ISBN 978-602-72071-1-0 poin poin borang akreditasi. Kontribusi penelitian ini,
antara lain 1. Hasil penelitian berupa model tatakelola perguruan tinggi sebagai guidance
bimbingan bagi perguruan tinggi dalam mencapai akreditasi A. 2 Secara teori diharapkan berkontribusi
terhadap
pengembangan teori
Good Corporate
Governanance untuk perguruan tinggi atau dapat disebut
sebagai Good University Governance. 3 Sebagai masukan kepada pemerintah, dalam hal ini Dirjen
Pendidikan Tinggi Dikti dan Koordinator Perguruan Tinggi Swasta Kopertis dalam melakukan arahan atau
pembinaan bagi perguruan tinggi menuju akreditasi institusi.
TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu
Allen et al 2002 menyatakan bahwa kultur perguruan tinggi masa kini lebih ke arah sistem kolega
dan berbasis riset, sedangkan penggunaan teknologi informasi lebih ditekankan pada kekuatan hubungan atas
penggunaan teknologi informasi oleh para dosen, pimpinan, serta staf di perguruan tinggi dan keberadaan
infrastruktur yang memadai. Mulili 2011 meneliti perguruan tinggi negeri di Kenya agar memiliki tata
kelola
yang baik,
karena hasil
penelitiannya menunjukkan terlalu banyaknya anggota dewan
pengurus dalam perguruan tinggi tersebut, menjadikan tidak efektif dalam pengelolaannya. Selain itu
diperlukan tim manajemen yang memadai. Silva Armstrong 2012 menemukan bahwa perguruan tinggi
di Australia sebagai korporasi yang independen, menerapkan indikator tata kelola perusahaan yang baik
National Governance Protocols
sebagai pengukur korporasinya Universities Protocols.
Konsep Daya Saing
Daya saing mengacu kepada kemampuan suatu organisasi atau korporasi dalam melakukan efisiensi dan
efektivitas atas sasaran penentuan arah dan hasil yang ingin dicapai. Sehubungan dengan daya saing dalam
perguruan tinggi, bahwa kemampuan suatu perguruan tinggi berkontribusi dalam peningkatan daya saing
bangsa hanya dapat dilakukan oleh organisasi yang sehat. Organisasi yang sehat adalah organisasi yang
memperhatikan tren perubahan mendasar, yang meliputi quality assurance, autonomy, enterpreneurialism; dan
leadership. Quality assurance seperti halnya akreditasi adalah merupakan kegiatan yang terinstitusi
dalam bentuk prosedur standar organisasi yang melibatkan pihak luar. Autonomy adalah kebebasan
menajemen untuk mengelola institusi selama tidak bertentangan
dengan undang-undang.
Enterpreneurialism adalah kemampuan institusi dalam pengelola dan mencari dana melalui projek-projek
penelitian dan pengabdian masyarakat bekerja sama dengan
dunia usaha;
dan Leadership
adalah kepemimpinan yang cakap dan bertanggung jawab.
Bachtiar, 2013
Konsep Good Corporate Governance
Sehubungan dengan corporate governance, terdapat dua teori yang terkait, yaitu stewardship theory
dan agency theory Tricker, 1984. Stewardship theory di bangun di atas asumsi filosofis mengenai sifat
manusia, yakni bahwa manusia pada hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung
jawab, memiliki integritas, dan kejujuran terhadap pihak lain. Sedangkan agency theory memandang
bahwa manajemen perusahaan sebagai agent bagi para pemegang saham, akan bertindak dengan penuh
kesadaran bagi kepentingannya sendiri bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap
pemegang saham sebagaimana diasumsikan dalam stewardship model Swastika, 2013; Swastika, Salim,
Sudarma, Djumahir, 2013 Corporate governance terkonsentrasi pada struktur dan proses pengambilan
keputusan, akuntabilitas, kontrol dan perilaku dari pimpinan puncak organisasi Amstrong Francis,
2004. Governance dapat didefinisikan sebagai suatu sistem atau struktur aturan dan hubungan, pengawasan
dan pengendalian orang- orang yang menjalankan wewenang, akuntabilitas, pelayanan, kepemimpinan,
arah dan kontrol yang bertujuan untuk menjamin akuntabilitas dan efisien penggunaan sumber daya dalam
menyeimbangkan pencapaian tujuan korporasi, masyarakat dan individu Armstrong, 2009.
Menurut Weir dan McKnight Weir, Laing, Mc.Knight, 2002, tata kelola perusahaan institusional
terdiri atas mekanisme tata kelola eksternal dan mekanisme tata kelola internal. Mekanisme tata kelola
eksternal adalah pengaruh atas adanya kebijakan pemerintah yang diberikan kepada perguruan tinggi atau
universitas. Dalam literatur corporate governance, komposisi posisi struktural dan proses dari karakteristik
dewan komisaris merupakan struktur tata kelola internal perusahaan Bhagat Black, 2002; Khanchel, 2007
Konsep Good Corporate Governance GCG yang akan dikembangkan menjadi Good University
Governance mengacu kepada penelitian yang dilakukan oleh De Silva dan Armstrong 2012, bahwa dengan
menggunakan Institutional
Theory, mekanisme
corporate governance terbagi dalam eksternal dan
internal. Variabel mekanisme corporate governance eksternal adalah pengaruh pihak otoritas yang diukur
menggunakan kepatuhan universitas menggunakan parameter National Governance Protocols yang meliputi
hal hal sebagai berikut. 1 universitas harus menempatkan penekanan lebih besar pada pelatihan dan
pengembangan. 2 universitas harus memiliki akses keuangan yang lebih baik sebagai antisipasi gejolah
krisis eksternal yang susah diprediksi. 3 universitas perlu menyesuaikan pengaturan tata kelola mereka untuk
memenuhi kebutuhan spesifik mereka. 4 universitas harus bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good
governance, termasuk transparansi dan akuntabilitas, dan masalah budaya organsasi membutuhkan lebih banyak
perhatian. Sedangkan variabel mekanisme corporate governance
internal adalah dewan direksi, dewan
ISBN 978-602-72071-1-0 komisaris, aturan komite dan proses dewan direksi yang
ditunjukkan dalam tranparansi dalam pelaporan dan rapat dewan direksi.
Struktur Organisasi dan kebutuhan berinovasi
Dalam kondisi
ketidakpastian lingkungan
eksternal tinggi organisasi menghadapi lingkungan yang semakin dinamis dan komplek. Kondisi ini sering
menjadi faktor pemicu ada banyak organisasi untuk melakukan inovasi Abouzeedan Redner, 2012.
Pada kondisi lingkungan seperti ini, organisasi perlu memilih rancang struktur organic bukan mechanic.
Struktur organic lebih mengedepankan kerja tim lintas fungsi,
arus informasi
bebas mengalir,
departementalisasi ramping, rentang kendali luas, tingkat formalitas rendah dan desentralisasi dalam proses
pengambilan keputusan. Dari sudut pandang struktur organisasi, proses inovasi akan lebih terdorong dalam
bentuk yang organik dibandingkan struktur yang mekanik Chiu Chang, 2009; Fontana, 2009.
Perguruan tinggi sebagai agen perubahan yang bertugas menyuplai SDM berkualitas, lebih fit dengan struktur
organisasi organic, dengan harapan perguruan tinggi akan menjadi lingkungan belajar yang kondusif bagi
lahirnya kreativitas yang akan menghasilkan karya inovasi.
Kemampuan manajerial dan daya saing organisasi
Sumber daya modal manusia dipandang sebagai aset strategis, khususnya kemampuan manajer sering
diidentifikasi sebagai sumber utama keunggulan kompetitif. Barney, 1991 Mengingat pentingnya
posisi para manajer, pertanyaan kritis muncul mengenai apa yang perlu dipelajari untuk menjadi manajer yang
lebih efektif. Apakah ada keterampilan tertentu untuk memprediksi keberhasilan manajerial? Untuk menjawab
pertanyaan ini, pertama harus diidentifikasi jenis keterampilan yang dimiliki oleh para manajer. Scullen et
al
2003 mengidentifikasi empat dimensi keterampilan manajerial meliputi: technical skill, administrative skill,
human skill dan citizenship behavior . Technical skill
mengacu pada kemampuan seorang manajer terhadap metode atau teknik yang berhubungan dengan area
fungsional manajer yang bersangkutan. Administrative skill
terkait dengan bidang-bidang seperti perencanaan, pengorganisasian, mendelegasikan, dan koordinasi.
Human skill berkaitan dengan kemampuan seorang manajer untuk berinteraksi dan bekerja secara efektif
dengan anggota tim. Citizenship behavior mencoba untuk menangkap aspek-aspek lain yang bermanfaat dari
perilaku kerja seperti menjadi kooperatif, loyal dan gigih. Keempat dimensi managerial skill tersebut
dalam dunia perguruan tinggi sangat potensial dikembangkan agar perguruan tinggi mempunyai
daya saing unggul. Hasil penilitian yang dilakukan oleh Tonidandel 2012 menunjukkan bahwa kemampuan
manajerial mempunyai pengaruf posisitif terhadap efektivitas organisasi. Keempat dimensi keterampilan
manajerial tersebut technical skill, administrative skill, human skill
dan citizenship behavior terbukti merupakan prediktor penting bagi efektivitas manajer.
