Modal Metode Simple Additive Weighting SAW

ISBN 978-602-72071-1-0 poin poin borang akreditasi. Kontribusi penelitian ini, antara lain 1. Hasil penelitian berupa model tatakelola perguruan tinggi sebagai guidance bimbingan bagi perguruan tinggi dalam mencapai akreditasi A. 2 Secara teori diharapkan berkontribusi terhadap pengembangan teori Good Corporate Governanance untuk perguruan tinggi atau dapat disebut sebagai Good University Governance. 3 Sebagai masukan kepada pemerintah, dalam hal ini Dirjen Pendidikan Tinggi Dikti dan Koordinator Perguruan Tinggi Swasta Kopertis dalam melakukan arahan atau pembinaan bagi perguruan tinggi menuju akreditasi institusi. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu Allen et al 2002 menyatakan bahwa kultur perguruan tinggi masa kini lebih ke arah sistem kolega dan berbasis riset, sedangkan penggunaan teknologi informasi lebih ditekankan pada kekuatan hubungan atas penggunaan teknologi informasi oleh para dosen, pimpinan, serta staf di perguruan tinggi dan keberadaan infrastruktur yang memadai. Mulili 2011 meneliti perguruan tinggi negeri di Kenya agar memiliki tata kelola yang baik, karena hasil penelitiannya menunjukkan terlalu banyaknya anggota dewan pengurus dalam perguruan tinggi tersebut, menjadikan tidak efektif dalam pengelolaannya. Selain itu diperlukan tim manajemen yang memadai. Silva Armstrong 2012 menemukan bahwa perguruan tinggi di Australia sebagai korporasi yang independen, menerapkan indikator tata kelola perusahaan yang baik National Governance Protocols sebagai pengukur korporasinya Universities Protocols. Konsep Daya Saing Daya saing mengacu kepada kemampuan suatu organisasi atau korporasi dalam melakukan efisiensi dan efektivitas atas sasaran penentuan arah dan hasil yang ingin dicapai. Sehubungan dengan daya saing dalam perguruan tinggi, bahwa kemampuan suatu perguruan tinggi berkontribusi dalam peningkatan daya saing bangsa hanya dapat dilakukan oleh organisasi yang sehat. Organisasi yang sehat adalah organisasi yang memperhatikan tren perubahan mendasar, yang meliputi quality assurance, autonomy, enterpreneurialism; dan leadership. Quality assurance seperti halnya akreditasi adalah merupakan kegiatan yang terinstitusi dalam bentuk prosedur standar organisasi yang melibatkan pihak luar. Autonomy adalah kebebasan menajemen untuk mengelola institusi selama tidak bertentangan dengan undang-undang. Enterpreneurialism adalah kemampuan institusi dalam pengelola dan mencari dana melalui projek-projek penelitian dan pengabdian masyarakat bekerja sama dengan dunia usaha; dan Leadership adalah kepemimpinan yang cakap dan bertanggung jawab. Bachtiar, 2013 Konsep Good Corporate Governance Sehubungan dengan corporate governance, terdapat dua teori yang terkait, yaitu stewardship theory dan agency theory Tricker, 1984. Stewardship theory di bangun di atas asumsi filosofis mengenai sifat manusia, yakni bahwa manusia pada hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki integritas, dan kejujuran terhadap pihak lain. Sedangkan agency theory memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai agent bagi para pemegang saham, akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi kepentingannya sendiri bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham sebagaimana diasumsikan dalam stewardship model Swastika, 2013; Swastika, Salim, Sudarma, Djumahir, 2013 Corporate governance terkonsentrasi pada struktur dan proses pengambilan keputusan, akuntabilitas, kontrol dan perilaku dari pimpinan puncak organisasi Amstrong Francis, 2004. Governance dapat didefinisikan sebagai suatu sistem atau struktur aturan dan hubungan, pengawasan dan pengendalian orang- orang yang menjalankan wewenang, akuntabilitas, pelayanan, kepemimpinan, arah dan kontrol yang bertujuan untuk menjamin akuntabilitas dan efisien penggunaan sumber daya dalam menyeimbangkan pencapaian tujuan korporasi, masyarakat dan individu Armstrong, 2009. Menurut Weir dan McKnight Weir, Laing, Mc.Knight, 2002, tata kelola perusahaan institusional terdiri atas mekanisme tata kelola eksternal dan mekanisme tata kelola internal. Mekanisme tata kelola eksternal adalah pengaruh atas adanya kebijakan pemerintah yang diberikan kepada perguruan tinggi atau universitas. Dalam literatur corporate governance, komposisi posisi struktural dan proses dari karakteristik dewan komisaris merupakan struktur tata kelola internal perusahaan Bhagat Black, 2002; Khanchel, 2007 Konsep Good Corporate Governance GCG yang akan dikembangkan menjadi Good University Governance mengacu kepada penelitian yang dilakukan oleh De Silva dan Armstrong 2012, bahwa dengan menggunakan Institutional Theory, mekanisme corporate governance terbagi dalam eksternal dan internal. Variabel mekanisme corporate governance eksternal adalah pengaruh pihak otoritas yang diukur menggunakan kepatuhan universitas menggunakan parameter National Governance Protocols yang meliputi hal hal sebagai berikut. 1 universitas harus menempatkan penekanan lebih besar pada pelatihan dan pengembangan. 2 universitas harus memiliki akses keuangan yang lebih baik sebagai antisipasi gejolah krisis eksternal yang susah diprediksi. 3 universitas perlu menyesuaikan pengaturan tata kelola mereka untuk memenuhi kebutuhan spesifik mereka. 4 universitas harus bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good governance, termasuk transparansi dan akuntabilitas, dan masalah budaya organsasi membutuhkan lebih banyak perhatian. Sedangkan variabel mekanisme corporate governance internal adalah dewan direksi, dewan ISBN 978-602-72071-1-0 komisaris, aturan komite dan proses dewan direksi yang ditunjukkan dalam tranparansi dalam pelaporan dan rapat dewan direksi. Struktur Organisasi dan kebutuhan berinovasi Dalam kondisi ketidakpastian lingkungan eksternal tinggi organisasi menghadapi lingkungan yang semakin dinamis dan komplek. Kondisi ini sering menjadi faktor pemicu ada banyak organisasi untuk melakukan inovasi Abouzeedan Redner, 2012. Pada kondisi lingkungan seperti ini, organisasi perlu memilih rancang struktur organic bukan mechanic. Struktur organic lebih mengedepankan kerja tim lintas fungsi, arus informasi bebas mengalir, departementalisasi ramping, rentang kendali luas, tingkat formalitas rendah dan desentralisasi dalam proses pengambilan keputusan. Dari sudut pandang struktur organisasi, proses inovasi akan lebih terdorong dalam bentuk yang organik dibandingkan struktur yang mekanik Chiu Chang, 2009; Fontana, 2009. Perguruan tinggi sebagai agen perubahan yang bertugas menyuplai SDM berkualitas, lebih fit dengan struktur organisasi organic, dengan harapan perguruan tinggi akan menjadi lingkungan belajar yang kondusif bagi lahirnya kreativitas yang akan menghasilkan karya inovasi. Kemampuan manajerial dan daya saing organisasi Sumber daya modal manusia dipandang sebagai aset strategis, khususnya kemampuan manajer sering diidentifikasi sebagai sumber utama keunggulan kompetitif. Barney, 1991 Mengingat pentingnya posisi para manajer, pertanyaan kritis muncul mengenai apa yang perlu dipelajari untuk menjadi manajer yang lebih efektif. Apakah ada keterampilan tertentu untuk memprediksi keberhasilan manajerial? