Membuat Template File excel Validasi alat

ISBN: 978-602-72071-1-0

3. Menulis script program untuk microcontroller

IC Atmega 328p diprogram supaya dapat mengakses data dari sensor ultrasonik HCSR-04 serta mengirimkan data digitalnya ke komputer dan dapat dengan mudah diakuisis oleh program MS-Excel. Listing programnya sebagai berikut. include NewPing.h define TRIGGER_PIN 12 jumper pin TRIG sensor ke pin 12 arduino define ECHO_PIN 11 jumper pin ECHO sensor ke pin 11 arduino define MAX_DISTANCE 200 jarak maks cm NewPing sonarTRIGGER_PIN, ECHO_PIN, MAX_DISTANCE; bikin class baru int uS = 0; int row = 0; untuk plxdaq void setup { Serial.begin9600; buka port serial, sets kecepatan data ke 9600 bps Serial.printlnCLEARDATA; untuk plxdaq Serial.printlnLABEL,Waktu,Jarak,Model GLBB oleh Rita Hartati SMKN 13 Bandung; untuk plxdaq} void loop { Baca pin input uS = sonar.ping; kirim ping dan simpan hasilnya di variabel uS satuannya mikrodetik Kirim ke komputer melalui serial Serial.printDATA,TIME,; Serial.printlnuS US_ROUNDTRIP_CM; row++; untuk plxdaq uS++; untuk plxdaq delay100;} Adapun library untuk sensor ultrasonik HCSR-04 diambil dari script yang telah dikembangkan oleh peneliti lain dengan lisensi free dari http:www.gnu.orglicensesgpl-3.0.html 4. Pengisian Program Setelah selesai menulis script program langkah selanjutnya adalah mengisi program ke dalam IC Atmega 328p, dengan desain rangkaian sebagai berikut. IC Atmega 328p yang baru dibeli masih kosong dan tidak dapat diprogram langsung menggunakan lingkungan pemrogram arduino sehingga perlu diisi bootloader. Supaya IC tersebut siap dipakai maka peru diprogram menggunakan model ISP in-Sircuit Programmer seperti terlihat pada Gambar 4.2, papan a berfungsi sebagai master yang akan mengisi program, dan papan b dipasang IC Atmega 328p baru yang akan diisi program. papan a disambungkan ke komputer, dan papan b disambungkan ke papan a.

5. Membuat Template File excel

Supaya dapat membuat grafik, maka perlu menyiapkan templete file excel berupa tabel untuk menampung data jarak dan waktu gerak kereta dinamika dari sensor, membuat tabel konversi berupa data kecepatan pada waktu tertentu, dan templete grafik untuk menampilkan data kecepatan fungsi waktu. Hasil templetenya sebagai berikut. 6. Merangkai alat percobaan Langkah selanjutnya adalah merangkai alat controller dengan komponen percobaan lain berupa rel presisi dari KIT Optik beserta sampungan rel, balok bertumpuk dari KIT Mekanika, serta kereta dinamika. Hasilnya sebagai berikut 7. Ujicoba alat Gambar 2. Rangkaian pengisian IC Gambar 3. Hasil template file excel untuk Gambar 4. Rangkaian micro controller ISBN: 978-602-72071-1-0 Setelah selesai dirangkai, kemudian alat praktikum ini diuji keberfungsiannya serta diteliti apakah masih ada kendala teknis dalam penggunaannya. Tampilan layar excel hasil ujicoba adalah sebagai berikut.

8. Validasi alat

Setelah alat jadi dan tidak ada kendala tteknis dalam operasionalnya, langkah selanjutnya adalah proses validasi alat oleh ahli pendidikan fisika dan juga ahli media, dalam penelitian ini validasi dilakukan oleh Widyaiswara Fisika dari PPPPTK IPA. 9. Pengembangan disain pembelajaran dan validasinya Setelah alat praktikum dinyatakan layak, langkah selanjutnya adalah mengembangkan desain pembelajaran berupa RPP dan LKS untuk kegiatan pembelajaran konsep GLBB mengunakan alat praktikum berbantuan komputer. Dokumen desain pembelajaran ini, kemudian divalidasi oleh Widyaiswara Fisika dari PPPPPTK IPA. Disain pembelajaran lengkap ada di lampiran. Setelah media dan disain pembelajaran dinyatakan siap untuk diimplementasikan di kelas, langkah berikutnya adaah implementasi pembelajaran di kelas XII TKJ 2 SMK Negeri 13 Kota Bandung. Selama proses pebelajaran dilakukan observasi pembelajaran oleh seorang observer dari guru fisika SMK Negeri 13 Kota Bandung, yang dilengkapi instrumen observasi untuk melihat aktivitas pembelajaran baik fisik, menal, dan emosional siswa. Hasil uji coba alat yang dilaksanakan di SMKN 13 Bandung, pada tanggal 7 September 2015, di kelas XII TKJ 2 diperoleh hasil observasi sebagai berikut. Tabel 2. Hasil Observasi pelaksanaan pembelajaran Dari hasil observasi pembelajaran dapat disimpulkan bahwa pembelajaran fisika untuk konsep GLBB menggunakan alat praktikum berbantuan komputer dapat meningkatkan peran serta siswa dalam belajar. Siswa tertarik untuk mengetahui grafik yang akan terbentuk dari gerak kereta dinamika pada lintasan miring yang jaraknya dicatat secara terus menerus oleh sensor ultrasonik. Ketiga aktivitas belajar baik fisik, mental, dan emosional banyak muncul ketika proses pembelajaran. kegiatan inkuiri siswa dapat terlaksana dengan waktu yang cukup, dikarenakan waktu dalam melaksanakan percobaan lebih singkat dengan menggunakan alat praktik ini dibandingkan menggunakan ticker timer. Capaian pengetahuan siswa dengan menggunakan alat ini diukur melalui pretes dan postes. Hasil pengetahuan siswa yang diperoleh dengan menggunakan instrumen tes pilihan ganda sebanyak 10 butir adalah sebagai berikut . Tabel 3. Hasil Pre test dan Post test Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran Indikator Jumlah Aktivitas Fisik Siswa membaca LKS praktikum GERAK LURUS 26 Siswa menggunakan Alat Peraga Praktikum GERAK LURUS untuk mencari informasi lebih lanjut terkait konsep GERAK LURUS 16 Siswa mencatatmenulis hasil pengamatan menggunakan Alat Peraga Praktikum GERAK LURUS berbantuan komputer 10 Siswa bertanya pada proses pembelajaran 12 Siswa aktif berdiskusi dalam kelompok 15 Siswa mengangkat tangan ketika ingin menjawab pertanyaan 20 Aktivitas Mental Siswa melihat hubungan- hubungan informasi yang ada pada tampilan data di komputer hasil input dari APP 26 Siswa menganalisis variabel- variabel yang diperoleh dari 26 Jenis Tes Pretes Postes Gain Rata-rata 5,58 7,04 1,46 Stadar deviasi 2,30 Uji T T test 0,00016 e 20625 ISBN: 978-602-72071-1-0 Dari Tabel 3. diperoleh gain sebesar 1,46. Gain ini positif yang artinya ada peningkatan pengetahuan siswa setelah mengikuti proses pembelajaran. Untuk mengetahui signifikansi dari perubahanpeningkatan pengetahuan siswa tersebut dilakukan uji T, yang hasilnya lebih kecil dari 0,05 dan dapat disimpulkan bahwa peningkatan pengetahuan siswa hasil dari pembelajarn tersebut adalah signifikan. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh penggunaan alat tersebut terhadap peningkatan pengetahuan siswa, dilakukan dengan menghitung effect size nya. Hasil perhitungan diperoleh nilai effect size diantara 0,50 - 0,79, sehingga besarnya pengaruh alat peraga berbantuan komputer terhadap peningkatan pengetahuan siswa adalah masuk dalam kriteria “sedang”. Untuk mengetahui tingkat apresiasi pengguna siswa teradap alat praktikum GLBB berbantuan komputer ini, dilakukan penyebaran angket kepada siswa yang hasilnya sebagai berikut. Gambar 7. Hasil angket pendapat siswa terhadap alat praktikum GLBB berbantuan komputer. Dari Gambar 7 dapat disimpulkan bahwa penggunaan alat praktikum GLBB berbantuan komputer ini adalah: 1. Membuat siswa senang mengikuti proses pembelajaran 2. Membuat siswa lebih antusias untuk mempelajari Fisika topik gerak lurus 3. Memudahkan siswa memahami konsep gerak lurus 4. Memungkinkan siswa untuk belajar mandiri 5. Meningkatkan keaktifan siswa dalam belajar Ucapan Terima kasih Ucapan terimakasih kepada SEAMEO QITEP in Science Bandung yang telah memberikan bantuan dana penelitian. PENUTUP Simpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1. Dihasilkan alat peraga pembelajaran fisika berbasis komputer yang disertai LKS untuk materi gerak lurus berubah beraturan dengan spesifikasi, yaitu untuk memperoleh data jarak dan waktu gerak secara real time dari sensor ke komputer. Di samping itu dengan menggunakan excel, diperoleh grafik kecepatan fungsi waktu dari hasil percobaan menggunakan alat ini. Alat peraga tersebut berdasarkan hasil uji internal telah dinyatakan layak digunakan karena telah sesuai dengan teori yang ada. Untuk LKS, berdasarkan uji internal juga dinyatakan layak digunakan. 2. Konsep gerak lurus berubah beraturan dapat dibelajarkan kegiatan praktikum dengan menggunakan alat praktikum GLBB berbantuan komputer yang telah dikembangkan sehingga dapat memberikan kejelasan mengenai perubahan kecepatan yang linier pada GLBB bagi siswa. Berdasarkan hasil uji lapangan yang telah dilakukan di SMK Negeri 13 Kota Bandung, diperoleh proses belajar siswa dan respon terhadap alat praktikum tersebut sangat baik. Saran Saran dari penelitian ini adalah: 1. Pada penggunaan alat peraga GLBB berbantuan komputer, gunakan kemiringan rel dengan menggunakan balok penumpuk setinggi 6 cm. Agar rentang waktu yang diperlukan kereta dinamika untuk menuntaskan gerak pada bidang miring, bersesuaian dengan jumlah data yang diperoleh dan diplot ke dalam grafik. 2. Pada saat menggunakan alat praktikum GLBB berbantuan komputer, pastikan seting port usb untuk proses akuisisi data ke dalam excel sudah benar. Hal ini untuk menghindari kesalahan data tidak terbaca ke dalam excel. Proses yang paling mudah untuk memastikan port yang aktif adalah menggunakan software arduino. 3. Untuk kasus data yang diperoleh melebihi atau kurang dari jumlah data yang disiapkan pada tabel excel, maka diperlukan seting ulang data yang dipakai pada grafik, sehingga data yang diplot benar- benar data yang valid. 4. Alat parktikum berbantuan komputer ini menggunakan interfce hardware berupa USB to serial chip microposesor keluaran prolific seri hxa seri hx revisi a yang kompatibilitas dengan windows hanya sampai pada windows versi 7. Sehingga penggunaan Alat praktikum ini disarankan untuk diakses menggunakan komputer dengan OS maksimal windows 7. Untuk keperluan penggunaan menggunakan OS windows 8 sebaikan gunakan interfce hardware USB to serial chip seri hxd seri hx revisi d. DAFTAR PUSTAKA Awan, Dede. 2008. Pentingnya Alat Peraga dalam Mengajar IPA . http:adinmuh2.blogspot.com201101definisi- alat-peraga.html. 15 Maret 2011 Positif, 84.81 Negatif, 15.19 Per sen Respon Siswa Terhadap APP GLBB ISBN: 978-602-72071-1-0 Arsyad, Azhar. 2000. Media Pengajaran. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Asyhari, A, dkk. 2014. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Fisika SMA berbasis Inkuiri Terbimbing Terintegrasi Pendidikan Karakter . Jurnal Inkuiri, 2252-7893, Vol 3, No. I, 2014 hal 62-75 http:jurnal.fkip.uns.ac.idindex.phpsains . Creswell, J.W. Clark, V.L.P. 2007. Designing and Conducting Mixed Methods Research . Sage Publications.UNESA. 2000. Pedoman Penulisan Artikel Jurnal, Surabaya: Lembaga Penelitian Universitas Negeri Surabaya. Herlina, Cici. 2006. Skripsi Alat Peraga . http:sekripsiku.blogspot.com. 10 Maret 2011. Lestari, Linda Puji. 2006. Keefektifan Pembelajaran dengan Menggunakan Alat Peraga dan LKS . http:digilib.unnes.ac.id.skripsiarchivesdoc.pdf. 10 Maret 2011. Muslih, D. 2015. Penggunaan Komputer dalam Percobaan IPA . Seminar Pembelajaran IPA di PPPPTK IPA, Januari 2015. NSTA AETS 1998, Standards for Science Teacher Preparation . Polvinen, E. 2007. Educational simulations in Second Life for fashion technology students . Proceedings from second Life education workshop 2007. Priyantono, Sumar. 2010 . “Pengembangan LKS Fisika Dengan Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah Pada Materi Listrik Statis ”:. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Rustaman, N,Y. 2005. Perkembangan Penelitian Pembelajaran Berbasis Inkuiri dalam Pendidikan Sains . makalah Seminar Nasional II Himpunan Ikatan Sarjana dan Pemerhati Pendidikan IPA Indonesia Bekerjasama dengan FPMIPA UPI. Sardiman, Arief S, Raharjo,R , Haryono, Anung Rahardjito. 2006. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya . Pustekom dan Raja Grafindo Persada. Jakarta. Samarinda, Adin. 2011. Definisi Alat Peraga. http:adinmuh2.blogspot.com.201101definisi- alat-peraga.html.15 Maret 2011. Sardiman, A. M. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. 2009. Raja Grafindo Persada. Jakarta ISBN: 978-602-72071-1-0 PENGEMBANGAN MODUL FISIKA MATEMATIKA BERBASIS PEMBELAJARAN TERPADU Fauzi Bakri 1 Dewi Muliyati 2

1,2

Program Studi Pendidikan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Jakarta E-mail: fauzibakriegmail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengembangkan modul mata kuliah fisika matematika yang sesuai dengan model pembelajaran terpadu. Modul yang dihasilkan merupakan kajian fisika matematika yang dipadu untuk berbagai kasus dalam mata kuliah fisika terkait. Modul dihasilkan melalui penelitian pengembangan instruksional model Dick Carey yang tahapannya terdiri dari: identifikasi kebutuhan instruksional dan menulis tujuan instruksional umum, melakukan analisis instruksional, mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal peserta didik, menulis tujuan instruksional, menulis tes acuan patokan, menyusun strategi instruksional, mengembangkan bahan instruksional, menyusun desain dan melaksanakan evaluasi formatif, revisi sistem instruksional, melaksanakan implementasi dan evaluasi sumatif. Dari tahapan pengembangan, dihasilkan modul Lagrangian: Analisis Gerak. Modul ini diuji keterbacaan sebanyak 5 lima kali kepada kelompok kecil, yaitu mahasiswa yang mengambil mata kuliah fisika matematika dan mekanika klasik. Selanjutnya modul divalidasi dan dinilai oleh ahli media, ahli desain pembelajaran, dan ahli materi. Hasil validasi menunjukkan bahwa modul memiliki nilai rata-rata 86,3 atau berkategori sangat baik. Berdasarkan hasil ini, dapat disimpulkan bahwa modul yang dikembangkan sudah memenuhi kriteria pengembangan bahan ajar dan direkomendasikan untuk dapat digunakan baik pada mata kuliah fisika matematika maupun mekanika klasik. Kata Kunci: pengembangan modul, instruksional, model Dick Carey, pembelajaran terpadu, fisika matematika, lagrangian ABSTRACT This research aims to develop a mathematical physics course module with an integrated learning model. The resulting module is an integrated concept of physics with the mathematical analysis and its applications in physics problem solving. This module is produced through the research development of teaching materials Dick Carey model the stages consisting of: identification of instructional needs and writing general instructional objectives, analyzing instructional, identify the behaviors and characteristics of learners, writing performance objectives, develop assessment instruments, develop instructional strategy, develop instructional materials, design and conduct formative evaluation of instruction, revise instructional systems, design and conduct implementation and summative evaluation. From the stage of development, resulting Lagrangian module: Analysis of Motion. This module was readability test of five 5 times to small groups, such as students who take courses in mathematical physics and classical