Lebih lanjut Tonidandel 2012 menemukan bahwa human skill
dan administrative skill secara signifikan menjadi dimensi dominan bagi efektivitas manajer.
Peran Budaya Organisasi dan Teknologi Informasi dalam Mewujudkan GCG
Budaya merupakan
suatu pola
hidup menyeluruh yang bersifat kompleks, abstrak, dan luas.
Aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif, dan unsur-unsur sosio-budaya yang meliputi banyak
kegiatan sosial manusia Mulyana Rakhmat, 2006. Budaya organisasi merupakan sebuah
sistem m
akna bersama yang dianut oleh para anggota yang
membedakan suatu
organisasi d
ari organisasi- organisasi lainnya Schein, 1985. Sistem makna bersama
ini adalah sekumpulan
karakteristik kun
ci yang dijunjung tinggi oleh organisasi Robbins Judge,
2008. Claver et al. 2001 mendefinisikan budaya sebagai suatu kumpulan nilai-nilai, symbol, dan ritual
bersama para
anggota dari
perusahaan, yang
menggambarkan cara suatu hal dilakukan dalam organisasi untuk memecahkan masalah internal dan
masalah eksternal. Budaya organisasi inilah yang akan mewarnai sikap dan perilaku masing-masing individu di
dalam organisasi. Tidak kalah pentingnya dengan budaya organisasi, hal lain yang juga dapat memengaruhi
keberhasilan GCG adalah keberadaan teknologi informasi dalam suatu organisasi. Kebutuhan akan
teknologi informasi saat ini sudah bukan merupakan barang mewah tetapi sudah menjadi kebutuhan pokok.
Teknologi informasi dapat membantu perusahaan dalam peningkatan fungsi, peningkatan akurasi, pengolahan
cepat, dan pelaporan eksternal yang lebih baik Ghasemi, Shafeiepour, Aslani, Barvayeh, 2011. Dengan
demikian
adanya teknologi
informasi dapat
memperpendek waktu
yang dibutuhkan
untuk menyiapkan dan menyajikan laporan kepada manajemen
dan hal ini juga memungkinkan perusahaan untuk membuat laporan individu dengan cepat dan mudah
untuk pengambilan keputusan manajemen.
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Metode kualitatif, yaitu suatu metode
penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek alamiah. Rasil penelitian kualitatif lebih
menekankan makna dari pada generalisasi. Metode kualitatif yang dimaksud disini, adalah metode
penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alami dimana peneliti sebagai instrumen
kunci Sugiyono, 2001 Pertimbangan lain dalam penelitian yang bersifat kualitatif adalah bahwa dalam
penelitian kualitatif ini tidak hanya mengungkapkan peristiwa riil yang bisa dikuantifikasikan, tetapi lebih
dari itu hasilnya diharapkan dapat mengungkapkan nilai- nilai tersembunyi. Selain itu penelitian ini akan lebih
peka terhadap informasi yang bersifat kualitatif deskriptif
dengan secara
relatif berusaha
mempertahankan keutuhan dari obyek yang diteliti.
ISBN 978-602-72071-1-0
Obyek Penelitian
Perguruan Tinggi Negeri di Jawa Timur yang memperoleh peringkat akreditasi A dari Badan
Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi BAN-PT Tahun 2014. Ada 5 Perguruan Tinggi, sebagaimana
ditunjukkan pada Tabel1 berikut ini
Tabel 1
. Obyek Penelitian No
Nama Perguruan Tinggi
Nomor SK Tanggal
Kadaluarsa SK
1. Institut Teknologi Sepuluh
Nopember 015lSKBAN-
PTAkredPTI20 14
16-1-2019 2. Universitas
Airlangga 024SKBAN-
PTAkredPTI20 14
16-1-2019 3. Universitas Islam
Negeri Maulana
Malik Ibrahim
Malang 032SKBAN-
PTAkredPTI20 14
16-1-2019
4 Universitas Brawijaya
367SKBAN- PTAk-
SURVPTIX201 4
16-1-2019
5 Universitas Negeri Malang
240SKBAN- PTAkredPTVII
2014 19-7-2019
Sumber: BAN-PT, 2014
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui prosedur wawancara mendalam, observasi, dan
dokumentasi. Wawancara mendalam dilakukan terhadap pimpinan dan staf struktural Perguruan Tinggi. Hal ini
dimaksudkan untuk memperoleh gambaran dan informasi tentang pengelolaan Perguruan Tinggi,
sehingga diperoleh peringkat akreditasi A. Metode Analisis
Penelitian ini menggunakan model dan metode analisis yang berbentuk Analisis Deskriptif Kualitatif,
yaitu suatu teknik analisis yang menjelaskan dan menjabarkan
hasil penelitian
secara kualitatif.
Bentuknya adalah Model Interaktif. Digunakannya analisis model interaktif dalam penelitian ini, karena
dilakukan bertahap dan di setiap tahapan dapat diperoleh data yang valid serta akurat sehingga pada saat
penarikan kesimpulan sebagai tahap akhir analisis, akan memberikan hasil yang sesuai dengan kondisi
senyatanya sesuai yang diharapkan. HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses Pengumpulan Data
Lima perguruan tinggi telah disurvey oleh peneliti yaitu: 1 Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
2 Universitas Airlangga, 3 Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 4 Universitas Negeri
Malang dan 5 Universitas Brawijaya. Sesuai dengan rekomendasi pembantu rektor I di masing masing
perguruan tinggi yang menjadi obyek penelitian peneliti direkomendasi kepada unit atau badan penjamin mutu
untuk melakukan wawancara terkait proses akreditasi institusi. Dalam wawancara dengan pimpinan dan staf di
bagian unit penjamin mutu, peneliti memperoleh gambaran secara detail terkait persiapan pengajuan
akreditasi. Hasil dari pengumpulan data melalui wawancara dengan pimpinan dan staf penjamin mutu
serta beberapa personil lain di lingkungan universitas dosen dan mahasiswa maupun informasi yang
diperoleh dari pengisian daftar pertanyaan telah di susun dan ditelaah oleh peneliti. Dalam pengumpulan data ini
peneliti berusaha memenuhi unsur keabsahan data, antara lain: derajat kepercayaan credibility,
keteralihan transferability, kebergantungan dependability,
dan kepastian
confirmability. Moleong, 2010
Dari hasil pengumpulan data ini peneliti berhasil mengungkap
indikator indikator
penting yang
berkontribusi positif terhadap pencapaian akreditasi institusi. Indikator indikator tersebut terangkum dalam
empat aspek utama meliputi: budaya akademik, kemampuan
manajerial, sruktur
organisasi dan
penguasaan serta pemanfaatan teknologi informasi. Temuan Indikator Terkait Budaya Akademik
Budaya akademik Academic culture dapat artikan sebagai sebuah kesatuan dari kehidupan dan
aktifitas akademik yang dihayati, dimaknai dan diamalkan oleh semua warga Universitas. Budaya
akademik adalah beorientasi pada mencari kebenaran ilmiah melalui kegiatan akademik dengan melandaskan
pada kebebasan berpikir, keterbukaan, pikiran kritis- analitis, rasional dan obyektif yang dianut oleh warga
kampus.
Dari hasil wawancara dan pengamatan yang mendalam terhadap obyek penelitian ditemukan
kesamaan corak budaya akademik meliputi: iklim diskusi ilmiah, Penambahan ilmu dan wawasan,
Kebiasaan meneliti dan mengabdi kepada masyarakat, Penulisan karya ilmiah artikel, makalah, buku,
Melakukan kegiatan pendidikan dan pengajaran dengan segala perangkatnya dengan baik, dengan terus
memburu referensi mutakhir. Budaya tersebut pada akhirnya akan melahirkan kondisi Dinamis, yang berarti
ciri
ilmiah sebagai
budaya akademik
akan dikembangkan terus-menerus. Dialogis, artinya dalam
proses transformasi ilmu pengetahuan dalam masyarakat akademik harus memberikan ruang pada semua
masyarakat ilmiah untuk mengembangkan diri, melakukan kritik serta mendiskusikannya. Apresiatif
artinya menghargai prestasi ilmiahakademik.
Budaya akademik yang telah terbentuk sesuai keunikan tertentu telah menjadikan sebuah perguruan
tinggi berorientasi ke masa depan, artinya suatu masyarakat akademik harus mampu mengantisipasi
suatu kegiatan ilmiah ke masa depan secara cermat,
ISBN 978-602-72071-1-0 realistis dan rasional. Terbangunnya rasa kemitraan
menjadikan rasa persaudaraan yang kuat untuk mewujudkan suatu kerja sama atau team work yang
baik. Dampak akhir dari kekuatan budaya akademik ini tercermin dari visi dan misi universitas serta
implementasinya.
Dengan kata lain, perguruan tinggi dikatakan bermutu apabila mampu menetapkan dan mewujudkan
visinya melalui pelaksanaan misinya aspek deduktif, serta
mampu memenuhi
kebutuhanmemuaskan stakeholders
aspek induktif
yaitu kebutuhan
masyarakat, dunia kerja dan profesional. Sehingga, perguruan
tinggi harus
mampu merencanakan,
menjalankan dan mengendalikan suatu proses yang menjamin pencapaian mutu. Untuk mewujudkan itu
semua, diperlukan syarat-syarat normatif yang wajib dipenuhi oleh setiap PT. Syarat-syarat tersebut tertuang
dalam beberapa asas, yaitu: komitmen,internally driven tanggungjawabpengawasan melekat, kepatuhan kepada
rencana, evaluasi, peningkatan mutu berkelanjutan.