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama harus diidentifikasi jenis keterampilan yang dimiliki oleh para manajer. Scullen et al 2003 mengidentifikasi empat dimensi keterampilan manajerial meliputi: technical skill, administrative skill, human skill dan citizenship behavior . Technical skill mengacu pada kemampuan seorang manajer terhadap metode atau teknik yang berhubungan dengan area fungsional manajer yang bersangkutan. Administrative skill terkait dengan bidang-bidang seperti perencanaan, pengorganisasian, mendelegasikan, dan koordinasi. Human skill berkaitan dengan kemampuan seorang manajer untuk berinteraksi dan bekerja secara efektif dengan anggota tim. Citizenship behavior mencoba untuk menangkap aspek-aspek lain yang bermanfaat dari perilaku kerja seperti menjadi kooperatif, loyal dan gigih. Keempat dimensi managerial skill tersebut dalam dunia perguruan tinggi sangat potensial dikembangkan agar perguruan tinggi mempunyai daya saing unggul. Hasil penilitian yang dilakukan oleh Tonidandel 2012 menunjukkan bahwa kemampuan manajerial mempunyai pengaruf posisitif terhadap efektivitas organisasi. Keempat dimensi keterampilan manajerial tersebut technical skill, administrative skill, human skill dan citizenship behavior terbukti merupakan prediktor penting bagi efektivitas manajer. Lebih lanjut Tonidandel 2012 menemukan bahwa human skill dan administrative skill secara signifikan menjadi dimensi dominan bagi efektivitas manajer. Peran Budaya Organisasi dan Teknologi Informasi dalam Mewujudkan GCG Budaya merupakan suatu pola hidup menyeluruh yang bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif, dan unsur-unsur sosio-budaya yang meliputi banyak kegiatan sosial manusia Mulyana Rakhmat, 2006. Budaya organisasi merupakan sebuah sistem m akna bersama yang dianut oleh para anggota yang membedakan suatu organisasi d ari organisasi- organisasi lainnya Schein, 1985. Sistem makna bersama ini adalah sekumpulan karakteristik kun ci yang dijunjung tinggi oleh organisasi Robbins Judge, 2008. Claver et al. 2001 mendefinisikan budaya sebagai suatu kumpulan nilai-nilai, symbol, dan ritual bersama para anggota dari perusahaan, yang menggambarkan cara suatu hal dilakukan dalam organisasi untuk memecahkan masalah internal dan masalah eksternal. Budaya organisasi inilah yang akan mewarnai sikap dan perilaku masing-masing individu di dalam organisasi. Tidak kalah pentingnya dengan budaya organisasi, hal lain yang juga dapat memengaruhi keberhasilan GCG adalah keberadaan teknologi informasi dalam suatu organisasi. Kebutuhan akan teknologi informasi saat ini sudah bukan merupakan barang mewah tetapi sudah menjadi kebutuhan pokok. Teknologi informasi dapat membantu perusahaan dalam peningkatan fungsi, peningkatan akurasi, pengolahan cepat, dan pelaporan eksternal yang lebih baik Ghasemi, Shafeiepour, Aslani, Barvayeh, 2011. Dengan demikian adanya teknologi informasi dapat memperpendek waktu yang dibutuhkan untuk menyiapkan dan menyajikan laporan kepada manajemen dan hal ini juga memungkinkan perusahaan untuk membuat laporan individu dengan cepat dan mudah untuk pengambilan keputusan manajemen. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Metode kualitatif, yaitu suatu metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek alamiah. Rasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Metode kualitatif yang dimaksud disini, adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alami dimana peneliti sebagai instrumen kunci Sugiyono, 2001 Pertimbangan lain dalam penelitian yang bersifat kualitatif adalah bahwa dalam penelitian kualitatif ini tidak hanya mengungkapkan peristiwa riil yang bisa dikuantifikasikan, tetapi lebih dari itu hasilnya diharapkan dapat mengungkapkan nilai- nilai tersembunyi. Selain itu penelitian ini akan lebih peka terhadap informasi yang bersifat kualitatif deskriptif dengan secara relatif berusaha mempertahankan keutuhan dari obyek yang diteliti. ISBN 978-602-72071-1-0 Obyek Penelitian Perguruan Tinggi Negeri di Jawa Timur yang memperoleh peringkat akreditasi A dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi BAN-PT Tahun 2014. Ada 5 Perguruan Tinggi, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel1 berikut ini Tabel 1 . Obyek Penelitian No Nama Perguruan Tinggi Nomor SK Tanggal Kadaluarsa SK 1. Institut Teknologi Sepuluh Nopember 015lSKBAN- PTAkredPTI20 14 16-1-2019 2. Universitas Airlangga 024SKBAN- PTAkredPTI20 14 16-1-2019 3. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang 032SKBAN- PTAkredPTI20 14 16-1-2019 4 Universitas Brawijaya 367SKBAN- PTAk- SURVPTIX201 4 16-1-2019 5 Universitas Negeri Malang 240SKBAN- PTAkredPTVII 2014 19-7-2019 Sumber: BAN-PT, 2014 Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui prosedur wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi. Wawancara mendalam dilakukan terhadap pimpinan dan staf struktural Perguruan Tinggi. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran dan informasi tentang pengelolaan Perguruan Tinggi, sehingga diperoleh peringkat akreditasi A. Metode Analisis Penelitian ini menggunakan model dan metode analisis yang berbentuk Analisis Deskriptif Kualitatif, yaitu suatu teknik analisis yang menjelaskan dan menjabarkan hasil penelitian secara kualitatif. Bentuknya adalah Model Interaktif. Digunakannya analisis model interaktif dalam penelitian ini, karena dilakukan bertahap dan di setiap tahapan dapat diperoleh data yang valid serta akurat sehingga pada saat penarikan kesimpulan sebagai tahap akhir analisis, akan memberikan hasil yang sesuai dengan kondisi senyatanya sesuai yang diharapkan. HASIL DAN PEMBAHASAN Proses Pengumpulan Data Lima perguruan tinggi telah disurvey oleh peneliti yaitu: 1 Institut Teknologi Sepuluh Nopember, 2 Universitas Airlangga, 3 Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 4 Universitas Negeri Malang dan 5 Universitas Brawijaya. Sesuai dengan rekomendasi pembantu rektor I di masing masing perguruan tinggi yang menjadi obyek penelitian peneliti direkomendasi kepada unit atau badan penjamin mutu untuk melakukan wawancara terkait proses akreditasi institusi. Dalam wawancara dengan pimpinan dan staf di bagian unit penjamin mutu, peneliti memperoleh gambaran secara detail terkait persiapan pengajuan akreditasi. Hasil dari pengumpulan data melalui wawancara dengan pimpinan dan staf penjamin mutu serta beberapa personil lain di lingkungan universitas dosen dan mahasiswa maupun informasi yang diperoleh dari pengisian daftar pertanyaan telah di susun dan ditelaah oleh peneliti. Dalam pengumpulan data ini peneliti berusaha memenuhi unsur keabsahan data, antara lain: derajat kepercayaan credibility, keteralihan transferability, kebergantungan dependability, dan kepastian confirmability. Moleong, 2010 Dari hasil pengumpulan data ini peneliti berhasil mengungkap indikator indikator penting yang berkontribusi positif terhadap pencapaian akreditasi institusi. Indikator indikator tersebut terangkum dalam empat aspek utama meliputi: budaya akademik, kemampuan manajerial, sruktur organisasi dan penguasaan serta pemanfaatan teknologi informasi. Temuan Indikator Terkait Budaya Akademik Budaya akademik Academic culture dapat artikan sebagai sebuah kesatuan dari kehidupan dan aktifitas akademik yang dihayati, dimaknai dan diamalkan oleh semua warga Universitas. Budaya akademik adalah beorientasi pada mencari kebenaran ilmiah melalui kegiatan akademik dengan melandaskan pada kebebasan berpikir, keterbukaan, pikiran kritis- analitis, rasional dan obyektif yang dianut oleh warga kampus. Dari hasil wawancara dan pengamatan yang mendalam terhadap obyek penelitian ditemukan kesamaan corak budaya akademik meliputi: iklim diskusi ilmiah, Penambahan ilmu dan wawasan, Kebiasaan meneliti dan mengabdi kepada masyarakat, Penulisan karya ilmiah artikel, makalah, buku, Melakukan kegiatan pendidikan dan pengajaran dengan segala perangkatnya dengan baik, dengan terus memburu referensi mutakhir. Budaya tersebut pada akhirnya akan melahirkan kondisi Dinamis, yang berarti ciri ilmiah sebagai budaya akademik akan dikembangkan terus-menerus. Dialogis, artinya dalam proses transformasi ilmu pengetahuan dalam masyarakat akademik harus memberikan ruang pada semua masyarakat ilmiah untuk mengembangkan diri, melakukan kritik serta mendiskusikannya. Apresiatif artinya menghargai prestasi ilmiahakademik. Budaya akademik yang telah terbentuk sesuai keunikan tertentu telah menjadikan sebuah perguruan tinggi berorientasi ke masa depan, artinya suatu masyarakat akademik harus mampu mengantisipasi suatu kegiatan ilmiah ke masa depan secara cermat, ISBN 978-602-72071-1-0 realistis dan rasional. Terbangunnya rasa kemitraan menjadikan rasa persaudaraan yang kuat untuk mewujudkan suatu kerja sama atau team work yang baik. Dampak akhir dari kekuatan budaya akademik ini tercermin dari visi dan misi universitas serta implementasinya. Dengan kata lain, perguruan tinggi dikatakan bermutu apabila mampu menetapkan dan mewujudkan visinya melalui pelaksanaan misinya aspek deduktif, serta mampu memenuhi kebutuhanmemuaskan stakeholders aspek induktif yaitu kebutuhan masyarakat, dunia kerja dan profesional. Sehingga, perguruan tinggi harus mampu merencanakan, menjalankan dan mengendalikan