mechanics. Further modules are validated and judged by media experts, instructional design experts, and the material expert. The tests showed that the modules have an average value of 86.3 or excellent category. Based on these results, we can conclude that the modules developed reached terms and recommended the development of teaching materials to be used both in the course of mathematical physics and classical mechanics. Keywords: module develop, instructional, Dick Carey model, untegrated leraning, mathematich physics, lagrangian PENDAHULUAN Kemandirian dalam belajar perlu dilatih karena efektif untuk menggali dan memunculkan potensi yang dimiliki oleh setiap mahasiswa Hastuti, 2013. Peran dosen menjadi hal utama untuk memfasilitasi mahasiswanya belajar mandiri, salah satunya melalui modul. Modul menjadi sarana utama dalam menggiatkan pembelajaran mandiri terutama karena modul memiliki keunggulan dalam hal fleksibilitas pengembangannya. Pada mata kuliah tertentu, penggunaan modul sebagai sarana belajar ISBN: 978-602-72071-1-0 dapat menghasilkan prestasi belajar lebih tinggi terutama bagi mahasiswa dengan kemampuan awal rendah Ningtias, 2015. Berdasarkan pengalaman mengajar mata kuliah Fisika Matematika, telah dikenali masalah yang sering dialami mahasiswa yaitu kesulitan dalam memadukan konsep dengan analisis matematikanya serta menerapkannya pada persoalan fisika. Penerapan model pembelajaran yang tujuannya untuk memperbaiki pemahaman konsep dan analisis matematis juga harus didukung melalui pengembangan bahan ajar yang sesuai dengan model dan metode pembelajaran. Pengembangan modul fisika matematika berbasis pebelajaran terpadu menjadi salah satu solusi untuk membantu mahasiswa menyelesaikan kesulitannya. Adapun model pembelajaran terpadu dipilih agar modul yang dihasilkan dapat digunakan tidak hanya pada mata kuliah Fisika Matematika, tapi juga dalam mata kuliah lain yang terkait. Pemacu dalam pelaksanaan pembelajaran terpadu adalah melalui eksplorasi topik Trianto, 2010. Dalam eksplorasi topik diangkatlah suatu tema tertentu. Dari pengembangan modul yang dilakukan, terpilih topik Lagrangian dalam Analisis Gerak, sebagai topik yang dibahas baik dalam mata kuliah Fisika Matematika maupun mata kuliah Mekanika Klasik. Penelitian ini membahas proses pengembangan modul fisika matematika berdasarkan karakter pembelajaran terpadu serta proses penilaian modul agar memenuhi kriteria sebagai bahan ajar. METODE PENELITIAN Pengembangan modul fisika matematika ini mengikuti penelitian pengembangan instruksional model Dick Carey dan adaptsinya Suparman, 2014 yang tahapannya terdiri dari: 1 identifikasi kebutuhan instruksional dan menulis tujuan instruksional umum, 2 melakukan analisis instruksional, 3 mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal peserta didik, 5 menulis tujuan instruksional, 6 menulis tes acuan patokan, 7 menyusun strategi instruksional, mengembangkan bahan instruksional, 8 menyusun desain dan melaksanakan evaluasi formatif, 9 revisi sistem instruksional, 10 melaksanakan implementasi, dan 11 evaluasi sumatif. Penelitian dilaksanakan di Program Studi Pendidikan Fisika Universitas Negeri Jakarta pada April s.d. November 2015. Subjek penelitian adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Fisika Universitas Negeri Jakarta yang mengambil mata kuliah Fisika Matematika dan Mekanika Klasik. Ahli media, ahli pembelajaran, dan ahli materi adalah teman sejawat dosen pengampu mata kuliah Fisika Matematika, Mekanika Klasik, Desain Pembelajaran, dan Media Pembelajaran. HASIL DAN PEMBAHASAN 1 Identifikasi Kebutuhan Instruksional dan Tujuan Instruksional Umum Salah satu tujuan pembelajaran Fisika Matematika adalah memberikan kemampuan matematika kepada mahasiswa untuk dapat diterapkan dalam berbagai kasus fisika. Mahasiswa diharapkan mampu melakukan kajian matematia untuk berbagai materi yang dipelajari dalam mata kuliah fisika lanjutan. Salah satu kompetensi dasar mata kuliah Mekanika Klasik bagi mahasiswa Pendidikan Fisika di Universitas Negeri Jakarta a dalah “mahasiswa mampu memahami dan mengaplikasikan Persamaan Lagrange dan Hamilton untuk menganalisis gerak”. Kajian lagrangian ini adalah bagian dari materi kalkulus variasi dalam mata kuliah Fisika Matematika 2. Analisis yang dilakukan terhadap proses pembelajaran pada mata kuliah fisika yang menerapkan konsep matematika dihasilkan bahwa sebagian besar materi konsep matematika yang dimaksud belum dipahami oleh mahasiswa, sehingga para dosen harus mengulang kembali membahas konsep matematika yang diperlukan untuk membahas konsep fisika yang dipelajari. Dalam mekanika klasik ini, mahasiswa belum memahami konsep lagrangian yang diperlukan untuk menganalisa sistem gerak. Pembelajaran fisika matematika yang dilakukan di program studi pendidikan fisika masih mengandalkan buku sumber “Mathematical Methods in The Physics Sciences yang ditulis Mary L. Boas. Dalam buku ini konsep lagrangain hanya diuraikan dalam kajian yang sangat ringkas dalam 3 halaman. Contoh yang disediakan juga sangat terbatas, sehingga diperlukan suatu modul pembelajaran yang menyajikan berbagai kasus penerapan persamaan Lagrange dalam berbagai kasus yang dipelajari dalam mata kuliah lainnya. Adapun tujuan instruksional umum dalam mempelajari persamaan lagrangian ini adalah “mahasiswa menerapkan konsep lagrangian dalam menganalisa gerak berbagai partikel dalam berbagai kerangka acuan .” 2 Analisis Instruksional Berdasarkan tujuan instruksional umum yang telah dirumuskan dalam tahapan sebelumnya, dapat dianalisis beberapa tujuan yang akan dicapai dalam rangka pencapai tujuan instruksional umum tersebut sebagai berikut:  Memahami konsep persamaan Lagrang  Memahami sistem koordinat umum  Mengaplikasikan Persamaan Lagrange untuk menganalisis berbaqgai bentuk gerak  Mengaplikasikan Persamaan Hamilton untuk menganalisis berbagai bentuk gerak  Menerapkan Persamaan Lagrange dengan syarat batas 3 Identifikasi Perilaku dan Karakteristik Awal Peserta Didik Mahasiswa yang menggunakan modul yang dikembangkan ini adalah mahasiswa program studi pendidikan fisika semester 4 yang mengikuti mata kuliah fisika matematika 2 dan telah lulus mata kuliah kalkulus dan fisika dasar. Konsep-konsep kalkulus seperti konsep turunan dan konsep integral menjadi syarat mutlak untuk dikuasai mahasiswa. Konsep sistem koordinat yang dibahas dalam fisika matematika 1, seperti koordinat kutub, koordinat silinder, koordinat bola, juga sudah dikuasai mahasiswa. 4 Tujuan Instruksional Dari identifikasi dan analisis tujuan instruksional umum, diperoleh tujuan instruksional sebagai berikut: ISBN: 978-602-72071-1-0  Diberikan persamaan Lagrange, mahasiswa dapat menjelaskan syarat yang diperlukan dalam menerapkan melakukan analisis gerak dengan persamaan Lagrange dengan benar.  Diberikan kasus gerak partikel dalam suatu kerangka, mahasiswa menentukan sistem koordinat yang dapat digunakan dalam analisis gerak dengan benar.  Diberikan kasus gerak partikel dalam suatu kerangka, mahasiswa dapat menentukan persamaan geraknya melalui analisis dengan persamaan Lagrange dengan benar.  Diberikan kasus gerak partikel dalam suatu kerangka, mahasiswa dapat menentukan persamaan geraknya melalui analisis dengan persamaan hamilton dengan benar.  Diberikan kasus sitem gerak partikel dengan syarat batas, mahasiswa mampu menerapkan Persamaan Lagrange untuk menentukan persamaan gerak partikel dengan benar. 5 Tes Acuan Untuk mengetahui keberhasilan modul, telah ditetapkan tes yang akan dijadikan acuan dalam menguji pemahaman mahasiswa mengenai persamaan Lagrange melalui kasus-kasus sebagai berikut:  dinamika gerak menggelinding  pendulum-pegas  partikel yang bergerak di bawah pengaruh gaya sentral  osilator harmonik  partikel dalam medan sentral  mesin atwood  partikel pada bidang miring  gerak sinklotron  gerak pada bidang kerucut  gerak dalam medan elektromagnetik 6 Strategi Instruksional Modul didesain ke dalam 3 kegiatan belajar, yang ditunjukkan Tabel 1. Tabel 1. Pembagian Kegiatan Belajar Modul KEGIATAN BELAJAR 1 A. Koordinat Umum B. Gaya Rampatan C. Gaya Rampatan Sistem KOnservatif D. Persamaan Lagrange E. Metode Lagrange KEGIATAN BELAJAR 2 A. Contoh Pemakaian Persamaan Lagrange B. Momentum Rampatan C. Fungsi Hamilton KEGIATAN BELAJAR 3 Persamaan Lagrange untuk Gerak dalam Medan Elektromagnetik 7 Pengembangan Bahan Instruksional Bahan instruksional dikembangkan dalam bentuk modul. Modul ditulis sesuai dengan acuan yang ditetapkan pada strategi instruksional. Setelah selesai, modul diuji keterbacaan oleh mahasiswa dalam skala kecil sebanyak 5 kali. Adapun hasil uji keterbacaan ditunjukkan pada Tabel 2. 8 Evaluasi Formatif Evaluasi formatif dilakukan kepada ketiga ahli, dalam hal ini ahli media, ahli pembelajaran, dan ahli materi. Ketiga ahli adalah teman sejawat dosen pengampu mata kuliah Fisika Matematika, Mekanika Klasik, Desain Pembelajaran, dan Media Pembelajaran. Kegiatan validasi berupa penilaian, masukan, koreksi, dan saran terhadap modul pembelajaran. Hasil validasi penilaian oleh ketiga ahli ditunjukkan Tabel 3, Tabel 4, dan Tabel 5. Tabel 2. Uji Keterbacaan. No Komentar MasukanKoreksiSaran Revisi yang Dilakukan 1 Modul masih tersaji secara matematika sehingga kurang mudah memahami konsep yang disajikan Modul diberikan pembahasan yang membantu penjelasan konsep yangh dipelajari 2 Mahasiswa masih mengalami kesulitan memahami konsep yang dibahas dalam modul Pembahasan modul dijabarkan lebih kontekstual sehingga diharapkan mahasiswa mudah memahami konsep yang dipelajari 3 Kegiatan belajar pada modul terlalu panjang sehingga mahasiswa mengalami kesulitan memahami konsep satu kegiatan Modul dipecah menjadi tiga kegiatan belajar 4 Contoh kasus pada aplikasi lagrangian dalam kajian fisika kurang beragam, sehingga mahasiswa masih susah memahami bahwa konsep lagrangian dapat diterapkan dalam berbagai kajian fisika Dalam modul dibahas konsep lagarangian dalam mekanika untuk berbagai jenis koordinat rambatan, dan kajian dalam elektromagnetik 5 Mahasiswa dapat memahami paparan kalaimat dalam modul sehingga dapat melakukan pembelajaran secara mandiri Modul dapat divalidasi dan diujicobakan secara terbatas Tabel 3. Hasil Penilaian Modul oleh Ahli Media. ISBN: 978-602-72071-1-0 Aspek Penilaian Ahli Media 1 Ahli Media 2 Rata-rata Komponen Modul 90 90 90 Verbal 85 85 85 Visual 86 84 85 Tipografi 87 85 86 Pencetakan 85 85 85 Rata-rata 86 Kategori Sangat Baik Tabel 4. Hasil Penilaian Modul oleh Ahli Desain Pembelajaran. Aspek Penilaian Ahli Media 1 Ahli Media 2 Rata-rata Tujuan 85 81 83 Materi 87 87 87 Evaluasi 88 88 88 Verbal 85 87 86 Visual 88 86 87 Rata-rata 86 Kategori Sangat Baik Tabel 5. Hasil Penilaian Modul oleh Ahli Materi. Aspek Penilaian Ahli Media 1 Ahli Media 2 Rata-rata Tujuan 88 84 86 Materi 90 90 90 Evaluasi 85 83 84 Verbal 86 88 87 Visual 88 88 88 Rata-rata 87 Kategori Sangat Baik 9 Revisi Sistem Instruksional Implementasi Revisi dan perbaikan dilakukan berdasarkan masukan, koreksi, dan saran dari ahli, seperti ditunjukkan pada Tabel 6. 10 Implementasi dan Evaluasi Sumatif Implementasi dan evaluasi sumatif dilaksanakan pada penelitian selanjutnya. Tabel 6. Komentar Ahli Media, Ahli Desain Pembelajaran, dan Ahli Materi. Komentar MasukanKoreksiSaran Revisi yang Dilakukan Ahli Media 1 Pada beberapa gambar dengan kompleksitas tinggi, sebaiknya gambar vektor dapat diubah menjadi format gambar bitmap, agar proses pembuatan dan penggandaan gambar lebih mudah dan tidak mengubah layout tulisan. Mengubah beberapa gambar vektor yang kompleks menjadi bentuk bitmap dengan resolusi tinggi. Ahli Media 2 Pada bagian soal latihan, sebaiknya ditambahkan ilustrasi sebagai petunjuk pengerjaan soal. Menambahkan gambar sebagai ilustrasi dan petunjuk pengerjaan soal pada bagian latihan soal. Ahli Desain Pembelajaran 1 Penyelesaian soal pada contoh hendaknya dijabarkan lebih detail, sehingga modul dapat dijadikan bahan belajar mandiri untuk mahasiswa. Menambahkan setiap perubahan angka atau variabel dan atau operasi dari operator matematika. Ahli Desain Pembelajaran 2 Pada bagian soal latihan, sebaiknya ditambahkan ilustrasi yang mendukung agar mahasiswa mengerjakan soal latihan lebih terarah. Ilustrasi ini dapat bersifat seperti petunjuk soal. Menambahkan gambar sebagai ilustrasi dan petunjuk pengerjaan soal pada bagian latihan soal. ISBN: 978-602-72071-1-0 Ahli Materi 1 Ditambahkan materi pendahuluan lengkap dengan ilustrasi pada materi tingkat lanjut Misalnya pada bagian penerapan Lagrangian pada gerak yang terpengaruh medan listrik dan medan magnet. Walaupun bukan modul elektrodinamik, modul Lagrangian ini hendaknya tetap memberikan sedikit penjelasan tentang dasar elektrodinamik. Menambahkan ulasan tentang medan listrik dan medan magnet. Ahli Materi 2 Penyelesaian soal pada contoh hendaknya ditambahkan penjabaran untuk setiap detail penyelesaian matematis. Menambahkan penjabaran untuk setiap langkah matematis. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa modul lagrangian analisis gerak untuk mata kuliah fisika matematika berbasis pembelajaran kontekstual dan terpadu dapat digunakan dalam perkuliahan, karena telah melalui 5 lima kali uji keterbacaan pada kelompok kecil dan validasi ahli dengan nilai rata-rata 86,3 valid menurut ahli media, ahli desain pembelajaran, dan ahli materi. Model pembelajaran terpadu yang disajikan dalam modul dapat diterima mahasiswa dan memudahkan mahasiswa untuk memahami kajian materi yang dilakukan di dalam modul Saran Karena keberadaan modul sangat penting untuk mendukung pembelajaran dan model pembelajaran terpadu sangat diterima oleh mahasiswa, maka pada penelitian selanjutnya akan dikembangkan modul fisika matematika 1 maupun fisika matematika 2 secara utuh dengan model pembelajaran terpadu, kemudian mengimplementasikan dan melaksanakan evaluasi sumatif. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Lembaga Penelitian UNJ atas dukungannya melalui dana PNPB-BLU Fakultas MIPA UNJ Tahun Anggaran 2015 Nomor: 30SPK PENELITIAN6.FMIPA2015. DAFTAR PUSTAKA Dick, Walter, Lou Carey, James O. Carey, The Systematic Design of Instructional 7th Edition, London, Pearson Education Ltd. Hastuti, S. 2013. Pembelajaran Mandiri pada Mahasiswa FKIP UNS sebagai Pembelajar Dewasa . Proceeding journal.unwidha.ac.id Vol. 1, No. 1. Ningtias, L., Yulianti, D., Suyanto, E. 2015. Perbedaan Prestasi Belajar Mahasiswa Melalui Media Pembelajaran Modul dan E-Learning dengan Keamampuan Awal yang Berbeda Terhadap Mata Kuliah Kewirausahaan . Jurnal Teknologi Informasi Komunikasi Pendidikan, 16. Suparman, M. Atwi, 2014. Desain Instruksional Modern, Jakarta, Erlangga. Trianto. 