent
ase 1.
Tuntas 25
69,44 2.
Tidak tuntas
11 30,56
Jumlah 36
100, 00
Setelah didapatkan hasil post test, kemudian dilakukan uji normalitas dan didapatkan nilai sig
sebesar 0,64 untuk kelas eksperimen dan 0,41 untuk kelas kontrol. Nilai sig 0,05 maka didapatkan bahwa
data berdistribusi normal. Selanjutnya, dilakukan uji homogenitas dan didapatkan hasil F
hitung
sebesar 1,12 dan F
tabel
sebesar 4,00. Karena nilai F
hitung
F
tabel
maka data homogen. Setelah data normal dan homogen,
selanjutnya dilakukan uji hipotesis. Hasil perhitungan uji t dapat dilihat pada tabel 3 berikut:
Tabel 3. Uji t polled varian
Nilai t
hitung
Nilai t
Tabel
Kesimpulan 2,75
2,00 H
ditolak
Tabel 3 menunjukkan hasil perhitungan dengan uji t sebesar 2,75. Untuk mengetahui apakah hipotesis
diterima atau ditolak, maka nilai t yang telah dihitung dibandingkan dengan nilai t yang tertera pada tabel
untuk dk = 69 dengan α = 0.05 adalah 2,00. Dalam hal ini berlaku ketentuan bahwa bila t
hitung
lebih kecil atau sama dengan t
tabel
maka H diterima. Ternyata hasil
perhitungan menunjukkan bahwa t
hitung
≥ t
tabel
, dengan demikian H
ditolak dan H
a
diterima. Dengan kata lain, terdapat perbedaan antara kelas yang menggunakan
media pembelajaran buku saku dengan kelas yang tidak menggunakan media pembelajaran buku saku.
Selanjutnya dilakukan uji korelasi dan hasil perhitungan uji korelasi menghasilkan data pada tabel
4berikut: Tabel 4. Uji korelasi r product moment
Nilai r
hitung
Nilai r
tabel
Kesimpulan 0,58
0.33 H
ditolak
Dari Tabel 4, dapat dilihat bahwa korelasi r antara media pembelajaran buku saku terhadap hasil
belajar siswa sebesar 0,58, nilai r positif berarti terdapat pengaruh yang positif antara penggunaan
media pembelajaran buku saku terhadap hasil belajar siswa. Nilai r
hitung
lebih besar daripada nilai r
tabel
, berarti H
yang menyatakan bahwa tidak terdapat pengaruh penggunaan media pembelajaran buku saku terhadap
hasil belajar siswa di SMA Negeri 2 Banjarmasin ditolak sehingga H
a
diterima. Maka dari itu, terdapat pengaruh penggunaan media pembelajaran buku saku
terhadap hasil belajar siswa di SMA Negeri 2 Banjarmasin.
Menurut penelitian Alvianti 2012 dengan judul penelitian Efektivitas Media Pocket Book dalam
Pembelajaran Fisika Pokok Bahasan Gelombang Elektromagnetika Untuk Meningkatkan Hasil Belajar
Fisika Siswa Kelas X MAN Rembang menyatakan hasil penelitian menunjukkan bahwa media pocket
book
lebih efektif dibandingkan dengan buku paket. Hal ini dilihat dari persentase ketuntasan klasikal kelas
eksperimen sebesar 91,17 dan tanggapan siswa terhadap pembelajaran dengan media pocket book
sebesar 81,28 . Menurut penelitian Sulistyani 2013 dengan judul penelitian Perbedaan Hasil Belajar Siswa
Antara Menggunakan Media Pocket Book Dan Tanpa Pocket Book
Pada Materi Kinematika Gerak Melingkar Kelas X menyatakan bahwa hasil belajar siswa yang
menggunakan pocket book rata-rata nya yaitu sebesar 81,27 dan hasil belajar siswa yang tanpa menggunakan
pocket book rata-ratanya yaitu sebesar 77,73. Nilai
t
hitung
t
tabel =
2,097 2,000 dengan taraf signifikansi 50. Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat
disimpulkan bahwa ada perbedaan hasil belajar fisika siswa yang menggunakan pocket book dan tanpa
pocket book pada materi kinematika gerak melingkar.
Berdasarkan penelitian oleh Yuliani 2015 tentang Pengembangan Buku Saku Materi Pemanasan Global
Untuk SMP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase tanggapan siswa pada uji coba produk
mencapai 50. Ketuntasan belajar klasikal siswa mencapai 75 serta persentase tanggapan guru
mencapai 50 .
Berdasarkan berbagai bukti penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dan pernyataan teori yang
mendukung hasil analisis dari penelitian yang peneliti lakukan, maka dapat dikatakan bahwa terdapat
pengaruh penggunaan media pembelajaran buku saku terhadap hasil belajar siswa di SMA Negeri 2
Banjarmasin. PENUTUP
Simpulan
Temuan yang diperoleh dalam penelitian ini ialah
hasil uji korelasi menunjukkan nilai r
hitung
sebesar 0,58 dan nilai r
tabel
sebesar 0,33. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai r
hitung
nilai r
tabel
yang menyatakan H
o
ditolak dan H
a
diterima. Berdasarkan temuan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat
ISBN: 978-602-72071-1-0
pengaruh media pembelajaran buku saku terhadap hasil belajar siswa di SMA Negeri 2 Banjarmasin.
DAFTAR PUSTAKA Alvianti. 2011. Efektivitas Media Pocket Book Dalam
Pembelajaran Fisika
Pokok Bahasan
Gelombang Elektromagnetik
Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Fisika Siswa Kelas
X MAN Rembang . Skripsi Sarjana. Rembang.
Aqib, Zainal. 2014. Model-Model, Media dan Strategi Pembelajaran
Kontekstual Inovatif
. Bandung: Yrama Widya.
Munadi, Yudhi. 2013. Media Pembelajaran Sebuah Pendekatan Baru
. Jakarta: Referensi. Rahmawati, N R, Sudarmin dan Pukan, K K. 2013.
Pengembangan Buku Saku IPA Terpadu Bilingual Dengan Tema Bahan Kimia Dalam
Kehidupan Sebagai Bahan Ajar Di MTs. Unnes Science Education Journal
. 2: 157-164. Sugiyono. 2012. Statistika Untuk Penelitian. Bandung:
Alfabeta. Sulistyani, N. H. D, Jamzuri, dan Rahardjo, Dwi
Teguh. 2013. Perbedaan Hasil Belajar Siswa Antara Menggunakan Media Pocket Book dan
Tanpa Pocket Book Pada Materi Kinematika Gerak Melingkar Kelas X. Jurnal Pendidikan
Fisika
.1: 164-172. Tim KBBI. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka. Yuliani, Fahtria Herlina Lina. 2015. Pengembangan
Buku Saku Materi Pemanasan Global Untuk SMP. Unnes Journal of Biology Education. 4:
104-110.