suatu proses yang menjamin pencapaian mutu. Untuk mewujudkan itu semua, diperlukan syarat-syarat normatif yang wajib dipenuhi oleh setiap PT. Syarat-syarat tersebut tertuang dalam beberapa asas, yaitu: komitmen,internally driven tanggungjawabpengawasan melekat, kepatuhan kepada rencana, evaluasi, peningkatan mutu berkelanjutan. Sedangkan budaya negatif yang berpotensi menjadi penghambat dalam membangun budaya akademik yang kondusif di perguruan tinggi antara lain: Budaya Otoriter. Otoriter artinya tindakan berkuasa sendiri atau sewenang-wenang. Adakalanya seorang dosen dengan status tertentu senior, ekonomi kuat, power eksternal, kedekatan dengan manajemen cenderung berperilaku tidak kooperatif. Salah satu penentu keberhasilan tim AIPT dalam mempersiapkan semua dokumen adalah menuntut kedisiplinan. Tipe otoriter terkadang sangat sulit taat asas sehingga bisa menghambat terhadap deadline laporan. Perilaku seperti ini harus diminimalkan dalam membuat budaya akadamik yang positif. Budaya dilayani. Munculnya istilah raja kecil di perguruan tinggi tentu sangat kontradiksi dengan kebutuhan pendidikan. Proses penyiapan dokumen AIPT membutuhkan kepedualian dari warga kampus untuk menyediakan berbagai informati dan laporan kegiatan secara proaktif. Budaya dilayani ini tentu tidak sejalan dan harus berubah menjadi budaya melayani. Budaya kikir ilmu. Perguruan tinggi sebagai agen perubahan dengan pendorong utamanya adalah pada diseminasi ilmu pengetahuan sharing knowledge. Fungsi itu tidak akan tercapai ketika penguasaan ilmu hanya bersifat individual. Temuan Ilmu pengetahuan harus dibagi kepada pihak lain agar bisa dipelajari maupun dikritisi pihak lain secara lebih dalam. Senior harus melakukan transfer knowledge kepada yunior supaya tercipta akademik atmosfir yang baik. Senior junior menciptakan hubungan yang kolegial sehingga tercipta suasana kerja harmonis. Budaya kurang menghargai sesama. Institusi perlu memberikan penghargaan atas prestasi dosen. Dengan adanya penghargaan, maka dosen yang semakin termotivasi untuk selalu meningkatkan perannya. Temuan Indikator Terkait Kemampuan Manajerial Kemampuan manajerial adalah kemampuan untuk mengatur, mengoordinasikan dan menggerakkan para bawahan ke arah pencapaian tujuan yang telah ditentukan organisasi. Dalam kontek perguruan tinggi, pencapaian visi dan misi perguruan tinggi tidak bisa dilepaskan dari kemampuan manajerial seorang pemimpin. Pemimpin dalam konteks ini secara khusus dimaksudkan pada kemampuan manajerial Rektor, Pembantu Rektor pada masing masing bidang, Dekan dan juga secara khusus kepada kepemimpinan yang berlaku di bagian Unit Penjamin Mutu. Peneliti membuat kesimpulan bahwa peran Unit Penjamin Mutu dalam mengawal visi misi institusi sangat strategis dan mempunyai peran kontrol dan evaluasi yang akan mengawal proses penyusunan borang AIPT kedepan. Beberapa indikator kemampuan manajerial yang dikembangkan di obyek penelitian berhasil kita rangkum meliputi: kemampuan mengelola perubahan sebagai respon dinamika internal dan ekternal misal: kebijakan upgrade knowledge, upaya mempertahankan produk unggulan universitas, kemampuan melakukan sinergi diantara sumberdaya organisasi, kemampuan mengembangkan cara cara manajemen untuk mendorong dan memberdayakan tumbuh kembangnya kreativitas dan inovasi di universitas. Dampak terhadap bawahan adalah penghayatan terhadap pekerjaan yang dilakukan, merasa terlibat dalam kegiatan-kegiatan kelompok kerja, pengertian dan simpati atas masalah institusi, serta terbangunnya kedekatan secara emosional diantara bagian untuk saling memberikan dukungan dengan komitmen yang kuat pada kelompok kerjanya. Peneliti mencatat bahwa kemampuan manajerial di perguruan tinggi seharusnya diarahkan agar kemampuan mengelola People, Ideas, Resources dan Objectives agar bisa berjalan bersama secara tepat. Temuan Indikator Terkait Struktur Organisasi Struktur organisasi adalah pola hubungan diantara berbagai elemen dan bagian organisasi. Struktur organisasi juga mendefinisikan dan menghubungkan wewenang serta tanggung jawab. Secara teori dikenal dua karakteristik umum struktur organisasi yaitu struktur organisasi yang bercorak mekanistik dan struktur organisasi yang bercorak organik. Peneliti mengamati bahwa dalam obyek penelitian lebih cenderung diwarnai dengan karakteristik strukltur organisasi yang bercorak organik dibanding yang mekanistik. Khususnya dibagian Unit Penjamin Mutu sebagai unit kerja yang bertugas untuk mengembangkan Sistem Penjaminan Mutu Internal SPMI di tingkat universitas, yang penjabarannya pada tiap fakultas dan jurusan adalah Gugus Kendali Mutu FakultasJurusan. Tujuan penjaminan mutu adalah memelihara dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara berkelanjutan, yang dijalankan secara internal untuk mewujudkan visi dan misi PT, serta untuk memenuhi kebutuhan stakeholders melalui penyelenggaraan tridharma perguruan tinggi. Secara umum bentuk struktur organisasi di unit penjamin mutu tampak seperti pada Gambar 4 berikut ini. ISBN 978-602-72071-1-0 Gambar 4 Posisi penjamin mutu dalam struktur organisasi perguruan tinggi Jika diamati dari struktur yang ada pada Gambar 4, Secara umum, organisasi penjaminan mutu adalah lembaga fungsional yang melekat dengan lembaga struktural, sehingga dalam menjalankan tupoksi-nya selalu melibatkan pejabat struktural. Dalam hal ini, antara unit penjaminan mutu universitas PJM, fakultasprogram GJM dan jurusanPS UJM tidak terdapat hubungan, karena masing-masing bertanggungjawab terhadap pimpinan unit kerja. Pengamatan mendalam yang dilakukan peneliti pada Unit Penjamin Mutu mengindikasikan praktek struktur organisasi yang bercorak organik. Yaitu menekankan pada pentingnya mencapai keadaptasian dan perkembangan tingkat tinggi. Desain organisasi ini kurang mengandalkan peraturan dan prosedur, wewenang yang disentralisasikan atau spesialisasi yang tinggi. Personal yang ada di Unit Penjamin Mutu ini boleh dibilang adalah sosok yang multi tasking artinya mereka bisa bekerja dalam variasi tugas yang tinggi. Hal ini diperlukan agar unit kerja dapat menanggapi perubahan dengan cepat, memberi masukan lebih rinci bagi pengambil keputusan, memotivasi pegawai untuk memberi kesempatan dlm pengambilan keputusan dan memberi peluang pelatihan bagi manajer tingkat rendah. Beberapa dimensi organisasi yang harus diperhatikan adalah: 1 Ukuran yaitu jumlah anggota dalam organisasi. 2 Spesialisasi yaitu: jumlah kekhususan yang dilakukan dalam menangani pekerjaan. 3 Standardisasi yaitu adanya prosedur-prosedur untuk mengatur kegiatan yang berulang. 4 Formalisasi yaitu sejauh mana aturan-aturan dan komunikasi yang dilakukan secara tertulis. 5 Integrasi yaitu kualitas kerja sama diantara unit-unit yang dibutuhkan untuk menyatukan tujuan, atau rencana-rencana dan umpan balik yang digunakan untuk mengkoordinasikan unit- unit. 6 Diferensiasi yaitu jumlah fungsi-fungsi khusus yang dijalankan dalam organisasi, atau perbedaan dalam orientasi kognitif dan emosional diantara para menejer dari departemen yang berbeda. Untuk menjalankan SPMI, Institusi menerapkan langkah-langkah yang disebut siklus penjaminan mutu meliputi: 1 menyusun organisasi penjaminan mutu. 2 menyusun sistem Kebijakan, Sistem Dokumen standar mutu, manual mutu, manual prosedur dsb. 3 sistem dijalankan sosialisasi dan menjadi acuan kerja. 