2010. Model Pembelajaran Terpadu: Konsep, Strategi, dan Implementasinya dalam KTSP . Jakarta: Bumi Aksara. ISBN: 978-602-72071-1-0351 PERANCANGAN EKSPERIMEN PENENTUAN KADAR ALUMINIUM PADA MINUMAN KEMASAN KALENG MENGGUNAKAN SPEKTROSKOPI UV-VIS Fitrian Prila Wardani 1 Moh.Toifur 2 Yudhiakto Pramadya 3 1,2,3, Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Fisika, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta E-mail: fitrianprilawardanigmail.com ABSTRAK Spektroskopi merupakan ilmu yang mempelajari interaksi radiasi elektromagnetik dengan materi. Salah satu aplikasi spektroskopi dalam permasalahan fisika adalah untuk menentukan kadar aluminium dalam minuman kemasan kaleng. Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan produk rancangan penelitian penentuan kadar aluminium pada minuman kemasan kaleng menggunakan spektroskopi UV-VIS, mendeskripsikan kadar aluminium serta mengetahui pengaruh suhu dan waktu pemanasan terhadap kadar aluminium yang terkandung pada minuman kemasan kaleng. Sampel yang digunakan adalah dua minuman kemasan kaleng yang diperoleh di swalayan sekitar kampus UAD Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan spektrofotometer UV-1800 Shimadzhu yang dihubungkan dengan software UV Probe untuk memperoleh data berupa grafik. Sampel dipanaskan sampai suhu 40°C selama 1, 2 dan 3 jam. Kadar aluminium ditentukan pada panjang gelombang 302,0 nm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perancangan eksperimen penentuan kadar aluminium pada minuman kemasan kaleng dengan menggunakan spektroskopi UV-VIS dapat digunakan untuk menentukan kadar aluminium dalam minuman kemasan kaleng. Suhu dan waktu pemanasan mempengaruhi kadar aluminium yang terkandung pada minuman. Kata kunci: aluminium, minuman kemasan kaleng, spektroskopi. ABSTRACT Spectroscopy is the study of the interaction of electromagnetic radiation with a matter. One of the applications of spectroscopy in physics problem is to determine the concentration of aluminum in beverage cans. The aims of this study are to produce a plan of study on the determination of concentration of aluminum beverage cans using UV-VIS spectroscopy, describe the concentration of aluminum, then determine the effect of temperature and heat time on the concentration of aluminum contained in beverage cans. The samples used are two beverage cans obtained in supermarkets around campus UAD Yogyakarta. This study uses UV-1800 Shimadzhu associated with UV Probe software to obtain data in the form of graphs. The sample is heated to a temperature of 40°C for 1, 2 and 3 hours. Aluminum concentration determined at the wavelength of 302.0 nm. The results of this study shows that the design of experiments determining the concentration of aluminum in beverage cans using UV-VIS spectroscopy can be used to determine the concentration of aluminum in beverage cans, temperature and heating time affects the concentration of aluminum contained in the beverage. Keywords: aluminium, beverage cans, spectroscopy. ISBN: 978-602-72071-1-0352 PENDAHULUAN Apabila berkas cahaya baik monokromatis maupun campuran berinteraksi dengan medium akan terjadi beberapa fenomena fisis, yaitu sebagian berkas sinar masuk akan dipantulkan refleksi, sebagian diserap absorpsi dalam medium dan sisanya akan diteruskan transmisi Basset dkk, 1991: 810. Prinsip dasar dari spektroskopi adalah absorbsi dan transmisi. Spektroskopi merupakan suatu metode analisis yang menggunakan prinsip absorbsi, emisi dan transmisi radiasi elektromagnetik oleh atom maupun molekul untuk studi kualitatif dan kuantitatif untuk mempelajari proses-proses fisika Joni, 2007: 1. Aplikasi spektroskopi dalam permasalahan fisika maupun dalam kehidupan sehari-hari masih bisa dikembangkan lagi. Salah satu aplikasi spektroskopi adalah untuk menentukan kadar aluminium dalam minuman kemasan kaleng. Bahan dasar pembuat kemasan yang tersedia pada saat ini antara lain kemasan kertas, gelas, logam, plastik dan komposit yang merupakan gabungan dari berbagai bahan Julianti dan Nurminah, 2006. Salah satu kemasan yang biasa digunakan sebagai wadah produk industri minuman adalah kemasan kaleng logam. Kaleng dengan bahan dasar aluminium banyak digunakan dalam industri minuman. Keunggulan logam aluminium antara lain lebih ringan, mudah dibentuk, tidak berasa, tidak berbau, tidak beracun, dapat menahan masuknya gas, mempunyai konduktivitas panas yang baik dan dapat didaur ulang. Logam aluminium juga memiliki kelemahan seperti kekuatannya kurang baik, sukar disolder, harganya lebih mahal dan mudah mengalami pengkaratan sehingga harus diberi lapisan tambahan Julianti dan Nurminah, 2006. Oleh karena itu, penggunaan bahan logam seperti aluminium sebagai bahan kemasan minuman perlu diwaspadai. Hubungan langsung antara bahan logam dengan minuman memungkinkan terjadinya perpindahan migrasi unsur logam ke minuman. Salah satu penyebab hal tersebut karena terjadinya pengkaratan atau korosi. Korosi pada kaleng antara lain disebabkan oleh tingkat keasaman minuman, zat-zat pemicu korosi seperti asam sitrat, adanya sisa oksigen khususnya pada bagian atas kaleng, faktor yang berasal dari bahan kemasan, suhu dan waktu penyimpanan Julianti dan Nurminah, 2006. Menurut Prasetya dan Nurdin 2012 pada penelitian yang, laju korosi aluminium meningkat seiring dengan meningkatnya kosentrasi asam sitrat dan temperatur. Hal tersebut menyebabkan minuman terkontaminasi oleh logam aluminium. Teknik penetapan kadar logam yang relatif mudah dengan hasil yang akurat adalah dengan metode spektroskopi, karena metode ini cukup sensitif pada konsentrasi rendah Sumarni, 2014: 3. Salah satu jenis spektroskopi yang dapat digunakan untuk penetapan logam adalah spektroskopi UV- VIS. Spektroskopi UV-VIS merupakan metode spektroskopi yang dilakukan pada daerah ultra violet 190 – 380 nm dan cahaya tampak 380 -780 nm. Spektroskopi UV-VIS lebih banyak digunakan untuk analisis kuantitatif karena melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis Mulja dan Suharman, 1995: 26. Spektroskopi UV-VIS juga dapat digunakan untuk analisis kualitatif yang hasilnya berupa panjang gelombang pada intensitas maksimum dari sampel yang dianalisis. Semakin banyak kandungan logam pada sampel yang diteliti maka semakin besar absorbsi yang diperoleh Sumarni, 2014: 3. Penelitian perancangan eksperimen penentuan kadar aluminium pada minuman kemasan kaleng dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS dilakukan pada daerah ultra violet dan cahaya tampak visibel dengan panjang gelombang sebagaimana disebutkan di atas. Spektrofotometer UV-VIS yang digunakan pada penelitian ini adalah Spektrofotometer UV- 1800 Shimadzhu. Spektrofotometer UV-1800 Shimadzhu ini dihubungkan langsung dengan perangkat lunak UV Probe yang memiliki fasilitas untuk memperoleh dan menganalisis data berupa grafik. Pada penelitian ini terlebih dahulu membuat larutan standar aluminium berbagai konsentrasi dengan tujuan menentukan panjang gelombang pada absorbansi maksimum aluminium. Kandungan logam aluminium pada minuman kemasan kaleng dapat diperoleh dengan mengamati panjang gelombang pada spektrum yang sesuai dengan larutan standarnya. Nilai absorbansi juga dapat diperoleh dengan menganalisis spektrum tersebut. Variasi dari konsentrasi larutan akan mempengaruhi nilai absorbansi. Hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi larutan dapat dibuat kurva kalibrasi. Dengan kurva kalibrasi ini, dapat ditentukan kadar logam aluminium pada minuman kemasan kaleng yang belum diketahui. Penelitian ini juga dilakukan pemanasan sampel sampai suhu 40°C dengan memvariasikan waktu pemanasannya. Hal tersebut diharapkan akan diperoleh perubahan kadar logam aluminium pada minuman kemasan kaleng. METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah spektrofotometer UV-1800 Shimadzhu. Skema alat penelitian untuk mengumpulkan data pada penelitian ini ditunjukkan oleh gambar . Laptop Kuvet Spektrofotometer UV-1800 Shimadzhu Kuvet Sisi reference Sisi sample ISBN: 978-602-72071-1-0353 Gambar 1. Skema alat penelitian Sampel Penelitian Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah dua minuman ringan kemasan kaleng yang diperoleh dari swalayan di sekitar kampus UAD Yogyakarta, yang selanjutnya diberi nama sampel 1 dan 2. Tenik Pengumpulan Data Penelitian penentuan kadar aluminium pada minuman kemasan kaleng menggunakan spektroskopi UV-VIS dilakukan melalui beberapa tahap yaitu persiapan sampel, pengambilan data dan analisis data. Adapun penjelasan masing-masing tahap sebagai berikut: 1. Persiapan sampel a. Membuat deret larutan standar aluminium Al 1 Larutan standar Al 80 mgl Larutan Al 1000 mgl dipipet sebanyak 0,8 ml dimasukkan ke dalam tabung ukur 10 ml, kemudian diencerkan dengan akuades sampai tanda batas. 2 Larutan standar Al 100, 120, 140, 160, 200 dan 240 mgl Larutan Al 1000 mgl dipipet sebanyak 1,0; 1,2; 1,4; 1,6; 2,0 dan 2,4 ml dimasukkan ke dalam tabung ukur 10 ml, kemudian diencerkan dengan akuades sampai tanda batas. b. Menyiapkan sampel minuman ringan kemasan kaleng yang diperoleh dari swalayan di sekitar kampus UAD Yogyakarta. 2. Metode pengambilan data Pengambilan data pada penelitian ini menggunakan spektrofotometer UV-VIS yang berupa spektrofotometer UV-1800 Shimadzhu. a. Penentuan nilai absorbansi deret larutan standar aluminium 1 Menyiapkan alat dan bahan penelitian yang akan digunakan. 2 Merangkai alat seperti pada gambar 1. 3 Membuka perangkat lunak UV Probe pada computer. 4 Mengklik Connect – Spectrume – Methode pada menu. Kemudian mengisi jendela Measurement: wavelength range nm dengan rentang panjang gelombang yang akan digunakan untuk pengambilan data. Selanjutnya mengklik Instrument parameter untuk memilih mode pengukuran Absorbance, Transmittance. 5 Memasang kuvet yang berisi blanko berupa aquades ke sisi reference pada spektrofotometer UV-1800 Shimadzhu tanpa perlakuan. Kemudian mengklik Baseline – Auto zero. Langkah ini dilakukan untuk mengkalibrasi spektrofotometer UV-1800 Shimadzhu. 6 Memasukkan larutan standar aluminium konsentrasi 80 mgl ke dalam kuvet. 7 Menempatkan kuvet yang berisi larutan standar aluminium konsentrasi 80 mgl ke sisi sample spektrofotometer UV-1800 Shimadzhu. 8 Mengklik Start untuk memulai pembacaan nilai absorbansi larutan. 9 Menyimpan data. 10 Mengulangi langkah 6 sampai 8 untuk larutan standar aluminium dengan konsentrasi 100, 120, 140, 160, 200 dan 240 mgl. b. Penentuan nilai absorbansi sampel minuman kemasan kaleng. 1 Menyiapkan alat dan bahan penelitian yang akan digunakan. 2 Memasukkan sampel 1 ke kuvet. 3 Menempatkan kuvet yang berisi sampel 1 ke sisi sample spektrofotometer UV-1800 Shimadzhu. 4 Melakukan langkah 2.a.8 sampai 2.a9. 5 Mengulangi langkah 2 sampai 4 untuk sampel minuman 2. c. Penentuan nilai absorbansi sampel minuman kemasan kaleng dengan pemanasan sampai suhu 40°C dengan variasi waktu pmanasan. 1 Menyiapkan alat dan bahan penelitian yang akan digunakan. 2 Menempatkan sampel 1 dan 2 ke pemanas digital. 3 Memanaskan sampel 1 dan 2 hingga mencapai suhu 40°C. selama 1 jam. 4 Menempatkan sebagian sampel 1 dan 2 yang telah dipanaskan sampai suhu 40°C selama 1 jam ke gelas ukur masing- masing. Kemudian mendiamkannya dengan tujuan agar kuvet tidak mengembun ketika dilakukan pengujian atau pengambilan data. 5 Memasukkan sampel 1 dengan suhu pemanasan 40°C selama 1 jam ke kuvet. 6 Menempatkan kuvet yang berisi sampel 1 dengan suhu pemanasan 40°C selama 1 jam ke sisi sample spektrofotometer UV- 1800 Shimadzhu. 7 Melakukan langkah 2.a.8 sampai 2.a9. 8 Mengulangi langkah 5 sampai 7 untuk sampel 2 dengan suhu pemanasan 40°C selama 1 jam. 9 Mengulangi langkah 3 sampai 8 untuk sampel 1 dan 2 dengan pemanasan 40°C selama 2 dan 3 jam. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh dengan eksperimen selanjutnya dianalisis agar diperoleh kadar aluminium pada minuman kemasan kaleng, sebagai berikut: 1. Menganalisis spektrum absorbsi yang diperoleh dari spektrofotometer UV-VIS. ISBN: 978-602-72071-1-0354 Pada penelitian ini, spektrofotometer UV-VIS yang digunakan adalah spektrofotometer UV-1800 Shimadzhu. Data yang dihasilkan oleh spektrofotometer UV-1800 Shimadzhu berupa spektrum absorbsi terdiri dari hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang. Analisis spektrum absorbsi diperoleh data kuantitatif absorbansi dan panjang gelombang pada absorbansi maksimum. 2. Membuat kurva kalibrasi deret larutan standar aluminium berbagai konsentrasi. Nilai absorbansi larutan standar aluminium yang telah diperoleh selanjutnya dibuat kurva kalibrasi antara konsentrasi dengan absorbansi larutan standar aluminium. Kurva kalibrasi dibuat dengan menampilkan nilai persamaan regresi linier y dan koefisien korelasi R 2 . Nilai y berupa persamaan 1 sebagai berikut: b ax y   1 Nilai y merupakan nilai absorbansi, sedangkan x merupakan nilai kadar aluminium pada minuman kemasan kaleng. Untuk menghindari kesamaan simbol maka nilai kadar aluminium diubah menjadi c. 3. Menentukan kadar aluminium pada minuman kemasan kaleng. Penentuan kadar aluminium pada minuman kemasan kaleng menggunakan nilai kemiringan kurva kalibrasi larutan standar aluminium. Berdasarkan persamaan 1 dapat diperoleh nilai kadar c aluminium sebagai berikut: a b y c   2 HASIL DAN PEMBAHASAN Rancangan Alat Penelitian Alat yang digunakan pada penelitian perancangan eksperimen penentuan kadar aluminium pada minuman kemasan kaleng menggunakan spektroskopi ditunjukkan oleh gambar 2. Gambar 2. Alat penelitian perancangan eksperimen penentuan kadar aluminium pada minuman kemasan kaleng menggunakan spektroskopi. Alat penelitian terdiri dari Spectrophotometer UV-VIS Shimadzhu UV -1800 dan komputer untuk menjalankan perangkat lunak UV Probe . Spektrofotometer UV-VIS ini dapat mengukur energi yang ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang pada daerah ultra violet dan cahaya tampak. Rentang panjang gelombang yang dapat digunakan pada spektrofotometer ini antara 190 sampai 800 nm. Spectrophotometer UV-VIS Shimadzhu UV-1800 merupakan spektrofotometer UV-VIS double beam atau berkas ganda. Gambar 3. Tempat meletakkan kuvet pada Spectrophotometer UV-VIS Shimadzhu UV-1800. Gambar 3 merupakan tempat meletakkan kuvet pada Spectrophotometer UV-VIS Shimadzhu UV-1800 yang terdiri dari dua sisi yaitu sisi reference dan sisi sample . Sisi reference merupakan tempat untuk meletakkan kuvet yang berisi larutan blanko atau pelarut. Sedangkan sisi sample merupakan tempat untuk meletakkan kuvet yang berisi larutan standar atau sampel. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dan Nilai Absorbansi Deret Larutan Standar Aluminium Penelitian perancangan eksperimen penentuan kadar aluminium pada minuman kemasan kaleng terlebih dahulu ditentukan panjang gelombang maksimum terhadap absorbsi larutan standar aluminium dengan menggunakan alat Spectrophotometer UV-VIS Shimadzhu UV-1800. Larutan standar aluminium 1000 mgl yang akan diuji terlebih dahulu dibuat deret larutan standar dengan konsentrasi 80, 100, 120, 140, 160, 200 dan 240 mgl. Pembuatan larutan standar aluminium dengan berbagai konsentrasi menggunakan pelarut akuades. Pada penelitian ini diperoleh absorbansi maksimum untuk larutan standar aluminium pada panjang gelombang 302,0 nm. Panjang gelombang yang diperoleh tersebut digunakan sebagai acuan dan memudahkan dalam pembacaan nilai absorbansi larutan standar aluminium berbagai konsentrasi dan kadar aluminium pada minuman kemasan kaleng. Spektrum larutan standar aluminium berbagai konsentrasi ditunjukkan oleh gambar 4. Gambar 4. Spektrum absorbsi larutan standar dengan konsentrasi 80, 100, 120, 140, 160, 200 dan 240 mgl. Gambar 4 merupakan spektrum larutan standar dengan konsentrasi 80, 100, 120, 140, 160, 200 dan 240 mgl antara absorbansi dan panjang Sisi reference Sisi sample Al 240 mgl Al 200 mgl Al 160 mgl Al 140 mgl Al 120 mgl Al 100 mgl Al 80 mgl ISBN: 978-602-72071-1-0355 gelombang. Pada gambar 4 tersebut puncak tertinggi pada ketujuh spektrum berada pada panjang gelombang yang sama yaitu 302,0 nm. Nilai absorbansi menunjukkan banyak sedikitnya sinar masuk yang diserap oleh medium. Medium pada penelitian ini adalah sampel minuman kemasan kaleng. Absorbansi dan konsentrasi aluminium dapat diamati pada spektrumnya. Semakin tinggi konsentrasi larutan standar aluminium maka semakin tinggi pula absorbansinya. Hal ini sesuai dengan persamaan 1 dimana absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi. Hasil pengujian absorbansi larutan standar aluminium berbagai konsentrasi pada panjang gelombang 302,0 nm ditunjukkan oleh tabel 1. Tabel 1. Hasil pengujian nilai absorbansi larutan aluminium satandar pada konsentrasi 80, 100, 120, 140, 160, 200 dan 240 mgl. No. Konsentrasi, c mgl Absorbansi, A 1. 80 0,281 2. 100 0,359 3. 120 0,470 4. 140 0,522 5. 160 0,598 6. 200 0,732 7. 240 0,860 Berdasarkan tabel 1 dapat dibuat kurva kalibrasi larutan standar aluminium. Kurva kalibrasi larutan standar aluminium dibuat dengan konsentrasi 80, 100, 120, 140, 160, 200 dan 240 mgl. Nilai absorbansi diamati atau dibaca pada panjang gelombang 302,0 nm untuk setiap variasi konsentrasi larutan standar aluminium. Kurva kalibrasi larutan standar aluminium ditunjukkan oleh gambar 5. Gambar 5. Kurva kalibrasi larutan standar aluminium Al Berdasarkan gambar 5 diperoleh hubungan yang linier antara absorbansi dan konsentrasi larutan standar aluminium dengan persamaan garis lurus 01277 , 00359 ,   x y . Nilai y merupakan nilai absorbansi, sedangkan x merupakan nilai kadar aluminium pada minuman kemasan kaleng. Untuk menghindari kesamaan simbol maka nilai kadar aluminium diubah menjadi c. Nilai koefisien korelasi r dari gambar 5 diperoleh 0,99357 yang menunjukkan bahwa antara absorbansi dengan kandungan aluminium berkorelasi positif dan mempunyai keakuratan dalam menentukan konsentrasi sebesar 99,357. Persamaan tersebut selanjutnya digunakan untuk menentukan kadar aluminium dalam minuman kemasan kaleng. Telah diketahui bahwa panjang gelombang pada absorbansi maksimum larutan standar aluminium adalah 302,0 nm. Nilai panjang gelombang aluminium tersebut digunakan untuk menentukan energi aluminium dengan menggunakan persamaan 1. Energi aluminium yang diperoleh sebesar 6,59×10 -19 Joule atau 4,11 eV. Berdasarkan nilai panjang gelombang pada absorbansi maksimum dan besarnya energi maka aluminium berada pada daerah ultra violet. Penentuan Nilai Absorbansi Sampel Minuman Kemasan Kaleng Penentuan nilai absorbansi sampel minuman kemasan kaleng juga dilakukan dengan menggunakan alat Spectrophotometer UV-VIS Shimadzhu UV-1800 dan perangkat lunak UV-Probe. Sampel yang digunakan untuk penelitian adalah dua sampel minuman kemasan kaleng dengan merk yang berbeda. Penentuan nilai absorbansi dilakukan pada kedua sampel minuman kemasan kaleng ketika sebelum dan sesudah pemanasan. Penentuan nilai absorbansi sampel minuman kemasan kaleng terlebih dahulu dilakukan ketika sebelum pemanasan. Pengukuran suhu sampel minuman kemasan kaleng sebelum dipanaskan diperoleh suhu sampel 1 dan 2 masing-masing adalah 27°C. Penentuan nilai absorbansi sampel minuman kemasan kaleng selanjutnya dilakukan dengan memvariasi suhu dan waktu pemanasan. Sampel 1 dan 2 dipanaskan hingga mencapai suhu 40°C dengan variasi waktu pemanasan selama 1, 2 dan 3 jam. Pada penelitian ini pemanasan sampel menggunakan satu pemanas digital, dimana satu pemanas digunakan untuk memanaskan dua sampel hingga mencapai suhu 40°C selama 1, 2 dan 3 jam. Pemanasan sampel pada penelitian ini tidak dilakukan secara terus menerus melainkan dengan mengatur pemanas digital. Apabila suhu sampel terukur akan melebihi suhu yang ditentukan maka pengaturan suhu pada pemanas digital harus segera diturunkan, begitu pula sebaliknya apabila suhu sampel kurang dari suhu yang ditentukan. Hal ini dilakukan agar suhu minuman tetap stabil sesuai dengan suhu yang ditentukan. Spektrum sampel 1 dan 2 setelah dilakukan pemanasan hingga mencapai suhu 40°C selama 1, 2 dan 3 jam ditunjukkan oleh gambar 6 dan 7. ISBN: 978-602-72071-1-0356 Gambar 6. Spektrum absorbsi sampel 1 setelah dilakukan pemanasan hingga mencapai suhu 42°C selama 1, 2 dan 3 jam. Gambar 7. Spektrum absorbsi sampel 2 setelah dilakukan pemanasan hingga mencapai suhu 44°C selama 1, 2 dan 3 jam. Gambar 6 merupakan spektrum absorbsi sampel 1 setelah dilakukan pemanasan hingga mencapai suhu 42°C selama 1, 2 dan 3 jam. Spektrum yang muncul pada gambar tersebut menunjukkan banyak sedikitnya bahan aluminium dari kaleng yang termigrasi ke dalam minuman. Pada gambar terlihat bahwa sampel 1 pemanasan hingga mencapai suhu 42°C selama 1, 2 dan 3 jam terdapat perbedaan garis spektrumnya. Begitu pula pada gambar 7 yang merupakan spektrum absorbsi sampel 2 yang dipanaskan sampai suhu 44°C. Hal ini berarti waktu pemanasan mempengaruhi nilai absorbansi. Sedangkan spektrum absorbsi yang lengkap dari ketiga sampel dapat dilihat pada lampiran. Sedangkan nilai absorbansi sampel 1 dan 2 ditunjukkan oleh tabel 4. Tabel 4. Nilai absorbansi sampel 1 dan 2 setelah dilakukan pemanasan hingga mencapai suhu 40°C selama 1, 2 dan 3 jam. Pada tabel 4 terlihat bahwa masing-masing sampel yang dipanaskan menggunakan pemanas digital yang sama menghasilkan suhu sampel yang berbeda. Hal ini disebabkan karena masing-masing sampel memiliki bahan penyusun kaleng yang berbeda sehingga daya hantarnya berbeda, begitu pula dengan bahan aluminiumnya. Pada sampel 1 dengan pemanasan sampai suhu 42°C diperoleh nilai absorbansi yang meningkat ketika dipanaskan selama 1, 2 dan 3 jam. Nilai absorbansi yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk menentukan kadar aluminium pada minuman kemasan kaleng. Perbandingan nilai absorbansi dengan suhu dan waktu pemanasanan pada sampel 1 dan 2 dapat disajikan dalam bentuk diagram, seperti yang ditunjukkan oleh gambar 8. Gambar 8. Diagram perbandingan nilai absorbansi dengan waktu pemanasan pada untuk sampel 1 pada suhu 42°C dan sampel 2 pada suhu 44°C. Penentuan Nilai Absorbansi Sampel Minuman Kemasan Kaleng Penentuan kadar aluminium pada minuman kemasan kaleng dilakukan dengan memasukkan nilai absorbansi total y yang telah diperoleh ke persamaan garis lurus kurva kalibrasi aluminium 01277 , 00359 ,   x y . Hasil kadar aluminium pada minuman kemasan kaleng ditunjukkan oleh tabel 5. Tabel 5. Kadar aluminium pada sampel minuman kemasan kaleng Tabel 7 merupakan kadar aluminium pada sampel minuman kemasan kaleng. Pada sampel 1 dengan pemanasan sampai suhu 42°C diperoleh kadar aluminium yang meningkat ketika dipanaskan selama 1, 2 dan 3 jam. Sedangkan sampel 2 dengan pemanasan sampai suhu 44°C diperoleh kadar aluminium yang meningkat pula pada pemanasan 1, 2 dan 3 jam. Perbandingan kadar aluminium dengan suhu dan waktu pemanasanan pada sampel 1 dan 2 0.188 0.191 0.197 0.200 0.591 0.593 0.637 0.656 0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600 0.700 1 2 3 A b so rb a n si , A Waktu pemanasan, t jam Sampel 1 Sampel 2 Sampel Suhu, T °C Waktu, t jam Absorbansi terbaca, A Faktor pengenceran, fp Absorbansi total, y 1 42 0,188 1 0.188 1 0,191 1 0.191 2 0,197 1 0.197 3 0,200 1 0.200 2 44 0,591 1 0.591 1 0,593 1 0.593 2 0,637 1 0.637 3 0,656 1 0.656 Sampel Suhu, T °C Waktu, t jam Kadar aluminium, c 1 42 48,811 1 49,646 2 51,318 3 52,153 2 44 161,067 1 161,624 2 173,880 3 179,173 ISBN: 978-602-72071-1-0357 dapat disajikan dalam bentuk diagram, seperti yang ditunjukkan oleh gambar 9. Gambar 9. Diagram perbandingan kadar aluminium dengan waktu pemanasan pada untuk untuk sampel 1 pada suhu 42°C dan sampel 2 pada suhu 44°C. Menurut Prasetya dan Nurdin 2012, bahwa laju korosi aluminium meningkat seiring dengan meningkatnya kosentrasi asam sitrat dan temperatur. Pada penelitian ini juga dapat diketahui bahwa suhu pemanasan sampel mempengaruhi kadar aluminium dalam sampel. Kadar aluminium pada sampel 1 dan 2 setelah dilakukan pemanasan yang menghasilkan suhu 42°C dan 44°C mengalami peningkatan dibandingkan sebelum dipanaskan. Sampel minuman kemasan kaleng yang digunakan pada penelitian ini tertera pada komposisinya menggunakan asam sitrat yang bersifat asam sebagai pengatur keasaman dalam minuman. Keasaman minuman dapat mempercepat terjadinya proses perkaratan dan pelepasan ion logam aluminium dari kemasan ke dalam minuman. Hubungan langsung antara minuman dengan kemasan menyebabkan logam hasil peluruhan bahan kemasan minuman akan berpindah ke dalam minuman sehingga kadarnya meningkat. Pada penelitian ini waktu pemanasan divariasikan selama 1, 2 dan 3 jam. Hasil yang diperoleh terlihat bahwa waktu pemanasan juga mempengaruhi kadar aluminium dalam minuman kemasan kaleng. Sehingga dapat disimpulkan bahwa suhu dan waku pemanasan mempengaruhi kadar aluminium dalam minuman kemasan kaleng. PENUTUP Simpulan 1. Perancangan eksperimen penentuan kadar aluminium pada minuman kemasan kaleng dengan menggunakan spektroskopi UV-VIS telah dilakukan. Perancangan eksperimen ini dapat digunan untuk menentukan kadar aluminium dalam minuman kemasan kaleng. 2. Kadar aluminium yang diperoleh pada sampel 1 sebelum pemanasan sebesar 48,811 mgl dan pada sampel 2 sebesar 161,067 mgl. 3. Suhu dan waktu pemanasan sampel minuman kemasan kaleng memperngaruhi kadar aluminium yang terkandung pada minuman. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka penulis menyarankan untuk melakukan penelitian kandungan logam selanjutnya pada minuman atau makanan kaleng yang lain. Untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan penelitian dengan memvariasikan tanggal kadaluarsa yang tertera pada kemasan. DAFTAR PUSTAKA Basset dkk. 1991. Vogel’s Textbook of Quantitative Inorganic Analysis Including Elementary Instrumental Analysis. Alih bahasa Hadyana A.P. dan Setiono L. 1994. Buku Ajar Vogel: Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Jakarta: EGC. Joni, I. M. 2007. Diktat Mata Kuliah Pengantar Biospektroskopi. Bandung: Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran. Julianti, E. dan Nurminah, M. 2006. Buku Ajar Teknologi Pengemasan. Medan:Departemen Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Mulja M dan Suharman. 1995. Analisis Instrumental. Surabaya: Airlangga University Press. Prasetya, A. Y. A. dan Nurdin, I. 2012. “Korosi Aluminium dalam Larutan Asam Sitrat”. Jurnal Teknik Kimia Vol. 11, No. 2, 2012, 116-123. Sumarni, Ria Asep. 2014. “Penentuan Kadar Besi Fe dalam Air Minum Isi Ulang Berbasis Spektroskopi: Tentang Interaksi Cahaya Terhadap Medium Cair”. Tesis Program Magister Pendidikan Fisika, Fakultas Pascasarjana. Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan. 48.811 49.646 51.318 52.153 161.067 161.624 173.880 179.173 0.000 20.000 40.000 60.000 80.000 100.000 120.000 140.000 160.000 180.000 200.000 1 2 3 Ka d a r a lu m in iu m , c m g l Waktu pemanasan, t jam Sampel 1 Sampel 2 ISBN: 978-602-72071-1-0 MISKONSEPSI SISWA SMA PADA MATERI HUKUM ARCHIMEDES Iqlima Noor Akmala Dewi 1 Sentot Kusairi 2 Lia Yuliati 3 1,2,3 Mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan Fisika Universitas Negeri Malang, E-mail: iqlimanadgmail.com ABSTRAK Seringkali kerangka konsep yang telah dibangun oleh siswa tersebut menyimpang dari konsep yang benar sehingga menimbulkan miskonsepsi. Miskonsepsi dapat menghambat dalam menanamkan pemahaman konsep siswa. Salah satu penyebab miskonsepsi adalah tidak lengkapnya pemahaman yang diterima oleh siswa yang diperoleh dari informasi yang salah ataupun kurang lengkap. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui miskonsepsi siswa pada materi Hukum Archimedes sebelum menentukan pembelajaran yang digunakan. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan survey dengan sampel sebanyak 21 siswa SMA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa masih mengalami miskonsepsi dalam menentukan keadaan terapung, melayang, tenggelam. Bentuk dari miskonsepsi terbesar siswa antara lain 1 Benda yang berat pasti akan tenggelam 2 Benda berongga selalu terapung 3 Benda yang terbuat dari sesuatu yang keras pasti akan tenggelam 4 Banyaknya air mempengaruhi keadaan terapung, melayang, dan tenggelam. Adanya identifikasi miskonsepsi siswa, diharapkan dapat membantu guru menentukan pembelajaran yang akan digunakan. Kata Kunci : miskonsepsi, pembelajaran, Hukum Archimedes ABSTRACT Often the conceptual framework has been constructed by the students deviated from the correct concept causing misconception. Misconceptions could hinder the understanding of the concept of instilling students. One of the causes of incomplete understanding of the misconceptions is that a student who obtained the information wrong or incomplete. The aim of this study was to determine the misconceptions students on the Archimedes Law before determining the learning used. The method used is to use a survey with a sample of 21 high school students. The results showed that students still have misconceptions in determining the state of floating, drifting, and sinking. The most of the misconceptions students include 1 The object weight will surely sink 2 hollow objects always floating 3 Objects made of something hard will surely sink 4 The amount of water affects the state of floating, drifting, and sinking. The identification of student misconceptions, is expected to help teachers identify the learning that will be used. Keywords : misconception, Archimedes Law PENDAHULUAN Tujuan Pembelajaran Fisika adalah melatih siswa untuk berpikir dan menggunakan akalnya serta terlibat secara langsung dalam berbagai kegiatan seperti diskusi kelas, pemecahan soal-soal maupun eksperimen. Keterlibatan siswa dalam aktivitas pembelajaran akan berdampak positif pada pencapaian konsep Arends, 2012. Dengan demikian siswa dapat mengembangkan kemampuan fisika membosankan dan hanya menghafalkan rumus- rumus Utami, 2013. Proses pembelajaran yang berlangsung di kelas merupakan perwujudan interkasi antara guru dengan siswa, serta interaksi siswa dengan siswa lain Ellianawati Subali, 2010. Agar