Sedangkan budaya negatif yang berpotensi menjadi penghambat dalam membangun budaya
akademik yang kondusif di perguruan tinggi antara lain: Budaya Otoriter. Otoriter artinya tindakan berkuasa
sendiri atau sewenang-wenang. Adakalanya seorang dosen dengan status tertentu senior, ekonomi kuat,
power eksternal, kedekatan dengan manajemen cenderung berperilaku tidak kooperatif. Salah satu
penentu keberhasilan tim AIPT dalam mempersiapkan semua dokumen adalah menuntut kedisiplinan. Tipe
otoriter terkadang sangat sulit taat asas sehingga bisa menghambat terhadap deadline laporan. Perilaku seperti
ini harus diminimalkan dalam membuat budaya akadamik yang positif. Budaya dilayani. Munculnya
istilah raja kecil di perguruan tinggi tentu sangat kontradiksi dengan kebutuhan pendidikan. Proses
penyiapan dokumen AIPT membutuhkan kepedualian dari warga kampus untuk menyediakan berbagai
informati dan laporan kegiatan secara proaktif. Budaya dilayani ini tentu tidak sejalan dan harus berubah
menjadi budaya melayani. Budaya kikir ilmu. Perguruan tinggi sebagai agen perubahan dengan
pendorong utamanya adalah pada diseminasi ilmu pengetahuan sharing knowledge. Fungsi itu tidak akan
tercapai ketika penguasaan ilmu hanya bersifat individual. Temuan Ilmu pengetahuan harus dibagi
kepada pihak lain agar bisa dipelajari maupun dikritisi pihak lain secara lebih dalam. Senior harus melakukan
transfer knowledge kepada yunior supaya tercipta akademik atmosfir yang baik. Senior junior
menciptakan hubungan yang kolegial sehingga tercipta suasana kerja harmonis. Budaya kurang menghargai
sesama. Institusi perlu memberikan penghargaan atas prestasi dosen. Dengan adanya penghargaan, maka
dosen yang semakin termotivasi untuk selalu meningkatkan perannya.
Temuan Indikator
Terkait Kemampuan
Manajerial Kemampuan manajerial adalah kemampuan
untuk mengatur, mengoordinasikan dan menggerakkan para bawahan ke arah pencapaian tujuan yang telah
ditentukan organisasi. Dalam kontek perguruan tinggi, pencapaian visi dan misi perguruan tinggi tidak bisa
dilepaskan dari kemampuan manajerial seorang pemimpin. Pemimpin dalam konteks ini secara khusus
dimaksudkan pada kemampuan manajerial Rektor, Pembantu Rektor pada masing masing bidang, Dekan
dan juga secara khusus kepada kepemimpinan yang berlaku di bagian Unit Penjamin Mutu. Peneliti
membuat kesimpulan bahwa peran Unit Penjamin Mutu dalam mengawal visi misi institusi sangat strategis dan
mempunyai peran kontrol dan evaluasi yang akan mengawal proses penyusunan borang AIPT kedepan.
Beberapa indikator kemampuan manajerial yang dikembangkan di obyek penelitian berhasil kita rangkum
meliputi: kemampuan mengelola perubahan sebagai respon dinamika internal dan ekternal misal: kebijakan
upgrade knowledge, upaya mempertahankan produk unggulan universitas, kemampuan melakukan sinergi
diantara
sumberdaya organisasi,
kemampuan mengembangkan cara cara manajemen untuk
mendorong dan memberdayakan tumbuh kembangnya kreativitas dan inovasi di universitas.
Dampak terhadap bawahan adalah penghayatan terhadap pekerjaan yang dilakukan, merasa terlibat
dalam kegiatan-kegiatan kelompok kerja, pengertian dan simpati atas masalah institusi, serta terbangunnya
kedekatan secara emosional diantara bagian untuk saling memberikan dukungan dengan komitmen yang kuat
pada kelompok kerjanya. Peneliti mencatat bahwa kemampuan manajerial di perguruan tinggi seharusnya
diarahkan agar kemampuan mengelola People, Ideas, Resources dan Objectives agar bisa berjalan bersama
secara tepat.
Temuan Indikator Terkait Struktur Organisasi Struktur organisasi adalah pola hubungan
diantara berbagai elemen dan bagian organisasi. Struktur organisasi juga mendefinisikan dan menghubungkan
wewenang serta tanggung jawab. Secara teori dikenal dua karakteristik umum struktur organisasi yaitu struktur
organisasi yang bercorak mekanistik dan struktur organisasi yang bercorak organik. Peneliti mengamati
bahwa dalam obyek penelitian lebih cenderung diwarnai dengan karakteristik strukltur organisasi yang bercorak
organik dibanding yang mekanistik. Khususnya dibagian Unit Penjamin Mutu sebagai unit kerja yang bertugas
untuk mengembangkan Sistem Penjaminan Mutu Internal
SPMI di
tingkat universitas,
yang penjabarannya pada tiap fakultas dan jurusan adalah
Gugus Kendali Mutu FakultasJurusan. Tujuan penjaminan mutu adalah memelihara dan meningkatkan
mutu pendidikan tinggi secara berkelanjutan, yang dijalankan secara internal untuk mewujudkan visi dan
misi
PT, serta
untuk memenuhi
kebutuhan
stakeholders
melalui penyelenggaraan tridharma perguruan tinggi. Secara umum bentuk struktur
organisasi di unit penjamin mutu tampak seperti pada Gambar 4 berikut ini.
ISBN 978-602-72071-1-0 Gambar 4 Posisi penjamin mutu dalam struktur
organisasi perguruan tinggi Jika diamati dari struktur yang ada pada Gambar
4, Secara umum, organisasi penjaminan mutu adalah lembaga fungsional yang melekat dengan lembaga
struktural, sehingga dalam menjalankan tupoksi-nya selalu melibatkan pejabat struktural. Dalam hal ini,
antara unit penjaminan mutu universitas PJM, fakultasprogram GJM dan jurusanPS UJM tidak
terdapat
hubungan, karena
masing-masing bertanggungjawab terhadap pimpinan unit kerja.
Pengamatan mendalam yang dilakukan peneliti pada Unit Penjamin Mutu mengindikasikan praktek
struktur organisasi yang bercorak organik. Yaitu menekankan pada pentingnya mencapai keadaptasian
dan perkembangan tingkat tinggi. Desain organisasi ini kurang
mengandalkan peraturan
dan prosedur,
wewenang yang disentralisasikan atau spesialisasi yang tinggi. Personal yang ada di Unit Penjamin Mutu ini
boleh dibilang adalah sosok yang multi tasking artinya mereka bisa bekerja dalam variasi tugas yang tinggi.
Hal ini diperlukan agar unit kerja dapat menanggapi perubahan dengan cepat, memberi masukan lebih rinci
bagi pengambil keputusan, memotivasi pegawai untuk memberi kesempatan dlm pengambilan keputusan dan
memberi peluang pelatihan bagi manajer tingkat rendah.
Beberapa dimensi organisasi yang harus diperhatikan adalah: 1 Ukuran yaitu jumlah anggota
dalam organisasi. 2 Spesialisasi yaitu: jumlah kekhususan yang dilakukan dalam menangani pekerjaan.
3 Standardisasi yaitu adanya prosedur-prosedur untuk mengatur kegiatan yang berulang. 4 Formalisasi yaitu
sejauh mana aturan-aturan dan komunikasi yang dilakukan secara tertulis. 5 Integrasi yaitu kualitas
kerja sama diantara unit-unit yang dibutuhkan untuk menyatukan tujuan, atau rencana-rencana dan umpan
balik yang digunakan untuk mengkoordinasikan unit- unit. 6 Diferensiasi yaitu jumlah fungsi-fungsi khusus
yang dijalankan dalam organisasi, atau perbedaan dalam orientasi kognitif dan emosional diantara para menejer
dari departemen yang berbeda.
Untuk menjalankan SPMI, Institusi menerapkan langkah-langkah yang disebut siklus penjaminan mutu
meliputi: 1 menyusun organisasi penjaminan mutu. 2 menyusun sistem Kebijakan, Sistem Dokumen standar
mutu, manual mutu, manual prosedur dsb. 3 sistem dijalankan sosialisasi dan menjadi acuan kerja. 4
melakukan Audit Internal Mutu AIM. satu siklus penjaminan mutu. 5 Tindak Lanjut T. Untuk
memastikan agar siklus itu bisa berjalan, diperlukan rasa kepedulian serta komitmen yang tinggi bagi semua
warga kampus. Oleh karena itu faktor fundamental seperti budaya akademik dan kemampuan manajeral
mempunyai peran penting dalam proses penjaminan mutu.