4 melakukan Audit Internal Mutu AIM. satu siklus penjaminan mutu. 5 Tindak Lanjut T. Untuk memastikan agar siklus itu bisa berjalan, diperlukan rasa kepedulian serta komitmen yang tinggi bagi semua warga kampus. Oleh karena itu faktor fundamental seperti budaya akademik dan kemampuan manajeral mempunyai peran penting dalam proses penjaminan mutu. Temuan Indikator Terkait Penguasan Dan Pemanfaatan Teknologi Informasi Teknologi informasi adalah alat yang terintegrasi yang digunakan untuk menjaring data, mengolah dan mengirimkan atau menyajikan secara elektronik menjadi informasi dalam berbagai format yang bermanfaat bagi pemakainya. Hasil survey menemukan bahwa peran dari pemanfaatan teknologi informasi berpengaruh terhadap efektivitas komunikasi unit unit yang ada dalam struktur organisasi, cara bekerja, cakupan unit antar universitas dan efektivitas pekerjaan semua elemen dalam universitas. Teknologi informasi berdampak pada berbagai aktivitas manajemen yang berhubungan dengan data dimana elemen utamanya meliputi inputperolehan data, pemrosesan data, penyimpanan data dan perolehan kembali data yang menjadi hal yang sangat penting bagi universitas. Peneliti juga mencatat adanya peningkatan produktivitas pekerjaan pada semua tingkatan proses input data, proses, penyimpanan data dan perolehan kembali data, kebutuhan akan informasi terkait aktivitas akademik dapat dihasilkan dengan cepat dan meningkatnya penyebaran informasi dan respon terhadap laporan. Teknologi informasi sering juga dimanfaatkan dalam universitas untuk meningkatkan perhatian-arahan attention-directing dalam penyediaan laporan. PENUTUP Simpulan Penelitian ini dilakukan berdasarkan keingintahuan peneliti untuk mengetahui faktor faktor fundamental apa saja yang diperlukan perguruan tinggi agar capaian akreditasi institusi bisa mencapai peringkat A. Mengingat bahwa capaian kinerja atas 7 standar sesuai borang akreditasi perlu banyak persiapan. Tidak sekedar menyusun borang, banyak faktor penting yang harus dibangun secara berkelanjutan agar PT siap dengan tuntutan pada setiap standar. Peneliti telah mengungkap beberapa aspek fundamental yang berperan besar dalam capaian 7 standar AIPT. 4 faktor tersebut meliputi: 1 budaya akademik, 2 kemampuan manajerial, 3 sruktur organisasi dan 4 penguasaan serta pemanfaatan teknologi informasi. pimpinan dalam membangun budaya akademik sangat diperlukan. Kebijakan yang dibuat harus mengarah pada pencapain kinerja intitusi secara komprehensif mengacu pada fungsi Tridharma perguruan tinggi meliputi tujuan pendidikan pengajaran, penelitian dan pengabdian. Membangun budaya belajar yang dikembangkan dikampus akan berdampak pada terciptanya susasana belajar yang kondusif. ISBN 978-602-72071-1-0 Meningkatnya motivasi belajar menyebabkan perkembangan dan penguasaan ilmu pengetahuan akan berjalan secara berkelanjutan di kampus. Ketika budaya belajar ini berkembang dikampus maka penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi didalam organisasi akan semakin bagus dan ini akan mendukung terciptanya daya saing bagi perguruan tinggi. Dukungan institusi untuk memberikan peluang belajar bagi warga kampus sangat diperlukan. Keterbatasan dan hambatan dalam proses penyusunan borang akreditasi selalu ada. Peran pimpinan dalam bentuk berbagai kebijakan dan arahan sangat diperlukan kemampuan manajerial dalam mengatasi keterbatasan tersebut. Saran Berdasarkan hasil dialog selama melakukan wawancara dengan pihak pihak yang terkait dengan pelaksanaan AIPT, Peran Unit Penjamin Mutu sangat penting sebagai pelaksana penjaminan mutu di tingkat universitas dengan ruang lingkup kerja mencakup pengkoordinasian penjaminan mutu di tingkat fakultas, baik di bidang akademik maupun non akademik. Dengan demikian peneliti menyarankan agar PT mempunyai tim unit penjamin mutu yang solid, kompak dan mempunyai budaya kerja bekerja secara tim yang kuat. SDM yang beraktivitas di unit ini haruslah SDM siap dengan situasi variasi tugas yang tinggi. Model Aspek Fundamental Daya Saing PT Menuju Akreditasi A Dalam Gambar 7 tampak bahwa budaya akademik, kemampuan manajerial, struktur organisasi dan pemanfaatan teknologi sebagai aspek fundamental yang harus dibangun oleh institusi maupun fakultas secara berkelanjutan. Demikian juga peranan SPMI sebagai unit yang bertanggung jawab terkait dengan fungsi kontrol sangat menentukan kualitas proses penyusunan borang akreditasi sesuai dengan target capaian. Gambar 7 Model Aspek Fundamental Daya Saing PT Menuju Akreditasi A DAFTAR PUSTAKA Abouzeedan, Adli, Redner, Thomas. 2012. Organization structure theories and open innovation paradigm. World Journal of Science, Technology and Sustainable Development, 9 1, 6-27. Ainuddin, R.A., Beamish, P.W, Rulland, J.S., Rouse, M.J. 2007. Resource Attributes and Firm Performance in International Joint Ventures. Journal Of World Business 42, 47-60. Allen, D, Kern, T, Mattison, D. 2002. Culture, Power and Politics in ICT Outsourcing in Righer Education Institutions. European Journal of Information Systems, 11 , 159-173. doi: DOI: 10.1057lpalgravelejisl3000425 Amstrong, A., Francis, R. 2004. Introduction, in Armstrong A Francis R eds, Applications of corporate governance, Standards Australia International, Sydney Armstrong, A. Unger. Z. 2009. Assessment, Evaluation And Improvement Of University Council Performance. Evaluation Journal of Australasia, 19 1, 46-54.

1. Budaya Akademik

2. Kemampuan Manajerial

3. Struktur Organisasi

4. Penguasaan Serta

Pemanfaatan Teknologi Pencapaia n 7 Standar Borang 4 Aspek Fundamental Daya Saing PT P e T a r g INSTITUSI FAKULTAS ISBN 978-602-72071-1-0 Bachtiar, Nasri. 2013. Daya Saing Perguruan Tinggi Retrieved 14 Maret 2013, from http:llfekon.unand.ac.idlinlhomel1032- daya-saing-perguruan-tinggi-oleh-prof- dr- nasri-bachtiar BAN-PT. 2014. Rasil Pencarian Akreditasi Institusi Retrieved 30 April, 2014, from http:llban- pt.kemdiknas.go.idlhasil_aipt.php Barney, J.B. 1991. Firm Resources And Sustained Competitive Advantage. Journal Of Management, 171 1, 99-120. Barney, Jay. 2007. Resources-Based Theory: Creating And Sustaining Competitive Advantage. Oxford University Press. . Bhagat, S., Black, B. 2002. The Non-correlation between Board Independence and Long- term Firm Performance. Journal of Corporation Lav, 27 2. Chiu, Shih-Kuan, Chang, Kay-Feng. 2009. Organizational structure, support mechanism, and commercialization performance: A governance perspective. International Journal of Commerce and Management, 19 3, 183-194. Fahy, J. 2000. The Resource-Based View of the Firm: Some Stumbling-Blocks on the Road to Understanding Sustainable Competitive Advantage. Journal Of European Industrial Training , 94-104. Fontana, Avanti. 2009. Innovate We Can: Hov to Create Value through Innovation in your Organization and Society . Ghasemi, Maziyar, Shafeiepour, Vahid, Aslani, Mohammad, Barvayeh, Elham. 2011. The impact of Information Technology IT on Modern Accounting Systems. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 28 , 112 - 116. Ridayat, Firman. 2014. Membangun Budaya Akademik Melalui Tata Kelola Perguruan Tinggi Yang Baik Diunduh 27 April, 2014, www;dikti.go.id Khanchel, I. 2007. Corporate Governance: Measurement and Determinant Analysis. Managerial Auditing Journal 22 8, 740-760. Mulili, Benjamin Mwanzi. 2011. Tovards The Best Corporate Governance Practices Model For Public Universities in Developing Countries: The Case of Kenya. DBA degree, Southern Cross University, Lismore, NSW. Mulyana, Deddy, Rakhmat, Jalaluddin. 2006. Komunikasi Antarbudaya:Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya . Bandung: Remaja Rosdakarya. Pambudi, Teguh S. 2008. GCG, Daya Saing, dan Berkelanjutan. SWA. Robbins, Stephen P., Judge, Timothy A. 2008. Perilaku Organisasi Buku 2 . Jakarta: Salemba Empat. Schein, E.R. 1985. Organizational Culture and Leadership . San Fransisco: Jossey-Bass. Scullen, S.E., Mount, M.K., Judge, T.A. 2003. Evidence of the construct validity of developmental ratings of managerial performance. Journal of Applied Psychology, 88 1, 50-66. Silva, Chitra De, Armstrong, Anona. 2012. Evaluation of Corporate Governance Measures: An Application to the Australian Righer Education Sector. Journal of Business Systems, Governance and Ethics, vol.7 No 176. Simmon, D.G., Ritt, M.A., Ireland, R.D. 2007. Managing Firm Resources in Dynamic Environments to Create Value: Looking Inside The Black Box. Academy Of Management Reviev, 32 1, 273-292. Sugiyono. 2001. Metode Penelitian Administrasi Vol. Cetakan ke delapan. Bandung: CV. Alfabeta. Swastika, Dwi Lusi Tyasing. 2013. Kinerja dan Tata Kelola Perusahaan atas Privatisasi BUMN di Indonesia. Program Doktor Ilmu Manajemen Disertasi, Brawijaya, Malang. Swastika, Dwi Lusi Tyasing, Salim, Ubud, Sudarma, Made, Djumahir. 2013. Firm Performance and Corporate Governance on State-Owned Enterprise Privatization International Journal of Business and Management Tomorrov, vol.3 No.6. Tonidandel, Scott. 2012. Relative importance of managerial skills for predicting effectiveness. Journal of Managerial Psychology, 27 6, 635- 655. Weir, CM., Laing, D., Mc.Knight. 