tercipta kondisi tersebut guru hendaknya harus merencanakan pembelajaran dengan baik. Kesalahan dalam memilih strategi pembelajaran dapat menyebabkan siswa kurang tertarik pada pembelajaran sehingga berdampak pada berkurangnya motivasi dan keaktifan siswa selama proses pembelajaran Hertiavi, 2010. Motivasi yang kurang juga akan berdampak pada pemahaman konsep dari siswa. ISBN: 978-602-72071-1-0 Kenyataanya pembelajaran fisika masih didominasi dengan menghafal konsep yang disampaikan oleh guru Susilawati, 2014. Hal tersebut berkaitan dengan penilaian hasil belajar siswa masih terbatas pada mengukur konsep yang dihafal. Hafalan konsep dapat memberikan efek negatif salah satunya adalah pemahaman konsep siswa dalam pembelajaran fisika. Seringkali pemahaman konsep yang telah dibangun oleh siswa tersebut menyimpang dari konsep yang benar yang dinamakan miskonsepsi Wahyuningsih, 2013: 113. Miskonsepsi dapat menghambat dalam menanamkan pemahaman konsep siswa Utami, 2013. Menurut Suparno 2013 salah satu penyebab miskonsepsi adalah tidak lengkapnya pemahaman yang diterima oleh siswa yang diperoleh dari informasi yang salah ataupun kurang lengkap. Materi fisika yang dipelajari kebanyakan adalah materi yang abstrak, sehingga rentan terjadi miskonsepsi pada siswa. Salah satu miskonsepsi dalam mata pelajaran fisika terjadi pada materi fluida statis Suparno, 2013. Yin dkk 2008 menyatakan miskonsepsi terbesar yang dialami siswa pada fluida statis adalah tentang terapung dan tenggelam. Menurut Yin siswa seharusnya mempunyai pengalaman atau model mental untuk mendeskripsikan gejala terapung dan tenggelam. Adapun bentuk-bentuk dari miskonsepsi siswa menurut Utami 2013 antara lain 1 Semakin besar massa jenis suatu zat cair, maka benda yang dicelupkan pada zat cair tersebut akan semakin berat 2 Siswa menganggap sebuah benda yang berat pasti akan tenggelam 3 Siswa menganggap tenggelamnya suatu benda dikarenakan berat benda, dan 4 Siswa menganggap massa benda menentukan peristiwa terapung, melayang, dan tenggelam. Dalam pembelajaran dibutuhkan klarifikasi konsep yang sudah dibangun siswa, sehingga konsep yang telah dibangun siswa menjadi lebih benar tentunya. Perubahan konseptual terjadi jika mengubah pemikiran atau pemahaman siswa. Perubahan konseptual didefinisikan sebagai pembelajran yang mengubah konsepsi yang sudah ada. Perubahan konseptual memerlukan berbagai proses pembelajaran yang memungkinkan siswa mengembangkan konsep-konsep baru, dan memformulsikan cara berpikir yang sudah ada Arends, 2012. Menurut Posner et al 1982 proses perubahan konseptual diawali dengan asmiliasi kemudian akomodasi. Asimilasi terjadi karena pengetahuan awal siswa berhubungan dengan fenomena dan belum terjadi perubahan konseptual. Untuk akomodasi merupakan proses perubahan konseptual dikarenakan konsepsi siswa tidak sesuai dengan fenomena yang baru. Terdapat empat syarat yang menjembatani proses akomodasi antara lain : 1. Harus ada ketidakpuasan terhadap konsepsi yang telah ada. 2. Konsepsi yang baru haru sdapat dimengerti intelligible , rasional dan dapat memecahkan permasalahan atau fenomena yang baru 3. Konsepsi yang baru harus masuk akal plausible, dapat memecahkan permasalahan terdahulu serta konsisten dengan teori atau pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. 4. Konsep yang baru harus berdaya guna atau bermanfaat dalam pengembangan penelitian atau penemuan yang baru. Suparno 2013 menyatakan perubahan konsep dapat terjadi alam dua keadaan. Pertama, perubahan dalam arti siswa memperluas konsep, dari konsep yang belum lengkap menjadi lengkap. Perubahan yang kedua adalah perubahan dari konsep yang salah menjadi konsep yang benar. Selain proses-proses tersebut masih ada proses lain yang diungkapakan oleh Posner et al 1982 dimana adanya ketidakpuasan terhadap konsepsi yang ada dan kebermanfaatan dari konsep tersebut. Proses tersebut merupakan faktor penting terhadap perubahan konseptual. Faktor lain yang mempengaruhi perubahan konseptual adalah faktor kontekstual. Artinya, siswa bisa saja menerima dan memahami konsep konsep ilmiah pada konteks tertentu, tetapi bisa saja tetap menggunakan konsepsi awalnya dalam hal ini adalah miskonsepsi pada konteks lain. Karakteristik perubahan konseptual adalah bersifat kontekstual dan tidak stabil Gunstone, 1997. Perubahan konsep yang bersifat jangka panjang dan stabil baru bisa tercapai ila siswa mengenali hal-hal yang relevan dan bersifat umum dari konsep ilmiah secara kontekstual. Upaya untuk mengurangi miskonsepsi adalah mengubah pembelajaran yang dilakukan di sekolah. Perubahan gaya mengajar guru tentunya harus digahului dengan kemampuan guru untuk membaca situasi dan kondisi siswa serta konsep yang telah dimiliki pada siswa. Dengan demikian guru akan mudah dalam mengajar dan miskonsepsi siswa dapat berkurang. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kualitiatif untuk mengetahui miskonsepsi pada siswa SMA kelas XI yang sudah pernah menerima materi Hukum Archimedes. Hasil penelitian ini nantinya akan digunakan peneliti untuk merancang pembelajaran yang digunakan untuk mengajar tentang Hukum Archimedes. Sampel terdiri dari 21 siswa dari 1 kelas SMA di Kota Malang yang sudah pernah menerima materi Hukum Archimedes. Metode yang digunakan adalah survey jenis angket yang berisi pertanyaan- pertanyaan Hukum Archimedes terutama tentang terapung, melayang, tenggelam. Instrumen soal mengacu dari artikel luar negeri dengan melakukan beberapa perubahan agar bahasa yang digunakan mudah dipahami oleh siswa. Terdapat 7 soal uraian yang diberikan kepada siswa. ISBN: 978-602-72071-1-0 Soal tersebut berisi tentang macam-macam gejala terapung, melayang, dan tenggelam. Siswa mengerjakan soal tersebut selama 45 menit atau satu jam pelajaran. Selama proses ini, peneliti meminta bantuan guru sekolah untuk mengorganisir dan menjadi observer siswa pada saat siswa mengerjakan soal. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk menggali konsep mengenai Hukum Archimedes yaitu faktor-faktor yang menyebabkan keadaan terapung, melayang, tenggelam. Sebagaimana hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Unal 2005 yang menunjukkan bahwa pemahaman konsep massa, berat dan volume serta harus diklarifikasi sebelum guru melakukan proses pembelajaran. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa siswa masih mengalami miskonsespsi pada materi Hukum Archimedes khususnya pada gejala terapung dan tenggelam. Adapun bentuk dari miskonsepsi siswa antara lain 1 Benda yang berat pasti akan tenggelam 2 Benda berongga selalu terapung 3 Benda yang terbuat dari sesuatu yang keras pasti akan tenggelam 4 Banyaknya air mempengaruhi keadaan terapung, melayang, dan tenggelam. Hal tersebut ditunjukkan pada jawaban siswa untuk beberapa contoh pertanyaan berikut : Miskonsepsi : Benda yang berat pasti akan tenggelam, benda ringan akan terapung Blok A dan Blok B keduanya terapung dalam air. Andaikan kita tempelkan kedua sisisnya dan kita masukkan ke air bersamaan, Bagaimanakah kondisi keadaan blok setelah dimasukkan dalam air ? „ Jawaban yang benar : Blok akan tetap terapung karena pada awalnya blok terapung sehingga memiliki berat yang lebih ringan dari air. Sebanyak 7 siswa yang benar menjawab terapung, 11 siswa menjawab tenggelam, dan 3 siswa tidak menjawab. Artinya sebanyak hanya 33 siswa yang menjawab benar dan sebanyak 63 siswa yang menjawab salah dan tidak menjawab. Miskonsepsi : Benda berongga selalu terapung Dua buah bola yaitu bola A dan bola B dibuat dari bahan yang berbeda, tetapi mereka mempunyai massa dan volume yang SAMA. Bola A adalah padat, bola B terdapat rongga didalamnya . Jika bola A dimasukkan dalam air maka akan tenggelam, bagaimanakah keadaan bola B? Jawaban yang benar : Benda akan tetap tenggelam karena volumenya sama dan massa nya sama. Tidak dipengaruhi oleh bentuk benda Sebanyak 1 siswa menjawab tenggelam, 17 siswa menjawab terapung, dan 3 siswa tidak menjawab. Artinya hanya sebanyka 4,8 siswa yang menjawab benar dan sebanyak 95,2 menjawab salah untuk pertanyaan tersebut. Miskonsepsi : Benda yang terbuat dari sesuatu yang keras pasti akan tenggelam Bola A dan Bola B mempunyai massa dan volume yang SAMA. Bola A terbuat dari sesuatu yang lembut, dan Bola B terbuat dari sesuatu yang keras. Bola A terapung di air. Bagaimanakah dengan posisi bola B? Jawaban yang benar : Bola tetap terapung karena bahan tidak mempengaruhi keadaan terapung dan tenggelam. Sebanyak 2 siswa menjawab terapung dan 19 siswa menjawab tenggelam. Artinya hanya sebanyak 9 siswa yang menjawab benar dan sisanya sebanyak 91 menjawab salah. Miskonsepsi : Jumlah air yang besar membuat suatu benda terapung. Balok D tenggelan dalam air dalam container 1. Ketika balok D diletakkan di kontainaer yang mempunyai air lebih banyak container 2, bagimanakah keadaan balok D? Jawaban benar : Tenggelam karena banyaknya air tidak mempengaruhi keadaan benda tersebut terapung, melayang, tenggelam. Sebanyak 2 orang menjawab tenggelam, 11 siswa menjawab terapung, dan 8 siswa tidak menjawab. Artinya hanya sebanyak 9 siswa menjawab benar dan sisanya 91 menjawab salah dan tidak menjawab. Miskonsepsi : Posisi benda mempengaruhi keadaan terapung, melayang, tenggelam . Ketika balok A ditempatkan dalam air dengan posisi sebelah kiri maka balok A akan terapung. Sedangkan apabila kita balik ujunganya seperti pada gambar sebelah kanan, bagaimanakah posisi balok A jika kembali diletakkan dalam air? Gambar 1. Terdapat balok A dan B dan ditumpuk Luar Dalam Luar Dalam Gambar 2. Bentuk benda A dan B yang berbeda Gambar 3. Bola A dan B dengan bahan yang berbeda Gambar 4. Container B memilik jumlah air yang lebih banyak Gambar 5. Posisi yang benda yang berubah ISBN: 978-602-72071-1-0 Jawaban benar : Terapung, karena posisi benda tidak mempengaruhi keadaan benda dalam air. Sebanyak 17 orang menjawab terapung dan 4 siswa menjawab tenggelam. Artinya sebanyak 80 siswa menjawab benar dan 20 siswa menjawab salah. Hasil diatas menunjukkan sebanyak 63 siswa dapat dikatakan mengalami miskonsepsi pada benda yang berat pasti akan tenggelam. Sebanyak 95,2 siswa mengalami miskonsepsi pada benda berongga pasti akan terapung. Ssebanyak 91 siswa mengalami miskonsepsi pada benda yang terbuat dari bahan yang keras pasti tenggelam. Sebanyak 91 siswa mengalami miskonsepsi bahwa jumlah air yang banyak menyebabkan benda terapung, sebanyak 20 siswa mengalami miskonsepsi pada posisi benda mempengaruhi keadaan terapung, melayang, tenggelam. Hal tersebut bisa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya seperti yang diungkapkan oleh Sutopo 2012 bahwa miskonsepsi dapat disebabkan antara lain konsep yang diterima belum lengkap dan konsep yang telah diterima salah. Jadi siswa mungkin belum menerima konsep secara lengkap ataupun konsep yang mereka terima bisa jadi salah. Unal 2005 menyatakan miskonsepsi siswa pada keadaan terapung, melayang dan tenggelam dipengaruhi oleh pengalaman mereka dalam kehidupan sehari-hari. Wahyudi 2013 juga menyatakan miskonsepsi yang dialami oleh guru sebagai seorang pengajar jelas akan sangat menggangu pemahaman konsep dalam diri siswa, dan cenderung akan menyebabkan miskonsepsi pada siswa juga, sehingga keberhasilan siswa dalam capaian belajar juga akan sangat terganggu. Menurut Wagner 2103 kesulitan dalam menghubungkan antara konsep siswa dengan hasil belajar siswa juga dapat diatasi dengan cara mengidentifikasi terlebih dahulu konsep-konsep yang dimiliki siswa. Identifikasi miskonsepsi yang dilakukan pada saat awal pembelajaran diharapkan dapat memberikan informasi dan membantu guru agar dapat melakukan pembelajaran yang sesuai. Pembelajaran tersebut nantinya diharapkan dapat mengubah konsep dan mengurangi miskonsepsi siswa. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa siswa masih mengalami miskonsepsi tentang Hukum Archimedes terutama untuk menentukan keadaan terapung, melayang, dan tenggelam. Bentuk-bentuk miskonsepsi terbesar yang dialami oleh siswa antara lain 1 Benda yang berat pasti akan tenggelam 2 Benda berongga selalu terapung 3 Benda yang terbuat dari sesuatu yang keras pasti akan tenggelam 4 Banyaknya air mempengaruhi keadaan terapung, melayang, dan tenggelam. Hal tersebut ditunjukkan dari jawaban siswa yang telah dibahas pada pembahasan sbelumnya. Sehingga dengan adanya identifikasi miskonsepsi siswa, maka guru dapat mengetahui cara mengajar yang digunakan. Saran Berdasarkan kajian penelitian di atas, sampel yang digunakan untuk penelitian sebaiknya ditambah lebih banyak agar hasilnya lebih valid. Soal yang dikembangkan sebaiknya ditambah untuk lebih mengetahui hasil yang lebih akurat tentang pemahaman siswa. Konsep yang diidentifikasi miskonsepisnya sebaiknya diperluas misalnya tentang tekanan hidrostatis dan gaya apung yang dialami oleh benda. Sehingga informsi yang didapat oleh guru akan lebih lengkap. DAFTAR PUSTAKA Arends, R.I. 2012. Learning to teach. New York: The McGraw-Hill Companies Inc. Dahar, R. W. 1988. Teori-teori belajar. Jakarta: Dirjen P2LPTK. Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Pedoman Umum Penilaian Hasil Belajar . Jakarta: BSNP. Chang, et all. 2007. Investigating Primary and Secondary Students‟ Learning of Physics Concept in Taiwan. International Journal of Science Education , 29 4: 467-468, diakses tanggal 24 April 2012. Ellianawati, S. Wahyuni. 2010. Pemanfaatan Model Self Regulated Learning Sebagai Upaya Peningkatan Kemampuan Belajar Mandiri pada Mata Kuliah Optik. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia . Online 61. Gunstone, Richard F., Tao, Ping-Kee. 1997. Conceptual Change in Science Through Collaborative Learning at the Computer. Presented at National Association for Research in Science Teaching Annual Meeting . Posner, et all. 1982. Accomodation of a Scientific Conception: Toward a Theory of Conceptual Change. Science Education- John Wiley and Sons , 88 2: 211-227. diakses tanggal 20 Mei 2015. Suparno, P. 2013. Miskonsepsi dan Perubahan Kosep dalam Pendidikan Fisika , Jakaart: PT. Grasindo. Sutopo, dkk. 2012. Impact of Representational Approach on The Imp rovement of Students‟ understanding of acceleration. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia , Online, 8 : 172. UNAL, Suat., COSTU, Bayram. 2005. Problematic issue for student : Doses it sink or float ?. Asia-Pacific on Science Learning and Teaching , Online 3 1. Utami, Rahyu., Djudi, Tomo., Arsyid, Syaiful B. 2010. Remediasi Miskonsepsi Pada Fluida Statis Melalui Model Pembelajaran TGT Berbantuan Mind Mapping di SMA. Untan ISBN: 978-602-72071-1-0 Wagner, DJ., Carbone, Elizabeth., Lindow, Ashley. 2013. PERC Proceedings published by the American Associayion of Physics Teacher. Wahyudi, Ismu., Muharto, Nengah. 