Temuan Indikator
Terkait Penguasan
Dan Pemanfaatan Teknologi Informasi
Teknologi informasi adalah alat yang terintegrasi yang digunakan untuk menjaring data, mengolah dan
mengirimkan atau menyajikan secara elektronik menjadi informasi dalam berbagai format yang bermanfaat bagi
pemakainya. Hasil survey menemukan bahwa peran dari pemanfaatan teknologi informasi berpengaruh terhadap
efektivitas komunikasi unit unit yang ada dalam struktur organisasi, cara bekerja, cakupan unit antar universitas
dan efektivitas pekerjaan semua elemen dalam universitas. Teknologi informasi berdampak pada
berbagai aktivitas manajemen yang berhubungan dengan data dimana elemen utamanya meliputi inputperolehan
data, pemrosesan data, penyimpanan data dan perolehan kembali data yang menjadi hal yang sangat penting bagi
universitas. Peneliti juga mencatat adanya peningkatan produktivitas pekerjaan pada semua tingkatan proses
input data, proses, penyimpanan data dan perolehan kembali data, kebutuhan akan informasi terkait aktivitas
akademik
dapat dihasilkan
dengan cepat
dan meningkatnya penyebaran informasi dan respon terhadap
laporan. Teknologi informasi sering juga dimanfaatkan dalam universitas untuk meningkatkan perhatian-arahan
attention-directing dalam penyediaan laporan. PENUTUP
Simpulan
Penelitian ini
dilakukan berdasarkan
keingintahuan peneliti untuk mengetahui faktor faktor fundamental apa saja yang diperlukan perguruan tinggi
agar capaian akreditasi institusi bisa mencapai peringkat A. Mengingat bahwa capaian kinerja atas 7 standar
sesuai borang akreditasi perlu banyak persiapan. Tidak sekedar menyusun borang, banyak faktor penting yang
harus dibangun secara berkelanjutan agar PT siap dengan tuntutan pada setiap standar. Peneliti telah mengungkap
beberapa aspek fundamental yang berperan besar dalam capaian 7 standar AIPT. 4 faktor tersebut meliputi: 1
budaya akademik, 2 kemampuan manajerial, 3 sruktur organisasi dan 4 penguasaan serta pemanfaatan
teknologi informasi.
pimpinan dalam membangun budaya akademik sangat diperlukan. Kebijakan yang dibuat harus
mengarah pada pencapain kinerja intitusi secara komprehensif mengacu pada fungsi Tridharma perguruan
tinggi meliputi tujuan pendidikan pengajaran, penelitian dan pengabdian. Membangun budaya belajar yang
dikembangkan dikampus akan berdampak pada terciptanya
susasana belajar
yang kondusif.
ISBN 978-602-72071-1-0 Meningkatnya
motivasi belajar
menyebabkan perkembangan dan penguasaan ilmu pengetahuan akan
berjalan secara berkelanjutan di kampus. Ketika budaya belajar ini berkembang dikampus maka penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi didalam organisasi akan semakin bagus dan ini akan mendukung terciptanya daya
saing bagi perguruan tinggi. Dukungan institusi untuk memberikan peluang belajar bagi warga kampus sangat
diperlukan. Keterbatasan dan hambatan dalam proses penyusunan borang akreditasi selalu ada. Peran pimpinan
dalam bentuk berbagai kebijakan dan arahan sangat diperlukan kemampuan manajerial dalam mengatasi
keterbatasan tersebut. Saran
Berdasarkan hasil dialog selama melakukan wawancara dengan pihak pihak yang terkait dengan
pelaksanaan AIPT, Peran Unit Penjamin Mutu sangat penting sebagai pelaksana penjaminan mutu di tingkat
universitas dengan ruang lingkup kerja mencakup pengkoordinasian penjaminan mutu di tingkat fakultas,
baik di bidang akademik maupun non akademik. Dengan demikian peneliti menyarankan agar PT mempunyai tim
unit penjamin mutu yang solid, kompak dan mempunyai budaya kerja bekerja secara tim yang kuat. SDM yang
beraktivitas di unit ini haruslah SDM siap dengan situasi variasi tugas yang tinggi.
Model Aspek Fundamental Daya Saing PT Menuju Akreditasi A
Dalam Gambar 7 tampak bahwa budaya akademik, kemampuan manajerial, struktur organisasi
dan pemanfaatan teknologi sebagai aspek fundamental yang harus dibangun oleh institusi maupun fakultas
secara berkelanjutan. Demikian juga peranan SPMI sebagai unit yang bertanggung jawab terkait dengan
fungsi kontrol sangat menentukan kualitas proses penyusunan borang akreditasi sesuai dengan target
capaian.
Gambar 7 Model Aspek Fundamental Daya Saing PT Menuju Akreditasi A DAFTAR PUSTAKA
Abouzeedan, Adli, Redner, Thomas. 2012. Organization structure theories and open
innovation paradigm. World Journal of Science, Technology and Sustainable Development, 9
1, 6-27.
Ainuddin, R.A., Beamish, P.W, Rulland, J.S., Rouse, M.J. 2007. Resource Attributes and Firm
Performance in International Joint Ventures. Journal Of World Business
42, 47-60. Allen, D, Kern, T, Mattison, D. 2002. Culture, Power
and Politics in ICT Outsourcing in Righer Education Institutions. European Journal of
Information Systems, 11 , 159-173. doi: DOI:
10.1057lpalgravelejisl3000425 Amstrong, A., Francis, R. 2004. Introduction, in
Armstrong A Francis R eds, Applications of corporate governance, Standards Australia
International, Sydney Armstrong, A. Unger. Z. 2009. Assessment,
Evaluation And Improvement Of University Council Performance. Evaluation Journal of Australasia,
19 1, 46-54.
1. Budaya Akademik
2. Kemampuan Manajerial
3. Struktur Organisasi
4. Penguasaan Serta
Pemanfaatan Teknologi
Pencapaia n 7
Standar Borang
4 Aspek Fundamental Daya Saing PT
P e
T a
r g
INSTITUSI FAKULTAS
ISBN 978-602-72071-1-0 Bachtiar, Nasri. 2013. Daya Saing Perguruan Tinggi
Retrieved 14 Maret 2013, from
http:llfekon.unand.ac.idlinlhomel1032- daya-saing-perguruan-tinggi-oleh-prof-
dr-
nasri-bachtiar BAN-PT. 2014. Rasil Pencarian Akreditasi Institusi
Retrieved 30 April, 2014, from http:llban- pt.kemdiknas.go.idlhasil_aipt.php
Barney, J.B. 1991. Firm Resources And Sustained Competitive
Advantage. Journal
Of Management, 171
1, 99-120. Barney, Jay. 2007. Resources-Based Theory:
Creating And Sustaining Competitive Advantage. Oxford University Press. .
Bhagat, S., Black, B. 2002. The Non-correlation between Board Independence and Long- term
Firm Performance. Journal of Corporation Lav, 27
2. Chiu, Shih-Kuan, Chang, Kay-Feng. 2009.
Organizational structure, support mechanism, and commercialization performance: A governance
perspective. International Journal of Commerce and Management, 19
3, 183-194. Fahy, J. 2000. The Resource-Based View of the Firm:
Some Stumbling-Blocks on the Road to Understanding Sustainable Competitive
Advantage. Journal Of European Industrial Training
, 94-104. Fontana, Avanti. 2009. Innovate We Can: Hov to
Create Value through Innovation in your Organization and Society
. Ghasemi, Maziyar, Shafeiepour, Vahid, Aslani,
Mohammad, Barvayeh, Elham. 2011. The impact of Information Technology IT on
Modern Accounting Systems. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 28
, 112 - 116.
Ridayat, Firman. 2014. Membangun Budaya Akademik Melalui Tata Kelola Perguruan
Tinggi Yang Baik Diunduh 27 April, 2014, www;dikti.go.id
Khanchel, I. 2007. Corporate Governance: Measurement and Determinant Analysis.
Managerial Auditing Journal 22 8, 740-760.
Mulili, Benjamin Mwanzi. 2011. Tovards The Best Corporate Governance Practices Model For
Public Universities in Developing Countries: The Case of Kenya.
DBA degree, Southern Cross University, Lismore, NSW.
Mulyana, Deddy, Rakhmat, Jalaluddin. 2006. Komunikasi
Antarbudaya:Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda
Budaya . Bandung: Remaja Rosdakarya.
Pambudi, Teguh S. 2008. GCG, Daya Saing, dan Berkelanjutan. SWA.
Robbins, Stephen P., Judge, Timothy A. 2008. Perilaku Organisasi Buku 2
. Jakarta: Salemba Empat.
Schein, E.R. 1985. Organizational Culture and Leadership
. San Fransisco: Jossey-Bass. Scullen, S.E., Mount, M.K., Judge, T.A. 2003.
Evidence of
the construct
validity of
developmental ratings
of managerial
performance. Journal of Applied Psychology, 88
1, 50-66. Silva, Chitra De, Armstrong, Anona. 2012.
Evaluation of Corporate Governance Measures: An Application to the Australian Righer
Education Sector. Journal of Business Systems, Governance and Ethics, vol.7
No 176. Simmon, D.G., Ritt, M.A., Ireland, R.D. 2007.
Managing Firm
Resources in
Dynamic Environments to Create Value: Looking Inside
The Black Box. Academy Of Management Reviev, 32
1, 273-292. Sugiyono. 2001. Metode Penelitian Administrasi Vol.
Cetakan ke delapan. Bandung: CV. Alfabeta. Swastika, Dwi Lusi Tyasing. 2013. Kinerja dan Tata
Kelola Perusahaan atas Privatisasi BUMN di Indonesia.
Program Doktor Ilmu Manajemen Disertasi, Brawijaya, Malang.
Swastika, Dwi Lusi Tyasing, Salim, Ubud, Sudarma, Made, Djumahir. 2013. Firm Performance
and Corporate Governance on State-Owned Enterprise Privatization International Journal of
Business and Management Tomorrov, vol.3 No.6.