2002. Internal and External Governance Mechanisms: Their Impact on the Performance of Large UK Public Companies. Journal of Business Finance and Accounting Vol.29 No.5 dan 6, 579-611. ISBN 978-602-72071-1-0 ANALOGY MODEL IMPLEMENTATION TO INSTRUCT CREATIVE THINKING SKILL OF A COUNSELOR CANDIDATE Mirza Alvira Departement of Guidance and Counseling University of Malang E-mail: mirza.alvira.2010gmail.com ABSTRAK Penyiapan diri calon konselor sebagai seorang reflective practitioner sangat penting. Penyiapan dilakukan dengan melatih keterampilan berpikir kreatif dalam kegiatan pembelajaran yang mencakup tiga keterampilan yaitu sintetik, analitik, dan praktikal. Berbagai model pembelajaran digunakan untuk melatih keterampilan berpikir kreatif salah satunya model analogi. Model analogi dilakukan melalui penelitian tindakan kelas dengan tujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran dan praktik konseling. Penelitian tindakan ini berlangsung dalam dua siklus dengan panduan skenario pembelajaran yang telah di rancang oleh peneliti dan divalidasi oleh dosen pengampu matakuliah. Instrumen dalam penelitian tindakan ini adalah inventori keterampilan berpikir kreatif, lembar observasi performansi peneliti, lembar observasi pembelajaran dan praktik konseling calon konselor, jurnal rekaman pembelajaran peneliti, dan jurnal pengalaman belajar. Data dari hasil penelitian tindakan dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Penelitian tindakan ini menunjukkan bahwa model analogi dapat membantu calon konselor mengembangkan keterampilan berpikir kreatif dalam proses pembelajaran dan praktik konseling. Kata kunci : model analogi, keterampilan berpikir kreatif, calon konselor. ABSTRACT Preparing a counselor candidate as a reflective practitioner is essential. This can be completed through practicing creative thinking skill in a learning activity which covers three skills; they are synthetic, analytic, and practical. In this case, various learning activities are available for practicing creative thinking skill, one of which is analogy model. Analogy model is conducted through Class Action Research of which purpose is to improve both counseling learning process and practice. This type of research is conducted in two cycles with the guide of the learning scenarios designed by the researcher and validated by the course lecturer. The instruments used in this research are creative thinking skill inventory, researcher‟s performance observation sheet, counselor canditate‟s counseling learning and practice observation sheet, researcher‟s learning record journal, as well as learning and practice experience journals. The data obtained is then analyzed quantitatively and qualitatively. The result shows that analogy model can help the counselor candidate to develop his creative thinking skill in counseling learning process and practice. Keywords : analogy model, creative thinking skill, counselor candidate. PENDAHULUAN Pendidikan Tinggi menjadi wadah pengembangan kapasitas diri dan kompetensi sesuai dengan kekhasan keilmuan individu Muslihati, 2013. Pendidikan Tinggi juga tempat mencetak profesional, salah satunya profesi konselor. Konselor mempunyai tugas memfasilitasi siswa mencapai tingkat perkembangan diri dan keberfungsiannya di lingkungan ABKIN, 2005. Konselor juga sebagai helping profession yang diharuskan mempunyai dua kompetensi yakni kompetensi akademik dan kompetensi profesional. Kompetensi akademik konselor meliputi pendidikan Strata 1 S1 jurusan Bimbingan dan Konseling dan pendidikan Profesi Bimbingan dan Konseling Departemen Pendidikan Nasional, 2008; ABKIN, 2005; Gibson dan Mitchell, 2010. Kompetensi konselor dapat diperoleh dari pembelajaran matakuliah rumpun konseling,. Pembelajaran konseling menjadi barometer penyelenggaraan pendidikan akademik S1 Bimbingan dan Konseling Hidayah, 2009. Mahasiswa dituntut mampu memunculkan pemikiran-pemikiran baru dalam “Mengubah Karya Akademik Menjadi Karya Bernilai Ekonomi Tinggi” Surabaya, 23 Januari 2016 ISBN 978-602-72071-1-0 menggali data, merumuskan masalah, serta menemukan strategi pemecahan masalah. Berdasarkan hasil refleksi pengalaman peneliti selama asistensi pada matakuliah pembelajaran Konseling di tahun 2013 sd 2015 diketahui bahwa pembelajaran experiential learning lebih diarahkan pada pencapaian tujuan pengajaran instructional effect berupa keterampilan mahasiswa untuk melakukan praktik konseling dan tujuan pengiring nurturant effect berupa keterampilan berpikir mind skills dalam pembelajaran dan praktik konseling. Dosen belum melakukan tindak pembelajaran untuk pengembangan keterampilan berpikir kreatif calon konselor dalam pembelajaran dan praktik konseling. Model pembelajaran belum mampu menjawab problematika yang ada. Problematika pada pembelajaran konseling adalah ketidakmampuan mahasiswa untuk mengkonstruk teori-teori konseling dengan definisi yang baru dan bervariasi serta belum mampu merumuskan masalah konseli dalam praktik konseling. Mahasiswa kesulitan mengkategorikan masalah ke ranah kognitif, afektif, ataukah behavioral. Kondisi ini menimbulkan kesalahan dalam proses penggalian data, penginterpretasian data, dan penetapan strategi konseling. Ketidakmampuan mahasiswa merumuskan masalah konseli diawali dengan ketidakmampuan mahasiswa membangun ide baru berupa definisi baru dari teori konseling. Bahasa mahasiswa dalam menyusun pertanyaan konseling adalah bahasa teori. Mahasiswa belum mampu merumuskan pertanyaan-pertanyaan konseling yang baru dan bervariasi. Tidak hanya itu, mahasiswa juga belum dibiasakan melakukan refleksi teman sejawat di akhir praktik konseling. Kondisi yang terjadi pada diri calon konselor menggambarkan bahwa mahasiswa belum mempunyai keterampilan berpikir kreatif dalam pembelajaran dan praktik konseling. Pembelajaran di Pendidikan Tinggi lebih menekankan pada transformasi pengetahuan. Mahasiswa tidak mempunyai kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuan dan menerapkan hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. Hasil penelitian Hidayah 2009 menunjukkan bahwa proses pembelajaran dosen belum menterjadikan tindak pembelajaran yang mendidik baik pada pengkajian konsep maupun praktik. Tuntutan menjadi calon konselor yang kreatif telah termaktub dalam Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia KKNI sebagai kompetensi lulusan learning outcomes program studi DIKTI, 2013. Kompetensi lulusan ini sejalan dengan konsep tentang karakteristik konselor. Neukrug 2003 menyebutkan enam karakteristik konselor, salah satunya pemikiran yang terbuka atau berpikir kreatif. Lulusan pendidikan prajabatan konselor, diharapkan memenuhi karakteristik konselor efektif khususnya berpikir kreatif, sehingga mampu menjadi praktisi yang reflektif reflective practitioner . Schön 1983 mendeskripsikan tindakan refleksi meliputi refleksi pada tindakan reflection on action , refleksi dalam tindakan reflection in action, dan refleksi untuk tindakan reflection for action Killion dan Todnem 1991, dalam Haarmann, 2013. Guilford mengungkapkan bahwa individu kreatif mempunyai kemampuan mencari cara dengan jalan berbeda Cropley dan Cropley, 2005 dalam penyelesaian masalah Vidal, 2010. Sternberg dan Lubart 1999, dalam Villalba, 2008 menyatakan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk bekerja menghasilkan ide orisinil, tak terduga, dan tepat. Sternberg 2003; 2009 juga mempunyai konsep kreativitas dalam model WICS. Konsep ini menyatakan bahwa kreativitas menjadi salah satu faktor terbentuknya praktisi yang reflektif. Pemikiran konvensional dihilangkan dengan adanya proses berpikir kreatif Sternberg dan Lubart, 1995. Individu memproses informasi melalui tiga kemampuan berpikir kreatif, yakni sintetik, analitik, dan praktikal. Pertama, sintetik adalah kemampuan melihat masalah ke dalam jalan baru. Kedua, analitik adalah kemampuan untuk mengakui satu ide yang bernilai dan berharga. Kegiatan berpikir analitik menyediakan sumber-sumber efektif dan mampu menyediakan solusi pemecahan masalah. Ketiga, praktikal adalah kemampuan untuk mengajak atau meyakinkan orang lain, menjual ide bernilai kepada orang lain, mempraktikkan ide, serta siap menerima umpan balik dari