2013. Pemahaman Konsep dan Miskonsepsu Fisika pada Guru Fisika SMA RSBI di Bandar Lampung. Jurnal Pendidikan MIPA, Online, 14 1. Yin, Yue., Tomita, Miki K., Shavelson, Richard J. 2008. Diagnosing and Dealing with Student Mixconceptions : Floating and Sinking. University of Hawaii. ISBN: 978-602-72071-1-0 STUDI PENDAHULUAN KETERAMPILAN PEMECAHAN MASALAH DAN METAKOGNISI SISWA SMA BERBASIS UAPAC+SE Muhammad Nasir 1 Madlazim 2 I Gusti Made Sanjaya 3 1 Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi S3 Pendidikan Sains Unesa 2,3 Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Pendidikan Sains Unesa E-mail: mnasirm997gmail.com ABSTRAK Dalam rangka memahami keterampilan pemecahan masalah sangat diperlukan keterampilan metakognisi seperti procedural knowledge, declarative knowledge, condicional knowledge, planning, monitoring, dan evaluating. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keterampilan pemecahan masalah dan metakognisi siswa dalam memecahkan masalah pada mata pelajaran fisika siswa kelas XI IPA SMA Negeri 8 Samarinda. Populasi sampel penelitian berjumlah 116 siswa yang dikelompokkan berdasarkan hasil tes prestasi fisika sebanyak 40 soal, terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu: kelompok atas 32 orang siswa 28, kelompok menengah 61 orang siswa 53, dan kelompok bawah 23 orang siswa 20. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan deskriptif dengan bentuk penelitian berupa studi kasus. Indikator keterampilan pemecahan masalah, terdiri atas: understanding the problem, analysis of the problem, planning, application the plan , controlling self evaluation UAPAC+SE yang telah dikembangkan oleh Heler 1992 Caliscan, 2010: 2241. Sedangkan metakognisi menggunakan i ndikator Metacognitive Awareness Inventory MAI yang dikembangkan oleh Schraw Dennison, 1994 and Junior MAI Jr. MAI Sperling et al., 2002. Berdasarkan analisis data dapat disimpulkan bahwa rata-rata keterampilan pemecahan masalah siswa kelompok atas 68 kategori tinggi, siswa kelompok menengah 34, dan siswa kelompok bawah 33 kategori rendah. Sedangkan rata-rata keterampilan metakognisi adalah siswa kelompok atas 66 kategori tinggi, siswa kelompok menengah 36, dan siswa kelompok bawah 33 kategori rendah. Menurut Aydin et al ., 2010 terdapat terdapat hubungan kausal antara aspek-aspek metakognisi yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Kata Kunci : Keterampilan Pemecahan Masalah, Keterampilan Metakognisi LATAR BELAKANG Pengkajian dan Pengajaran Keterampilan Abad XXI atau The Assessment and Teaching of 21 st Century Skills telah mengategorikan keterampilan abad XXI menjadi empat bagian besar, yang memungkinkan individu untuk berkontribusi terhadap modal sosial social capital dan modal intelektual intelectual capital di zaman modern. Satu diantaranya adalah problem solving skills dan metacognition yang harus dimiliki oleh sumber daya manusia pada abad XXI BNSP, 2010: 44 - 45. Terdapat beberapa alasan mengapa problem solving skills dan metacognition penting untuk dikaji, yaitu: 1 problem solving skills ada kaitannya dengan metacognition seperti pernyataan Meskeni, et al., 2015: 150 mengatakan bahwa metakognisi dapat meningkatkan keterampilan pemecahan masalah, belajar membutuhkan penerapan proses seperti perencanaan planning, pengawasan supervision, pemantauan monitoring dan perenungan self-reflection yang termasuk dalam metakognisi metacognition, 2 lingkup muatan materi fisika untuk peminatan MIPA SMASMK di Permendikbud No. 64 Tahun 2013 tentang Standar Isi bahwa kompetensi yang harus dicapai melalui pembelajaran fisika di antaranya kompetensi pemecahan masalah baik secara kualitatif maupun kuantitatif Kemendikbud, 2014: 19. 3 Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses menyatakan bahwa untuk memperkuat pendekatan ilmiah perlu diterapkan pembelajaran berbasis pemecahan masalah. 4 Kompetensi Dasar Fisika Kemdikbud, 2013: 159 : 3 Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan procedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah. 5 Hasil kajian literatur lebih lanjut berupa analisis terhadap buku guru dan buku Siswa Kurikulum 2013, yaitu: 1 metakognisi hanya dilatihkan pada kelas XII, padahal seharusnya dari PAUD sudah bisa dilatihkan. 6 bahwa setiap orang memiliki kecerdasan yang berbeda-beda multiple intelligences dan setiap ISBN: 978-602-72071-1-0 orang belajar dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan kecerdasannya Cox Brna, 1994, 7 otak manusia mempunyai tanggapan-tanggapan yang cepat dan alami terhadap sumber visual, seperti simbol, gambar, dan ikon Jensen dalam dePorter, 2009, 8 dapat meningkatkan kinerja memori Paivio, 2006 dan efek kognitif penggunaan berbagai representasi dapat mengurangi beban kerja memori Cox Brna, 1994, 9 kuantitas dan konsep-konsep yang bersifat fisik seringkali dapat divisualisasikan dan dipahami lebih baik dengan menggunakan representasi konkrit karena otak memiliki keterampilan alami untuk pengenalan visual Buzan, 2005.10 siswa yang mempunyai keterampilan metakognisi yang baik cenderung dapat memecahkan masalah yang dihadapinya dengan baik melalui pengerahan kesadaran dan pengaturan berpikir yang dilakukannya. Anggo, 2010. Kenyataannya menurut data terakhir dari Indeks Pembangunan Manusia IPM Indonesia sampai tahun 2015 masih berada pada urutan 108 dari 187 negara di dunia BPS, 2015. Hasil studi TIMMS dan PISA keterampilan pemecahan masalah siswa Indonesia tergolong dalam level bawah Martin dkk., 2012; OECD, 2014. Siswa kategori sedang lebih banyak melakukan aktivitas merencanakan, memantau, dan mengevaluasi daripada kategori lainnya, siswa kategori tinggi tidak melakukan evaluasi, metakognisi siswa dalam perhitungan derajat keasaman hanya pada tahap strategi use, tacit use, dan aware use Ratnawati, dkk., 2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis problem solving dapat meningkatkan kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep mahasiswa pada topik Kinematika Partikel, termasuk dalam kategori sedang Hariati, 2012 Asumsi peneliti keterampilan pemecahan masalah dan keterampilan metakognisi perlu dipertimbangkan untuk dilibatkan dalam proses pembelajaran di sekolah. Keterampilan tersebut sudah sepantasnya dijadikan sebagai bahan refleksi bagi guru untuk memperbaiki proses pembelajaran berikutnya. Dalam memperbaiki proses pembelajaran fisika tentunya terkait dengan kebutuhan siswa yang di dalamnya termuat potensi yang mereka miliki. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keterampilan pemecahan masalah berdasarkan indikator yang telah dikembangkan oleh Heler 1992 Caliscan, 2010: 2241. Sedangkan keterampilan metakognisi menggunakan i ndikator Metacognitive Awareness Inventory MAI yang dikembangkan oleh Schraw Dennison, 1994 and Junior MAI Jr. MAI Sperling et al., 2002. TINJAUAN PUSTAKA Hudiono 2007 : 8 berpendapat bahwa pemecahan masalah adalah suatu aktivitas kognitif yang kompleks dengan melibatkan sejumlah proses dan strategi. Menurut Toluk Olkun, 2002 pemecahan masalah didefinisikan sebagai proses kognitif yang membutuhkan ingatan untuk memilih aktifitas yang sesuai, mempergunakannya, serta berfungsi secara sistematis. Proses ini berarti melakukan penelitian dengan cara mengontrol aktivitas untuk memenuhi target karena pemecahan masalah adalah proses yang sangat rumit, maka para ahli menyarankan membagi proses menjadi beberapa tahap Caliscan, 2010: 2239. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa keterampilan pemecahan masalah adalah suatu proses, yakni kegiatan yang koninu dan bukan kegiatan yang hanya terjadi sesaat, memerlukan usaha belajar dan latihan-latihan. Keterampilam pemecahan masalah dalam pembelajaran Fisika berkaitan dengan cara membelajarkan siswa, yang dikenal dengan Self Regulation Learning. Pintrich 1995 mengatakan self- regulated Learning adalah cara belajar siswa aktif secara individu untuk mencapai tujua akademik dengan cara pengontrolan perilaku, memotivasi diri sendi dan menggunakan kongnitifnya dalam belajar. Self regulated dapat diamati sejauh mana partisipasi aktif siswa dalam mengarahkan proses-proses metakognitif, motivasi dan perilaku siswa saar siswa belajar Zimmerman et al., 1989. Proses metakognitif yang penting dan umum digunakan adalah strategi pemecahan masalah dan self-evaluation yang dikembangkan oleh Heller, Keith dan Anderson 1992. Langkah Pemecahan Masalah yang digunakan sebagai indikator untuk mengetahui keterampilan pemecahan masalah diadaptasi dari Heler 1992 Caliscan, 2010: 2241, terdiri atas: Un d ers ta n d in g th e p ro b lem 1. Membaca ulang masalah 2. Memvisualisasikan masalah 3. Menggunakan model kongkrit 4. Menentukan besaran yang dikehendaki 5. Menentukan informasi yang signifikan 6. Membuat masalah menjadi lebih sederhana 7. Menggunakan konsep-konsep fisika yang relevan dengan masalah A n a lysi s th e p ro b lem 1. Berpikir menemukan pemecahan masalah 2. Menemukan alternatif pemecahan masalah 3. Mengidentifikasi prinsip-prinsip, aturan-aturan, dan hukum-hukum Fisika 4. Menyederhanakan masalah menjadi sub-sub masalah 5. Menentukan persamaan matematika Menentukan pola untuk memecahkan masalah ISBN: 978-602-72071-1-0 P la n n in g A p lica tio n th e p la n 1. Memilih pendekatan pemecahan masalah yang tepat dengan menggunakan aturan 2. Menemukan prinsip-prinsip, aturan- aturan, dan hukum-hukum Fisika untuk memecahkan masalah 3. Menggunakan prinsip-prinsip matematika untuk memecahkan masalah 4. Menggunakan metode trial and error C o n tr o llin g a n d s elf - ev a lu a tio n 1. Memeriksa alur pemecahan masalah 2. Memeriksa jawaban 3. Mengembalikan jawaban ke masalah Diadaptasi dari Heler 1992 Caliscan, 2010: 2241 Metakognisi, adalah istilah ini pertama kali diusulkan oleh Flavel 1979 menganggap Metakognisi sebagai pengetahuan atau proses metakognitif yang melibatkan penilaian, pemantauan dan pengendalian proses dan kegiatan metakognitif Maskeni, 2015: 150. Keterampilan metakognitif siswa sebagai faktor internal sesuai dengan Kurikulum saat ini yang menuntut siswa untuk berperilaku mandiri, berpikir tingkat tinggi high order thinking, mengetahui apa yang telah dipelajari, mengetahui apa yang sedang dipelajari, dan mengetahui apa yang harus dipelajari. Oleh sebab itu, keterampilan metakognitif ini penting untuk diteliti. Keterampilan metakognitif meliputi keterampilan siswa untuk melakukan perencanaan, pemantauan, dan evaluasi. Schoenfeld 1987 mendefinisikan metakognisi sebagai berikut: “metacognition is thinking about our thingking and compires of the following threeimportant aspect: knowledge about our own thought processes, control o rself regulation, and belief and intuition”. Pengertian ini menunjukkan bahwa metakognisi diartikan sebagai pemikiran tentang pemikiran kita sendiri yang merupakan interaksi antara tiga aspek penting yaitu: pengetahuan tentang proses berpikir kita sendiri, pengontrolan atau pengaturan diri, serta keyakinan dan intuisi. Metakognisi tidak sama dengan kognisi, misalnya ketrampilan yang digunakan untuk membaca suatu soal berbeda dengan memonitor pemahaman terhadap soal tersebut. Metakognisi mempunyai kelebihan dimana siswa mencoba merenungkan cara berpikir atau merenungkan proses kognitif yang dilakukannya. Dengan demikian aktivitas seperti merencanakan bagaimana pendekatan yang diberikan dalam tugas-tugas pembelajaran, memonitor keterampilan, dan mengevaluasi rencana dalam rangka melaksanakan tugas merupakan sifat- sifat alami dari metakognisi. Matlin 1994: 256, menyatakan bahwa: Metacognition is our knowledge, awareness and control of our cognitive processes , artinya metakognisi adalah pengetahuan, kesadaran, dan kontrol kita terhadap proses kognitif kita. Lebih lanjut Matlin mengatakan bahwa metakognisi sangat penting dalam membantu kita dalam mengatur lingkungan dan menyeleksi strategi untuk meningkatkan keterampilan kognitif kita selanjutnya. Metakognisi adalah salah satu keterampilan dimana seakan-akan individu berdiri di luar kepalanya dan mencoba merenungkan cara dia berfikir atau proses kognitif yang dilakukan. Dukungan empirik pentingnya metakognisi menyatakan bahwa usia pra sekolah adalah waktu mulai untuk mengembangkan struktur metakognitif, termasuk pengetahuan dan proses metakognitif Chernocova, 2014: 207. Adanya hubungan positif antara kesadaran metakognisi dan akademik self- efficacy Hermita Thamrin, 2015: 1077. Metakognisi adalah sebuah komponen penting dari pembelajaran dan self-regulation pada semua usia Efklides, 2008; McCormick, 2003 dalam Schraw, et a l. 2012: 57. Keterampilan metakognisi muncul di sekitar usia 8-10 tahun dan didahului oleh keterampilan kognitif lain seperti perkembangan Theori of Mind TOM White Board Fredericson 2005. Metakognisi juga memiliki peranan dalam proses penyelesaian masalah Rickey Stacy, 2000, Dowd et al, 2015. Mengukur keterampilan evaluasi dengan Metacognitive self-assesment, yaitu proses penilai formatif, yaitu siswa melakukan refleksi dan evaluasi mengenai kualitas pekerjaan dan pembelajaran yang telah siswa lakukan. Spiller 2009:3. Keterampilan metakognisi Fisika ditinjau dari Keterampilan Metakognisi, yaitu: p ro ce d u ra l k n o w led g e 4 item 1. Saya berpikir saya mengetahui, apakah saya telah memahami masalah Fisika dengan baik. 2. Saya menyadari rencana yang saya gunakan ketika memecahkan masalah Fisika 3. Saya membaca keterangan yang ada pada masalah Fisika dengan hati-hati untuk memahami dan menentukan apa tujuannya. 4. Saya mempunyai tujuan khusus untuk setiap rencana yang saya gunakan ketika memecahkan masalah Fisika d ec la ra tive kn o w led g e 3 item 1. Saya mengetahui jenis informasi yang paling penting ketika memecahkan masalah Fisika 2. Saya bertanya pada diri saya sendiri tentang masalah ini sebelum memulai memecahkan masalah Fisika 3. Saya memecahkan masalah Fisika dengan lebih baik ketika saya tertarik pada masalah yang saya hadapi. C o n d itio n a l kn o w led g e 3 item 1. Saya mengetahui kapan setiap rencana yang saya gunakan paling efektif 2. Saya bisa memecahkan masalah dengan baik ketika saya telah memahami masalah Fisika 3. Saya menggunakan rencana yang berbeda untuk memecahkan masalah ISBN: 978-602-72071-1-0 tergantung pada masalah yang saya hadapi reg u la tio n p la n n in g 3 item 1. Saya menetapkan tujuan sebelum saya memecahkan masalah Fisika 2. Saya bertanya pada diri saya, apakah saya telah mempertimbangkan semua pilihan ketika memecahkan masalah Fisika 3. Saya membaca keterangan dari masalah Fisika dengan hati-hati untuk memahami dan menentukan apa tujuannya. reg u la tio n mo n ito rin g 4 item 4. Saya merasa memiliki kelemahan dan kelebihan untuk memahami cara pemecahan masalah Fisika 1. Saya bertanya pada diri saya, apakah saya telah mempertimbangkan semua pilihan ketika memecahkan masalah Fisika 2. saya mempertimbangkan beberapa cara sebelum memecahkan masalah Fisika 3. saya bertanya pada diri saya sendiri, apakah saya telah mempertimbangkan dengan hati-hati sebelum menentukan pilihan reg u la tio n ev a lu a tio n 3 item 1. Saya bertanya pada diri sendiri apakah saya telah memecahkan masalah Fisika dengan baik. 2. Saya mengatur waktu saya yang terbaik untuk memecahkan masalah Fisika 3. Saya bertanya pada diri saya setelah saya memecahkan masalah, apakah saya sudah mempertimbangkan semua pilihan Diadaptasi Schraw Dennison and Junior MAI Jr. MAI Sperling et al., 2002. Beberapa dukungan teoritik model tersebut adalah: 1 Teori konstruktivis tentang belajar, menekankan pada kebutuhan belajar untuk menginvestigasi lingkungannya dan mengonstruksikan pengetahuan secara personal Arends, 2012: 600. 