Tonidandel, Scott. 2012. Relative importance of managerial skills for predicting effectiveness.
Journal of Managerial Psychology, 27 6, 635-
655. Weir, CM., Laing, D., Mc.Knight. 2002. Internal and
External Governance Mechanisms: Their Impact on the Performance of Large UK Public
Companies. Journal of Business Finance and Accounting Vol.29
No.5 dan 6, 579-611.
ISBN 978-602-72071-1-0
ANALOGY MODEL IMPLEMENTATION TO INSTRUCT CREATIVE THINKING SKILL OF A COUNSELOR
CANDIDATE
Mirza Alvira
Departement of Guidance and Counseling University of Malang E-mail: mirza.alvira.2010gmail.com
ABSTRAK
Penyiapan diri calon konselor sebagai seorang reflective practitioner sangat penting. Penyiapan dilakukan dengan melatih keterampilan berpikir kreatif dalam kegiatan pembelajaran yang mencakup tiga
keterampilan yaitu sintetik, analitik, dan praktikal. Berbagai model pembelajaran digunakan untuk melatih keterampilan berpikir kreatif salah satunya model analogi. Model analogi dilakukan melalui penelitian
tindakan kelas dengan tujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran dan praktik konseling. Penelitian tindakan ini berlangsung dalam dua siklus dengan panduan skenario pembelajaran yang telah di rancang
oleh peneliti dan divalidasi oleh dosen pengampu matakuliah. Instrumen dalam penelitian tindakan ini adalah inventori keterampilan berpikir kreatif, lembar observasi performansi peneliti, lembar observasi
pembelajaran dan praktik konseling calon konselor, jurnal rekaman pembelajaran peneliti, dan jurnal pengalaman belajar. Data dari hasil penelitian tindakan dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Penelitian
tindakan ini menunjukkan bahwa model analogi dapat membantu calon konselor mengembangkan keterampilan berpikir kreatif dalam proses pembelajaran dan praktik konseling.
Kata kunci
: model analogi, keterampilan berpikir kreatif, calon konselor.
ABSTRACT
Preparing a counselor candidate as a reflective practitioner is essential. This can be completed through practicing creative thinking skill in a learning activity which covers three skills; they are synthetic, analytic,
and practical. In this case, various learning activities are available for practicing creative thinking skill, one of which is analogy model. Analogy model is conducted through Class Action Research of which purpose
is to improve both counseling learning process and practice. This type of research is conducted in two cycles with the guide of the learning scenarios designed by the researcher and validated by the course
lecturer. The instruments used in this research are creative thinking skill inventory, researcher‟s performance observation sheet, counselor canditate‟s counseling learning and practice observation sheet,
researcher‟s learning record journal, as well as learning and practice experience journals. The data obtained is then analyzed quantitatively and qualitatively. The result shows that analogy model can help the
counselor candidate to develop his creative thinking skill in counseling learning process and practice. Keywords
: analogy model, creative thinking skill, counselor candidate.
PENDAHULUAN
Pendidikan Tinggi
menjadi wadah
pengembangan kapasitas diri dan kompetensi sesuai dengan kekhasan keilmuan individu Muslihati, 2013.
Pendidikan Tinggi juga tempat mencetak profesional, salah satunya profesi konselor. Konselor mempunyai
tugas
memfasilitasi siswa
mencapai tingkat
perkembangan diri dan keberfungsiannya di lingkungan ABKIN, 2005. Konselor juga sebagai helping
profession yang diharuskan mempunyai dua kompetensi
yakni kompetensi akademik dan kompetensi profesional. Kompetensi akademik konselor meliputi pendidikan
Strata 1 S1 jurusan Bimbingan dan Konseling dan pendidikan
Profesi Bimbingan
dan Konseling
Departemen Pendidikan Nasional, 2008; ABKIN, 2005; Gibson dan Mitchell, 2010.
Kompetensi konselor dapat diperoleh dari pembelajaran
matakuliah rumpun
konseling,. Pembelajaran
konseling menjadi
barometer penyelenggaraan pendidikan akademik S1 Bimbingan
dan Konseling Hidayah, 2009. Mahasiswa dituntut mampu memunculkan pemikiran-pemikiran baru dalam
“Mengubah Karya Akademik Menjadi Karya Bernilai Ekonomi Tinggi” Surabaya, 23 Januari 2016
ISBN 978-602-72071-1-0 menggali data, merumuskan masalah, serta menemukan
strategi pemecahan masalah. Berdasarkan hasil refleksi pengalaman peneliti
selama asistensi
pada matakuliah
pembelajaran Konseling di tahun 2013 sd 2015 diketahui bahwa
pembelajaran experiential learning lebih diarahkan pada pencapaian tujuan pengajaran instructional effect
berupa keterampilan mahasiswa untuk melakukan praktik konseling dan tujuan pengiring nurturant effect berupa
keterampilan berpikir mind skills dalam pembelajaran dan praktik konseling. Dosen belum melakukan tindak
pembelajaran untuk pengembangan keterampilan berpikir kreatif calon konselor dalam pembelajaran dan praktik
konseling. Model pembelajaran belum mampu menjawab problematika yang ada.
Problematika pada pembelajaran konseling adalah ketidakmampuan mahasiswa untuk mengkonstruk
teori-teori konseling dengan definisi yang baru dan bervariasi serta belum mampu merumuskan masalah
konseli dalam praktik konseling. Mahasiswa kesulitan mengkategorikan masalah ke ranah kognitif, afektif,
ataukah behavioral. Kondisi ini menimbulkan kesalahan dalam proses penggalian data, penginterpretasian data,
dan penetapan strategi konseling.
Ketidakmampuan mahasiswa
merumuskan masalah konseli diawali dengan ketidakmampuan
mahasiswa membangun ide baru berupa definisi baru dari teori konseling. Bahasa mahasiswa dalam menyusun
pertanyaan konseling adalah bahasa teori. Mahasiswa belum mampu merumuskan pertanyaan-pertanyaan
konseling yang baru dan bervariasi. Tidak hanya itu, mahasiswa juga belum dibiasakan melakukan refleksi
teman sejawat di akhir praktik konseling. Kondisi yang terjadi pada diri calon konselor menggambarkan bahwa
mahasiswa belum mempunyai keterampilan berpikir kreatif dalam pembelajaran dan praktik konseling.
Pembelajaran di Pendidikan Tinggi lebih menekankan pada transformasi pengetahuan. Mahasiswa
tidak mempunyai kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuan dan menerapkan hasil belajar dalam
kehidupan sehari-hari. Hasil penelitian Hidayah 2009 menunjukkan bahwa proses pembelajaran dosen belum
menterjadikan tindak pembelajaran yang mendidik baik pada pengkajian konsep maupun praktik.
Tuntutan menjadi calon konselor yang kreatif telah termaktub dalam Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia KKNI sebagai kompetensi lulusan learning outcomes
program studi DIKTI, 2013. Kompetensi lulusan ini sejalan dengan konsep tentang karakteristik
konselor. Neukrug
2003 menyebutkan
enam karakteristik konselor, salah satunya pemikiran yang
terbuka atau berpikir kreatif. Lulusan pendidikan prajabatan konselor, diharapkan memenuhi karakteristik
konselor efektif khususnya berpikir kreatif, sehingga mampu menjadi praktisi yang reflektif reflective
practitioner
. Schön 1983 mendeskripsikan tindakan refleksi meliputi refleksi pada tindakan reflection on
action , refleksi dalam tindakan reflection in action,
dan refleksi untuk tindakan reflection for action Killion dan Todnem 1991, dalam Haarmann, 2013.
Guilford mengungkapkan bahwa individu kreatif mempunyai kemampuan mencari cara dengan
jalan berbeda Cropley dan Cropley, 2005 dalam penyelesaian masalah Vidal, 2010. Sternberg dan
Lubart 1999, dalam Villalba, 2008 menyatakan bahwa kreativitas
adalah kemampuan
untuk bekerja
menghasilkan ide orisinil, tak terduga, dan tepat. Sternberg 2003; 2009 juga mempunyai konsep
kreativitas dalam model WICS. Konsep ini menyatakan bahwa kreativitas menjadi salah satu faktor terbentuknya
praktisi yang reflektif.
Pemikiran konvensional dihilangkan dengan adanya proses berpikir kreatif Sternberg dan Lubart,
1995. Individu memproses informasi melalui tiga kemampuan berpikir kreatif, yakni sintetik, analitik, dan
praktikal. Pertama, sintetik adalah kemampuan melihat masalah ke dalam jalan baru. Kedua, analitik adalah
kemampuan untuk mengakui satu ide yang bernilai dan berharga. Kegiatan berpikir analitik menyediakan
sumber-sumber efektif dan mampu menyediakan solusi pemecahan
masalah. Ketiga,
praktikal adalah
kemampuan untuk mengajak atau meyakinkan orang lain, menjual ide bernilai kepada orang lain,
mempraktikkan ide, serta siap menerima umpan balik dari orang lain. Konsep berpikir kreatif yang dijadikan
sebagai pijakan teoritik pada penelitian ini adalah konsep berpikir kreatif dari Sternberg. Tiga kemampuan dari
kreativitas meliputi kemampuan sintetik, analitik, dan praktikal ini sesuai dengan orientasi penelitian yaitu
keterampilan berpikir kreatif calon konselor dalam pembelajaran dan praktik konseling.