orang lain. Konsep berpikir kreatif yang dijadikan sebagai pijakan teoritik pada penelitian ini adalah konsep berpikir kreatif dari Sternberg. Tiga kemampuan dari kreativitas meliputi kemampuan sintetik, analitik, dan praktikal ini sesuai dengan orientasi penelitian yaitu keterampilan berpikir kreatif calon konselor dalam pembelajaran dan praktik konseling. Mahasiswa belum mempunyai keterampilan berpikir kreatif, sehingga melalui dunia Pendidikan Tinggi, keterampilan ini dapat menjadi bahan pelatihan. Pelatihan keterampilan berpikir kreatif dapat dilakukan dengan sejumlah strategi, salah satunya model analogi. Model Analogi dikembangkan oleh William J. Gordon. Model analogi adalah cara belajar untuk mengembangkan inovasi individu Joyce Weil, 1996 dalam memecahkan masalah serta menemukan gagasan baru dan menarik. Joyce, Weil, dan Calhoun 1996; 2009 juga menyebutkan bahwa model analogi adalah strategi pembelajaran yang mengajak siswa untuk membuat perumpamaan dan metafora dari konsep yang dipelajari. Sejalan dengan pendapat tersebut, Meador 1994 menyatakan bahwa pada model analogi tersebut, memberikan kesempatan pada individu untuk menghubungkan konsep abstrak ke dalam konsep konkret. Gagasan-gagasan yang menarik diperoleh dari penggunaan metafora dan perumpamaan selama proses pembelajaran. Kegiatan membuat perumpamaan mengajak individu memasuki dunia yang tidak masuk akal, bermain menggunakan imajinasi, menciptakan cara baru dalam memandang sesuatu, mengekspresikan diri, serta menyelesaikan masalah dengan cara unik. Model analogi mempunyai dua strategi, yakni: membuat hal familiar menjadi baru atau asing creating something new dan membuat hal asing menjadi familiar making the strange familiar . ISBN 978-602-72071-1-0 Strategi model analogi yang digunakan dalam penelitian ini adalah strategi pertama. Mahasiswa diajak untuk membuat definisi baru dan unik dalam memahami konsep konseling yang dipelajari. Penciptaan definisi tidak hanya untuk pemahaman konsep, mahasiswa juga dituntut untuk menggunakan definisi baru dalam kegiatan praktik konseling individu. Definisi baru digunakan untuk merumuskan pertanyaan baru dalam penggalian data konseli. Berikut ini struktur strategi pertama dari model analogi:1 mendeskripsikan situasi saat ini guru meminta siswa mendeskripsikan situasi atau topik seperti yang mereka lihat saat ini, 2 analogi langsung I siswa mengusulkan analogi langsung, memilih, dan mengeksplorasi perumpamaan, 3 analogi personal siswa menjadi analogi yang telah dipilih, 4 konflik padat siswa mengambil deskripsi-deskripsi dari tahap kedua dan ketiga untuk membuat dua kata yang saling berlawanan, 5 analogi langsung II siswa membuat analogi langsung, yang didasarkan pada hasil analogi konflik padat, 6 memeriksa kembali tugas awal guru meminta siswa kembali pada tugas awal dan mendeskripsikan dengan definisi baru. Pendekatan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas PTK. Penelitian tindakan kelas digunakan untuk menjawab problematika yang muncul dalam proses pembelajaran dan praktik konseling. Tujuan lain dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk melakukan proses perbaikan dalam proses pembelajaran dalam bentuk siklus, melihat proses, sampai pada tercapainya tujuan pemberian tindakan. METODE PENELITIAN Penelitian tindakan kelas adalah suatu usaha seseorang untuk memahami apa yang sedang terjadi, dengan melibatkan diri dalam proses perbaikan Hopkins, 1993, dalam Wiriaatmadja, 2010 dengan empat langkah yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi Mills, 2007. Penelitian ini melakukan usaha perbaikan pembelajaran di matakuliah Praktikum Konseling Individu. Perbaikan yang dilakukan adalah melatihkan keterampilan berpikir kreatif calon konselor dalam proses pembelajaran dan praktik konseling. Subjek pada penelitian adalah mahasiswa angkatan 2013 kelas C yang menempuh matakuliah Praktikum Konseling Individu. Mahasiswa berjumlah 22 dengan rincian 5 laki-laki dan 17 perempuan. Dari penelitian ini diperoleh data kuantitatif dan kualitatif. Data tentang penerapan model analogi diperoleh dari kegiatan observasi yang dilakukan observer dengan menggunakan instrumen performansi peneliti dan jurnal rekaman pembelajaran peneliti. Sedangkan data keterampilan berpikir kreatif diperoleh dari Jurnal Pengalaman Belajar Mahasiswa JPBM, Jurnal Pengalaman Praktik Konseling JPPK, lembar observasi pembelajaran dan praktik konseling mahasiswa, dan inventori keterampilan berpikir kreatif. Analisis data bertujuan untuk menemukan makna di setiap data-data yang telah terkumpul selama penelitian tindakan dilakukan. Data yang telah terkumpul dianalisis secara deskriptif baik kualitatif maupun kuantitatif. Data dianalisis dengan deskriptif kualitatif adalah Jurnal Pengalaman Belajar Mahasiswa JPBM dan Jurnal Pengalaman Praktik Konseling JPPK. Data dianalisis dengan deskriptif kuantitatif adalah data yang diperoleh dari inventori keterampilan berpikir kreatif calon konselor. Langkah-langkah analisis data dalam penelitian tindakan kelas meliputi tiga hal, yakni: 1 reduksi data, pada langkah ini dilakukan kegiatan untuk memilih dan memilah data serta menggolongkan sesuai dengan fokus penelitian, 2 penyajian data, pada tahap ini dilakukan kegiatan memaparkan data yang merupakan landasan bagi peneliti untuk memaknai penelitian, 3 penarikan kesimpulan, pada tahap ini dilakukan penggambaran temuan penelitian dan verifikasi data untuk penarikan kesimpulan. Evaluasi dan refleksi dilakukan dengan mengevaluasi proses pembelajaran dengan model analogi di akhir pertemuan siklus. Diskusi dilakukan bersama mahasiswa, hasil diskusi kemudian digabungkan kedalam jurnal rekaman penelitian, yang berisi catatan peneliti dalam melakukan tindak pembelajaran. Jurnal ini digunakan untuk merekam kelemahan penelitian dan rencana perbaikan di siklus selanjutnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Latihan pengembangan keterampilan berpikir kreatif melalui model analogi di pembelajaran konseling ini menjadi pengalaman bagi mahasiswa dan peneliti. Latihan ini dilakukan dalam dua siklus pembelajaran. Siklus I berlangsung selama lima pertemuan dengan kegiatan pembelajaran dan praktik pendekatan Rational Emotive Behavior Therapy REBT. Siklus II juga dilakukan selama lima pertemuan dengan kegiatan pembelajaran dan praktik konseling Realita. Pada setiap pertemuan diterapkan langkah- langkah model pembelajaran analogi. Mahasiswa dilatih untuk menemukan sejumlah definisi baru dari konsep konseling yang dipelajari, menemukan definisi baru yang tepat dan bernilai, serta menggunakan definisi baru ke dalam praktik konseling untuk menyusun pertanyaan konseling. Kegiatan pembelajaran diakhiri dengan kegiatan refleksi teman sejawat. Hal-hal tersebut menjadi indikator ketercapaian penelitian tindakan ini. Paparan ke sepuluh pertemuan pada siklus penelitian tindakan adalah sebagai berikut. Pertemuan ke-1, penguasaan konsep utama dari pendekatan REBT. Proses belajar diarahkan agar mahasiswa menemukan definisi baru dari konsep utama REBT dengan menemukan perumpamaan yang tepat untuk mendeskripsikan konsep tersebut. Pertemuan ke-2, mahasiswa melakukan praktik REBT dengan teknik thought stopping. Pembelajaran diawali dengan penguasaan definisi baru dari teknik thought stopping. Definisi baru digunakan mahasiswa untuk merumuskan pertanyaan yang bervariasi dalam praktik konseling. Perkuliahan diakhiri dengan evaluasi dari peneliti tentang keterampilan berpikir kreatif mahasiswa dan penyebaran ISBN 978-602-72071-1-0 inventori keterampilan berpikir kreatif sebagai bahan pretest. Pertemuan ke-3, peneliti melakukan refleksi kegiatan praktik konseling di pertemuan ke-2. Pada pertemuan ini, mahasiswa melakukan praktik REBT dengan teknik dialog socrates. Peneliti mengawali pembelajaran dengan menemukan definisi baru dari teknik dialog soctares. Definisi baru tersebut, di bawa mahasiswa dalam melakukan praktik konseling. Mahasiswa masih kesulitan untuk menemukan definisi baru dan memunculkan definisi baru dalam pertanyaan konseling. Pertemuan ke-4, peneliti melakukan refleksi kegiatan praktik konseling di pertemuan ke-3. Pengalaman mahasiswa pada pembelajaran hari ini adalah menemukan definisi baru dari teknik