2 Berdasarkan teori ARCS Attention, Relevance, Confidence and satisfaction agar timbul rasa ingin tahu,VR maka siswa harus menaruh perhatian. Keller, 1984, 1987: dalam Cheng Yeh, 2009: 600. 3 Proses top-down, siswa mulai dengan masalah-masalah yang kompleks untuk dipecahkan VM dan selanjutnya memecahkan atau menemukan dengan bantuan guru keterampilan dasar yang diperlukan VR Slavin, 2006: 245. Kondisi ini mempermudah siswa dalam memproses konsep yang akan dipelajari dalam pembelajaran karena awal pembelajaran konsep akan lebih mudah diingat siswa. 4 Teori kontruktivis social oleh Vygotsky yang mempunyai dua implikasi utama, yaitu: 1 pembelajaran sosial; siswa belajar VM melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu VR; Zone of Proximal Development ZPD; siswa belajar konsep paling baik VM apabila konsep itu berada dalam zona perkembangan terdekat mereka VR Slavin, 2006: 243. 5 self-evaluation, judging VR if the outcomeof ones’s actions or strategiessia acceptable VM Moreno, 2010: 296. Hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini, yaitu: 1 Hasil penelitian Jayapraba, 2013 bertujuan untuk menguji efek pembelajaran metakognisi dan kooperatif terhadap prestasi kelas sains. Siswa dikelompokkan menurut perlakuan dengan pembelajaran kooperatif, kelompok pembelajaran dengan metakognisi, dan kelompok control. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran metakognisi memberikan efek positif terhadap peningkatan prestasi kelas sains. 2 Hasil penelitian Yasin et al., 2012 bertujuan untuk mengkaji efek strategi pemecahan masalah terhadap keterampilan pemecahan masalah, pengetahuan pemecahan masalah, dan prestasi Mahasiswa teknik sipil. Subjek penelitian terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dengan jumlah sampel 110 siswa menggunakan strategi pemecahan masalah, dan kelompok control 109 siswa dengan strategi konvensional. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data terdiri atas: 1 tes prestasi, dan 2 angket tentang strategi pemecahan masalah. Hasil penelitian ini menemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara prestasi siswa dan keterampilan pemecahan masalah, nilai rata-rata kelompok eksperimen lebih tinggi dari nilai rata-rata kelompok control. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan strategi pemecahan masalah dalam proses belajar mengajar berhasil meningkatkan prestasi siswa dan keterampilan pemecahan masalah. 3 Hasil penelitian Mateycik et al., 2007 yang bertujuan untuk mengetahui sampai sejauh mana siswa menemukan strategi ini dapat digunakan dalam pemecahan masalah, seberapa baik strategi ini selaras dengan teknik yang digunakan siswa, sampai sejauh mana siswa memahami tujuan strategi ini, dan sampai sejauh mana siswa menemukan strategi ini sulit untuk diterapkan. Jumlah responden 150 orang siswa, 8 orang siswa dipilih berdasarkan hasil tes untuk mengikuti wawancara. Hasil penelitian ini menemukan bahwa strategi case-reuse in problem solving sangat membantu siswa dan mudah digunakan, selaras dengan strategi yang dipergunakan siswa, kecenderungan siswa menjawab pertanyaan dengan menggunakan persamaan. 4 Hasil penelitian Syafa‟ah dkk., 2015, bertujuan untuk mengembangkan instrumen Metacognitive Self – Assessment yang valid dan reliabel untuk mengukur keterampilan berpikir evaluasi dalam membaca teks sains berbahasa Inggris. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa instrumen Metacognitive Self – Assessment valid dan reliabel, sehingga instrumen Metacognitive Self –Assessment layak digunakan untuk mengukur keterampilan berpikir evaluasi dalam membaca teks sains berbahasa Inggris. ISBN: 978-602-72071-1-0 METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menjelaskan atau keadaan yang berlangssung saat ini Sukmadinata, 2012. Teknik pengumpulan data menggunakan metode pengumpulan data primer yaitu angket atau kuesioner yang digunakan untuk variabel keterampilan metakognisi dan Tes prestasi berupa Tes Keterampilan memecahkan soal-soal fisika untuk variabel keterampilan pemecahan masalah dalam pembelajaran fisika. Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA Negeri 8 kelas XI jurusan Ilmu Pengetahuan Alam berjumlah 116 orang. Berdasarkan hasil ujian tengah semester yang diperoleh dari tempat penelitian, siswa dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu: 1 kelompok tinggi 32 siswa, 2 kelompok menengah 61 siswa, dan 3 kelompok bawah 23 siswa. Siswa berada dalam kelompok tinggi jika nilai tes lebih besar atau sama dengan jumlah rata-rata nilai siswa ditambah standar deviasi. Siswa berada dalam kelompok menengah apabila nilai yang diperoleh berada diantara rata-rata nilai siswa dikurangi standar deviasi dan rata- rata nilai siswa ditambah standar deviasi. Siswa berada dalam kelompok bawah apabila nilai yang diperoleh kurang dari jumlah rata-rata nilai siswa dikurangi standar deviasi. Standar deviasi ditentukan dengan persamaan matematis berikut: − ̅ − √ Alat pengumpul data keterampilan pemecahan masalah yang digunakan dalam penelitian adalah mengadaptasi soal fisika yang telah dikembangkan oleh Mateycik et al ., 2007 sebanyak dua tipe soal. Sedangkan data keterampilan metakognisi siswa dikumpulkan menggunakan angket yang telah dikembangkan oleh Sperling et al., 2002, Schraw, et al., 2012, dan Schraw Dennison, 1994. Analisa data menggunakan teknik triangulasi data, yaitu memadukan dan menggeneralisasikan hasil data ke dalam bentuk deskriptif secara terperinci dan apa adanya. Penentuan kriteria keterampilan pemecahan masalah dan keterampilan metakognisi menggunakan rumus Jarak Interval, yaitu: �� − Kategori Persentase sangat tinggi 81 - 100 tinggi 61 - 80 sedang 41 - 60 rendah 21 - 40 sangat rendah. 0 - 20 Arikunto, 1998:246 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis hasil tes keterampilan pemecahan masalah berdasarkan indikator keterampilan pemecahan masalah dan keterampilan metakognisi, disajikan pada gambar 1 dan gambar 2 berikut ini. Gambar 1. Rekapitulasi Keterampilan Pemecahan Masalah 20 40 60 80 1. Understanding the problem 2. Analysis the problem 3. Planning Aplication the plan 4. Controlling and self- evaluation siswa kelompok bawah siswa kelompok menengah siswa kelompok tinggi Keterangan: N = jumlah data X = Nilai siswa X = Nilai rata-rata ISBN: 978-602-72071-1-0 Gambar 2. Tanggapan Siswa Terhadap Angket Gaya Metakognisi 20 40 60 80 Procedural Knowledge Declaratif Knowledge Condicional Knowledge Planning Monitoring Evaluating Siswa Kelompok Bawah Siswa kelompok Menengah Siswa Kelompok Tinggi ISBN: 978-602-72071-1-0 PEMBAHASAN Keterampilan pemecahan masalah dalam pembelajaran Fisika siswa SMA Negeri 8 kelas XII IPA tahun 20152016 di Samarinda berada dalam kategori rendah. Gambar 1 menjelaskan rata-rata keterampilan pemecahan masalah Fisika menurut klasifikasi 32 orang siswa 68,18 memiliki keterampilan pemecahan masalah tinggi, 61 orang siswa 38,33 memiliki keterampilan pemecahan masalah rendah dan 23 orang siswa 31,67 memiliki keterampilan pemecahan masalah rendah. Langkah pemecahan masalah Fisika, yaitu: 1 Understanding the problem 71.75, 2 analysis the problem 67.8, 3 planning application the planning 70.85, dan 4 controlling and self evaluation 65.25 untuk siswa kelompok tinggi artinya masuk kategori tinggi. Siswa kelompok menengah 1 36.65, 2 35.85, 3 33.25, dan 4 31.25 artinya masuk kategori rendah. Sedangkan siswa pada kelompok bawah: 1 35,57, 2 34.35, 3 35.75, dan 4 29,31 artinya masuk kategori rendah. Berdasarkan hasil penelitian dan uraian di atas bahwa terdapat perbedaan yang sifnifikasi dalam keterampilan pemecahaan masalah antara siswa kelompok tinggi, menengah, dan bawah. Menurut Larkin dan Reif 1979, strategi pembelajaran Fisika yang mengintegrasikan langkah-langkah pemecahan masalah memberikan efek positif terhadap kinerja siswa. Analisa deskriptif digunakan untuk mengetahui gambaran keterampilan metakognisi siswa SMA Negeri 8 Kelas XII IPA tahun 20152016, berdasarkan distribusi frekuensi jawaban responden dan tanggapan atas pernyataan-pernyataan dalam angket diperlihatkan pada Gambar 2. Tanggapan responden terhadap pengetahuan procedural, siswa kelompok tinggi 68,25 kategori tinggi. Artinya kelompok tinggi telah terampil memahami masalah dengan baik, mempunyai tujuan khusus untuk setiap rencana yang gunakan ketika memecahkan masalah, membaca keterangan yang ada pada masalah dengan hati-hati untuk memahami dan menentukan apa tujuannya, dan menyadari rencana yang digunakan ketika memecahkan masalah. Namun siswa kelompok menengah 35 dan siswa kelompok bawah 33,50 dalam kategori rendah. Tanggapan responden terhadap pengetahuan deklaratif, siswa kelompok tinggi 62,67 kategori tinggi. Artinya kelompok tinggi telah terampil mengetahui jenis informasi yang paling penting ketika memecahkan masalah, memecahkan masalah dengan lebih baik ketika tertarik pada masalah yang saya hadapi, bertanya pada diri sendiri tentang masalah ini sebelum memulai memecahkan masalah. Namun siswa kelompok menengah 38,33, dan siswa bawah 31,67 kategori rendah. Tanggapan responden terhadap pengetahuan kondisional, siswa kelompok tinggi 65,67 kategori tinggi. Artinya kelompok tinggi telah terampil mengetahui kapan setiap rencana yang saya gunakan paling efektif, memecahkan masalah dengan baik ketika saya telah memahami masalah, dan menggunakan rencana yang berbeda untuk memecahkan masalah tergantung pada masalah yang saya hadapi. Namun siswa k elompok menengah 37,33, dan siswa kelompok bawah 33,33 kategori rendah Tanggapan responden terhadap aspek planning, pada kelompok tinggi 63,67 kategori tinggi. Artinya kelompok tinggi telah terampil menetapkan tujuan sebelum memecahkan masalah, bertanya pada diri sendiri apakah telah mempertimbangkan semua pilihan ketika memecahkan masalah, dan membaca keterangan dari masalah dengan hati-hati untuk memahami dan menentukan apa tujuannya. Namun siswa kelompok menengah 30,33, dan siswa kelompok bawah 28,33 kategori rendah . Tanggapan responden terhadap aspek monitoring, siswa kelompok tinggi 70,25 kategori tinggi. Artinya kelompok tinggi telah terampil merasakan bahwa memiliki kelemahan dan kelebihan untuk memahami cara pemecahan masalah, bertanya pada diri saya, apakah saya telah mempertimbangkan semua pilihan ketika memecahkan masalah, mempertimbangkan beberapa cara sebelum memecahkan masalah, dan bertanya pada diri sendiri, apakah saya telah mempertimbangkan dengan hati- hati sebelum menentukan pilihan. Namun siswa kelompok menengah 36,75, dan siswa kelompok bawah 31,25 kategori rendah. Tanggapan responden terhadap aspek evaluating, siswa kelompok tinggi 63,67 kategori tinggi. Artinya kelompok tinggi telah terampil bertanya pada diri sendiri apakah saya telah memecahkan masalah dengan baik, mengatur waktu yang terbaik untuk memecahkan masalah, bertanya pada diri apakah sudah mempertimbangkan semua pilihan sebelum memecahkan masalah. Namun siswa kelompok menengah 38,33 dan siswa kelompok bawah 36,67 kategori rendah. Menurut Aydin et al., 2010 terdapat terdapat hubungan kausal antara aspek-aspek metakognisi yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Hasil belajar siswa dan kemampuan pemecahan masalah sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen metakognisi. Safari dkk., 2015 PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, disimpulkan bahwa keterampilan pemecahan masalah dan keterampilan metakognisi siswa SMA Negeri 8 kelas XII IPA tahun 20152016 kategori rendah . Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dan ISBN: 978-602-72071-1-0 kelemahan-kelemahan dalam penelitian ini, maka peneliti memberikan saran sebagai berikut: 1 bagi peneliti diharapkan untuk mempertimbangkan hasil penelitian ini dan dijadikan sebagai salah satu acuan dalam penelitian lanjutan untuk menemukan model pembelajaran terutama yang dapat meningkatkan keterampilan pemecahan masalah dan metakognisi. 2 Guru bidang studi Fisika perlu mempertimbangkan faktor yang mempengaruhi hasil belajar Fisika siswa dan merancang pembelajaran Fisika yang dapat mengakomodasi berbagai macam keterampilan awal siswa, sehingga keterampilan berinteraksi semakin meningkat. 3 Sekolah dapat membuat program pembelajaran yang dapat mengakomodasi dan mengoptimalkan keterampilan siswa, menciptakan lingkungan belajar yang dapat mengembangkan berbagai keterampilan siswa yang mendukung hasil belajar, serta memberikan motivasi kepada siswa agar dapat meningkatkan kesiapan belajar yang lebih baik sehingga proses belajar mengajar Fisika menjadi lancar dan hasil belajar Fisika meningkat. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, N., Zakaria, E., Halim, L. 2012. The effect of a thinking strategy approach through visual representation on achievement and conceptual understanding in solving mathematical word problems. Asian Social Science, 816, p30. Anderson, Lorin W., Krathwohl, David R. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching and Assessing: a Revision of Bloom’s . Anggo, M. 2010. Pelibatan metakognisi dalam pemecahan masalah matematika. EDUMATICA. Jurnal Pendidikan Matematika, 1 01. Arends, R., 2012. Learning to Teach. New York: Mc. Graw Hill. Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. PT. Rineka Cipta. Jakarta. Aydın, U., Ubuz, B. 2010. Structural model of metacognition and knowledge of geometry. Learning and Individual Differences , 205, 436-445. Badan Pusat Statistik BPS. 2015. Indeks pembangunan manusia Indonesia. Sumber; id.wikipedia.orgwikiIndeks_Pembangunan_Manusi a. Diakses: 27 Maret. 3. BSNP, 2010. Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI . Jakarta: Badan Standar. Buzan, T. 2005. The Ultimate Book of Mind Maps. UK: Harper Collins. Cheng, C. Y. Yeh, T. H. 2009. From concepts of motivation to its application in instructional design: Reconsidering motivation fromm in instructional design perspective, British Journal of Educational Technology . Vol. 40 N0. 