Mahasiswa belum mempunyai keterampilan berpikir kreatif, sehingga melalui dunia Pendidikan
Tinggi, keterampilan ini dapat menjadi bahan pelatihan. Pelatihan keterampilan berpikir kreatif dapat dilakukan
dengan sejumlah strategi, salah satunya model analogi. Model Analogi dikembangkan oleh William J. Gordon.
Model
analogi adalah
cara belajar
untuk mengembangkan inovasi individu Joyce Weil, 1996
dalam memecahkan masalah serta menemukan gagasan baru dan menarik. Joyce, Weil, dan Calhoun 1996;
2009 juga menyebutkan bahwa model analogi adalah strategi pembelajaran yang mengajak siswa untuk
membuat perumpamaan dan metafora dari konsep yang dipelajari. Sejalan dengan pendapat tersebut, Meador
1994 menyatakan bahwa pada model analogi tersebut, memberikan
kesempatan pada
individu untuk
menghubungkan konsep abstrak ke dalam konsep konkret.
Gagasan-gagasan yang menarik diperoleh dari penggunaan metafora dan perumpamaan selama proses
pembelajaran. Kegiatan
membuat perumpamaan
mengajak individu memasuki dunia yang tidak masuk akal, bermain menggunakan imajinasi, menciptakan cara
baru dalam memandang sesuatu, mengekspresikan diri, serta menyelesaikan masalah dengan cara unik. Model
analogi mempunyai dua strategi, yakni: membuat hal familiar menjadi baru atau asing creating something
new
dan membuat hal asing menjadi familiar making the strange familiar
.
ISBN 978-602-72071-1-0 Strategi model analogi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah strategi pertama. Mahasiswa diajak untuk membuat definisi baru dan unik dalam memahami
konsep konseling yang dipelajari. Penciptaan definisi tidak hanya untuk pemahaman konsep, mahasiswa juga
dituntut untuk menggunakan definisi baru dalam kegiatan praktik konseling individu. Definisi baru digunakan
untuk merumuskan pertanyaan baru dalam penggalian data konseli. Berikut ini struktur strategi pertama dari
model analogi:1 mendeskripsikan situasi saat ini guru meminta siswa mendeskripsikan situasi atau topik seperti
yang mereka lihat saat ini, 2 analogi langsung I siswa mengusulkan
analogi langsung,
memilih, dan
mengeksplorasi perumpamaan, 3 analogi personal siswa menjadi analogi yang telah dipilih, 4 konflik
padat siswa mengambil deskripsi-deskripsi dari tahap kedua dan ketiga untuk membuat dua kata yang saling
berlawanan, 5 analogi langsung II siswa membuat analogi langsung, yang didasarkan pada hasil analogi
konflik padat, 6 memeriksa kembali tugas awal guru meminta siswa kembali pada tugas awal dan
mendeskripsikan dengan definisi baru.
Pendekatan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas PTK. Penelitian tindakan
kelas digunakan untuk menjawab problematika yang muncul dalam proses pembelajaran dan praktik
konseling. Tujuan lain dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk melakukan proses perbaikan dalam proses
pembelajaran dalam bentuk siklus, melihat proses, sampai pada tercapainya tujuan pemberian tindakan.
METODE PENELITIAN
Penelitian tindakan kelas adalah suatu usaha seseorang untuk memahami apa yang sedang terjadi,
dengan melibatkan diri dalam proses perbaikan Hopkins, 1993, dalam Wiriaatmadja, 2010 dengan
empat langkah yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi Mills, 2007. Penelitian ini
melakukan usaha perbaikan pembelajaran di matakuliah Praktikum Konseling Individu. Perbaikan yang dilakukan
adalah melatihkan keterampilan berpikir kreatif calon konselor dalam proses pembelajaran dan praktik
konseling.
Subjek pada penelitian adalah mahasiswa angkatan 2013 kelas C yang menempuh matakuliah
Praktikum Konseling Individu. Mahasiswa berjumlah 22 dengan rincian 5 laki-laki dan 17 perempuan. Dari
penelitian ini diperoleh data kuantitatif dan kualitatif. Data tentang penerapan model analogi diperoleh dari
kegiatan observasi yang dilakukan observer dengan menggunakan instrumen performansi peneliti dan jurnal
rekaman pembelajaran peneliti. Sedangkan data keterampilan berpikir kreatif diperoleh dari Jurnal
Pengalaman Belajar Mahasiswa JPBM, Jurnal Pengalaman Praktik Konseling JPPK, lembar observasi
pembelajaran dan praktik konseling mahasiswa, dan inventori keterampilan berpikir kreatif.
Analisis data bertujuan untuk menemukan makna di setiap data-data yang telah terkumpul selama
penelitian tindakan dilakukan. Data yang telah terkumpul dianalisis secara deskriptif baik kualitatif maupun
kuantitatif. Data dianalisis dengan deskriptif kualitatif adalah Jurnal Pengalaman Belajar Mahasiswa JPBM
dan Jurnal Pengalaman Praktik Konseling JPPK. Data dianalisis dengan deskriptif kuantitatif adalah data yang
diperoleh dari inventori keterampilan berpikir kreatif calon konselor. Langkah-langkah analisis data dalam
penelitian tindakan kelas meliputi tiga hal, yakni: 1 reduksi data, pada langkah ini dilakukan kegiatan untuk
memilih dan memilah data serta menggolongkan sesuai dengan fokus penelitian, 2 penyajian data, pada tahap ini
dilakukan kegiatan memaparkan data yang merupakan landasan bagi peneliti untuk memaknai penelitian, 3
penarikan kesimpulan, pada tahap ini dilakukan penggambaran temuan penelitian dan verifikasi data
untuk penarikan kesimpulan.
Evaluasi dan refleksi dilakukan dengan mengevaluasi proses pembelajaran dengan model analogi
di akhir pertemuan siklus. Diskusi dilakukan bersama mahasiswa, hasil diskusi kemudian digabungkan kedalam
jurnal rekaman penelitian, yang berisi catatan peneliti dalam melakukan tindak pembelajaran. Jurnal ini
digunakan untuk merekam kelemahan penelitian dan rencana perbaikan di siklus selanjutnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Latihan pengembangan keterampilan berpikir kreatif melalui model analogi di pembelajaran konseling
ini menjadi pengalaman bagi mahasiswa dan peneliti. Latihan ini dilakukan dalam dua siklus pembelajaran.
Siklus I berlangsung selama lima pertemuan dengan kegiatan pembelajaran dan praktik pendekatan Rational
Emotive Behavior Therapy
REBT. Siklus II juga dilakukan selama lima pertemuan dengan kegiatan
pembelajaran dan praktik konseling Realita. Pada setiap pertemuan diterapkan langkah-
langkah model pembelajaran analogi. Mahasiswa dilatih untuk menemukan sejumlah definisi baru dari konsep
konseling yang dipelajari, menemukan definisi baru yang tepat dan bernilai, serta menggunakan definisi baru ke
dalam praktik konseling untuk menyusun pertanyaan konseling. Kegiatan pembelajaran diakhiri dengan
kegiatan refleksi teman sejawat. Hal-hal tersebut menjadi indikator ketercapaian penelitian tindakan ini. Paparan ke
sepuluh pertemuan pada siklus penelitian tindakan adalah sebagai berikut.
Pertemuan ke-1, penguasaan konsep utama dari pendekatan REBT. Proses belajar diarahkan agar
mahasiswa menemukan definisi baru dari konsep utama REBT dengan menemukan perumpamaan yang tepat
untuk mendeskripsikan konsep tersebut.
Pertemuan ke-2, mahasiswa melakukan praktik REBT dengan teknik thought stopping. Pembelajaran
diawali dengan penguasaan definisi baru dari teknik thought stopping.
Definisi baru digunakan mahasiswa untuk merumuskan pertanyaan yang bervariasi dalam
praktik konseling. Perkuliahan diakhiri dengan evaluasi dari peneliti tentang
keterampilan berpikir kreatif mahasiswa dan penyebaran
ISBN 978-602-72071-1-0 inventori keterampilan berpikir kreatif sebagai bahan
pretest. Pertemuan ke-3, peneliti melakukan refleksi
kegiatan praktik konseling di pertemuan ke-2. Pada pertemuan ini, mahasiswa melakukan praktik REBT
dengan teknik dialog socrates. Peneliti mengawali pembelajaran dengan menemukan definisi baru dari
teknik dialog soctares. Definisi baru tersebut, di bawa mahasiswa dalam melakukan praktik konseling.
Mahasiswa masih kesulitan untuk menemukan definisi baru dan memunculkan definisi baru dalam pertanyaan
konseling.
Pertemuan ke-4, peneliti melakukan refleksi kegiatan praktik konseling di pertemuan ke-3.
Pengalaman mahasiswa pada pembelajaran hari ini adalah menemukan definisi baru dari teknik relaksasi dan
menggunakan definisi baru dalam merumuskan pertanyaan konseling. Mahasiswa mulai terampil untuk
membuat perumpamaan, menemukan definisi baru, dan memunculkan definisi baru dalam praktik konseling.
Kegiatan refleksi teman sejawat baru dilakukan oleh beberapa pasang mahasiswa.
Pertemuan ke-5, mahasiswa melakukan simulasi REBT. Simulasi dari 3 mahasiswa menunjukkan
keterampilan berpikir kreatif mahasiswa mengalami perkembangan.
Mahasiswa mampu
merumuskan pertanyaan-pertanyaan konseling secara bervariasi
berdasarkan definisi baru yang ditemukan pada pertemuan ke-1, 2, 3, dan 4. Di akhir pertemuan, peneliti
melakukan evaluasi tentang perkembangan keterampilan berpikir kreatif mahasiswa. Perkuliahan ditutup dengan
memberikan
motivasi kepada mahasiswa
untuk mengembangkan keterampilan berpikir kreatif dan
penyebaran inventori keterampilan berpikir kreatif sebagai bahan posttest.
Pertemuan ke-6,
mahasiswa melakukan
presentasi konsep Realita. Peneliti mengajak mahasiswa untuk merumukan definisi baru dari konsep utama
realita. Mahasiswa
menggunakan sejumlah
perumpamaan untuk dapat menggambarkan konsep Realita.
Pertemuan ke-7, mahasiswa melakukan praktik konseling Realita dengan teknik konfrontasi. Mahasiswa
mengawali kegiatan praktik dengan pemahaman konsep teknik konfrontasi dengan menemukan sejumlah definisi
baru. Definisi tersebut, dibawa ke dalam praktik konseling, khususnya untuk membantu merumuskan
pertanyaan konseing secara kreatif. Perkuliahan ditutup dengan refleksi teman sejawat, evaluasi dari peneliti, dan
penyebaran inventori keterampilan berpikir kreatif.
Pertemuan ke-8, mahasiswa melakukan praktik konseling Realita dengan teknik humor. Peneliti
mengawali kegiatan pembelajaran dengan penemuan definisi
baru dari
teknik humor.
Mahasiswa menggunakan definisi baru ke dalam praktik konseling.
Praktik konseling diakhiri dengan refleksi teman sejawat, evaluasi
dari peneliti,
serta dorongan
untuk mengembangkan
keterampilan berpikir
kreatif mahasiswa dalam praktik konseling.
Pertemuan ke-9, peneliti melakukan evaluasi tentang keterampilan berpikir kreatif mahasiswa dalam
melakukan praktik di pertemuan ke-8. Pada hari ini, mahasiswa belajar untuk mendefinisikan teknik verbal
shock dengan definisi yang baru. Mahasiswa melahirkan
pertanyaan konseling secara bervariasi yang di dasarkan pada definisi baru yang telah ditemukan. Praktik
konseling diakhiri dengan refleksi teman sejawat, evaluasi
dari peneliti,
serta dorongan
untuk mengembangkan
keterampilan berpikir
kreatif mahasiswa dalam praktik konseling.
Pertemuan ke-10, peneliti melakukan evaluasi praktik konseling pada pertemuan ke-9. Pada hari ini,
tiga mahasiswa melakukan simulasi konseling Realita. Mahasiswa terampil dalam memunculkan pertanyaan
yang bervariasi berdasarkan defnisi baru yang dimiliki selama praktik konseling dilakukan. Perkuliahan diakhiri
dengan evaluasi dari peneliti dan penyebaran inventori keterampilan berpikir kreatif sebagai bahan posttest.
Refleksi dilakukan disetiap akhir siklus. Refleksi di siklus I menghasilkan: 1 waktu untuk
menyampaikan konsep konseling terlalu lama, sehingga waktu untuk melakukan praktik konseling berkurang, 2
pembuatan perumpamaan didominasi oleh peneliti dan mahasiswa cenderung pasif, 3 perbendaharaan analogi
peneliti masih kurang, 4 perkembangan keterampilan berpikir kreatif mahasiswa tidak bisa diketahui secara
langsung oleh peneliti. Refleksi di siklus II menghasilkan: 1 pembelajaran dengan model analogi di
sikuls II berjalan dengan lancar. Keenam langkah pembelajaran analogi dilakukan secara maksimal, 2
pengembangan keterampilan berpikir kreatif mahasiswa dilakukan secara tuntas. Ketuntasan tersebut dilihat dari
banyaknya definisi baru yang dimunculkan, khusunya ketika praktik konseling, 3 kegiatan refleksi teman
sejawat telah dilakukan mahasiswa di akhir praktik konseling.
Berdasarkan siklus penelitian ditemukan: 1 keterampilan berpikir kreatif mahasiswa telah mengalami
peningkatan dengan pembelajaran analogi yang dilihat dari skor pretest dan posttest di masing-masing siklus.
Pada siklus I diketahui skor keterampilan berpikir kreatif
mahasiswa sebesar 9 kategori „rendah‟, 59 kategori‟sedang‟, dan 32 kategori „tinggi‟. Sedangkan
skor keterampilan berpikir kreatif mahasiswa di siklus II sebesar 23 kategori „sedang‟ dan 77 kategori „tinggi‟,
2 mahasiswa antusias utuk menemukan perumpamaan- perumpamaan, 3 model pembelajaran analogi dengan
enam langkah pelaksanaan berjalan dengan lancar. Kendala yang ditemukan peneliti hanya pada satu tahap
yakni konflik padat, 4 mahasiswa antusias untuk segera melakukan praktik konseling dan refleksi teman sejawat.
Berikut ini gambar grafik keterampilan berpikir kreatif mahasiswa berdasarkan hasil pretest dan posttest di dua
siklus.
ISBN 978-602-72071-1-0 50
100
1 3
5 7
9 11 13 15 17 19 21
Skor Keterampilan Berpikir Kreatif Mahasiswa
Skor Pretest Skor Posttest
50 100
1 3
5 7
9 11 13 15 17 19 21
Skor Keterampilan Berpikir Kreatif Mahasiswa
Skor Pretest Skor Posttest
Gambar 1. Skor Keterampilan Berpikir Kreatif Mahasiswa pada Pretest dan Posttest Siklus I
Gambar 2. Skor Keterampilan Berpikir Kreatif Mahasiswa pada Pretest dan Posttest Siklus II
Berdasarkan grafik ini diperoleh hasil bahwa keterampilan
berpikir kreatif
mahasiswa dalam
pembelajaran dan praktik konseling mengalami perubahan dari siklus I ke siklus II. Keterampilan
berpikir kreatif tidak dapat diperoleh secara instran. Pencapaian keterampilan berpikir kreatif diperlukan
latihan secara terus menerus yang diintegrasikan ke dalam kegiatan pembelajaran. Perubahan pencapaian
dapat diketahui dengan melakukan pengukuran secara kontinyu di setiap siklus penelitian tindakan.
Kekhasan dari penelitian tindakan adalah proses pengukuran keterampilan berpikir kreatif dilakukan pada
setiap mahasiswa di setiap pertemuan. Peneliti menginterpretasikan kata-kata mahasiswa yang dituliskan
pada JPBM, JPPK, serta lembar observasi pembelajaran dan praktik mahasiswa. Dari hasil interpretasi ini
diketahui bahwa sebanyak 75 mahasiswa telah mempunyai keterampilan berpikir kreatif dan sebanyak
25 mahasiswa belum mempunyai keterampilan berpikir kreatif.
Dari ketiga bentuk keterampilan dalam berpikir kreatif, mahasiswa telah mencapai penguasaan pada
keterampilan sinektik dan analitik. Keterampilan praktikal hanya dimiliki oleh beberapa mahasiswa.
Penelitian tindakan ini memberikan hasil yang bervariasi bagi perkembangan keterampilan berpikir kreatif
mahasiswa dalam pembelajaran dan praktik konseling. Hasil dari penelitian tindakan ini diperkuat dari
kegiatan Ujian praktik konseling. Pengumpulan data pada ujian praktik konseling, diperoleh hasil yang
konsisten dengan analisis data hasil pretest dan posttest, serta analisis perkembangan keterampilan berpikir kreatif
mahasiswa di setiap pertemuan. Ditemukan 5 mahasiswa yang belum mempunyai keterampilan berpikir kreatif dan
17 mahasiswa yang sudah mempunyai keterampilan berpikir kreatif dalam melakukan praktik konseling.
Keberhasilan pembelajaran sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, begitu halnya dengan keberhasilan
penelitian tindakan model analogi ini. Peneliti menemukan sejumlah faktor yang turut berperan dalam
keberhasilan pembelajaran.
Keaktifan mahasiswa
merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam model pembelajaran analogi. Walker 2009 menyatakan bahwa
proses pembelajaran analogi didasarkan pada imajinasi siswa. Imajinasi siswa digunakan untuk melihat
fenomena alam dengan sudut pandang yang berbeda. Temuan Tsai 2012 juga menyebutkan bahwa imajinasi
menjadi wadah untuk melakukan aktivitas kreatif.
Model pembelajaran analogi mempunyai enam tahap yang saling berkaitan. Keterkaitan di setiap tahap
membantu siswa untuk dalam mentransfer deskripsi perumpamaan ke dalam konsep teori yang dipelajari.
Eragamreddy 2013 menyebutkan bahwa ide-ide yang diperoleh dari kegiatan analogi pada satu konteks akan
ditransfer ke konteks yang lain untuk menemukan hubungan, pemahaman, pandangan atau perspektif yang
segar dari konsep yang dipelajari.
Lingkungan yang menterjadikan siswa untuk berpikir kreatif menjadi hal yang harus dilakukan Tsai,
2013. Guru merancang situasi pembelajaran yang dapat mengajak siswa untuk aktif dan berpikir Afshari and
Ghaemi, 2014. Guru benar-benar berfokus kepada siswa selama proses pembelajaran berlangsung Forrester,
2008. Temuan Tsai 2014; Meintjes dan Grosser 2010 juga menggambarkan, bahwa pendidik memainkan peran
penting dalam meningkatkan keterampilan berpikir kreatif siswa.
Pemberikan motivasi kepada mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir kreatif di dalam
memahami konsep dan melakukan praktik konseling perlu dilakukan di setiap pertemuan. Fatemipour and
Kordnaeej 2014 menyebutkan bahwa guru harus memberikan dorongan kepada siswa selama proses
pembelajaran berlangsung. Kesabaran merupakan salah satu faktor dalam pembelajaran analogi. Guru benar-
benar menuntun dan mengarahkan siswa dalam mengeksplorasi ide-ide kreatif.
Pembelajaran analogi memberikan fasilitas kepada siswa untuk belajar dengan caranya masing-
masing. Siswa mengaplikasikan pengetahuan yang dimiliki, khususnya pengetahuan dalam kehidupan
sehari-hari ke dalam materi yang dipelajari Yousefi, 2014. Walker 2009 menyebutkan bahwa model
analogi mengajak siswa untuk melihat alam, objek, proses terbentuknya suatu kejadian atau kegiatan menjadi
sebuah perumpamaan-perumpamaan dalam memahami konsep yang dipelajari. Walker 2009; Vani M 2012
ISBN 978-602-72071-1-0 menemukan bahwa model analogi membantu siswa
untuk berpikir bebas dan kreatif. Temuan lain dari Mustami 2007 juga menggambarkan bahwa model
analogi dapat memberikan pengaruh pada keterampilan berpikir kreatif siswa.
PENUTUP Simpulan
Penerapan model analogi dalam pembelajaran konseling membantu mahasiswa untuk meningkatkan
keterampilan berpikir kreatif pada pembelajaran dan praktik konseling.. Penelitian tindakan ini menunjukkan
bahwa keterampilan berpikir kreatif yang dicapai mahasiswa adalah keterampilan sintetik dan analitik.
Pencapaian pada keterampilan praktikal hanya dimiliki oleh beberapa mahasiswa. Berhasil dan tidaknya latihan
keterampilan berpikir kreatif ini, tidak lepas dari pengaruh faktor eksternal baik dari peneliti maupun
calon konselor. Saran
Hasil penelitian ini tidak hanya dijadikan rujukan bagi dosen pengampu matakuliah pembelajaran
konseling, namun juga bisa dijadikan rujukan oleh para dosen yang mengampu matakuliah lain di jurusan
Bimbingan dan Konseling. Pembelajaran analogi menjadi media untuk mengadakan pembelajaran aktif. Dosen
menjadi fasilitator bagi mahasiswa untuk terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Keterlibatan
mahasiswa dalam proses pembelajaran menjadi faktor pendukung untuk pencapaian kompetensi lulusan salah
satunya keterampilan berpikir kreatif.
Hasil penelitian ini juga bisa dijadikan rujukan bagi peneliti lanjutan.
Peneliti lanjutan dapat memperbaiki tindak pembelajaran, khusunya pada
pencapaian keterampilan berpikir praktikal mahasiswa. Peneliti melakukan inovasi pembelajaran untuk
merangsang munculnya ketiga keterampilan berpikir mahasiswa secara maksimal. Peneliti juga dapat
menjadikan hasil penelitian ini sebagai pengembangan kegiatan
penelitian dengan
menerapkan model
pembelajaran analogi pada matakuliah lain dan membandingan keefektifan dua model pembelajaran
untuk pengembangan keterampilan berpikir kreatif calon konselor.
DAFTAR PUSTAKA ABKIN.
2005. Standar
Kompetensi Konselor
Indonesia . Bandung: Pengurus Besar ABKIN.
Afshari, G. and Ghaemi, N. 2014. Synectics Teaching Effect on the Academic Performance of
Students Composition among Male Fifth Grade Students in Dezful City. Journal of life
Science and Biomedicine . Vol: 4 5. Page:
448-451. Cropley, D. and Cropley, A. 2005. Engineering
Creativity: A systems Concept of Functional Creativity.
In Kaufman, James c Baer, John Eds. Creativity Across Domains: Face of the
Muse. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Penataan Pendidikan
Profesional Konselor
dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam
Jalur Pendidikan Formal. DIKTI Asosiasi Lemaga Pendidikan Tinggi Tenaga
Kependidikan Indonesia ALPTKI. 2013. Deskripsi Umum dan Learning Outcome 12
Prodi LPTK . Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi. Eragamreddy, N. Tanpa tahun. Teaching Creative
Thinking Skills. International Journal of English Language and Translation Studies.
Vol: 1 2. Fatemipour, H. and Kordnaeej, M. 2014. The Effect of
Synectics and Journal Creative Writing Techniques on EFL English as a Foreign
Language Students‟Creativity. International Journal of Language Learning and Applied
Linguistics World . Vol: 7 3. Page: 412-424.
Forrester, J.C. 2008. Thingking Creatively; Thingking Critically. Asian Social Science. Vol: 4 5.
Page:100-105. Gibson, R.L. dan Marianne, M. 2010. Bimbingan dan
Konseling .
Edisi Ketujuh.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Haarmann, H. J., O‟Rourke, P., and Ragusa, E. 2013. Does Divergent Thinking Training Improve
Language Proficiency and Performance?: Literature Review Reveals Benefit and
Suggests Testable Approaches. University of
Maryland. Hidayah,
N. 2009.
Process-Audit dalam
Penyelenggaraan Pendidikan Akademik S-1 Bimbingan dan Konseling
. Disertasi Tidak Diterbitkan. Universitas Negeri Malang.
Joyce, B., Weil, M., dan Calhoun, E. 2009. Model- model
Pengajaran .
Edisi Kedelapan.
Yogyakarta: Pustaka Belajar. Joyce, B. and Weil, M. 1996. Models of Teaching. 5
th
ed. USA: Allyn Bacon. Meador, K.S. 1994. The Effect of Synectics Training
on Gifted and Nongifted Kindergarten Students. Journal for the Education of the
Gifted . Vol: 18, Page: 55-73.
Meintjes, H. and Grosser, M. 2010. Creative Thinking in Prospective Teacher: the Status Quo and the
Impact of Contextual Factors. South Africa Journal of Education
. Vol: 30, Page: 361-386. Mills, G.E. 2007. Action Research: A Guide for the
Teacher Researcher . 3
rd
. Australia: Pearson Education. Inc.
Muslihati. 2013. Tantangan dan Peluang Program Studi Bimbingan dan Konseling Islam Menghadapi
Masa Depan Bangsa. Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam.
Vol: 3 2. Hlm: 117-124. Mustami, M.K. 2007. Pengaruh Model Pembelajaran
Synectics dipadu Mind Mapping Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif, Sikap Kreatif,
dan Penguasaan Materi Biologi. Lentera Pendidikan
. Vol: 10 2.
ISBN 978-602-72071-1-0 Neukrug, Ed. 2003. The World of the Counselor.
Second edition. An Introduction to the Counseling Profession. USA: BooksCole.
Schon, D.A. 1983. The Reflective Practitioner: How Professionals Think in Action
. New York: BasicBooks.
Sternberg, R.J. and Lubart, T.I. 1995. Defying The Crowd: Cultivating Creativity in A culture of
Conformity. New York: The Free Press.
Sternberg, R.J. 2003. Wisdom, Intelligence, and Creativity Synthesized
. America: Cambridge University Press.
Sternberg, R.J. 2009. Academic Intelligence Is Not Enaough Wics: An Expanded Model for
Effective Practice In School and Later in Life .
A Paper Commissioned for the Conference on Liberal Education and Effective Practice.
Clark University. Tsai, K.C. 2012. Play, Imagination, and Creativity: A
Brief Literature Review. Journal of Education and Learning
. Vol: 1 2. Page: 15-20. Tsai, K.C. 2013. A review of The Inquiry of Creativity
in Older Adults in Journals. British Journal of Education
. Vol: 1 2. Page: 20-28. Tsai, K.C. 2014. A review of the Effectiveness of
Creative Training on Adult Learners. Journal of Social Science Studies
. Vol: 1 1. Page: 17- 30.
Vani M. 2012. Effectiveness of Synectics Model of Teaching in Enhancing Language Creativity of
Learners. Indian Streams Research Journal. Vol: 2 10. Page: 1-8.
Vidal, R.V.V. 2010. Creative Problem Solving: An Applied
University Course.
Pesquisa Operacional
. Vol: 30 2. Page: 405-426. Villalba, E. 2008. On Creativity: Towards an
Understanding of
Creativity and
its Measurements.
Europa: European
Communities Joint Research Centre. Walker, D.E. 2009. Promoting Metaphorical Thinking
Through Synectics: Developing Deep Thinking Utilizing Abstractions
. Advanced Active Learning.
Bloomsburg University
of Pennsylvania.
Wiriaatmadja, R. 2010. Metode Penelitian Tindakan Kelas: Untuk meningkatkan Kinerja Guru dan
Dosen. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Yousefi, A. 2014. The Effect of Synectics Teaching Model in Foresting Creativity. Management
and Administrative Sciences Review . Vol: 3
7. Page: 1225-1231.