relaksasi dan menggunakan definisi baru dalam merumuskan pertanyaan konseling. Mahasiswa mulai terampil untuk membuat perumpamaan, menemukan definisi baru, dan memunculkan definisi baru dalam praktik konseling. Kegiatan refleksi teman sejawat baru dilakukan oleh beberapa pasang mahasiswa. Pertemuan ke-5, mahasiswa melakukan simulasi REBT. Simulasi dari 3 mahasiswa menunjukkan keterampilan berpikir kreatif mahasiswa mengalami perkembangan. Mahasiswa mampu merumuskan pertanyaan-pertanyaan konseling secara bervariasi berdasarkan definisi baru yang ditemukan pada pertemuan ke-1, 2, 3, dan 4. Di akhir pertemuan, peneliti melakukan evaluasi tentang perkembangan keterampilan berpikir kreatif mahasiswa. Perkuliahan ditutup dengan memberikan motivasi kepada mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir kreatif dan penyebaran inventori keterampilan berpikir kreatif sebagai bahan posttest. Pertemuan ke-6, mahasiswa melakukan presentasi konsep Realita. Peneliti mengajak mahasiswa untuk merumukan definisi baru dari konsep utama realita. Mahasiswa menggunakan sejumlah perumpamaan untuk dapat menggambarkan konsep Realita. Pertemuan ke-7, mahasiswa melakukan praktik konseling Realita dengan teknik konfrontasi. Mahasiswa mengawali kegiatan praktik dengan pemahaman konsep teknik konfrontasi dengan menemukan sejumlah definisi baru. Definisi tersebut, dibawa ke dalam praktik konseling, khususnya untuk membantu merumuskan pertanyaan konseing secara kreatif. Perkuliahan ditutup dengan refleksi teman sejawat, evaluasi dari peneliti, dan penyebaran inventori keterampilan berpikir kreatif. Pertemuan ke-8, mahasiswa melakukan praktik konseling Realita dengan teknik humor. Peneliti mengawali kegiatan pembelajaran dengan penemuan definisi baru dari teknik humor. Mahasiswa menggunakan definisi baru ke dalam praktik konseling. Praktik konseling diakhiri dengan refleksi teman sejawat, evaluasi dari peneliti, serta dorongan untuk mengembangkan keterampilan berpikir kreatif mahasiswa dalam praktik konseling. Pertemuan ke-9, peneliti melakukan evaluasi tentang keterampilan berpikir kreatif mahasiswa dalam melakukan praktik di pertemuan ke-8. Pada hari ini, mahasiswa belajar untuk mendefinisikan teknik verbal shock dengan definisi yang baru. Mahasiswa melahirkan pertanyaan konseling secara bervariasi yang di dasarkan pada definisi baru yang telah ditemukan. Praktik konseling diakhiri dengan refleksi teman sejawat, evaluasi dari peneliti, serta dorongan untuk mengembangkan keterampilan berpikir kreatif mahasiswa dalam praktik konseling. Pertemuan ke-10, peneliti melakukan evaluasi praktik konseling pada pertemuan ke-9. Pada hari ini, tiga mahasiswa melakukan simulasi konseling Realita. Mahasiswa terampil dalam memunculkan pertanyaan yang bervariasi berdasarkan defnisi baru yang dimiliki selama praktik konseling dilakukan. Perkuliahan diakhiri dengan evaluasi dari peneliti dan penyebaran inventori keterampilan berpikir kreatif sebagai bahan posttest. Refleksi dilakukan disetiap akhir siklus. Refleksi di siklus I menghasilkan: 1 waktu untuk menyampaikan konsep konseling terlalu lama, sehingga waktu untuk melakukan praktik konseling berkurang, 2 pembuatan perumpamaan didominasi oleh peneliti dan mahasiswa cenderung pasif, 3 perbendaharaan analogi peneliti masih kurang, 4 perkembangan keterampilan berpikir kreatif mahasiswa tidak bisa diketahui secara langsung oleh peneliti. Refleksi di siklus II menghasilkan: 1 pembelajaran dengan model analogi di sikuls II berjalan dengan lancar. Keenam langkah pembelajaran analogi dilakukan secara maksimal, 2 pengembangan keterampilan berpikir kreatif mahasiswa dilakukan secara tuntas. Ketuntasan tersebut dilihat dari banyaknya definisi baru yang dimunculkan, khusunya ketika praktik konseling, 3 kegiatan refleksi teman sejawat telah dilakukan mahasiswa di akhir praktik konseling. Berdasarkan siklus penelitian ditemukan: 1 keterampilan berpikir kreatif mahasiswa telah mengalami peningkatan dengan pembelajaran analogi yang dilihat dari skor pretest dan posttest di masing-masing siklus. Pada siklus I diketahui skor keterampilan berpikir kreatif mahasiswa sebesar 9 kategori „rendah‟, 59 kategori‟sedang‟, dan 32 kategori „tinggi‟. Sedangkan skor keterampilan berpikir kreatif mahasiswa di siklus II sebesar 23 kategori „sedang‟ dan 77 kategori „tinggi‟, 2 mahasiswa antusias utuk menemukan perumpamaan- perumpamaan, 3 model pembelajaran analogi dengan enam langkah pelaksanaan berjalan dengan lancar. Kendala yang ditemukan peneliti hanya pada satu tahap yakni konflik padat, 4 mahasiswa antusias untuk segera melakukan praktik konseling dan refleksi teman sejawat. Berikut ini gambar grafik keterampilan berpikir kreatif mahasiswa berdasarkan hasil pretest dan posttest di dua siklus. ISBN 978-602-72071-1-0 50 100 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 Skor Keterampilan Berpikir Kreatif Mahasiswa Skor Pretest Skor Posttest 50 100 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 Skor Keterampilan Berpikir Kreatif Mahasiswa Skor Pretest Skor Posttest Gambar 1. Skor Keterampilan Berpikir Kreatif Mahasiswa pada Pretest dan Posttest Siklus I Gambar 2. Skor Keterampilan Berpikir Kreatif Mahasiswa pada Pretest dan Posttest Siklus II Berdasarkan grafik ini diperoleh hasil bahwa keterampilan berpikir kreatif mahasiswa dalam pembelajaran dan praktik konseling mengalami perubahan dari siklus I ke siklus II. Keterampilan berpikir kreatif tidak dapat diperoleh secara instran. Pencapaian keterampilan berpikir kreatif diperlukan latihan secara terus menerus yang diintegrasikan ke dalam kegiatan pembelajaran. Perubahan pencapaian dapat diketahui dengan melakukan pengukuran secara kontinyu di setiap siklus penelitian tindakan. Kekhasan dari penelitian tindakan adalah proses pengukuran keterampilan berpikir kreatif dilakukan pada setiap mahasiswa di setiap pertemuan. Peneliti menginterpretasikan kata-kata mahasiswa yang dituliskan pada JPBM, JPPK, serta lembar observasi pembelajaran dan praktik mahasiswa. Dari hasil interpretasi ini diketahui bahwa sebanyak 75 mahasiswa telah mempunyai keterampilan berpikir kreatif dan sebanyak 25 mahasiswa belum mempunyai keterampilan berpikir kreatif. Dari ketiga bentuk keterampilan dalam berpikir kreatif, mahasiswa telah mencapai penguasaan pada keterampilan sinektik dan analitik. Keterampilan praktikal hanya dimiliki oleh beberapa mahasiswa. Penelitian tindakan ini memberikan hasil yang bervariasi bagi perkembangan keterampilan berpikir kreatif mahasiswa dalam pembelajaran dan praktik konseling. Hasil dari penelitian tindakan ini diperkuat dari kegiatan Ujian praktik konseling. Pengumpulan data pada ujian praktik konseling, diperoleh hasil yang konsisten dengan analisis data hasil pretest dan posttest, serta analisis perkembangan keterampilan berpikir kreatif mahasiswa di setiap pertemuan. Ditemukan 5 mahasiswa yang belum mempunyai keterampilan berpikir kreatif dan 17 mahasiswa yang sudah mempunyai keterampilan berpikir kreatif dalam melakukan praktik konseling. Keberhasilan pembelajaran sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, begitu halnya dengan keberhasilan penelitian tindakan model analogi ini. Peneliti menemukan sejumlah faktor yang turut berperan dalam keberhasilan pembelajaran. Keaktifan mahasiswa merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam model pembelajaran analogi. Walker 2009 menyatakan bahwa proses pembelajaran analogi didasarkan pada imajinasi siswa. Imajinasi siswa digunakan untuk melihat fenomena alam dengan sudut pandang yang berbeda. Temuan Tsai 2012 juga menyebutkan bahwa imajinasi menjadi wadah untuk melakukan aktivitas kreatif. Model pembelajaran analogi mempunyai enam tahap yang saling berkaitan. Keterkaitan di setiap tahap membantu siswa untuk dalam mentransfer deskripsi perumpamaan ke dalam konsep teori yang dipelajari. Eragamreddy 2013 menyebutkan bahwa ide-ide yang diperoleh dari kegiatan analogi pada satu konteks akan ditransfer ke konteks yang lain untuk menemukan hubungan, pemahaman, pandangan atau perspektif yang segar dari konsep yang dipelajari. Lingkungan yang menterjadikan siswa untuk berpikir kreatif menjadi hal yang harus dilakukan Tsai, 2013. Guru merancang situasi