4 pp. 597-605. Chernocova, T.E. 2014. Features Of Metacognition Structure for Pre-School Age Children. Procedia - Social and Behavioral Sciences 146 , pp. 203 – 208. Cox, R. Brna, P. 1994. “Supporting the Use of external Representations in Problem Solving: the Need for Flexible Learning Enviroments ”. Journal of Artificial intelligence in Education., 62, 239-302. Creswell, J. W. 2009. Educational research: Planning, conducting, and evaluating quantitative . Prentice Hall. dePorter, B., Reardon, M. Singer-Nourie, S. 2009. Quantum Teaching. Jakarta: Mizan. Dowd, J. E., Araujo, I., Mazur, E. 2015. Making sense of confusion: Relating performance, confidence, and self-efficacy to expressions of confusion in an introductory physics class. Physical Review Special Topics-Physics Education Research , 111, 010107. Hermita, M. and Thamrin, W. P 2015. Metacognition Toward Academic Self-Efficacy Among Indonesian Private University Scholarship Students. Procedia - Social and Behavioral Sciences 171, pp. 1075 – 1080. Hudiono, B. 2007. Pengembangan Kurikulum Matematika dan Model Pembelajaran Kreatif Untuk Pendidikan Anak Usia Dini. Pontianak : Makalah FKIP UNTAN. Jayapraba, A. P. D. G. 2013. Metacognitive intruction and cooperative learning strategies for promoting insightful learning in science. International Journal on New Trends in Education their Implications IJONTE , 41. Kemendikbud. 2013. Salinan Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 69 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas Madrasah Aliyah . Jakarta. Larkin, J. H. , Reif, F. 1979. Understanding and teaching problem solving in physics. European Journal of Science Education, 1 , 191-203. Matlin, M. W. 1998. Cognition. Philadelphia: Harcourt Brace College Publisher. Mateycik, F., Hrepic, Z., Jonassen, D., Rebello, N. S. 2007. Studens‟percepstions of case-reuse Based problem solving in algebra-based physics. Physics Education Research Conference Vol. 951, pp. 144 – 147 Mariati, P. S. 2012. Pengembangan Model Pembelajaran Fisika Berbasis Problem Solving Untuk Meningkatkan Kemampuan Metakognisi Dan Pemahaman Konsep Mahasiswa. Jurnal Pendidikan. Moreno, R. 2010. Educational Psychology. New York: John Wiley Sons. Inc. OECD. 2014. PISA 2012 Results: What students know and can do-student performance in mathematics, reading and science Volume I, Revised edition, February 2014, PISA, OECD Publishing. Paivio, A. 2006. Dual Coding Theory and education. Universitas of Western Ontario. Online. Pintrich 1995. Promoting of self-regulated learning. http:dwb.unl.eduBookCH09Chapter09w.html Phang, F. A. 2009. The Patterns of Physics Problem Solving from the Perspective of Metacognition. Disertasi. University of Cambridge. ISBN: 978-602-72071-1-0 Rickey, D. and Stacy, A. M. 2000. The role metacognition in learning chemistry. Journal of Chemical Education. Vol. 77 No. 7, pp. 915-920. Safari, Y., Meskini, H. 2015. The Effect of Metacognitive Instruction on Problem Solving Skills in Iranian Students of Health Sciences. Global Journal of Health Science , 81, p150. Schoenfeld, A. H. 1987. Cognitive science and mathematics education . Psychology Press Schraw, G., Dennison, R. S. 1994. Assessing metacognitive awareness. Contemporary Educational Psychology ,yy 19, 460-475.99. Schraw, G., Olafson, L.., Weibel, M., Sewing, D. 2012. Metacognition Knowladge and Field-based science learning in an outdoor environmental Education Program. In Zohar, A. and Dori, Y. J. 2012. Metacognition in Science Education: Trends in Current Research. Springer. Selçuk, G. S., Çalýskan, S. 2008. The effects of problem solving instruction on physics achievement, problem solving performance and strategy use. Latin- American Journal of Physics Education , 23, 1. Slavin, E. R. 2006. Educational psychology. Theory and practice. USA. Perason. Sperling, R. A., Howard, B. C., Miller, L. A., Murphy, C. 2002. Measures of children‟s knowledge and regulation. Contemporary Educational Psychology , yy 27, 51-79.77. Spiller, D. 2009. Assessment matters: Self- assessment and peer assessment. Tersedia pada http:www. pdfspiller. Com Sukmadinata, Nana. 2012. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Supardi., Syah, D., Syah, D. 2007. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta : Gaung Persada Press. Syafa‟ah, Heny Khoirus, dan Langlang Handayani. 2015. Pengembangan metakognitive self-assesment untuk mengukur keterampilan berpikir evalusi dalam membaca teks sains berbahasa inggris. Unnes Pyhsics Eduacation Journal 4.1. Taxonomy . New York. Longman Publishing. http:www.kurwongbss.qld.edu.authinkingBloom blooms.htm. White, B Fredericson. 2005. A Theoritical frame Work and Approach for Fostering Metacognitive Development. Journal Eduacational Psychologist, 40, 211 – 233. Yasin, R. M., Halim, L., Ishar, A. 2012. Effects of problem-solving strategies in the teaching and learning of engineering drawing subject. Asian Social Science , 816, p65. Zimmerman, B. J Schunk, D. H 1989 Eds. Self Regulation Learning and academis achievement: Theory, research, and practice. New York : Springer- Verlag. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis sampaikan kepada Dr. Mukhtar Lubis, M.Pd Kepala Sekolah, Dwinta, S.Pd guru fisika, dan siswa-siswi kelas XI SMA Negeri 8 Samarinda yang berpartisipasi dalam penelitian ini. ISBN: 978-602-72071-1-0 DESKRIPSI LANGKAH MODEL PELATEK DALAM PEMBELAJARAN IPA SMP DI JEMBER Rumiyati Mahasiswa Pasca Sarjana Pendidikan Ipa Universitas Jember E-mail: yatirumi96yahoo.co.id ABSTRAK Model PELATEK adalah model pembelajaran hasil penelitian dan pengembangan model pembelajaran peer tutoring Tutor sebaya dan Student Facilitator and Explaining untuk pembelajaran ipa di SMP. Tujuan penelitian ini adalah untuk: menentukan langkah-langkah model PELATEK dalam mengembangkan pembelajaran ipa di sekolah menengah pertama model pembelajaran, menentukan keefektifan model, dan untuk mendeskripsikan aktivitas belajar siswa selama proses pembelajaran dengan model PELATEK. Metode yang digunakan untuk mengembangkan model adalah model Research and Development RD menurut Borg dan Gall. Subyek penelitian adalah siswa kelas VIII. semester genap tahun pelajaran 20152016.Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah tes, observasi, dan wawancara.Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif dari observer dan kemudian divalidasi oleh validator. Hasil penelitian sementara menunjukkan bahwa model PELATEK valid dan efektif digunakan mengembangkan kompetensi siswa dalam pembelajaran fisika untuk sekolah menengah pertama. Dengan model PELATEK siswa menjadi aktif dan puas . Kesimpulan penelitian ini adalah model PELATEK efektif, dan meningkatkan aktivitas belajar dan siswa puas dalam pembelajaran ipa. Kata kunci: Model PELATEK, kompetensi merancang strategi pembelajaran, aktivitas belajar ABSTRACT PELATEK model is a model of teaching as a result of research and development of teaching bases peer tutoring and Student Facilitator and Explaining in subject of Science Teaching and Learning Strategy at the junior high school.. The aim of this study are: to determine step by step of the model in developing students‟ skill to design physics teaching and learning strategy for the junior high school students, to determine effectivity of the model, and to describe students‟ learning activities during teaching learning process. Method that used for developing the model is Research and Development RD from Borg dan Gall. Subject of this study are students of the eigth education class semester of second subject of SMPN 1 Kencong year 20152016. Data are collected by test, observation, and interview. The collected data will be analyze as descriptive from observer flied note, and validator. Findings meanwhile of the study are the model valid and effective used for students‟ competence development in designing physics instructional model for junior high school.The model can also make students become learning active and satisfy. So, the study can be concluded that model PELATEK effective, and can improve learning activity. Beside that, students become satisfy. Key word: PELATEK model, designing of teaching strategy, learning activity ISBN: 978-602-72071-1-0 PENDAHULUAN Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar Sutarto dan Indrawati; 2013. Dalam pembelajaran ipa sebenarnya telah banyak upaya yang dilakukan oleh guru untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik, antara lain dengan menetapkan KKM. Tetapi usaha itu belum menunjukkan hasil yang optimal. Rentang nilai peserta didik yang pandai dengan yang kurang pandai terlalu mencolok. Oleh sebab itu perlu dicari pemecahan masalah yang tepat, dengan tetap mempertimbangkan kondisi-kondisi dalam kelas. Upaya tersebut dilakukan agar rentang nilai antara peserta didik tersebut tidak terlalu jauh maka guru ipa perlu memiliki kemampuan dan keterampilan dalam menentukan model atau merancang strategi pembelajaran yang tepat agar pembelajaran ipa dapat dilakukan sesuai hakikatnya,yaitu proses, produk, dan nilai, salah satunya adalah dengan cara kelompok atau pembelajaran kooperatif Model pembelajaran cooperative learning merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat didefinisikan sebagai sistem kerjabelajar kelompok yang terstruktur. Falsafah yang mendasari pembelajaran cooperative learning dalam pendidikan adalah pembelajaran yang menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Sanjaya 2008, mengemukakan bahwa ada dua alasan tentang pembelajaran kooperatif, yaitu pertama , beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar peserta didik sekaligus dapat meningkatkan kemampuan hubungan sosial,menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri dan orang lain, serta dapat meningkatkan harga diri. Kedua,pembelajaran kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan peserta didik dalam belajar berpikir, memecahkan masalah, dan mengintergrasikan pengetahuan dengan ketrampilan. Ditambahkan oleh Riyanto 2009 bahwa pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang dirancang untuk membelajarkan kecakapan akademik, sekaligus keterampilan sosial termasuk interpersonal skill. Pembelajaran kooperatif memiliki bermacam-macam model yang dapat diadopsi dan dikembangkan, diantaranya adalah model pembelajaran tutor sebaya. Model tersebut akan sangat membantu guru memberdayakan potensi pemahaman konsep dan kemampuan berfikir peserta didik, baik bagi peserta didik yang berkemampuan akademik rendah maupun yang berkemampuan akademik tinggi. Seorang peserta didik lebih mudah menerima keterangan oleh kawannya karena tidak adanya rasa enggan atau malu untuk bertanya, sehingga peserta didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan karena dia bergaul dengan peserta didik lainnya, seperti yang disampaikan oleh Muhammad 2011 bahwa peserta didik yang ditunjuk menjadi tutor mendapat tugas membantu teman-temannya yang mengalami kesulitan belajar, karena hubungan teman umumnya lebih dekat dibanding hubungan guru dengan peserta didik, hal tersebut juga senada dengan Soeparjo,et al 2008 yang berpendapat bahwa penggunaan tutor sebaya yang dipilih dari teman mereka sendiri dalam satu kelas akan memungkinkan peserta didik tidak merasa enggan dalam bertanya sehingga kegiatan tersebut memungkinkan terjadinya peningkatan kualitas dalam pembelajara. Sejathi 2011 juga menambahkan bahwa salah satu keunggulan penerapan model tutor sebaya dalam pembelajaran adalah dapat memperkuat hubungan antara sesama peserta didik sehingga dapat mempererat persaudaraan. Berkaitan dengan hal tersebut, Silberman 2009 menjelaskan bahwa beberapa ahli percaya satu mata pelajaran benar-benar akan dapat dikuasai hanya apabila peserta didik mampu mengajarkan pada peserta didik yang lain, karena dengan mengajar teman sebaya dapat memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mempelajari suatu materi pada waktu yang sama disaat ia menjadi tutor bagi yang lain, dengan demikian strategi tersebut merupakan cara praktis untuk menghasilkan tutor dalam kelas yang pada akhirnya dapat memberikan bantuan kepada temannya, karena sebenarnya tutor sebaya itu adalah seorang atau beberapa orang peserta didik yang ditunjuk oleh guru untuk menjadi pembantu guru dalam memberikan bimbingan kepada teman- temannya sekelas Arikunto, et.al, 2012. Suyitno 2004, menyatakan metode belajar yang paling baik adalah dengan mengajarkan kepada orang lain. Oleh karena itu, pemilihan model pembelajaran tutor sebaya sebagai strategi pembelajaran akan sangat membantu peserta didik dalam mengajarkan materi kepada teman- temannya. Program tutorial pada dasarnya sama dengan program bimbingan yang bertujuan memberikan bantuan kepada peserta didik agar dapat mencapai hasil belajar optimal. Subyek atau tenaga yang memberikan bimbingan dalam kegiatan tutorial dikenal sebagai tutor. Tutor dapat berasal dari peserta didik yang dipilih dan ditugaskan guru untuk membantu teman-temannya dalam belajar di kelas. Peserta didik yang dipilih guru adalah teman sekelas dan memiliki kemampuan lebih cepat memahami materi yang diajarkan, selain itu memiliki kemampuan menjelaskan ulang materi yang diajarkan pada teman-temannya, karena model ISBN: 978-602-72071-1-0 pembelajaran tutor sebaya adalah model pembelajaran yang memaksimalkan peserta didik pandai sebagai tutor dalam satu kelompok Fitri, 2013. Peserta didik yang dipilih menjadi tutor ini sebaya dengan teman- temannya yang akan diberikan bantuan, maka tutor tersebut sering dikenal dengan sebutan tutor sebaya. Berdasarkan pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa pembelajaran model tutor sebaya merupakan pembelajaran yang melibatkan peserta didik sekelas yang memiliki kemampuan dan kriteria sebagai tutor untuk membimbing teman lainnya yang mengalami kesulitan dalam memahami penjelasan dari gurunya. Tutor sebaya adalah seorang atau beberapa orang peserta didik yang ditunjuk dan ditugaskan untuk membantu peserta didik lainnya. Tutor tersebut diambilkan dari kelompok peserta didik peserta didik yang memiliki prestasi lebih tinggi daripada lainnya dan memiliki kemampuan menjelaskan kembali pemahaman yang dimiliki Model Pelatek adalah suatu model yang merupakan pengembangan dari metode tutor sebaya dan metode student facilitator and explaining,prinsip pembelajaran tutor sebaya adalah siswa yang lebih pandai membimbingmenjelaskan materi kepada siswa lain dalam kelompoknya. Sedangkan prinsip pembelajaran student facilitator and explaining adalah guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjadi fasilitator dan menjelaskan materi kepada siswa lain dalam kelasnya. Nama PELATEK diambil dari ringkasan sintakmatiknya yaitu penentuan pembimbingtutor ,latihan membimbing oleh guru,praktek membimbing ,evaluasi,Mengkomunikasikan hasil Berdasarkan latar belakang diatas perlu dikaji lebih dalam bagaimana mendiskripsikan langkah-langkah model PELATEK untuk merancang strategi pembelajaran ipa sekolah menengah pertama model pembelajaran, di Jember.Tujuan penelitian ini adalah sebagai data pendukung untuk penelitian lebih lanjut mengenai pengembangan model PELATEK METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian