Mikroklimat dan Pengaruhnya terhadap Ketidaknyamanan.

Survei Kualitas Udara di Basemen Hotel 223 SUR V AI KU ALIT A S

15.6.2 Penilaian Beban Kerja

Berat ringannya beban kerja sangat dipengaruhi oleh jenis aktivitas beban kerja utama, dan lingkungan kerja beban tambahan. Menurut Astrand Rodalh 1977; Suma’mur 1982 dan Grandjean 1993 salah satu pendekatan untuk mengetahui berat ringannya beban kerja adalah dengan menghitung nadi kerja, konsumsi oksigen, kapasitas ventilasi paru atau suhu inti tubuh. Pada batas tertentu ventilasi paru, denyut jantung dan suhu tubuh mempunyai hubungan yang linier dengan konsumsi oksigen atau pekerjaan yang dilakukan. Lebih lanjut Konz 1992 mengemukakan bahwa denyut jantung adalah suatu alat estimasi laju metabolisme yang baik, kecuali dalam keadaan emosi dan vasodilatasi. Dari hasil penghitungan denyut nadi didapatkan rerata denyut nadi kerja sebesar 80,33 denyutmenit. Berdasarkan rerata denyut nadi kerja tersebut maka beban kerja dalam kategori ringan. Dibandingkan dengan rerata denyut nadi istirahat 79,50 denyutmenit ternyata hanya terdapat peningkatan denyut nadi sebesar 0,833 denyutmenit atau hanya meningkat sebesar 1,05. Pada uji statistik dengan t- paired test ternyata peningkatan tersebut tidak signifikan nilai t hitung 1,603 dan p=0,137. Kondisi tersebut kemungkinan besar disebabkan karena pekerjaan di bagian personalia lebih bersifat mental dari pada fisik. Sedangkan penilaian beban kerja yang didasarkan pada penghitungan denyut nadi lebih ditujukan untuk beban kerja fisik. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sutajaya Citrawathi 2000, di mana tidak ada perbedaan yang signifikan antara denyut nadi istirahat dan denyut nadi kerja t hitung 0,750 t critical value pada mahasiswa yang menggunakan mikroskop di laboratorium.

15.6.3 Penilaian Kadar Oksigen dan Karbon Dioksida pada Ruang Basemen.

Dalam sistem pernapasan, seluruh sel hidup memerlukan oksigen O 2 dari udara sekitarnya dan mengeluarkan karbon dioksida CO 2 dan uap air H 2 Odi dalam paru-paru, sehingga setiap orang sangat tergantung pada oksigen untuk hidupnya McNaught Callender, 1965; Pearce, 1999. Dalam keadaan normal udara mengan-dung oksigen sekitar 20,9 dan karbon dioksida sekitar 0,03. Dalam hal demikian, maka kadar oksigen dalam udara harus dijaga jangan terlalu rendah dan kadar karbon dioksida jangan terlalu tinggi. Apabila kadar oksigen dalam udara berkurang atau rendah, maka dapat menyebabkan gangguan kesehatan, seperti hipoksia. Untuk menjaga agar kualitas udara dalam ruangan tetap segar air fresh , Grandjean 1993 merekomendasikan kebu-tuhan udara dan volume udara segar per orang seperti pada tabel 15.6. Apabila kebutuhan udara segar tidak terpenuhi, maka penghuni ruangan akan mulai merasakan ketidaknyamanan tinggal didalamnya. 224 Survei Kualitas Udara di Basemen Hotel SUR V AI KU ALIT A S Tabel 15.6. Rekomendasi Udara Segar dan Volume Udara Per Orang. Volume Udara Per Orang m 3 Udara Segar Per Orang m 3 jam Minimum Dianjurkan 5 35 50 10 20 40 15 10 30 Dari hasil survei, defisiensi sistem ventilasi pada ruang basemen hotel tersebut ternyata juga menyebabkan rendahnya kadar oksigen terutama pada ruang personalia 1 dengan kadar sebesar 18,5. NIOSH 1984 merekomendasikan kadar mini- mum O 2 dalam confined space adalah 19,5. Sedangkan karbon dioksida merupakan produk sisa pernapasan. Meskipun gas tersebut tidak termasuk polutan, namun dapat mempengaruhi kenyamanan penghuni gedung. Kadar CO 2 dalam suatu ruangan merupakan indikasi yang tepat untuk mengetahui efektivitas sistem ventilasi. ASHRAE 1989 merekomendasikan maksimum kadar CO 2 untuk ruang kerja perkantoran adalah 1000 ppm. Hasil pengukuran kadar CO 2 pada basemen berkisar antara 775-1200 ppm. Dibandingkan dengan kadar CO 2 di luar gedung 350 ppm maka kadar CO 2 dalam ruang basemen tersebut cukup tinggi. Kondisi tersebut disebabkan karena pengatur ventilasi yang digunakan adalah AC sentral, dimana suplai udara segar adalah udara sirkulasi, sehingga semakin lama suplai udara digunakan maka kadar O 2 semakin berkurang dan kadar CO 2 semakin tinggi. Kadar O 2 yang rendah dan kadar CO 2 yang cukup tinggi tersebut menyebabkan ruangan terasa pengap dan panas. Dari hasil pengisian kuesioner tentang gangguan kesehatan bagi karyawan yang bekerja pada basemen hotel akibat kadar O 2 yang rendah dan CO 2 yang tinggi antara lain berupa mudah mengantuk drowsiness, kepala pusing Dizziness dan badan mudah lelahlemas lethargy masing-masing 83,3, sakit kepala headache sebesar 75, tenggorokan kering drysore throat sebesar 58,8 dan gangguan kesehatan lainnya 50. Dalam penelitian sebelumnya Hau, 1997 melaporkan bahwa gejala Sick Building Syndrome SBS dapat muncul pada konsentrasi CO 2 sebesar 600 ppm. Mengingat kadar karbon dioksida pada ketiga ruang basemen tersebut lebih dari 600 ppm, maka patut diduga bahwa gejala SBS juga dialami oleh karyawan yang bekerja pada basemen hotel tersebut. Menurut Lieckfield Farrar 1991; VWA 1997 gejala SBS antara lain berupa keluhan sakit kepala, pusing, iritasi mata, hidung dan tenggorokan selama di dalam ruangan dan gangguan tersebut akan hilang setelah meninggalkan ruangan.

15.6.4 Penilaian Polusi Udara pada Ruang Basemen.

Bahan-bahan pencemar udara dalam ruangan ber-AC meliputi bahan pencemar biologis virus, bakteri dan jamur, formaldehid, volatile organic compounds cat, pembersih, kosmetik, bahan bangunan, dll, combustion products CO, NO 2 , SO 2 dan partikel debu. Dalam penelitian ini hanya difokuskan pada pencemaran CO, formaldehid dan partikel debu. Survei Kualitas Udara di Basemen Hotel 225 SUR V AI KU ALIT A S Sumber pencemaran CO dalam ruangan basemen kemungkinan besar berasal dari udara luar atau ruangan lain, mengingat di dalam ruangan tidak ada karyawan yang merokok. Hasil pengukuran kadar CO dalam ruangan basemen seluruhnya 1 ppm. Standar untuk kadar gas CO di ruang kerja perkantoran adalah 10 ppm untuk 8 jam kerja WHO, 1976; SAA, 1980. Sedangkan baku mutu lingkungan untuk kadar CO berdasarkan KEPMEN-KLH: No.02 1988 adalah 20 ppm. Sehingga apabila kita bandingkan antara hasil pengukuran dan standar yang ada maka kadar CO dalam ruangan tersebut masih di bawah nilai standar. Namun demikian kadar CO harus tetap dijaga mendekati nilai terendah, mengingat bahaya pemaparan gas CO terhadap kesehatan sangat tinggi, khususnya di cofined space. Pada penelitian sebelumnya Grandjean 1993 melaporkan bahwa lebih dari 10 subjek yang terpapar gas CO dalam waktu 60 menit mengalami iritasi mata yang sangat berat. Sumber pencemaran formaldehid dalam ruangan adalah bahan bangunan, insulasi, furniture dan karpet. standar maksimum kadar formaldehid untuk ruang kerja perkantoran adalah 0,1 ppm. Pemaparan gas tersebut pada kadar 0,05-0,5 ppm dapat menyebabkan iritasi mata dan saluran pernapasan bagian atas NHMRC, 1982. Kadar formaldehid pada seluruh ruangan basemen adalah tidak terdeteksi ttd. Partikel debu, khususnya respirable dust di samping menyebabkan ketidaknyamanan juga dapat menyebabkan reaksi alergi pada mata, hidung, dan kulit. Pada gedung-gedung perkantoran rerata partikel debu pada ruangan non-smoking area adalah 10 µ gm 3 sedangkan pada smoking area berkisar antara 30-100 µ gm 3 Lieckfield Farrar 1991. Standar maksimum partikel debu untuk ruang kerja perkantoran ternyata beragam. WHO 1976 menetapkan rerata kadar debu dalam setahun adalah 40 µ gm 3 dan kadar maksimum 24 jam adalah 120 µ gm 3 . NHMRC 1982 menetapkan rerata kadar dalam setahun adalah 90 µ gm 3 . Sedangkan SAA 1980 menetapkan rerata kadar dalam setahun adalah 60 µ gm 3 dan kadar maksimum 24 jam adalah 150 µ gm 3 . Hasil pengukuran menunjukkan rerata partikel debu pada basement adalah antara 100-130 µ gm 3 dalam 8 jam. Apabila dibandingkan dengan hasil pengukuran di executive room, kadar partikel debu di basement tersebut ternyata jauh lebih tinggi. Partikel debu tersebut kemungkinan berasal dari dalam dan luar ruangan. Sumber partikel debu dari dalam ruangan kemungkinan berasal dari karpet, kertas atau aktivitas lain. Sedangkan debu dari luar masuk melalui pintu dan AC. Kadar debu yang cukup tinggi di ruang basemen hotel tersebut ternyata menyebabkan gangguan kesehatan karyawan. Dari hasil pengisian kuesioner tentang gangguan kesehatan didapatkan 58,8 karyawan mengalami gangguan saluran pernapasan, 25 iritasi pada mata, dan 33,3 karyawan mengalami gangguan pada hidung yang kemungkinan penyebabnya adalah partikel debu yang dihirup. Dari hasil pengukuran kualitas udara dan mikroklimat, serta hasil wawancara keluhan gangguan subjektif karyawan di basemen, bahwa sebagian besar karyawan telah mengalami gangguan kesehatan berupa Sick Building Syndrome SBS.