pembelajaran yang dapat mengajak siswa untuk aktif dan berpikir Afshari and Ghaemi, 2014. Guru benar-benar berfokus kepada siswa selama proses pembelajaran berlangsung Forrester, 2008. Temuan Tsai 2014; Meintjes dan Grosser 2010 juga menggambarkan, bahwa pendidik memainkan peran penting dalam meningkatkan keterampilan berpikir kreatif siswa. Pemberikan motivasi kepada mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir kreatif di dalam memahami konsep dan melakukan praktik konseling perlu dilakukan di setiap pertemuan. Fatemipour and Kordnaeej 2014 menyebutkan bahwa guru harus memberikan dorongan kepada siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Kesabaran merupakan salah satu faktor dalam pembelajaran analogi. Guru benar- benar menuntun dan mengarahkan siswa dalam mengeksplorasi ide-ide kreatif. Pembelajaran analogi memberikan fasilitas kepada siswa untuk belajar dengan caranya masing- masing. Siswa mengaplikasikan pengetahuan yang dimiliki, khususnya pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari ke dalam materi yang dipelajari Yousefi, 2014. Walker 2009 menyebutkan bahwa model analogi mengajak siswa untuk melihat alam, objek, proses terbentuknya suatu kejadian atau kegiatan menjadi sebuah perumpamaan-perumpamaan dalam memahami konsep yang dipelajari. Walker 2009; Vani M 2012 ISBN 978-602-72071-1-0 menemukan bahwa model analogi membantu siswa untuk berpikir bebas dan kreatif. Temuan lain dari Mustami 2007 juga menggambarkan bahwa model analogi dapat memberikan pengaruh pada keterampilan berpikir kreatif siswa. PENUTUP Simpulan Penerapan model analogi dalam pembelajaran konseling membantu mahasiswa untuk meningkatkan keterampilan berpikir kreatif pada pembelajaran dan praktik konseling.. Penelitian tindakan ini menunjukkan bahwa keterampilan berpikir kreatif yang dicapai mahasiswa adalah keterampilan sintetik dan analitik. Pencapaian pada keterampilan praktikal hanya dimiliki oleh beberapa mahasiswa. Berhasil dan tidaknya latihan keterampilan berpikir kreatif ini, tidak lepas dari pengaruh faktor eksternal baik dari peneliti maupun calon konselor. Saran Hasil penelitian ini tidak hanya dijadikan rujukan bagi dosen pengampu matakuliah pembelajaran konseling, namun juga bisa dijadikan rujukan oleh para dosen yang mengampu matakuliah lain di jurusan Bimbingan dan Konseling. Pembelajaran analogi menjadi media untuk mengadakan pembelajaran aktif. Dosen menjadi fasilitator bagi mahasiswa untuk terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Keterlibatan mahasiswa dalam proses pembelajaran menjadi faktor pendukung untuk pencapaian kompetensi lulusan salah satunya keterampilan berpikir kreatif. Hasil penelitian ini juga bisa dijadikan rujukan bagi peneliti lanjutan. Peneliti lanjutan dapat memperbaiki tindak pembelajaran, khusunya pada pencapaian keterampilan berpikir praktikal mahasiswa. Peneliti melakukan inovasi pembelajaran untuk merangsang munculnya ketiga keterampilan berpikir mahasiswa secara maksimal. Peneliti juga dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai pengembangan kegiatan penelitian dengan menerapkan model pembelajaran analogi pada matakuliah lain dan membandingan keefektifan dua model pembelajaran untuk pengembangan keterampilan berpikir kreatif calon konselor. DAFTAR PUSTAKA ABKIN. 2005. Standar Kompetensi Konselor Indonesia . Bandung: Pengurus Besar ABKIN. Afshari, G. and Ghaemi, N. 2014. Synectics Teaching Effect on the Academic Performance of Students Composition among Male Fifth Grade Students in Dezful City. Journal of life Science and Biomedicine . Vol: 4 5. Page: 448-451. Cropley, D. and Cropley, A. 2005. Engineering Creativity: A systems Concept of Functional Creativity. In Kaufman, James c Baer, John Eds. Creativity Across Domains: Face of the Muse. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. DIKTI Asosiasi Lemaga Pendidikan Tinggi Tenaga Kependidikan Indonesia ALPTKI. 2013. Deskripsi Umum dan Learning Outcome 12 Prodi LPTK . Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Eragamreddy, N. Tanpa tahun. Teaching Creative Thinking Skills. International Journal of English Language and Translation Studies. Vol: 1 2. Fatemipour, H. and Kordnaeej, M. 2014. The Effect of Synectics and Journal Creative Writing Techniques on EFL English as a Foreign Language Students‟Creativity. International Journal of Language Learning and Applied Linguistics World . Vol: 7 3. Page: 412-424. Forrester, J.C. 2008. Thingking Creatively; Thingking Critically. Asian Social Science. Vol: 4 5. Page:100-105. Gibson, R.L. dan Marianne, M. 2010. Bimbingan dan Konseling . Edisi Ketujuh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Haarmann, H. J., O‟Rourke, P., and Ragusa, E. 2013. Does Divergent Thinking Training Improve Language Proficiency and Performance?: Literature Review Reveals Benefit and Suggests Testable Approaches. University of Maryland. Hidayah, N. 2009. Process-Audit dalam Penyelenggaraan Pendidikan Akademik S-1 Bimbingan dan Konseling . Disertasi Tidak Diterbitkan. Universitas Negeri Malang. Joyce, B., Weil, M., dan Calhoun, E. 2009. Model- model Pengajaran . Edisi Kedelapan. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Joyce, B. and Weil, M. 1996. Models of Teaching. 5 th ed. USA: Allyn Bacon. Meador, K.S. 1994. The Effect of Synectics Training on Gifted and Nongifted Kindergarten Students. Journal for the Education of the Gifted . Vol: 18, Page: 55-73. Meintjes, H. and Grosser, M. 2010. Creative Thinking in Prospective Teacher: the Status Quo and the Impact of Contextual Factors. South Africa Journal of Education . Vol: 30, Page: 361-386. Mills, G.E. 2007. Action Research: A Guide for the Teacher Researcher . 3 rd . Australia: Pearson Education. Inc. Muslihati. 2013. Tantangan dan Peluang Program Studi Bimbingan dan Konseling Islam Menghadapi Masa Depan Bangsa. Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam. Vol: 3 2. Hlm: 117-124. Mustami, M.K. 2007. Pengaruh Model Pembelajaran Synectics dipadu Mind Mapping Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif, Sikap Kreatif, dan Penguasaan Materi Biologi. Lentera Pendidikan . Vol: 10 2. ISBN 978-602-72071-1-0 Neukrug, Ed. 2003. The World of the Counselor. Second edition. An Introduction to the Counseling Profession. USA: BooksCole. Schon, D.A. 1983. The Reflective Practitioner: How Professionals Think in Action . New York: BasicBooks. Sternberg, R.J. and Lubart, T.I. 1995. Defying The Crowd: Cultivating Creativity in A culture of Conformity. New York: The Free Press. Sternberg, R.J. 2003. Wisdom, Intelligence, and Creativity Synthesized . America: Cambridge University Press. Sternberg, R.J. 2009. Academic Intelligence Is Not Enaough Wics: An Expanded Model for Effective Practice In School and Later in Life . A Paper Commissioned for the Conference on Liberal Education and Effective Practice. Clark University. Tsai, K.C. 2012. Play, Imagination, and Creativity: A Brief Literature Review. Journal of Education and Learning . Vol: 1 2. Page: 15-20. Tsai, K.C. 2013. A review of The Inquiry of Creativity in Older Adults in Journals. British Journal of Education . Vol: 1 2. Page: 20-28. Tsai, K.C. 2014. A review of the Effectiveness of Creative Training on Adult Learners. Journal of Social Science Studies . Vol: 1 1. Page: 17- 30. Vani M. 2012. Effectiveness of Synectics Model of Teaching in Enhancing Language Creativity of Learners. Indian Streams Research Journal. Vol: 2 10. Page: 1-8. Vidal, R.V.V. 2010. Creative Problem Solving: An Applied University Course. Pesquisa Operacional . Vol: 30 2. Page: 405-426. Villalba, E. 2008. On Creativity: Towards an Understanding of Creativity and its Measurements. Europa: European Communities Joint Research Centre. Walker, D.E. 2009. Promoting Metaphorical Thinking Through Synectics: Developing Deep Thinking Utilizing Abstractions . Advanced Active Learning. Bloomsburg University of Pennsylvania. Wiriaatmadja, R. 2010. Metode Penelitian Tindakan Kelas: Untuk meningkatkan Kinerja Guru dan Dosen. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Yousefi, A. 2014. The Effect of Synectics Teaching Model in Foresting Creativity. Management and Administrative Sciences Review . Vol: 3 7. Page: 1225-1231.